PERMOHONAN PENDAFTARAN MEREK TIDAK BERITIKAD BAIK DALAM TEORI DAN PRAKTEK DI INDONESIA BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Republik Indonesia meratifikasi Perjanjian Wold Trade Organization (WTO) pada waktu pembentukan di MARAKESCH. Sebagai konsekwensi ratifikasi perjanjian WTO yang salah satu bagian dari WTO tersebut adalah perjanjian TRADE RELATED ASPECT OF INTELLECTUAL PROPERTY (TRIPS) Indonesia harus menyesuaikan semua perundang-undangan di bidang Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dengan minimum standard seperti termaksud dalam perjanjian TRIPS tersebut diatas. Untuk itu, pada tahun 1997 Indonesia mengadakan revisi dari undangundang yang sudah ada dibidang Hak Cipta, Merek dan Paten. Namun beberapa tahun kemudian tepatnya dimulai pada tahun 2000 Indonesia mengundangkan 6 (enam) undang-undang dibidang Hak Kekayaan Intelektual (HKI) sebagai berikut: 1. UU No. 30 tahun 2000 Tentang Rahasia Dagang 2. UU No. 31 tahun 2000 Tentang Desain Industri 3. UU No. 32 tahun 2000 Tentang Desain Tata letak Sirkuit Terpadu 4. UU No. 14 tahun 2001 Tentang Paten 5. UU No. 15 tahun 2001 Tentang Merek 6. UU No. 19 tahun 2002 Tentang Hak Cipta 12
Dari keenam undang-undang tersebut, undang undang No. 15 tahun 2001 Tentang Merek menggunakan Sistim Konstitutif, artinya bahwa merek baru akan mendapat perlindungan apabila negara memberikan hak atas merek tersebut melalui mekanisme Permohonan Pendaftaran Merek. Setelah Kemerdekaan Republik Indonesia, pada tahun 1961 diundangkan undang-undang no 21 tahun 1961 tetang Merek dagang, undang-undang no. 21 tahun 1961 tersebut kemudian di ganti dengan undang-undang no 19 tahun 1992, kemudian dirubah kembali dengan undang-undnag no 14 tahun 1997. undang-undang no. 21 tahun 1961 tersebut menganut sistem deklaratif artinya bahwa kepemilikan atas suatu merek didasarkan atas pemakaian siapa yang terlebih dahulu, dimana hal ini sering menimbulkan sengketa, karena walaupun satu merek sudah terdaftar di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, masih bisa dikalahkan pihak lain yang terlebih dahulu memakai merek tersebut walaupun pihak tersebut belum mendaftarkan mereknya di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual. Undang-undang no. 21 tahun 1961 tentang merek yang menganut sistem deklaratif, oleh berbagai kalangan industri dianggap tidak memberikan kepastian hukum atas merek terdaftar yang nota bene diajukan dengan biaya yang relatif besar dan memakan waktu proses panjang untuk memperoleh setrtifikat atas merek, oleh karenanya diusulkan agar diadakan perobahan sistem dari deklaratif ke sistem konsitutif sebagai mana di tetapkan dalam undang-undang no. 15 tahun 2001 tentang merek. 13
Undang-undang no. 15 tahun 2001 tentang merek diundangkan pada tanggal 1 Agustus 2001 dengan Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2001 nomor 110, beberapa hal yang membedakan undang-undang no. 15 tahun 2001 dengan undangundang merek sebelumnya antara lain adalah hal-hal sebagai berikut: 1. Proses penyelesaian permohonan Dalam undang-undang merek yang lama undang-undang no. 19 tahun 1992 pemeriksaan Substantif atas suatu permohonan merek dilakukan setelah selesainya masa pengumuman merek tersebut, sedangkan dalam undang-undang no. 15 tahun 2001 pemeriksaan Substantif dilakukan setelah lengkapnya Persyaratan administrasi. Hasil pemeriksaan Substantif menentukan apakah ada persamaan merek yang dimohonkan dengan merek pihak lain yang sudah terdaftar lebih dahulu, dan apabila tidak ada persamaan dengan merek pihak lain baru permohonan merek tersebut diumumkan dalam Berita Resmi merek paling lama 10 (sepuluh) hari sejak tanggal disetujuinya permohonan untuk didaftar. Permohonan merek yang hasil pemeriksaan Substantif nya menyatakan bahwa merek yang dimohonkan ada persamaan dengan merek pihak lain yang sudah terdaftar,oleh Direktorat Jenderal HKI memberi tahukan rencana penolakan atas permohonan merek tersebut secara tertulis kepada pemohon atau kuasanya, atas hal tersebut pemohon dapat mengajukan keberatan atau sanggahan atas hasil pemeriksaan Substantif tersebut. 14
2. Penyelesaian Sengketa Merek Perbedaan yang paling menonjol dari UU No. 15 tahun 2001 dengan undang-undang merek sebelumnya adalah masalah penyelesaian sengketa merek. Dalam undang-undang merek yang lama penyelesaian sengketa merek diajukan ke Pengadilan Negeri sampai ketingkat kasasi, dan biasanya penyelesaian sengketa merek tersebut memakan waktu bertahun-tahun. Dalam Undang-undang No. 15 tahun 2001 gugatan perkara merek diajukan ke Pengadilan Niaga dan tidak mengenal upaya banding tetapi langsung kasasi dan diperkirakan total lama penyelesaian adalah 90 hari di Pengadilan Niaga dan 90 hari penyelesaian di Mahkamah Agung. Hal ini sangat disadari oleh para pembuat Undang-undang bahwa kalangan Industri memerlukan suatu kepastian yang cepat atas sengketa merek, dalam langkah menopang dunia usaha. Dalam Undang-Undang No. 15 tahun 2001 tentang merek terdapat beberapa macam gugatan merek yang dapat diajukan ke Pengadilan Niaga yaitu : 1. Gugatan terhadap penolakan permohonan perpanjangan yang penolakannya oleh Direktorat Jenderal HAKI dengan alasan sebagai berikut: A. Bahwa merek tersebut dianggap oleh Direktorat Jenderal HKI tidak dipakai. B. Merek tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek terkenal milik orang lain, (pasal 37 ayat 4). 2. Gugatan atas penghapusan merek terdaftar oleh Ditjen HKI dengan alasan merek tidak dipakai atau dipakai tapi tidak sesuai dengan merek yang terdaftar (Pasal 61 Ayat 5). 15
3. Gugatan penghapusan pendaftaran merek oleh pihak ketiga dengan alasan bahwa merek tersebut tidak dipakai atau dipakai tapi tidak sesuai dengan yang terdaftar (Pasal 63). 4. Gugatan penghapusan pendaftaran merek kolektif oleh pihak ketiga dengan alasan bahwa merek kolektif tersebut tidak dipakai atau dipakai tidak sesuai dengan merek kolektif terdaftar (Pasal 67). 5. Gugatan pembatalan pendaftaran merek berdasarkan alasan sebagai berikut: 5.1. Merek terdaftar dimohonkan oleh pemilik merek dengan ITIKAD TIDAK BAIK (Pasal 4). 5.2 Merek terdaftar dianggap bertentangan dengan kesusilaan, agama, moraliltas dan ketertiban umum atau tidak memiliki daya pembeda, telah menjadi milik umum (Pasal 5). 6. Gugatan pemilik merek terdaftar terhadap pihak lain yang secara tanpa hak menggunakan merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhan, berupa. 6.1. Gugatan ganti rugi 6.2. Gugatan penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan merek tersebut (pasal 76 ayat 1 dan 2). 7. Gugatan atas penolakan permohonan banding. Dalam hal suatu permohonan merek ditolak oleh Ditjen HKI berdasarkan alasan permohonan oleh pemohon beritikad tidak baik (pasal 4), maupun penolakan karena alasan bertentangan dengan agama kesusilaan ketertiban umum (pasal 5), ataupun penolakan karena merek yang dimohonkan mempunyai 16
persamaan pada pokoknya atau keseluruhan dengan merek pihak lain (pasal 6), pemohon dapat mengajukan keberatan/banding kepada Komisi Banding Merek dalam waktu 3 (tiga) bulan terhitung sejak Tanggal Surat Pemberitahuan Penolakan Permohonan pendaftaran merek tersebut. Komisi Banding Merek setelah melihat dan mempertimbangkan semua dokumen dan argumentasi dari pemohon akan memutuskan : 7.1. Menerima permohonan banding, dan untuk itu memutuskan agar Ditjen HKI menerbitkan sertifikat pendaftaran merek tersebut. 7.2. Menolak permohonan banding, dan memberitahukan hal tersebut secara tertulis kepada pemohon banding,dan atas penolakan komisi banding tersebut pemohon banding dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Niaga. Komisi Banding merek adalah badan Khusus yang independen, anggotanya terdiri dari pemeriksa merek yang senior ditambah anggota dari kalangan akademis, dan anggarannya diambilkan dari anggaran pendapatan dan belanja negara. Pembentukan Komisi Banding dimaksudkan untuk memberikan rasa keadilan. Pemohon pendaftaran merek yang merasa keberatan terhadap putusan penolakan permohonan mereknya dapat mengajukan permohonan banding kepada Komisi Banding. Permohonan Banding tersebut hanya dapat diajukan berdasarkan alasan yang bersifat Substantif sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 (Permohonan beritikad tidak baik), pasal 5 (norma agama dan kesusilaan), pasal 6 (Merek yang bersamaan dengan merek orang lain). 17
Sebenarnya permasalahan hukum atas merek adalah suatu hal yang sangat sederhana, yaitu apakah suatu merk yang diajukan permohonannya ada persamaan dengan merek orang lain yang sudah terdaftar pada kantor Ditjen HKI.Tetapi dalam prakteknya hal tersebut menjadi hal yang rumit, karena tidak adanya batasan yang sangat jelas bahwa suatu merek orang lain mempunyai persamaan pada pokoknya dengan merek orang lain yang sudah terdaftar lebih dahulu. Dalam Undang-undang No. 15 tahun 2001 tentang merek disebutkan ada beberapa kriteria untuk menolak suatu permohonan pendaftaran merek yaitu : 1. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhan dengan merek pihak lain yang sudah terdaftar lebih dahulu untuk barang atau jasa yang sejenis. 2. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhan dengan merek yang sudah terkenal milik pihak lain. 3. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhanya dengan indikasi geograpis yang sudah terkenal. 4. Merupakan atau menyerupai nama orang terkenal, Foto, atau nama Badan Hukum yang dimiliki pihak lain. 5. Merupakan tiruan atau menyerupai nama atau singkatan nama, bendera, lambang atau simbol atau emblem negara atau lembaga nasional maupun internasional. 6. Merupakan tiruan atau menyerupai tanda atau cap atau stempel resmi yang digunakan oleh negara atau lembaga pemerintah. 18
Merek adalah suatu " tanda " yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang dan jasa. Merek tersebut sangat bermanfaat bagi konsumen untuk mengidentifikasi suatu produk yaitu tentang asal atau pabrikan dari produk tersebut, sebaliknya juga untuk produsen sangat perlu menjaga kualitas suatu produk dengan memakai merek tertentu yang sudah dikenal konsumen akan kualitas produk tersebut. Membangun dan mempertahankan suatu merek di perlukan waktu yang lama dan biaya yang tidak sedikit antara lain melalui pemasangan iklan dimedia cetak, media elektronik bahkan berupa spanduk diberbagai tempat yang strategis. Suatu merek yang sudah dikenal konsumen akan tetap dicari konsumen karena sudah diketahui mutu dan kualitas produk tersebut, sehingga ada anggapan bahwa sebenarnya lebih besar sisi perlindungan produsen dari pada perlindungan konsumen atas suatu merek. Suatu merek yang sudah terkenal akan selalu menjadi objek peniruan bahkan pemalsuan oleh pihak lain, yang tidak mau bersusah payah membangun image suatu merek. 1. RUMUSAN MASALAH Dari apa yang diuraikan dalam latar belakang diatas, maka masalah yang diteliti adalah hal sebagai berikut: 19
1. Bagaimana praktek pemeriksaan merek dengan Itikad Tidak Baik oleh Ditjen HKI sebagaimana tertuang dalam undang-undang no. 15 tahun 2001 tentang merek. 2. Bagaimana praktek penapsiran lembaga peradilan atas merek dengan Itikad Tidak Baik, ditingkat Pengadilan Niaga maupun pada Mahkamah Agung RI. 3. Hal-hal apa yang tepat dilakukan oleh pemegang Hak atas merek agar terhindar dari peniruan oleh pihak yang beritikad tidak baik, dan upaya pemohon merek agar terhindar dari gugatan pihak lain yang menganggap adanya Itikad Tidak Baik dari pemohon pendaftaran merek tersebut. 2. ORIGINALITAS PENELITIAN Penulis berusaha mengadakan penelusuran secara kepustakaan dan menemukan beberapa penelitian dibidang merek, tetapi pada umumnya penelitian tesebut bersifat umum atas Undang-undang merek yang lama maupun Undangundang No. 15 tahun 2001 tentang merek, dan belum ada yang mengadakan penelitian atas merek atau perkara merek yang dilandaskan pada " Itikad Tidak Baik ", oleh karena itu penelitian dan pengkajian ini adalah suatu hal yang baru dan asli. 20
3. MANFAAT PENELITIAN 3.1. Perkembangan Ilmu Hukum Hasil pengkajian dan penelitian ini diharapkan akan bermanfaat dalam pengembangan ilmu hukum terutama dalam kaitan hukum bisnis yang sangat berkembang di era perdagangan global sekarang ini, dan penelitian ini akan menjadi bahan bagi penelitian selanjutnya dibidang Hak Kekayaan Intelektual khususnya dibidang merek. 3.2. DITJEN HKI Hasil pengkajian dan penelitian ini diharapkan memberikan masukan sebagai bahan pemikiran dalam melaksanakan pemberian Hak atas merek, dan lebih jauh lagi akan dapat menjadi bahan untuk revisi Undang-undang merek yang sedang diusahakan oleh Ditjen HKI. 3.3. LEMBAGA PERADILAN Penelitian dan pengkajian atas merek dengan " Itikad Tidak Baik " ini akan menjadi masukan dan cermin bagi Lembaga Peradilan untuk melihat putusan perkara merek yang didasarkan dengan merek Itikad Tidak Baik, karena bukan tidak mungkin putusan Pengadilan Niaga bahkan Mahkamah Agung bertentangan dalam menafsirkan merek " Itikad Tidak Baik " dalam perkara yang satu dengan perkara yang lainnya. 21
3.4. MASYARAKAT KHUSUSNYA PEMILIK MEREK Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu para pengusaha untuk terhindar dari tindakan memakai merek dengan Itikad Tidak Baik, sehingga dalam memohon suatu permohonan pendaftaran merek sudah mengetahui rambu-rambu merek dengan " Itikad Tidak Baik ", dan masyarakat sebagai konsumen mendapat gambaran atas berbagai merek yang beredar secara luas di pasaran. B. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini mempunyai tujuan 1. Untuk menganalisa pelaksanaan dan penapsiran atas merek dengan " Itikad Tidak Baik " sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang No. 15 tahun 2001 tentang merek. 2. Untuk mengetahui praktek yang dilakukan oleh Ditjen HKI dalam penolakan suatu permohonan merek dengan alasan " Itikad Tidak Baik " 3. Untuk mengetahui putusan badan peradilan atas gugatan perkara merek yang berlandaskan " Itikad Tidak Baik " 4. Memberikan Informasi dan masukan kepada para pemohon pendaftaran merek dan pemilik merek terdaftar, agar terhindar dari perbuatan-atau tuntutan merek dengan " Itikad Tidak Baik " 22