BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

dokumen-dokumen yang mirip
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN

2018, No terhadap korban tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat, terorisme, perdagangan orang, penyiksaan, kekerasan seksual, da

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2018 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN

2018, No terhadap korban tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat, terorisme, perdagangan orang, penyiksaan, kekerasan seksual, da

Institute for Criminal Justice Reform

2017, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang d

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2017 TENTANG PELAKSANAAN RESTITUSI BAGI ANAK YANG MENJADI KORBAN TINDAK PIDANA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ]

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG

-2- Di dalam Pasal 7 ayat (4) dinyatakan bahwa pemberian Kompensasi bagi Korban tindak pidana terorisme dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-Un

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Draft RPP pemberian Kompensasi & Restirusi Korban Pemerintah 2006

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MASUKAN KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN ATAS PERUBAHAN UU NO. 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059]

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA [LN 1997/10, TLN 3671]

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG. A. Pengaturan Tindak Pidana Perdagangan Orang Menurut KUHP

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA [LN 1997/67, TLN 3698]

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BUPATI BULUNGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK TERHADAP TINDAK KEKERASAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BERITA NEGARA. No.711, 2013 MAHKAMAH AGUNG. Penyelesaian. Harta. Kekayaan. Tindak Pidana. Pencucian Uang. Lainnya PERATURAN MAHKAMAH AGUNG

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA OLEH KORPORASI

-2- dialami pihak korban dalam bentuk pemberian ganti rugi dari pelaku atau Orang Tua pelaku, apabila pelaku merupakan Anak sebagai akibat tindak pida

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PEMERINTAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU

UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG C U K A I [LN 1995/76, TLN 3613]

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

BAB III DESKRIPSI ASPEK PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KORBAN PERDAGANGAN ANAK DAN PEREMPUAN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Rekomendasi/Usulan Perubahan UU No. 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Aliansi Indonesia Damai (AIDA)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2013, No.50 2 Mengingat c. bahwa Indonesia yang telah meratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (K

DAFTAR ISI Halaman...3 Halaman...33 Halaman...49 Halaman...59

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyeles

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

RUU Perlindungan Korban dan Saksi Draft Sentra HAM UI dan ICW, Juni 2001 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI SEMARANG PROPINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI SEMARANG NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

Lex Privatum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG BANTUAN HUKUM UNTUK MASYARAKAT MISKIN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2017, No kementerian/lembaga tanpa pernyataan dirampas, serta relevansi harga wajar benda sitaan Rp300,00 (tiga ratus rupiah) yang dapat dijual

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Bab IX : Sumpah Palsu Dan Keterangan Palsu

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PIMPINAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN

UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG [LN 2002/30, TLN 4191]

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

NOMOR : M.HH-11.HM th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874]

Presiden Republik Indonesia,

Transkripsi:

16 BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA A. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Tindak pidana perdagangan orang telah dikriminalisasi dalam hukum Indonesia. Perdagangan disebut secara eksplisit dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai berikut : Pasal 297 KUHP menyatakan bahwa : Perdagangan wanita (umur tidak disebutkan) dan perdagangan anak -anak lakilaki yang belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun Pasal 324 KUHP menyatakan bahwa : Barangsiapa dengan biaya sendiri atau biaya orang lain menjalankan perniagaan budak atau melakukan perbuatan perniagaan budak atau dengan sengaja turut serta secara langsung atau tidak langsung dalam salah satu perbuatan diatas, diancam dengan pidana penjara paling lama 12 tahun Pasal 297 KUHP menjelaskan bahwa perbuatan yang dilarang adalah melakukan perdagangan perempuan dan laki laki di bawah umur, sementara pada perkembangan saat ini yang menjadi korban tindak pidana perdagangan orang tidak hanya terbatas pada perempuan dan anak laki laki di bawah umur saja, melainkan sudah meluas, yang tidak terbatas pada usia dan jenis kelamin. Sehingga Pasal 297 KUHP sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kehidupan masyarakat, begitu juga dengan pengenaan sanksi yang diatur dalam Pasal 297 KUHP. Sanksi yang diberikan kepada pelaku tindak pidana perdagangan orang hanya diancam dengan pidana penjara paling lama 6 tahun. Hal ini dianggap sudah tidak relevan lagi dengan kondisi kehidupan masyarakat. Karena sanksi yang diberikan terlalu ringan dan tidak sebanding dengan kerugian yang sudah di alami oleh korban baik kerugian fisik maupun kerugian psikis. Walaupun perdagangan telah diatur dalam didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tetapi dalam praktiknya tidak memberikan perlindungan bagi korban. 16

17 Dengan demikian, pada Tahun 2007 Pemerintah melahirkan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Undang undang ini mengatur lebih khusus mengenai tindak pidana perdagangan orang. Pengaturan larangan untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang di atur dalam pasal 2 ayat 1 Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2007 yang berbunyi : Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penyulikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.120.000.000,00 (Seratus Dua Puluh Juta Rupiah) dan paling banyak Rp.600.000.000,00 (Enam Ratus Juta Rupiah). Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang juga memberikan perlindungan terhadap korban tindak pidana perdagangan orang. Korban tindak pidana perdagangan orang dapat berupa korban langsung ataupun korban tidak langsung. Korban langsung yaitu orang yang mengalami sendiri tindak pidana tersebut sedangkan korban tidak langsung yaitu anggota ahli waris atau keluarga korban yang mengalami tindak pidana perdagangan orang. Salah satu bentuk perlindungan terhadap korban adalah pemberian restitusi. Tindak lanjut pemberian restitusi diatur dalam pasal 48 sampai dengan pasal 50 Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. a. Pasal 48 1. Setiap korban tindak pidana perdagangan orang atau ahli warisnya berhak memperoleh restitusi. 2. Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa ganti kerugian atas: a. kehilangan kekayaan atau penghasilan ; b. penderitaan ; c. biaya untuk tindakan perawatan medis dan/atau psikologis dan/atau d. kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat dari perdagangan orang 3. Restitusi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan aatentang perkara tindak pidana perdagangan orang.

18 4. Pemberian restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sejak dijatuhkan putusan pengadilan tingkat pertama 5. Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dititipkan terlebih dahulu di pengadilan tempat perkara diputus 6. Pemberian restitusi dilakukan dalam 14 (empat belas) hari terhitung sejak diberitahukannya putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap 7. Dalam hal pelaku diputus bebas oleh pengadilan tingkat banding atau kasasi, maka hakim memerintahkan dalam putusannya agar uang restitusi yang dititipkan dikembalikan kepada yang bersangkutan. Dalam Pasal 48 ayat (1), dijelaskan bahwa mekanisme pengajuan restitusi dilaksanakan sejak korban melaporkan kasus yang dialaminya kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia setempat dan ditangani oleh penyidik bersamaan dengan penanganan tindak pidana yang dilakukan. Penuntut umum memberitahukan kepada korban tentang haknya untuk mengajukan restitusi, selanjutnya penuntut umum menyampaikan jumlah kerugian yang diderita korban akibat tindak pidana perdagangan orang bersamaan dengan tuntutan. Mekanisme ini tidak menghilangkan hak korban untuk mengajukan sendiri gugatan atas kerugiannya. Dalam ketentuan Pasal 48 ayat (5), penitipan restitusi dalam bentuk uang di pengadilan dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang undangan. Ketentuan ini disamakan dengan proses penanganan perkara perdata dalam konsinyasi. Restitusi yang disebutkan dalam Pasal 48 ayat (6) merupakan pembayaran riil (faktual) dari jumlah restitusi yang diputus yang sebelumnya dititipkan pada pengadilan tingkat pertama. b. Pasal 49 1. Pelaksanaan pemberian restitusi dilaporkan kepada ketua pengadilan yang memutuskan perkara, disertai dengan tanda bukti pelaksanaan pemberian restitusi tersebut 2. Setelah ketua pengadilan menerima tanda bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ketua pengadilan mengumumkan pelaksanaan tersebut di papan pengumuman pengadilan yang bersangkutan. 3. Salinan tanda bukti pelaksanaan pemberian restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh pengadilam kepada korban atau ahli warisnya.

19 c. Pasal 50 1. Dalam hal pelaksanaan pemberian restitusi kepada pihak korban tidak dipenuhi sampai melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam pasal 48 ayat (6), korban atau ahli warisnya memberitahukan hal tersebut kepada pengadilan 2. Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberikan surat peringatan secara tertulis kepada pemberi restitusi, untuk segera memenuhi kewajiban memberikan restitusi kepada korban atau ahli warisnya. 3. Dalam hal surat peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dilaksanakan dalam waktu 14 (empat belas) hari, pengadilan memerintahkan penuntut umum untuk menyita harta kekayaan terpidana dan melelang harta tersebut untuk pembayaran restitusi. 4. Jika pelaku tidak mampu membayar restitusi, maka pelaku dikenai pidana kurungan pengganti paling lama 1 (satu) tahun. Pengaturan Pasal 50 Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 menunjukkan adanya kemajuan terutama menyangkut tanggungjawab dari pelaku tindak pidana pedagangan orang kepada korban. Namun, kelemahan daripada pasal 50 ini terdapat pada ayat (4) yaitu adanya pengenaan aturan hukuman kurungan sebagai pengganti daripada pelaku. Masalah yang akan muncul adalah apabila pelaku tindak pidana perdagangan orang berupa korporasi, yang tidak mungkin dapat menjalankan hukuman pengganti berupa kurungan. Hukuman kurungan sifatnya hukuman badaniah, yang dapat dikenakan kepada manusia. Pengaturan Restitusi dalam Undang undang Nomor 21 Tahun 2007 bertujuan untuk menciptakan keseimbangan antara pelaku dan korban. Kedudukan pelaku dan korban mendapat perhatian dan pengaturan yang sama. Pelaku mendapat sanksi yang berupa pidana dan tindakan. Penerapan sanksi tersebut merupakan wujud bahwa setiap orang mempunyai kedudukan yang sama di depan hukum apabila mereka melanggar hukum. Sedangkan korban mendapat perlindungan. Penerapan persamaan kedudukan dalam hukum merupakan konsekuensi dari penghormatan dan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia. B. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban Lembaga perlindungan saksi dan korban yang dibentuk berdasarkan Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, memiliki peranan yang sangat penting dalam rangka penegakan hukum dan penanganan pelanggaran hak asasi

20 manusia. Perkembangan sistem peradilan pidana saat ini, tidak saja berorientasi kepada pelaku, tetapi juga berorientasi kepada kepentingan saksi dan korban. Oleh karena itu, kelembagaan LPSK harus dikembangkan dan diperkuat agar dalam menjalankan tugas, fungsi, dan kewenangannya dapat sinergis dengan tugas, fungsi, dan kewenangan lembaga penegak hukum yang berada dalam sistem peradilan pidana. 25 Dasar pertimbangan perlunya Undang Undang yang mengatur perlindungan korban kejahatan untuk segera disusun dengan jelas dapat dilihat pada bagian menimbang dari Undang Undang ini, yang antara lain menyebutkan penegak hukum sering mengalami kesukaran dalam mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku karena tidak dapat menghadirkan saksi dan/atau korban disebabkan adanya ancaman, baik fisik maupun psikis dari pihak tertentu. Padahal peran saksi dan/atau korban dalam suatu proses peradilan pidana menempati posisi kunci dalam upaya mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban mempunyai fungsi dan tugas sebagai berikut : 1. Memberikan layanan perlindungan dan bantuan kepada saksi dan korban dalam setiap proses peradilan pidana 2. Memfasilitasi langkah langkah pemulihan bagi korban tindak pidana khususnya dalam pengajuan kompensasi atau restitusi 3. Melakukan kerja sama dengan instansi terkait dan berwenang dalam pelaksanaan perlindungan saksi dan korban Pemulihan korban tindak pidana khususnya dalam pengajuan restitusi diatur dalam pasal 7 A Undang Undang Nomor 31 Tahun 2014. a. Pasal 7 A 1. Korban tindak pidana berhak memperoleh restitusi berupa : a. ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan b. ganti kerugian yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana; dan/atau c. penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis 25 Lihat penjelasan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban

21 2. Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan LPSK. 3. Pengajuan permohonan Restitusi dapat dilakukan sebelum atau setelah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap melalui LPSK. 4. Dalam hak permohonan Restitusi diajukan sebelum putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, LPSK dapat mengajukan Restitusi kepada penuntut umum untuk dimuat dalam tuntutannya. 5. Dalam hal permohonan Restitusi diajukan setelah putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap, LPSK dapat mengajukan Restitusi kepada pengadilan untuk mendapat penetapan. 6. Dalam hal korban tindak pidana meninggal dunia, Restitusi diberikan kepada Keluarga Korban yang merupakan ahli waris Korban. C. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2002 Tentang Kompensasi, Restitusi Dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Restitusi diatur dalam pasal 2 sampai dengan pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 Tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat. a. Pasal 2 1. Kompensasi, restitusi, dan atau rehabilitasi diberikan kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya. 2. Pemberian kompensasi, restitusi, dan atau rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilaksanakan secara tepat, cepat dan layak. Dalam Pasal 2 ayat (2) yang dimaksud dengan tepat adalah bahwa penggantian kerugian dan atau pemuliahan hak-hak lainnya diberikan kepada korban yang memang mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Yang dimaksud dengan cepat adalah bahwa penggantian kerugian dan atau pemulihan hak-hak lainnya diberikan kepada korban sesegera mungkin dalam rangka secepatnya mengurangi penderitaan korban. Yang dimaksud dengan layak adalah bahwa penggantian kerugian dan atau pemulihan hak-hak lainnya diberikan kepada korban secara patut berdasarkan rasa keadilan.

22 b. Pasal 4 Pemberian restitusi dilaksanakan oleh pelaku atau pihak ketiga berdasarkan perintah yang tercantum dalam amar putusan Pengadilan HAM. c. Pasal 6 1. Pengadilan HAM mengirimkan salinan putusan pengadilan HAM, Pengadilan Tinggi, atau Mahkamah Agung, yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap kepada Jaksa Agung. 2. Jaksa Agung melaksanakan putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dengan membuat berita acara pelaksanaan putusan pengadilan kepada Instansi Pemerintah terkait untuk melaksanakan pemberian kompensasi dan atau rehabilitasi, dan kepada pelaku atau pihak ketiga untuk melaksanakan pemberian restitusi. d. Pasal 7 Instansi Pemerintah Terkait melaksanakan pemberian kompensasi dan atau rehabilitasi serta pelaku atau pihak ketiga melaksanakan pemberian restitusi, paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak berita acara sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (2) diterima. e. Pasal 8 1. Pelaksanaan pemberian kompensasi, restitusi, dan atau rehabilitasi, dilaporkan oleh Instansi Pemerintahan yang terkait, pelaku, atau pihak ketiga kepada Ketua Pengadilan HAM yang memutus perkara, disertai dengan tanda bukti pelaksanaan pemberian kompensasi, restitusi dan atau rehabilitasi tersebut. 2. Salinan tanda bukti pelaksanaan pemberian kompensasi, restitusi, dan atau rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya. 3. Setelah Ketua Pengadilan HAM menerima tanda bukti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Ketua Pengadilan HAM mengumumkan pelaksanaan tersebut pada papan pengumuman pengadilan yang bersangkutan.

23 f. Pasal 9 1. Dalam hal pelaksanaan pemberian kompensasi, restitusi, dan atau rehabilitasi kepada pihak korban melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya dapat melaporkan hal tersebut kepada Jaksa Agung. 2. Jaksa Agung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) segera memerintahkan Instansi Pemerintah Terkait, pelaku, atau pihak ketiga untuk melaksanakan putusan tersebut paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal perintah tersebut diterima. g. Pasal 10 Dalam hal pemberian kompensasi, restitusi, dan atau rehabilitasi dapat dilakukan secara bertahap, maka setiap tahapan pelaksanaan atau kelambatan pelaksanaan harus dilaporkan kepada Jaksa Agung. D. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, Dan Bantuan Kepada Saksi Dan Korban Berdasarkan asas kesamaan hukum (equality before the law) yang menjadi salah satu cirri negara hukum, Kedudukan saksi dan korban dalam proses peradilan pidana harus diberi jaminan perlindungan hukum. Pemberian restitusi terhadap korban diatur dalam pasal 20 sampai dengan pasal 33 PP Nomor 44 Tahun 2008 yaitu sebagai berikut : a. Pasal 20 1. Korban tindak pidana berhak memperoleh restitusi 2. Permohonan untuk memperoleh restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh korban, keluarga atau kuasanya dengan surat kuasa khusus 3. Permohonan untuk memperoleh restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia diatas kertas bermaterai cukup kepada pengadilan melalui LPSK b. Pasal 21 Pengajuan permohonan restitusi dapat dilakukan sebelum atau setelah pelaku dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

24 c. Pasal 22 1. Permohonan restitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 memuat sekurangkurangnya : a. identitas pemohon; b. uraian tentang tindak pidana; c. identitas pelaku tindak pidana; d. uraian kerugian yang nyata-nyata diderita; dan e. bentuk restitusi yang diminta 2. Permohonan restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri : a. fotokopi identitas korban yang disahkan oleh pejabat yang berwenang; b. bukti kerugian yang nyata-nyata diderita oleh korban atau keluarga yang dibuat atau disahkan oleh pejabat yang berwenang; c. bukti biaya yang dikeluarkan selama perawatan dan/atau pengobatan yang disahkan oleh instansi atau pihak yang melakukan perawatan atau pengobatan; d. fotokopi surat kematian dalam hal korban meninggal dunia; e. surat keterangan dari Kepolisian Negara Republik Indoenesia yang menunjukkan permohonan sebagai korban tindak pidana; f. surat keterangan hubungan keluarga, apabila permohonan diajukan oleh keluarga; dan g. surat kuasa khusus, apabila permohonan restitusi diajukan oleh kuasa korban atau kuasa keluarga 3. Apabila permohonan restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) perkaranya telah diputus pengadilan dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, permohonan restitusi harus dilampiri kutipan putusan pengadilan tersebut. d. Pasal 23 1. LPSK memeriksa kelengkapan permohonan restitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 2. Dalam hal terdapat kekuranglengkapan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), LPSK memberitahukan secara tertulis kepada pemohon untuk melengkapi permohonan. 3. Pemohon dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal pemohon menerima pemberitahuan dari LPSK, wajib melengkapi berkas permohonan. 4. Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dilengkapi oleh pemohon, maka pemohon dianggap mencabut permohonannya. e. Pasal 24 Dalam hal berkas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dinyatakan lengkap, LPSK segera melakukan pemeriksaan substantif.

25 f. Pasal 25 1. Untuk keperluan pemeriksaan permohonan restitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, LPSK dapat memanggil korban, keluarga, atau kuasanya, dan pelaku tindak pidana untuk member keterangan. 2. Dalam hal pembayaran restitusi dilakukan oleh pihak ketiga, pelaku tindak pidana dalam memberikan keterangan kepada LPSK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menghadirkan pihak ketiga tersebut. g. Pasal 26 1. Dalam hal korban, keluarga, atau kuasanya tidak hadir untuk memberikan keterangan 3 (tiga) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah, permohonan yang diajukan dianggap ditarik kembali. 2. LPSK memberitahukan penarik kembali permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada pemohon. h. Pasal 27 1. Hasil pemeriksaan permohonan restitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dan Pasal 25 ditetapkan dengan keputusan LPSK, disertai dengan pertimbangannya. 2. Dalam pertimbangan LPSK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai rekomendasi untuk mengabulkan permohonan atau menolak permohonan restitusi. i. Pasal 28 1. Dalam hal permohonan restitusi diajukan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan pelaku tindak pidana dinyatakan bersalah, LPSK menyampaikan permohonan tersebut beserta keputusan dan pertimbangannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 kepada pengadilan yang berwenang. 2. Dalam hal permohonan restitusi diajukan sebelum tuntutan dibacakan, LPSK menyampaikan permohonan tersebut beserta keputusan dan pertimbangannya kepada penuntut umum, 3. Penuntut umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam tuntutannya mencantumkan permohonan restitusi beserta Keputusan LPSK dan pertimbangannya. 4. Salinan surat pengantar penyampaian berkas permohonan dan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), disampaikan kepada korban, keluarga atau kuasanta, dan kepada pelaku tindak pidana dan/atau pihak ketiga. j. Pasal 29

26 1. Dalam hal LPSK mengajuka permohonan rsetitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), pengadilan memeriksa dan menetapkan permohonan restitusi dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal permohonan diterima. 2. Penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada LPSK dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal penetapan. 3. LPSK menyampaikan salinan penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada korban, keluarga, atau kuasanya dan kepada pelaku tindak pidana dan/atau pihak ketiga dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal menerima penetapan. k. Pasal 30 1. Dalam hal LPSK mengajukan permohonan restitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2), putusan pengadilan disampaikan kepada LPSK dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal putusan. 2. LPSK menyampaikan salinan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada korban, keluarga atau kuasanya dan kepada pelaku tindak pidana dan/atau pihak ketiga dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal menerima putusan. l. Pasal 31 1. Pelaku tindak pidana dan/atau pihak ketiga melaksanakan penetapan atau putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dan Pasal 30 dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal salinan penetapan pengadilan diterima. 2. Pelaku tindak pidana dan/atau pihak ketiga melaporkan pelaksanaan restitusi kepada pengadilan dan LPSK. 3. LPSK membuat berita acara pelaksanaan penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). 4. Pengadilan mengumumkan pelaksanaan restitusi pada papan pengumuman pengadilan. m. Pasal 32 1. Dalam hal pelaksanaan pemberian restitusi kepada korban melampaui jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1), korban, keluarga, atau kuasanya melaporkan hal tersebut kepada pengadilan yang menetapkan permohonan restitusi dan LPSK

27 2. Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) segera memerintahkan kepada pelaku tindak pidana dan/atau pihak ketiga untuk melaksanakan pemberian restitusi, dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal perintah diterima. n. Pasal 33 Dalam hal pemberian restitusi dilakukan secara bertahap, setiap tahapan pelaksanaan atau keterlambatan pelaksanaan harus dilaporkan korban, keluarga atau kuasanya kepada pengadilan yang menetapkan atau memutuskan permohonan restitusi.