BAB I PENDAHULUAN. orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak

JURNAL IMPLEMENTASI HAK KORBAN UNTUK MENDAPATKAN RESTITUSI MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN. Hak-hak korban pelanggaran HAM berat memang sudah diatur dalam

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. nasional. Adanya ketidakseimbangan antara perlindungan terhadap. korban kejahatan dengan perlindungan terhadap pelaku, merupakan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal

MAKALAH. Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM. Oleh: Eko Riyadi, S.H., M.H.

MASUKAN KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN ATAS PERUBAHAN UU NO. 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN.

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

BAB I PENDAHULUAN. sosial yang khususnya berkaitan dengan hukum, moralitas serta ketidakadilan.

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan nasional Indonesia bertujuan mewujudkan manusia

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana

BAB III PENUTUP. sebagai jawaban dari permasalahan dalam penulisan hukum ini yakni bahwa:

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan menyimpang yang ada dalam kehidupan masyarakat. maraknya peredaran narkotika di Indonesia.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. mengadakan wawancara terhadap responden yang telah ditentukan oleh penulis,

Program Pascasarjana Ilmu Hukum FAKULTAS HUKUM Universitas Brawijaya

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana.

BAB I PENDAHULUAN. terbendung lagi, maka ancaman dahsyat semakin mendekat 1. Peredaran

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

NOMOR : M.HH-11.HM th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum

BAB I PENDAHULUAN. Tercatat 673 kasus terjadi, naik dari tahun 2011, yakni 480 kasus. 1

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PIMPINAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PIMPINAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN REPUBLLIK INDONESIA,

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PADA RAPAT PARIPURNA DPR-RI TANGGAL 18 JULI 2006

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Aktivitas Perlindungan Saksi Dan Korban Dalam Lingkup Kerja Lpsk. Disusun Oleh: Kombes Pol (Purn). basuki Haryono, S.H., M.H.

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan tindak pidana dalam kehidupan masyarakat di

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

JURNAL REALISASI LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (LPSK) DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN TERHADAP SAKSI DAN KORBAN DI DAERAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan

2018, No terhadap korban tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat, terorisme, perdagangan orang, penyiksaan, kekerasan seksual, da

Rekomendasi/Usulan Perubahan UU No. 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Aliansi Indonesia Damai (AIDA)

V. KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan pembahasan diatas dan dari hasil penelitian yang dilakukan, maka

BAB I PENDAHULUAN. pemberian sanksi atas perbuatan pidana yang dilakukan tersebut. 1. pidana khusus adalah Hukum Pidana Militer.

BAB I PENDAHULUAN. Hak Asasi merupakan isu pesat berkembang pada akhir abad ke-20 dan pada permulaan

BAB I PENDAHULUAN. memberikan efek negatif yang cukup besar bagi anak sebagai korban.

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Posisi korban tindak pidana mengandung masalah hukum yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. buruk bagi perkembangan suatu bangsa, sebab tindak pidana korupsi bukan

BAB I PENDAHULUAN. maraknya penggunaan media elektronik mulai dari penggunaan handphone

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2018 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN

2018, No terhadap korban tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat, terorisme, perdagangan orang, penyiksaan, kekerasan seksual, da

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. membahayakan stabilitas politik suatu negara. 1 Korupsi juga dapat diindikasikan

-2- Di dalam Pasal 7 ayat (4) dinyatakan bahwa pemberian Kompensasi bagi Korban tindak pidana terorisme dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-Un

BAB I PENDAHULUAN. generasi penerus bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan. memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara.

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berbicara hukum, menyebabkan kita akan dihadapkan dengan hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan pergaulan

BAB I PENDAHULUAN. yaitu masalah pidana yang diancamkan terhadap pelanggaran tertentu 2. Topik

BAB I PENDAHULUAN. hukum seperti telah diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang No. 35 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki derajat yang sama dengan yang lain. untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran. Dalam Pasal 2 Undang-undang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Narkotika diperlukan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Salah satu tindak kejahatan yang menjadi fenomena akhir-akhir ini

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Permasalahan mengenai penggunaan Narkotika semakin hari

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar tahun 1945 yaitu melindungi segenap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah salah satu Negara yang sangat menentang tindak

BAB I PENDAHULUAN. yang berkaitan dengan modus-modus kejahatan.

PEMETAAN LEGISLASI INDONESIA TERKAIT DENGAN PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN. Supriyadi Widodo Eddyono

BAB I PENDAHULUAN. kepentingan dan hak asasi yang menderita. 1 Korban kejahatan yang pada

BAB I PENDAHULUAN. diperiksa oleh hakim mengenai kasus yang dialami oleh terdakwa. Apabila

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat tidak pernah lepas dengan. berbagai macam permasalahan. Kehidupan bermasyarakat akhirnya

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia adalah negara berdasarkan UUD 1945 sebagai konstitusi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hak dan kewajiban merupakan sesuatu yang melekat dan menyatu pada

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. tabu untuk dilakukan bahkan tidak ada lagi rasa malu untuk

BAB I PENDAHULUAN. dan kodratnya. Karena itu anak adalah tunas, potensi dan generasi muda penerus

-2- dialami pihak korban dalam bentuk pemberian ganti rugi dari pelaku atau Orang Tua pelaku, apabila pelaku merupakan Anak sebagai akibat tindak pida

BAB I PENDAHULUAN. dan pengembangan ilmu pengetahuan. Indonesia dan negara-negara lain pada

13 ayat (1) yang menentukan bahwa :

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2002 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. manusia dalam pergaulan di tengah kehidupan masyarakat dan demi kepentingan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

BAB I PENDAHULUAN. dipandang sebagai extra ordinary crime karena merupakan tindak pidana yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Pidana Penjara Seumur Hidup (selanjutnya disebut pidana seumur hidup)

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang Undang Dasar 1945 pasal 28 D butir 1 mengatur bahwa, setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Dalam hal penerapan pasal pasal yang terdapat di dalam Undang Undang tersebut masih terdapat perlakuan yang tidak sama antara orang yang satu dengan orang yang lain. Berdasarkan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006, Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Pasal 1 ayat (2) Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Oleh sebab itu, dapat dikatakan setiap orang yang telah menjadi korban dari suatu tindak pidana seharusnya mendapat perlindungan karena telah mengalami penderitaan dan atau kerugian akibat dari suatu tindak pidana. Pada dewasa ini meskipun pemerintah telah mengeluarkan Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, namun dalam kenyataannya masih saja ada korban suatu tindak pidana yang diabaikan haknya. Hal tersebut dapat mengganggu hak seseorang untuk hidup yang lebih baik, aman, damai, dan sejahtera. Salah satu hak korban tindak pidana menurut Pasa l7 Ayat (1) Undang Undang nomor 13 tahun 2006, Tentang Perlindungan 1

2 Saksi dan Korban adalah yang mengatur bahwa, Korban melalui LPSK berhak mengajukan ke pengadilan berupa: 1. Hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat; 2. Hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggungjawab pelaku tindak pidana. Pada satu sisi aturan hukum tersebut telah memberi peluang bagi korban suatu tindak pidana berhak untuk mendapatkan imbalan yang setimpal sesuai dengan penderitaan dan atau kerugian yang telah dialaminya, akan tetapi tidak semua orang yang menjadi korban dari suatu tindak pidana dapat memberanikan dirinya untuk mengajukan permohonan restitusi. Disamping penderitaan dan atau kerugian yang dialami oleh korban tindak pidana, orang tersebut telah merasa keadaannya terpuruk, minder, dan atau malu dengan masyarakat sekitar tempat tinggalnya atau juga dapat disebabkan hal hal lain yang berkaitan dengan fisik dan atau psikis orang tersebut. Jika dikaitkan dengan masalah perlindungan dan atau pemulihan terhadap korban suatu tindak pidana, maka restitusi adalah salah satu cara yang baik yang dapat dipergunakan dalam hal masalah perlindungan dan atau pemulihan terhadap korban suatu tindak pidana yang telah mengalami penderitaan dan atau kerugian. Pemulihan korban tindak pidana sangat membutuhkan campur tangan dari pemerintah, terutama yang berkaitan langsung dengan bidang perlindungan saksi dan korban. Ketika berbicara mengenai korban tindak pidana, maka tidaklah terlepas dari viktimologi. Pada umumnya tindak pidana tidak dapat terjadi tanpa ada

3 korbannya, pelaku tindak pidana memerlukan orang lain untuk dijadikan korban perbuatannya. Disini dapat dikatakan korban mempunyai peran fungsional dalam terjadinya tindak pidana. Tindak pidana (kejahatan) dapat terjadi karena ada pihak yang berperan, sadar atau tidak sadar, dikehendaki atau tidak sebagai korban. 1 Pentingnya pemberian restitusi atau ganti rugi yang diberikan oleh si pelaku terhadap korban tindak pidana yang dilakukannya harus mendapat perhatian khusus, dikarenakan korban adalah seseoarang yang sangat banyak mengalami penderitaan dan atau kerugian yang timbul akibat tindak pidana yang dialaminya. Berdasarkan latar belakang masalah permasalahan tersebut, maka penulis membahas lebih dalam dengan penelitian yang berjudul Implementasi Hak Korban Untuk Mendapatkan Restitusi Menurut Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban. B. Rumusan Masalah Berdasarkan Latar Belakang Masalah, dirumuskan rumusan masalah sebagai berikut: Bagaimanakah Implementasi Hak Korban Untuk Mendapatkan Restitusi Menurut Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban? 1 G. Widiatana, Sh.,M.Hum, 2009, Viktimologi Perspektif Korban Dalam Penanggulangan Kejahatan, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, hlm 26.

4 C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang diangkat penulis, maka tujuan penelitian hukum / skripsi ini adalah: 1. Untuk mengetahui implementasi hak korban untuk mendapatkan restitusi menurut Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban. 2. Untuk memperoleh data yang berkaitan langsung dengan hak korban untuk mendapatkan restitusi. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Bagi perkembangan ilmu pengetahuan, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran tentang hak korban untuk mendapatkan restitusi. 2. Manfaat Praktis Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi para penegak hukum Negara Republik Indonesia yaitu polri, kejaksaan, hakim dan terlebih khusus bagi lembaga perlindungan saksi dan korban, dalam hal hak korban untuk mendapatkan restitusi. E. Keaslian Penelitian Penelitian dengan judul Implementasi hak korban untuk mendapatkan restitusi menurut undang undang nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan

5 saksi dan korban merupakan asli hasil karya penulis sendiri dan bukan merupakan plagiasi dan atau duplikasi dari hasil karya penelitian penulis lain. Apabila hasil penelitian ini dikemudian hari terdapat hal hal yang dicurigai melanggar hukum, maka penulis untuk mempertanggungjawabkan hal tersebut di hadapan hukum. Oleh sebab itu dapat di buktikan dengan membandingan hasil karya penulis lain yang telah lebih dulu menulis sebelum hasil karya ini di tulis oleh penulis, yaitu sebagai berikut : 1. Andrianto Widi Baskoro, NPM 07 0509672, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Ham Berat Melalui Kompensasi Berdasarkan Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dengan rincian sebagai berikut : a. Rumusan Masalah : Mengapa pengaturan tentang kompensasi terhadap korban pelanggaran HAM berat dalam Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban tidak dapat di implementasikan? b. Hasil Penelitian 1) Kendala yuridis Pengaturan kompensasi dalam Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban tidak sesuai dengan prinsip prinsip dasar dan pedoman hak atas pemulihan untuk korban pelanggaran hukum HAM internasional dan hukum humaniter dan deklarasi prisip prinsip dasar keadilan bagi korban

6 kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan. Ketentuan dalam Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban masih menggantungkan adanya kesalahan dari terdakwa, artinya korban pelanggaran HAM berat akan mendapatkan kompensasi apabila terdakwa dinyatakan bersalah oleh pengadilan demikian pula sebaliknya, apbila terdakwa tidak dinyatakan bersalah oleh pengadilan, gugur pula hak korban pelanggaran HAM berat untuk mendapatkan kompensasi. 2) Belum efektifnya Lembaga KOMNAS HAM dalam melakukan penyilidikan terhadap kasus kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di Indonesia berkaitan dengan rekomendasi yang diberikan KOMNAS HAM sebagai salah satu syarat para korban pelanggaran HAM berat mengajukan kompensasi ke pengadilan HAM melalui LPSK, menyebabkan kasus kasus pelanggaran HAM berat tidak dapat diajukan ke Pengadilan HAM, sehingga menutup kemungkinan korban pelanggaran HAM berat mendapatkan kompensasi. 3) Prosedur pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc untuk mengadili kasus kasus pelanggaran HAM yang terjadi pada masa lalu harus mendapatkan persetujuan dari Presiden Republik Indonesia yang diusulkan oleh DPR, menyebabkan sulitnya membawa pelaku pelanggaran HAM berat pada masa lalu yang notabene pelaku pelanggaran HAM berat tersebut adalah orang orang yang

7 mempunyai kekuasaan pada masa lalu menyebabkan para korban pelanggaran HAM berat pada masa lalu tidak dapat menuntut haknya mendapatkan kompensasi melalui Pengadilan HAM. 2. Maria Kurniawati Lim, NPM 07 05 09601, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Dalam Proses Peradilan Pidana Setelah Berlakunya Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dengan rincian sebagai berikut : a. Rumusan masalah : 1) Bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap saksi dalam proses peradilan pidana setelah berlakunya Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban? 2) Kendala apa saja yg dihadapi terkait prlindungan hukum terhadap saksi dalam proses peradilan pidana setelah berlkunya Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban? b. Hasil Penelitian 1) Kendala yuridis Kendala yuridis yakni kendala yang dihadapi berkaitan dengan upaya perlindungan saksi dengan mengacu pada isi ketentuan Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban. Kendala yuridis perlindungan saksi yang ditemukan penulis sebagai berikut:

8 a) Hak asasi dalam Undang Undang No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban masih terbatas diberikan kepada saksi tindak pidana tertentu antara lain : tindak pidana korupsi, tindak pidana narkotika/psikotropika dan tindak pidana terorisme. Jika mencermati ketentuan pasal 5 ayat (2) yang menyatakan bahwa hak saksi pada pasal 5 ayat (1) diberikan kepada saksi tindak pidana dalam kasus kasus tertentu sesuai dengan keputusan LPSK dapat disimpulkan bahwa tidak semua saksi bisa mendapatkan perlindungan, hanya saksi dalam kasus kasus tertentu antara lain : tindak pidana korupsi, tindak pidana narkotika/psikotropika, tindak pidana terorisme, dan tindak pidana lain yang mengakibatkan posisi saksi dan korban dihadapkan pada situasi yang sangat membahayakan jiwanya. Pasal ini hanya menitikberatkan pada satu syarat pemberian perlindungan saja yakni tingkat ancaman yang membahayakan saksi. Sedangkan dalam ketentuan Pasal 28 Undang Undang No. 13 Tahun 2006, terdapat empat syarat untuk memperoleh perlindungan yang berlaku kumulatif. Kempat syarat ini dalam pelaksanaannya tidak bisa dipisahkan satu sama lain. hal ini menimbulkan suatu kerancuan dalam pemahaman tentang pemberian perlindungan bagi saksi.

9 b) Tidak adanya ketentuan pemberian penterjemah bagi saksi yang menderita cacat seperti buta dan/atau tuli. Pasal 5 ayat (1) huruf d Undang Undang No. 13 Tahun 2006 ini dalam penjelasannya menyatakan bahwa hak mendapat penerjemah diberikan kepada saksi yang tidak lancar berbahasa Indonesia untuk memperlancar persidangan. Undang Undang ini tidak mengatur adanya hak pemberian penerjemah pada saksi yang menderita bisu dan/atau tuli, hanya mengkhususkan pemberian penerjemah pada saksi yang tidak lancar berbahasa indonesia. Upaya perlindungan Saksi akan mengalami kendala jika terdapat Saksi yang mengalami cacat seperti bisu dan tuli. c) Adanya kendala berkaitan dengan kurangnya dana. Hak hak saksi sebagaimana yang tercantum dalam pasal 5 ayat (1) terutama dalam huruf j, k dan m dalam realisasinya tentu membutuhkan biaya yang besar.pasal tersebut mengatur bahwa seorang Saksi dan Korban berhak mendapatkan tempat kediaman baru, memperoleh penggantian biaya transportasi seusai dengan kebutuhan, dan memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir.biaya yang dibutuhkan ini di tanggung oleh Negara.Mengingat dalam pembentukan LPSK sendiri sudah menelan banyak biaya, jika ditambah lagi dengan realisasi hak hak Saksi tentu membutuhkan biaya yang sangat banyak. Oleh karena itu Negara

10 dalam hal ini pemerintah harus mendukung dalam hal dana khusus berkaitan dengan pemenuhan hak hak ini. Kekurangan dana yang dimiliki oleh pemerintah akan menjadi masalah ketika harus ada realisasi pemenuhan hak hak Saksi tersebut. Hal ini akan menjadi masalah lagi ketika bukan saja satu Saksi yang ditangani, melainkan banyaknya jumlah Saksi yang membutuhkan perlindungan. d) Sebelum terbentuknya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) secara merata di setiap daerah Indonesia. Berdasarkan ketentuan Pasal 11 Undang Undang No.13 Tahun 2006 tentang perlindungan Saksi dan Korban, diatur bahwa LPSK berkedudukan di Ibu Kota Negara Republik Indonesia dan mempunyai perwakilan di daerah sesuai keperluan. Ketentuan ini secara tidak langsung telah mengisyaratkan bahwa tidak ada kewajiban mendirikan LPSK di setiap daerah. Hal ini akan menyulitkan bagi Saksi yang ingin mengajukan permohonan perlindungan terkait dengan adanya ancaman yang dialaminya. Apabila domisili Saksi berada diluar wilayah jakarta, akan menghambat perolehan perlindungan bagi Saksi dimana akan membutuhkan banyak waktu dan biaya demi memperoleh perlindungan. Justru yang akan terjadi adalah tidak berlakunya Undang Undang ini secara efektif sesuai dengan yang diharapkan. Setiap saksi justru tidak bisa memperoleh

11 perlindungan walaupun mungkin segala ketentuan tentang syarat syarat untuk memperoleh perlindungan dapat dipenuhi. 2) Kendala non Yuridis Kendala non yuridis yakni kendala yang dihadapi berkaitan dengan upaya perlindungan Saksi yang tidak mengacu pada isi ketentuan Undang Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, namun mempengaruhi pelaksanaan upaya perlindungan Saksi. Kendala non Yuridis dalam upaya perlindungan Saksi yakni masih kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai Undang Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Sosialisasi LPSK belum optimal, banyak pihak yang belum tahu apa itu LPSK bahkan UU PSK tidak diketahui ada. Kendala ini juga diakui oleh bapak Teguh Wahono yang mengatakan bahwa kurangnya sosialisasi mengenai Undang Undang No. 13 Tahun 2006 ini kepada masyarakat merupakan kendala tersendiri dalam upaya perlindungan terhdap saksi. Undang Undang Perlindungan Saksi dan Korban ini diundangkan pada bulan Agustus 2006 dan termasuk Undang Undang yang baru dalam kurun waktu 5 Tahun belakangan ini. Masyarakat belum mengetaui dan memahami secara utuh terutama mengenai Undang Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban terutama tata cara pengajuan permohonan untuk mendapatkan perlindungan Saksi. Hal ini akan mengakibatkan masyarakat yang

12 menjadi Saksi sulit bahkan tidak tahu bagaimana cara mengajukan permohonan demi mendapat perlindungan. F. Batasan Konsep 1. Korban Menurut Pasal 1 ayat (2) Undang Undang nomor 13 tahun 2006, Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana 2. Restitusi Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Restitusi adalah ganti kerugian; pembayaran kembali. 3. Perlindungan Menurut Pasal 1 ayat (6) Undang Undang nomor 13 tahun 2006, Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada Korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini. G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian. Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang berfokus pada norma hukum positif.

13 2. Sumber Data. Sumber data yang digunakan dalam penetian hukum normatif ini adalah berupa data sekunder, yang terdiri dari : a. Bahan hukum primer 1) Undang Undang Dasar 1945, Pasal 28d butir 1. 2) Undang Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Pasal 1 butir 1, butir 2, dan butir 6, Pasal7 ayat (1),ayat (2), dan ayat (3). 3) Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi,Dan Bantuan Kepada Saksi Dan Korban, Pasal 20 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3). b. Bahan hukum sekunder Berupa pendapat hukum dari berbagai buku yang berkaitan dengan korban, hukum perlindungan saksi dan korban, dan kamus serta bahan dari internet. 3. Metode pengumpulan data Jenis penelitian yang akan diteliti adalah penelitian hukum normatif, maka metode pengumpulan data yang akan digunakan adalah: 1) Studi kepustakaan dilakukan dengan membaca, mempelajari, dan memahami buku buku, peraturan perundang undangan, pendapat hukum, dan non hukum yang erat kaitannya dengan materi yang diteliti. 2) Wawancara

14 Wawancara adalah suatu bentuk komunikasi verbal.wawancara dalam penelitian ini dilakukan langsung kepada petugas dan atau staf Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban untuk memperoleh data langsung berapa banyak korban tindak pidana yang mendapatkan restitusi. 4. Analisis data Analisis data dilakukan secara kuantitatif, yaitu data yang ada dibuat dalam kata kata dan atau kalimat kalimat. Data kuantitatif tersebut dianalisis dengan metode berfikir induktif, yaitu pola berfikir yang mendasarkan pada hal hal yang bersifat khusus, kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat umum. H. Sistematika Skripsi 1. BAB I PENDAHULUAN Bab ini berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, keaslian penelitian, batasan konsep, metode penelitian, dan sistematika skripsi. 2. BAB II RESTITUSI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA Bab ini beirisi konsep/variabel pertama yaitu Hak Korban Tindak Pidana, konsep/variabel kedua yaitu Pentingnya Restitusi Terhadap Korban Tindak Pidana, dan hasil penelitian yang dilakukan di Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. 3. BAB III PENUTUP Bab ini berisi kesimpulan dan saran.