BAB II KAJIAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. Pendidikan menentukan kualitas sumber daya manusia di suatu negara,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat penting bagi seorang

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan optimal sesuai dengan potensi pribadinya sehingga menjadi

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI. hasil penelitian terdahulu yang pernah dilakukan oleh orang-orang yang lebih

LANDASAN TEORI. hasil belajar. Hasil belajar siswa pada hakikatnya adalah perubahan tingkah laku

BAB V MODEL BERBASIS MULTIKULTURAL DAN PEMBELAJARANYA DALAM MASYARAKAT DWIBAHASAWAN

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS. kearah yang lebih baik. Menurut Hamalik (2004:37) belajar merupakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Belajar merupakan proses perubahan tingkah laku siswa akibat adanya

BAB I PENDAHULUAN. Menurut UU No.20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional menyatakan. bahwa:

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. tingkah laku pada diri pribadinya. Perubahan tingkah laku inilah yang

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan suatu wahana untuk mengembangkan semua

BAB II KAJIAN TEORITIK. 1. Pengertian Kemampuan Pemahaman Konsep. konsep. Menurut Sudjiono (2013) pemahaman atau comprehension dapat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tiara Dara Lugina, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Setiap manusia mempunyai hak untuk memenuhi kebutuhannya

BAB II KAJIAN PUSTAKA. berkaitan dengan perilaku atau tingkah laku. Hasil belajar diukur

KAJIAN PUSTAKA. Dalam kegiatan belajar mengajar siswa melakukan aktivitas. Pengajaran yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. untuk mencari sendiri materi (informasi) pelajaran yang akan dipelajari

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. mendorong terjadinya belajar. Pembelajaran dikatakan berhasil apabila tujuantujuan

BAB I PENDAHULUAN. Menurut John Holt ( 1981 ) dalam bukunya How Children Fail

PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH DAN PEMBELAJARAN COOPERATIF DALAM PEMBELAJARAN APRESIASI KARYA SASTRA. Hesti Setya Harini*

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Hamalik (2001, 37) belajar adalah memperoleh. pengetahuan melalui alat indra yang disampaikan dalam bentuk perangsang

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan tujuan pendidikan secara umum. peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan model utama untuk meningkatkan kualitas

BAB I PENDAHULUAN. Sistem Pendidikan Nasional mengartikan pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana

BAB I PENDAHULUAN. kritis, kreatif dan mampu bersaing menghadapi tantangan di era globalisasi nantinya.

BAB I PENDAHULUAN. menghadapi berbagai tantangan dan hambatan. Salah satu tantangan yang cukup

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada era globalisasai saat ini suatu bangsa dituntut bersaing dan selalu

TINJAUAN PUSTAKA. A. Pembelajaran Kooperatif (Cooperatif Learning) Cooperative learning atau pembelajaran kooperatif adalah suatu model

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Oemar Hamalik (2001: 27) mengemukakan pengertian belajar adalah suatu proses

I. PENDAHULUAN. Pendidikan Nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang. Negara Republik Indonesia tahun 1945 berfungsi mengembangkan

BAB I PENDAHULUAN. dan nilai-nilai. Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan tujuan pendidikan nasional tersebut, maka menjadi. pemerintah, masyarakat, maupun keluarga. Namun demikian, pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. Belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN PUSTAKA. memperoleh suatu perubahan tingkah laku sebagai hasil pengalaman

Peningkatan Hasil Belajar, Pembelajaran Kooperatif, Team Assisted Individualization

BAB I PENDAHULUAN. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

*keperluan Korespondensi, HP: , ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Hamalik,1995:57) dalam ( memungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku tertentu, sehingga dalam

BAB V PEMBAHASAN. Fiqih dengan melalui penerapan model pembelajaraan kooperatif tipe picture and

PENINGKATAN AKTIVITAS BELAJAR DAN PRESTASI BELAJAR SISWA DENGAN MENGGUNAKAN METODE COOPERATIVE LEARNING

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan yang diselenggarakan di negara tersebut. Oleh karena itu, pendidikan

I. PENDAHULUAN. Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang semakin pesat menuntut sumber

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ayu Pipit Fitriyani, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan tidak hanya mencakup pengembangan intelektualitas saja, akan tetapi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pendidikan merupakan faktor utama dalam pembentukan pribadi

PENDAHULUAN. Terjadinya perubahan paradigma dalam metode belajar mengajar yang

BAB I PENDAHULUAN. cara menjelaskan dan mendefinisikan makna belajar (learning). Di antaranya

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat di era global

BAB I PENDAHULUAN. keahlian dimana program keahlian yang dilaksanakan di SMK disesuaikan dengan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. ada di sekitar individu. Menurut Sudjana dalam Rusman. (2011: 1) Belajar

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada prinsipnya proses belajar yang dialami manusia berlangsung sepanjang

KAJIAN PUSTAKAN. yang mereka dapat dan kegiatan yang mereka lakukan. Menurut Hamalik (2001:

BAB I PENDAHULUAN. lebih besar, karena kedudukannya sebagai orang yang lebih dewasa, lebih

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah suatu kompleks perbuatan yang sistematis untuk

Jurnal Kreatif Tadulako Online Vol. 4 No. 9 ISSN X

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2016 PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TGT DALAM PEMBELAJARAN PERMAINAN BOLA BESAR TERHADAP KERJASAMA SISWA

BAB I PENDAHULUAN. pembentukan diri secara utuh dalam arti pengembangan segenap potensi

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan investasi yang paling utama bagi setiap bangsa,

BAB II LANDASAN TEORI

I. PENDAHULUAN. timbul pada diri manusia. Menurut UU RI No. 20 Tahun 2003 Bab 1 Pasal 1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

2014 PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STAD TERHADAP KETERAMPILAN BERKOMUNIKASI TULISAN DAN PENGUASAAN KONSEP SISTEM EKSKRESI SISWA KELAS XI

BAB I PENDAHULUAN. bangsa yang bermartabat dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Secara spesifik

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Cindy Noor Indah putri, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Kajian Teori. 1. Aktivitas Belajar. Anak senantiasa berinteraksi dengan sekitarnya dan selalu berusaha

2.1.2 Pembelajaran Kooperatif

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN TEORI DAN HIPOTESIS TINDAKAN. Menurut Gagne (dalam Slameto, 2007:43) lima kategori hasil belajar yaitu

TINJAUAN PUSTAKA. mencoba merumuskan dan membuat tafsirannya tentang belajar, diantaranya adalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. laku individu melalui interaksi dengan lingkungan. Aspek tingkah laku tersebut

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menuntut peningkatan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN PUSTAKA

aspek saja, tetapi terjadi secara menyuluruh yang meliputi aspek kognitif, afektif,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Proses

BAB I PENDAHULUAN. mendorong berbagai upaya dan perhatian seluruh lapisan masyarakat terhadap

BAB II KAJIAN PUSTAKA

PENGARUH PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STUDENT TEAM ACHIEVEMENT DIVISION (STAD) TERHADAP HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA SMP

BAB I PENDAHULUAN. aspirasi (cita-cita) untuk maju, sejahtera, dan bahagia menurut konsep

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. perubahan. Pada era globalisasi, dituntut suatu mutu lulusan yang disiapkan

BAB I PENDAHULUAN. bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu kepribadian

BAB II KAJIAN PUSTAKA. aktivitas merupakan prinsip yang sangat penting di dalam interaksi belajar. aktivitas tersebut. Beberapa diantaranya ialah:

TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Pembelajaran Kooperatif (Cooperatif Learning) Menurut Nurhadi (2004: 112), pembelajaran kooperatif adalah pendekatan

memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi.

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu faktor yang sangat penting bagi kehidupan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

II. TINJAUAN PUSTAKA. menjalankan pembelajaran di kelas. Ngalimun (2013: 28) mengatakan bahwa

Transkripsi:

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Pengertian Pembelajaran dan Belajar Belajar sangat berkaitan dengan proses pembelajaran dan mengajar. Jihad dan Haris (2013: 1) mengemukakan belajar merupakan kegiatan berproses dan merupakan unsur yang sangat fundamental dalam setiap jenjang pendidikan. Keseluruhan proses pendidikan, kegiatan belajar merupakan kegiatan yang paling pokok dan penting dalam keseluruhan proses pendidikan. Proses orang memperoleh berbagai kecakapan, keterampilan, dan sikap. Belajar adalah proses atau usaha yang dilakukan tiap individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku baik dalam bentuk pengetahuan, keterampilan maupun sikap dan nilai yang positif sebagai pengalaman untuk mendapatkan sejumlah kesan dari bahan yang telah dipelajari. Kegiatan belajar tersebut ada yang dilakukan di sekolah, di rumah, dan di tempat lain seperti di museum, di laboratorium, dan dimana saja. Belajar merupakan tindakan dan perilaku peserta didik yang kompleks. Sebagai tindakan maka belajar hanya dialami oleh peserta didik sendiri dan akan menjadi penentu terjadinya atau tidak terjadinya proses belajar. Aunurrahman (2012: 35) menyimpulkan bahwa belajar adalah suatu usaha sadar yang dilakukan oleh individu dalam perubahan tingkah laku baik melalui latihan dan pengalaman yang menyangkut aspek-aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik untuk memperoleh tujuan tertentu. Berdasarkan hal tersebut disimpulkan belajar adalah perubahan tingkah laku pada individu-individu yang belajar. Perubahan itu tidak hanya berkaitan dengan penambahan ilmu pengetahuan, tetapi juga berbentuk kecakapan, keterampilan, sikap, pengertian, harga diri, minat, watak, penyesuaian diri. Dikatakan bahwa belajar itu sebagai rangkaian kegiatan jiwa raga yang menuju perkembangan pribadi manusia seutuhnya. 7

8 Pembelajaran mengandung makna adanya kegiatan mengajar dan belajar, di mana pihak yang mengajar adalah guru dan yang belajar adalah peserta didik yang berorientasi pada kegiatan mengajarkan materi yang berorientasi pada pengembangan pengetahuan, sikap, dan keterampilan peserta didik sebagai sasaran pembelajaran. Proses pembelajaran akan mencakup berbagai komponen lainnya, seperti media, kurikulum, dan fasilitas pembelajaran. Gredler, M. E. (1995: 47) menyatakan bahwa dalam pembelajaran terdapat teori-teori dasar, antara lain sebagai berikut: Teori Behavioristik, mendefinisikan pembelajaran sebagai usaha guru membentuk tingkah laku yang diinginkan dengan menyediakan lingkungan (stimulus). Agar terjadi hubungan stimulus dan respon (tingkah laku yang diinginkan) perlu latihan, dan setiap latihan yang berhasil harus diberi hadiah atau reinforcement (penguatan). Teori Kognitif, menjelaskan pengertian pembelajaran sebagai cara guru memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk berfikir agar dapat mengenal dan memahami apa yang sedang dipelajari. Teori Gestalt, menguraikan bahwa pembelajaran merupakan usaha guru untuk memberikan materi pembelajaran sedemikian rupa, sehingga peserta didik lebih mudah mengorganisirnya (mengaturnya) menjadi suatu gestalt (pola bermakna). Teori Humanistik, menjelaskan bahwa pembelajaran adalah memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk memilih bahan pelajaran dan cara mempelajarinya (cara belajar) sesuai dengan minat dan kemampuannya. Suherman dalam Jihad dan Haris (2013: 11) mengemukakan bahwa pembelajaran pada hakikatnya merupakan proses komunikasi antara peserta didik dan pendidik, serta antar peserta didik dalam rangka perubahan sikap. Dalam praktiknya kedua peran tersebut dilakukan oleh kedua belah pihak dan pada gilirannya bertukar pikiran menjadi pemberi dan penerima informasi dalam pembelajaran. Keduanya memainkan perannya masing-masing untuk mencapai tujuan dari pembelajaran itu sendiri.

9 Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 menyatakan bahwa pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Berdasarkan berbagai pendapat pengertian pembelajaran di atas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pembelajaran merupakan suatu proses kegiatan yang memungkinkan guru dapat mengajar dan peserta didik dapat menerima materi pelajaran yang diajarkan oleh guru secara sistematik dan saling mempengaruhi dalam kegiatan belajar mengajar untuk mencapai tujuan yang diinginkan pada suatu lingkungan belajar. Proses pembelajaran merupakan proses komunikasi, yaitu proses penyampaian pesan dari sumber pesan melalui saluran/ media tertentu ke penerima pesan. Pesan, sumber pesan, saluran/ media dan penerima pesan adalah komponen-komponen proses komunikasi. Proses yang akan dikomunikasikan adalah isi ajaran ataupun didikan yang ada dalam kurikulum, sumber pesannya bisa guru, peserta didik, orang lain ataupun penulis buku dan media. Demikian pula kunci pokok pembelajaran ada pada guru (pengajar), tetapi bukan berarti dalam proses pembelajaran hanya guru yang aktif sedang peserta didik pasif. Pembelajaran menuntut keaktifan kedua belah pihak yang sama-sama menjadi subjek pembelajaran. Jika pembelajaran ditandai oleh keaktifan guru sedangkan peserta didik hanya pasif, maka pada hakikatnya kegiatan itu hanya disebut mengajar. Demikian pula bila pembelajaran di mana peserta didik yang aktif tanpa melibatkan keaktifan guru untuk mengelolanya secara baik dan terarah, maka hanya disebut belajar. Hal tersebut menunjukkan bahwa pembelajaran menuntut keaktifan guru dan peserta didik. 2. Hasil Belajar Menurut Sudjana (2010: 3) menyatakan bahwa hasil belajar pada hakikatnya adalah perubahan tingkah laku, sebagai hasil belajar mencakup bidang kognitif, afektif, dan psikomotorik. Hamalik dalam Jihad dan Haris (2013: 15) menyatakan bahwa hasil-hasil belajar adalah pola-pola perbuatan, nilai-nilai, pengertianpengertian, dan sikap-sikap, serta apersepsi dan abilitas. Abdurrahman dalam Jihad dan Haris (2013 :14) menyatakan bahwa hasil belajar adalah kemampuan yang diperoleh anak setelah melalui kegiatan belajar. Juliah dalam Jihad dan Haris (2013:

10 15) menyatakan bahwa hasil belajar adalah segala sesuatu milik peserta didik sebagai akibat dari kegiatan yang dilakukannya. Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah suatu pencapaian yang dilakukan dan sudah dilalui peserta didik setelah melalui proses belajar mengajar sesuai dengan tujuan pengajaran. Gagne dalam Annurahman (2012: 47) menyatakan bahwa belajar tidak merupakan suatu yang terjadi secara alamiah, akan tetapi hanya akan terjadi dengan kondisi-kondisi tertentu, yaitu: (a) kondisi internal, antara lain menyangkut kesiapan peserta didik dan sesuatu yang telah dipelajari, (b) eksternal, merupakan situasi belajar yang secara sengaja diatur oleh pendidik dengan tujuan memperlancar proses belajar. Tiap-tiap jenis hasil belajar yang dikemukakan sebelumnya memerlukan kondisi-kondisi tertentu yang perlu diatur dan dikontrol. Menurut Usman dalam Jihad dan Haris (2013: 16) menyatakan bahwa hasil belajar yang dicapai oleh peserta didik berkaitan dengan tujuan instruksional yang direncanakan guru sebelumnya yang dikelompokkan kedalam tiga kategori, yaitu domain kognitif, afektif, dan psikomotor. Ketiganya saling berkaitan dalam hasil belajar peserta didik. Sudaryono (2012 : 42) menyatakan bahwa Bloom bersama dengan rekan-rekannya telah menjadi pelopor dalam menyumbangkan suatu klasifikasi tujuan pembelajaran (educational objectives). a. Ranah Kognitif (cognitif domain) Sudaryono (2012: 43) menyatakan bahwa ranah kognitif mencakup kegiatan otak. Artinya, segala upaya yang menyangkut aktivitas otak termasuk ke dalam ranah kognitif. Menurut Bloom dan kawan-kawan mencakup: Pengetahuan (knowledge), pemahaman (comprehension), penerapan (application), analisis (analysis), sintesis (synthesis), dan evaluasi (evaluation). Berikut penjelasan dari masing-masing tingkatan ranah kognitif menurut Winkel (2009 : 274). 1) Pengetahuan (knowlegde) Mencakup ingatan akan hal-hal yang pernah dipelajari dan disimpan dalam ingatan. Hal-hal itu dapat meliputi fakta, kaidah dan prinsip, serta metode yang diketahui. Pengetahuan yang disimpan dalam ingatan, digali pada saat dibutuhkan melalui bentuk ingatan mengingat (recall) atau mengenal kembali (recognition).

11 2) Pemahaman (comprehension) Mencakup kemampuan untuk menangkap makna dan arti dari bahan yang dipelajari. Adanya kemampuan ini dinyatakan dalam menguraikan isi pokok dari suatu bacaan; mengubah data yang disajikan dalam bentuk tertentu ke bentuk lain. Kemampuan ini setingkat lebih tinggi daripada kemampuan pertama (pengetahuan/ knowledge). 3) Penerapan (application) Mencakup kemampuan untuk menerapkan suatu kaidah atau metode bekerja pada suatu kasus/ problem yang kongkret dan baru. Adanya kemampuan dinyatakan dalam aplikasi suatu rumus pada persoalan yang belum dihadapi atau aplikasi suatu metode kerja pada pemecahan problem baru. 4) Analisis (analysis) Mencakup kemampuan untuk merinci suatu kesatuan ke dalam bagian-bagian, sehingga struktur keseluruhan atau organisasinya dapat dipahami dengan baik. Adanya kemampuan ini dinyatakan dalam penganalisaan bagian-bagian pokok atau komponenkomponen dasar, bersama dengan hubungan/ relasi antara semua bagian itu. 5) Sintesis (synthesis) Mencakup kemampuan untuk membentuk suatu kesatuan atau pola baru. Bagian-bagian yang dihubungkan satu sama lain, sehingga terciptakan suatu bentuk baru. Adanya kemampuan ini dinyatakan dalam membuat suatu rencana, seperti penyusunan suatu pelajaran atau proposal penelitian ilmiah, dalam mengembangkan suatu skema dasar sebagai pedoman dalam memberikan ceramah dan lain sebagainya. 6) Evaluasi (evaluation) Mencakup kemampuan untuk membentuk suatu pendapat mengenai sesuatu atau beberapa hal, bersama dengan pertanggungjawaban pendapat itu, yang berdasarkan kriteria tertentu. Kemampuan ini dinyatakan dalam memberikan penilaian terhadap sesuatu hal. Ranah kognitif dalam penerapannya pada kurikulum 2013 tidak mencakup sintesis (sysntesis). Oleh karena itu mengalami perubahan (pengurangan) menjadi pengetahuan (knowledge), pemahaman (comprehension), penerapan (application), analisis (analysis), dan evaluasi (evaluation). b. Ranah Afektif (affective domain) Sudaryono (2012: 43) menyatakan bahwa ranah afektif menurut taksonomi Krathwohl, Bloom, dan kawan-kawan meliputi: Penerimaan

12 (receiving), partisipasi (responding), penilaian/ penentuan sikap (valuing), organisasi (organization), pembentukan pola hidup (characterization by a value complex). Berikut penjelasan dari masing-masing tingkatan ranah afektif menurut Winkel (2009 : 276). 1) Penerimaan (receiving) Mencakup kepekaan akan adanya suatu perangsang dan kesediaan untuk memperhatikan rangsangan itu, seperti buku pelajaran atau penjelasan yang diberikan oleh guru. Kesediaan itu dinyatakan dalam memperhatikan sesuatu, seperti memandangi gambar yang dibuat di papan tulis atau mendengarkan jawaban teman sekelas atas pertanyaan guru. Namun, perhatian ini masih pasif. 2) Partisipasi (responding) Mencakup kerelaan untuk memperhatikan secara aktif dan berpartisipasi dalam suatu kegiatan. Kesediaan itu dinyatakan dalam memberikan suatu reaksi terhadap rangsangan yang disajikan, seperti membacakan dengan suara nyaring bacaan yang ditunjuk atau menunjukkan minat dengan membawa pulang buku bacaan yang ditawarkan. 3) Penilaian/ penentuan sikap (valuing) Mencakup kemampuan untuk memberikan penilaian terhadap sesuatu dan membawa diri sesuai dengan penilaian itu. Mulai dibentuk suatu sikap: menerima, menolak atau mengabaikan; sikap itu dinyatakan dalam tingkah laku yang sesuai dan konsisten dengan sikap batin. Kemampuan itu dinyatakan dalam suatu perkataan atau tindakan. 4) Organisasi (organization) Mencakup kemampuan untuk membentuk sistem nilai sebagai pedoman dan pegangan dalam kehidupan. Nilai-nilai yang diakui dan diterima ditempatkan pada suatu skala nilai: mana yang pokok dan selalu harus diperjuangkan, mana yang tidak begitu penting. 5) Penentuan pola hidup (characterization by a value complex) Mencakup kemampuan untuk menghayati nilai-nilai kehidupan sedemikian rupa, sehingga menjadi milik pribadi (internalisasi) dan menjadi pegangan nyata dan jelas dalam mengatur kehidupannya sendiri. Kemampuan itu dinyatakan dalam pengaturan hidup di berbagai bidang, seperti mencurahkan waktu secukupnya pada tugas belajar/ bekerja, tugas membina kerukunan keluarga, tugas beribadat, tugas mencaga kesehatan dirinya sendiri dan lain sebagainya. Kebiasaan ini memerlukan waktu pembentukan yang cukup lama, misalnya kemampuan untuk menunjukkan kerajinan, ketelitian, dan disiplin dalam kehidupan pribadi.

13 Ranah afektif (sikap) dalam penerapannya pada kurikulum 2013 tidak mengalami perubahan pada cakupannya/ tingkatannya. Oleh karena itu tetap meliputi penerimaan (receiving), partisipasi (responding), penilaian/ penentuan sikap (valuing), organisasi (organization), pembentukan pola hidup (characterization by a value complex). Ranah afektif meliputi kata kerja menerima, menjalankan, menghargai, menghayati serta mengamalkan. Guru dituntut mengenal perilaku, sikap dan kebiasaan seluruh peserta didik yang diajarnya, sehingga dibutuhkan usaha, waktu, tenaga maupun pikiran yang lebih untuk menilai ranah afektif. Penilaian ranah afektif ini sangat penting dilakukan. Pengetahuan guru tentang perilaku, sikap, dan kebiasaan peserta didik dapat menjadi acuan untuk memberikan penguatan, bimbingan, maupun perhatian yang lebih kepada peserta didik. Baik itu penguatan dan bimbingan yang berkaitan dengan akademik, sosial, maupun kepribadian setiap peserta didik. c. Ranah Psikomotorik (psychomotoric domain) Sudaryono (2012: 43) menyatakan bahwa ranah psikomotorik menurut klasifikasi Simpson mencakup: persepsi (perception), kesiapan (set), gerakan terbimbing (guided response), gerakan yang terbiasa (mechanical response), gerakan yang kompleks (complex response), penyesuaian pola gerakan (adjustment) dan kreativitas (creativity). Berikut penjelasan dari masing-masing tingkatan ranah psikomotorik menurut Winkel (2009 : 278). 1) Persepsi (perception) Mencakup kemampuan untuk mengadakan diskriminasi yang tepat antara dua perangsang atau lebih, berdasarkan pembedaan antara ciri-ciri fisik yang khas pada masing-masing rangsangan. Adanya kemampuan ini dinyatakan dalam suatu reaksi yang menunjukkan kesadaran akan hadirnya rangsangan (stimulasi) dan perbedaan antara seluruh rangsangan yang ada. 2) Kesiapan (set) Mencakup kemampuan untuk menempatkan dirinya dalam keadaan akan memulai suatu gerakan atau rangkaian gerakan. Kemampuan ini dinyatakan dalam bentuk kesiapan jasmani dan mental. 3) Gerakan terbimbing (guided response) Mencakup kemampuan untuk melakukan suatu rangkaian

14 gerak-gerik, sesuai dengan contoh yang diberikan (imitasi). Kemampuan ini dinyatakan dalam menggerakan anggota tubuh, menurut contoh yang diperlihatkan atau diperdengarkan, seperti meniru urutan gerakan tarian atau dalam meniru bunyi suara. 4) Gerakan yang terbiasa (mechanical response) Mencakup kemampuan untuk melakukan suatu rangkaian gerak-gerik dengan lancar, karena sudah dilatih secukupnya, tanpa memperhatikan lagi contoh yang diberikan. Kemampuan ini dinyatakan dalam menggerakan anggota/ bagian tubuh, sesuai dengan prosedur yang tepat seperti dalam menggerakan kaki, lengan dan tangan secara terkoordinasi. 5) Gerakan kompleks (complex response) Mencakup kemampuan untuk melaksanakan suatu keterampilan yang terdiri atas beberapa komponen, dengan lancar, tepat dan efisien. Adanya kemampuan ini dinyatakan dalam suatu rangkaian perbuatan yang berurutan dan menggabungkan beberapa sub keterampilan menjadi suatu keseluruhan gerak-gerik yang teratur. 6) Penyesuaian pola gerak (adjustment) Mencakup kemampuan untuk mengadakan perubahan dan menyesuaikan pola gerak-gerik dengan kondisi setempat atau dengan menunjukkan suatu taraf keterampilan yang telah mencapai kemahiran. 7) Kreativitas (creativity) Mencakup kemampuan untuk melahirkan aneka pola gerakgerik yang baru, seluruhnya atas dasar prakarsa dan inisiatif sendiri. Hanya sosok orang yang berketerampilan tinggi dan berani berpikir kreatif, akan mampu mencapai tingkat kesempurnaan ini. Ranah psikomotor dalam penerapannya pada kurikulum 2013 mengalami perubahan menjadi mengamati, menanya, mengeksplorasi, mengasosiasi, dan mengkomunikasikan (5M). Hal tersebut tercermin dalam kegiatan pembelajaran dalam kurikulum 2013. Berikut ini merupakan penjelasan mengenai ranah psikomotor dalam kurikulum 2013: 1) Mengamati Mengamati berkaitan dengan proses observasi. Metode mengamati sangat bermanfaat bagi pemenuhan rasa ingin tahu peserta didik. Sehingga proses pembelajaran memiliki kebermaknaan yang tinggi. Dengan metode mengamati ini, peserta didik dapat menemukan fakta bahwa ada hubungan antara objek yang dianalisis dengan materi pembelajaran yang disampaikan oleh guru.

15 2) Menanya Guru memiliki tujuan untuk memberikan inspirasi kepada peserta didik dan meningkatkan serta mengembangkan ranah sikap, keterampilan, dan pengetahuannya. Pada saat guru bertanya, pada saat itu pula guru memberikan bimbingan kepada peserta didik untuk belajar lebih baik. Ketika guru menjawab pertanyaan peserta didik, pada saat itu pula guru mendorong peserta didik untuk menjadi pembelajar yang baik. Pertanyaan akan membuat peserta didik lebih aktif dan dapat lebih berusaha lebih giat lagi untuk menjawab pertanyaan yang disampaikan guru. 3) Mengeksplorasi Mengeksplorasi berkaitan dengan proses mengumpulkan informasi dan merupakan tindak lanjut dari proses bertanya. Kegiatan ini dilakukan dengan menggali dan mengumpulkan informasi dari berbagai sumber melalui berbagai cara. Peserta didik dapat memperoleh informasi melalui buku, memperhatikan fenomena atau objek yang diteliti, atau bahkan melalui eksperimen. 4) Mengasosiasi Mengasosiasi berkaitan dengan proses mengolah informasi atau menalar. Kegiatan yang dilakukan adalah memproses informasi yang sudah dikumpulkan baik dari hasil kegiatan mengumpulkan/ eksperimen maupun hasil dari kegiatan mengamati dan kegiatan mengumpulkan informasi. Kegiatan ini dilakukan untuk menemukan keterkaitan satu informasi dengan informasi lainya, menemukan pola dari keterkaitan informasi tersebut. Adapun kompetensi yang diharapkan adalah mengembangkan sikap jujur, teliti, disiplin, taat aturan, kerja keras, kemampuan menerapkan prosedur dan kemampuan berpikir induktif serta deduktif dalam menyimpulkan. 5) Mengkomunikasikan Pada pendekatan scientific guru diharapkan memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mengkomunikasikan apa yang

16 telah mereka pelajari. Kegiatan ini dapat dilakukan melalui menuliskan atau menceritakan apa yang ditemukan dalam kegiatan mencari informasi, mengasosiasikan dan menemukan pola. Hasil tersebut disampikan di kelas dan dinilai oleh guru sebagai hasil belajar peserta didik atau kelompok peserta didik tersebut. 3. Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) No. 20 tahun 2003 pasal 15 menyatakan bahwa pendidikan kejuruan adalah pendidikan menengah yang mempersiapkan peserta didik terutama untuk bekerja dalam bidang tertentu. Pendidikan kejuruan adalah pendidikan yang menghubungkan, menjodohkan, melatih manusia agar memiliki kebiasaan bekerja untuk dapat memasuki dan berkembang pada dunia kerja (industri), sehingga dapat dipergunakan untuk memperbaiki kehidupannya. Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1990 menyatakan bahwa pendidikan menengah kejuruan adalah pendidikan pada jenjang menengah yang mengutamakan pengembangan kemampuan peserta didik untuk melaksanakan jenis pekerjaan tertentu. Pendidikan menengah kejuruan mengutamakan penyiapan peserta didik untuk memasuki lapangan kerja serta mengembangkan sikap profesional. Sesuai dengan bentuknya, sekolah menengah kejuruan menyelenggarakan program-program pendidikan yang disesuaikan dengan jenis lapangan kerjanya. Smith Sughes Act dalam Yanto (2005: 11) menyatakan bahwa pendidikan kejuruan adalah pendidikan khusus yang program-programnya dipilih untuk siapapun yang tertarik untuk mempersiapkan diri bekerja sendiri atau bekerja sebagai bagian dari kelompok. Menurut Undang-undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) merupakan salah satu bentuk satuan pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan kejuruan pada jenjang pendidikan menengah sebagai lanjutan dari SMP, MTs, atau bentuk lain yang sederajat. Sekolah di jenjang pendidikan dan jenis kejuruan dapat bernama Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) atau Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat. SMK memiliki banyak program keahlian.

17 SMK memiliki banyak program keahlian. Program keahlian yang dilaksanakan di SMK menyesuaikan dengan kebutuhan dunia kerja yang ada. Program keahlian pada jenjang SMK juga menyesuaikan pada permintaan masyarakat dan pasar. Pendidikan kejuruan adalah pendidikan menengah yang mempersiapkan peserta didik terutama agar siap bekerja dalam bidang tertentu. Peserta didik dapat memilih bidang keahlian yang diminati di SMK. Kurikulum SMK dibuat agar peserta didik siap untuk langsung bekerja di dunia kerja. Muatan kurikulum yang ada di SMK disusun sedemikian rupa sesuai dengan kebutuhan dunia kerja yang ada. Hal ini dilakukan agar peserta didik tidak mengalami kesulitan yang berarti ketika masuk di dunia kerja. Dengan masa studi sekitar tiga atau empat tahun, lulusan SMK diharapkan mampu untuk bekerja sesuai dengan keahlian yang telah ditekuni. Tujuan pendidikan menengah kejuruan menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2003, terbagi menjadi tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum pendidikan menengah kejuruan adalah : (a) meningkatkan keimanan dan ketakwaan peserta didik kepada Tuhan Yang Maha Esa; (b) mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi warga negara yang berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, demokratis dan bertanggung jawab; (c) mengembangkan potensi peserta didik agar memiliki wawasan kebangsaan, memahami dan menghargai keanekaragaman budaya bangsa Indonesia; dan (d) mengembangkan potensi peserta didik agar memiliki kepedulian terhadap lingkungan hidup dengan secara aktif turut memelihara dan melestarikan lingkungan hidup, serta memanfaatkan sumber daya alam dengan efektif dan efisien. Tujuan khusus pendidikan menengah kejuruan adalah sebagai berikut: (a) menyiapkan peserta didik agar menjadi manusia produktif, mampu bekerja mandiri, mengisi lowongan pekerjaan yang ada sebagai tenaga kerja tingkat menengah sesuai dengan kompetensi dalam program keahlian yang dipilihnya; (b) menyiapkan peserta didik agar mampu memilih karir, ulet dan gigih dalam berkompetensi, beradaptasi di lingkungan kerja dan mengembangkan sikap profesional dalam bidang keahlian yang diminatinya; (c) membekali peserta didik dengan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni agar mampu mengembangkan diri di kemudian hari baik secara mandiri maupun melalui jenjang pendidikan yang lebih

18 tinggi; dan (d) membekali peserta didik dengan kompetensi-kompetensi yang sesuai dengan program keahlian yang dipilih. 4. Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) Kurikulum yang baru diberlakukan pemerintah salah satunya adalah kurikulum 2013. Peserta didik dikatakan berhasil jika telah menguasai kompetensi tertentu yang telah ditetapkan dalam kurikulum. Mardhapi (2015: 39) menyatakan bahwa indikator peserta didik yang telah menguasai kurikulum yakni kemampuan hasil belajar yang diukur telah mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang telah ditetapkan ataupun melebihi KKM tersebut. KKM dapat digunakan sebagai indikator keberhasilan peserta didik untuk melanjutkan belajar dan menguasai kompetensi selanjutnya, dan yang belum menguasai dapat memperdalam yang belum dikuasai melalui remedi. Hal ini menunjukkan pentingnya KKM dalam menentukkan keberlanjutan belajar peserta didik. Menurut Depdiknas dalam Hamdani (2008: 51) menyatakan bahwa salah satu prinsip penilaian pada kurikulum tertentu menggunakan acuan kriteria, yakni menggunakan kriteria tertentu dalam menentukan kelulusan peserta didik. Kriteria paling rendah untuk menyatakan peserta didik mencapai ketuntasan dinamakan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Kriteria Ketuntasan Minimal harus ditetapkan sebelum awal tahun ajaran dimulai. Berapapun besarnya peserta didik yang melampaui batas ketuntasan minimal, tidak mengubah keputusan pendidik dalam menyatakan lulus atau tidak lulus pembelajaran. Berdasarkan keputusan Depdiknas dalam Hamdani (2008: 51) menyatakan bahwa kriteria ketuntasan minimal ditetapkan oleh satuan pendidikan berdasarkan hasil musyawarah guru mata pelajaran disatuan pendidikan atau beberapa satuan pendidikan yang memiliki karakteristik yang hampir sama. Pertimbangan pendidik atau forum MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) secara akademis menjadi pertimbangan utama penetapan KKM. Menurut MGMP, Kriteria Ketuntasan Minimal ditetapkan oleh persentasi tingkat pencapaian kompetensi sehingga dinyatakan dengan angka maksimal 100 (seratus). Angka maksimal 100 merupakan kriteria ketuntasan ideal. Target ketuntasan secara nasional diharapkan mencapai minimal 75, satuan

19 pendidikan dapat memulai dari kriteria ketuntasan minimal di bawah target nasional kemudian ditingkatkan secara bertahap. Kriteria Ketuntasan Minimal menjadi acuan bersama pendidik, peserta didik, dan orang tua peserta didik. Berdasarkan pernyataan tersebut, pihak-pihak yang berkepentingan terhadap penelitian di sekolah berhak untuk mengetahuinya. Satuan pendidikan perlu melakukan sosialisasi agar informasi dapat diakses dengan mudah oleh peserta didik dan orang tua. Kriteria Ketuntasan Minimal harus dicantumkan dalam Laporan Hasil Belajar (LHB) sebagai acuan dalam menyikapi hasil belajar peserta didik. 5. Pengertian Pembelajaran Kooperatif Slavin, R. E. (2009: 33) menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif merujuk pada berbagai macam metode pengajaran dimana peserta didik bekerja dalam kelompok-kelompok kecil untuk saling membantu satu sama lainnya dalam mempelajari materi pembelajaran. Dalam kelas kooperatif, peserta didik diharapkan dapat saling membantu, saling mendiskusikan dan berargumentasi, untuk mengasah pengetahuan yang dikuasai peserta didik dan menutup kesenjangan dalam pemahaman masing-masing. Majid, A. (2013: 174) menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif adalah suatu strategi belajar mengajar yang menekankan pada sikap atau perilaku bersama dalam bekerja atau membantu di antara sesama dalam struktur kerjasama yang teratur dalam kelompok, yang terdiri dari dua orang atau lebih. Setiap kelompok tersebut terdiri dari peserta didik dengan berbagai tingkat kemampuan, melakukan berbagai kegiatan belajar untuk meningkatkan pemahaman mereka tentang materi pelajaran yang sedang dipelajari. Setiap anggota kelompok bertanggung jawab untuk tidak hanya belajar apa yang diajarkan tetapi juga untuk membantu rekan belajar, sehingga bersama-sama mencapai keberhasilan. Semua Peserta didik berusaha sampai semua anggota kelompok berhasil memahami dan melengkapinya. Model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai setidak-tidaknya tiga tujuan pembelajaran yaitu hasil belajar akademik, penerimaan terhadap perbedaan individu, dan pengembangan keterampilan sosial. Manfaat dari pembelajaran kooperatif antara lain:

20 a) Meningkatkan aktivitas belajar peserta didik dan prestasi akademiknya. b) Membantu peserta didik dalam mengembangkan keterampilan berkomunikasi secara lisan. c) Mengembangkan keterampilan sosial peserta didik. d) Meningkatkan rasa percaya diri peserta didik. e) Membantu meningkatkan hubungan positif antar peserta didik. Model pembelajaran kooperatif memiliki basis pada teori psikologi kognitif dan teori pembelajaran sosial. Fokus pembelajaran kooperatif tidak saja tertumpu pada apa yang dilakukan peserta didik tetapi juga pada apa yang dipikirkan peserta didik selama aktivitas belajar berlangsung. Informasi yang ada pada kurikulum tidak ditransfer begitu saja oleh guru kepada peserta didik, tetapi peserta didik difasilitasi dan dimotivasi untuk berinteraksi dengan peserta didik lain dalam kelompok, dengan guru dan dengan bahan ajar secara optimal agar ia mampu mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Dalam model pembelajaran kooperatif, guru berperan sebagai fasilitator, penyedia sumber belajar bagi peserta didik, pembimbing peserta didik dalam belajar kelompok, pemberi motivasi peserta didik dalam memecahkan masalah, dan sebagai pelatih peserta didik agar memiliki keterampilan kooperatif. 6. Prinsip-prinsip Pembelajaran Kooperatif Sanjaya, W. (2006: 246) menyatakan bahwa terdapat empat prinsip dasar pembelajaran kooperatif, seperti dijelaskan di bawah ini: a. Prinsip Ketergantungan Positif (Positive Interdependence) Dalam pembelajaran kelompok (kooperatif), keberhasilan suatu penyelesaian tugas sangat tergantung kepada usaha yang dilakukan setiap anggota kelompoknya. Oleh sebab itu, perlu disadari oleh setiap anggota kelompok keberhasilan penyelesaian tugas kelompok akan ditentukan oleh kinerja masing-masing anggota. Dengan demikian, semua anggota dalam kelompok akan merasa saling ketergantungan. Untuk tercapainya kelompok kerja yang efektif, setiap anggota kelompok masing-masing perlu membagi tugas sesuai dengan tujuan kelompoknya. Tugas tersebut disesuaikan dengan kemampuan setiap anggota kelompok. Inilah hakikat ketergantungan positif,

21 artinya tugas kelompok tidak mungkin bisa diselesaikan apabila terdapat anggota yang tidak bisa menyelesaikan tugasnya, dan semua ini memerlukan kerja sama yang baik dari masing-masing anggota kelompok, Anggota kelompok yang mempunyai kemampuan lebih, diharapkan mampu membantu temannya untuk menyelesaikan tugasnya. b. Tanggung Jawab Perseorangan (Individual Accountability) Prinsip ini merupakan konsekuensi dari prinsip yang pertama. Oleh karena keberhasilan kelompok tergantung pada setiap anggotanya, maka setiap anggota kelompok harus memiliki tanggung jawab sesuai dengan tugasnya. Setiap anggota harus memberikan yang terbaik untuk keberhasilan kelompoknya. Untuk mencapai hal tersebut, guru perlu memberikan penilaian terhadap individu dan juga kelompok. Penilaian individu bisa berbeda, akan tetapi penilaian kelompok harus sama. c. Interaksi Tatap Muka (Face to Face Promotion Interaction) Pembelajaran kooperatif memberi ruang dan kesempatan yang luas kepada setiap anggota kelompok untuk bertatap muka saling memberikan informasi dan saling membelajarkan, Interaksi tatap muka akan memberikan pengalaman yang berharga kepada setiap anggota kelompok untuk bekerja sama, saling menghargai setiap perbedaan, memanfaatkan kelebihan masingmasing anggota, dan mengisi kekurangan masing-masing. Kelompok belajar kooperatif dibentuk secara heterogen, yang berasal dari budaya, latar belakang sosial, dan kemampuan akademik yang berbeda. Perbedaan semacam ini akan menjadi modal utama dalam proses saling memperkaya antar anggota kelompok. d. Partisipasi dan Komunikasi (Participation Communication) Pembelajaran kooperatif melatih peserta didik untuk dapat mampu berpartisipasi aktif dan berkomunikasi. Kemampuan ini sangat penting sebagai bekal dalam kehidupan di masyarakat. Oleh sebab itu, sebelum melakukan kooperatif, guru perlu membekali peserta didik dengan kemampuan berkomunikasi. Tidak setiap peserta didik mempunyai kemampuan berkomunikasi, misalnya kemampuan mendengarkan dan kemampuan

22 berbicara, akan tetapi keberhasilan kelompok ditentukan oleh partisipasi setiap anggotanya. Untuk dapat melakukan partisipasi dan komunikasi, peserta didik perlu dibekali dengan kemampuan-kemampuan berkomunikasi. Misalnya, cara menyatakan ketidak-setujuan atau cara menyanggah pendapat orang lain secara santun, tidak memojokkan, cara menyampaikan gagasan dan ide-ide yang dianggapnya baik dan berguna. Keterampilan berkomunikasi memang memerlukan waktu. Peserta didik tidak mungkin dapat menguasainya dalam waktu yang singkat. Oleh sebab itu. Guru perlu melatih sampai pada akhirnya setiap peserta didik memiliki kemampuan untuk menjadi komunikator yang baik. 7. Langkah-Langkah dalam Pembelajaran Kooperatif Pembelajaran kooperatif memerlukan adanya tahapan dalam tindakannya. Setiap langkah dalam pembelajaran kooperatif dilaksanakan berdasarkan indikator yang sudah ditentukan. Dengan adanya indikator tersebut, dapat dijadikan acuan keberhasilan tindakan yang dilakukan dalam pembelajaran kooperatif. Indikator tersebut juga berhubungan dengan tingkah laku guru dalam pembelajaran. Pembelajaran kooperatif yang memiliki langkah yang jelas akan membawa pengaruh positif dalam pelaksanaannya. Ketiga hal tersebut tidak dapat dipisahkan dalam pembelajaran kooperatif. Oleh karena itu langkah-langkah dalam pembelajaran kooperatif sangat penting untuk diperhatikan. Majid, A. (2013: 179) menyatakan bahwa langkah-langkah pembelajaran kooperatif dapat dituliskan dalam tabel 2.1.

23 Tabel 2.1. Tabel Langkah-langkah dalam Cooperative Learning. Langkah Indikator Tingkah Laku Guru Guru menyampaikan tujuan pembelajaran dan Langkah 1 Menyampaikan tujuan dan mengkomunikasikan memotivasi peserta didik. kompetensi dasar yang akan dicapai serta memotivasi peserta didik. Langkah 2 Menyajikan informasi. Guru menyajikan informasi Langkah 3 Langkah 4 Langkah 5 Langkah 6 Mengorganisasikan peserta didik ke dalam kelompokkelompok belajar. Membimbing kelompok belajar. Evaluasi. Memberikan penghargaan. kepada peserta didik. Guru menginformasikan pengelompokan peserta didik. Guru memotivasi serta memfasilitasi kerja peserta didik dalam kelompokkelompok belajar. Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi pembelajaran yang telah dilaksanakan. Guru memberi penghargaan hasil belajar individual dan kelompok. 8. Pengelolaan Kelas Menurut Model Pembelajaran Kooperatif a. Pengelompokan Kelompok homogen (ability grouping) adalah praktik memasukkan beberapa peserta didik dengan kemampuan yang setara dalam kelompok yang sama. Pengelompokan heterogenitas (kemacam-ragaman), dibentuk dengan memperhatikan keanekaragaman jenis kelamin (gender), latar belakang sosioekonomi dan etnik, serta kemampuan akademis. b. Semangat gotong-royong Dalam proses pembelajaran ini, agar berjalan secara efektif maka semua anggota kelompok hendaknya mempunyai semangat bergotong royong yaitu dengan cara membina minat dan semangat dalam bekerja sama

24 satu dengan yang lainnya. Hal tersebut dapat dilakukan dengan beberapa cara: 1) Kesamaan Kelompok. 2) Identitas Kelompok 3) Sapaan dan Sorak Kelompok. c. Penataan ruang kelas Dalam hal ini keputusan guru dalam penataan ruang disesuaikan dengan kondisi dan situasi ruang kelas dan sekolah. Beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan adalah: 1) Ukuran ruang kelas. 2) Jumlah peserta didik. 3) Tingkat kedewasaan peserta didik. 4) Pengalaman guru dan peserta didik dalam melaksanakan metode pembelajaran gotong royong. 9. Model Evaluasi Belajar Pembelajaran Kooperatif Slavin, R. E. (2009: 27) menyatakan bahwa dalam model pembelajaran kooperatif terdapat tiga model evaluasi, ketiga model evaluasi tersebut adalah sebagai berikut: a. Model Evaluasi Kompetisi Pada sistem peringkat jelas menanamkan jiwa kompetitif, karena sejak masa awal pendidikan formal, peserta didik dipacu agar bisa menjadi lebih baik dari teman-teman sekelas, sehingga peserta didik yang jauh melebihi kebanyakan peserta didik yang dianggap berprestasi, yang kemampuannya berada di bawah rata-rata kelas dianggap gagal atau tidak berprestasi. b. Model Evaluasi Individual Dalam sistem ini, sistem peserta didik belajar dengan pendekatan dan kecepatan yang sesuai dengan kemampuan mereka sendiri. Anak didik tak bersaing dengan siapa-siapa, kecuali bersaing dengan diri mereka sendiri. Teman-teman satu kelas dianggap tidak ada karena jarang interaksi

25 antar peserta didik di kelas. Berbeda dengan sistem penilaian peringkat, dalam penyajian individual guru menetapkan standar untuk setiap murid. c. Model Evaluasi Cooperative Learning Sistem ini menganut pemahaman homohomini solcus. Falsafah ini menekankan saling ketergantungan antar makhluk hidup. Kerjasama merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi kelangsungan hidup. Prosedur sistem penilaian cooperative learning diantaranya adalah tanggung jawab pribadi dan kelompok. Jadi peserta didik mendapat ilmu pribadi dan nilai kelompok. 10. Guru Profesional UU No. 14/ 2005 menyatakan bahwa tugas utama guru sebagai pendidik profesional adalah mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Allison dalam Supriadi (1998: 112) menyatakan bahwa guru yang profesional adalah guru yang menyayangi peserta didiknya, membantu mencarikan jalan keluar atas masalah yang dihadapi, murah senyum, membuat kejutan-kejutan yang menyenangkan, sangat peduli dan memperhatikan peserta didik, memiliki kecerdasan tinggi, selalu mencoba berbuat yang terbaik, senang menyegarkan suasana, serta mau mendengarkan kata hatinya. Ornestin dan Levine dalam Supriadi (1998: 132) mendefinisikan guru profesional sebagai guru yang: (a) melayani masyarakat dan merupakan karier sepanjang hayat; (b) memerlukan bidang ilmu dan keterampilan tertentu; (c) menggunakan hasil penelitian dan aplikasi teori ke praktik; (d) memerlukan pelatihan khusus dan perlu waktu; (e) terkendali berdasarkan lisensi baku; (f) memiliki otonomi dalam membuat keputusan; (g) menerima tanggung jawab terhadap keputusan; (h) mempunyai komitmen terhadap jabatan dan klien; (i) mengunakan administrator untuk memudahkan profesinya; (j) mempunyai organisasi yang diatur oleh profesi sendiri; (k) mempunyai asosiasi profesi; (l) mempunyai kode etik; (m) memiliki kredibilitas/ kepercayaan dari publik; dan (n) mempunyai status sosial dan ekonomi yang tinggi.

26 Subijanto (2006: 104) menyatakan bahwa guru yang profesional diyakini sebagai salah satu faktor yang menentukan keberhasilan pembelajaran peserta didik. Guru sebagai pendidik, pengajar, dan pembimbing senantiasa dituntut untuk secara profesional melaksanakan tugas utamanya sesuai dengan kompetensi yang dipersyaratkan dan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Kualitas guru yang ditunjang oleh kinerja yang profesional merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan pendidikan secara nasional. Kedudukan dan peranan guru sebagai pendidik sangat besar pengaruhnya terhadap perubahan tingkah laku para peserta didik. 11. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Student Team Achievement Division (STAD) Student Team Achievement Division (STAD) merupakan salah satu metode atau pendekatan dalam pembelajaran kooperatif yang sederhana dan baik untuk guru yang baru mulai menggunakan pendekatan kooperatif dalam kelas, STAD juga merupakan suatu metode pembelajaran kooperatif yang efektif. Metode pembelajaran kooperatif tipe STAD telah digunakan dalam berbagai mata pelajaran yang ada, dan telah digunakan mulai dari peserta didik di kelas 2 sampai perguruan tinggi. Menurut Slavin, R.E. (2009: 12), gagasan utama STAD adalah untuk memotivasi peserta didik supaya dapat saling mendukung dan membantu satu sama lain dalam menguasai kemampuan yang diajarkan oleh guru. Jika para peserta didik agar timnya mendapatkan penghargaan tim, mereka harus saling membantu teman satu timnya untuk mempelajari materinya. Seperti telah disebutkan sebelumnya, menurut Majid, A. (2013: 185) menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif tipe STAD terdiri lima komponen utama, yaitu penyajian kelas (Presentasi Kelas), belajar kelompok (Tim), kuis, skor kemajuan individual dan rekognisi tim. Selain itu STAD juga terdiri dari siklus kegiatan pengajaran yang teratur.

27 Berikut ini uraian selengkapnya dari pembelajaran kooperatif tipe Student Team Achievement Division (STAD). a. Pengajaran (Penyajian Kelas/ Presentasi Kelas) Tujuan utama dari pengajaran ini adalah guru menyajikan materi pelajaran sesuai dengan yang direncanakan. Setiap awal dalam pembelajaran kooperatif tipe STAD selalu dimulai dengan penyajian kelas. Penyajian tersebut mencakup pembukaan, pengembangan dan latihan terbimbing dari keseluruhan pelajaran dengan penekanan dalam penyajian materi pelajaran. 1) Pembukaan a) Menyampaikan pada peserta didik apa yang hendak mereka pelajari dan mengapa hal itu penting. Menimbulkan rasa ingin tahu peserta didik dengan demonstrasi yang menimbulkan tekateki, masalah kehidupan nyata, atau cara lain. b) Guru dapat menyuruh peserta didik bekerja dalam kelompok untuk menemukan konsep atau merangsang keinginan peserta didik pada pelajaran tersebut. c) Mengulangi secara singkat keterampilan atau informasi yang merupakan syarat mutlak. 2) Pengembangan a) Mengembangkan materi pembelajaran sesuai dengan apa yang akan dipelajari peserta didik dalam kelompok. b) Pembelajaran kooperatif menekankan, bahwa belajar adalah memahami makna bukan hafalan. c) Mengontrol pemahaman peserta didik sesering mungkin dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan. d) Memberi penjelasan mengapa jawaban pertanyaan tersebut benar atau salah. e) Beralih pada konsep yang lain jika peserta didik telah memahami pokok masalahnya.

28 3) Latihan Terbimbing a) Memberikan instruksi kepada semua peserta didik untuk mengerjakan soal atas pertanyaan yang diberikan. b) Memanggil peserta didik secara acak untuk menjawab atau menyelesaikan soal. Hal ini bertujuan supaya semua peserta didik selalu mempersiapkan diri sebaik mungkin. c) Pemberian tugas kelas tidak boleh menyita waktu yang terlalu lama. Sebaiknya peserta didik mengerjakan satu atau dua masalah (soal) dan langsung diberikan umpan balik. b. Belajar Kelompok Selama belajar kelompok, tugas anggota kelompok adalah menguasai materi yang diberikan guru dan membantu teman satu kelompok untuk menguasai materi tersebut. Peserta didik diberi lembar kegiatan yang dapat digunakan untuk melatih keterampilan yang sedang diajarkan untuk mengevaluasi diri mereka dan teman satu kelompok. Pada saat pertama kali guru menggunakan pembelajaran kooperatif, guru juga perlu memberikan bantuan dengan cara menjelaskan perintah, me-review konsep atau menjawab pertanyaan. Selanjutnya langkah-langkah yang dilakukan guru sebagai berikut : 1) Meminta anggota kelompok memindahkan meja/ bangku mereka bersama-sama dan pindah kemeja kelompok. 2) Memberi waktu lebih kurang 10 menit untuk memilih nama kelompok. 3) Membagikan lembar kegiatan peserta didik. 4) Menyerahkan pada peserta didik untuk bekerja sama dalam pasangan, bertiga atau satu kelompok utuh, tergantung pada tujuan yang sedang dipelajari. Jika mereka mengerjakan soal, masing-masing peserta didik harus mengerjakan soal sendiri dan kemudian dicocokkan dengan temannya. Jika salah satu tidak dapat mengerjakan suatu pertanyaan, teman satu kelompok bertanggung jawab menjelaskannya. Jika peserta didik

29 mengerjakan dengan jawaban pendek, maka mereka lebih sering bertanya dan kemudian antara teman saling bergantian memegang lembar kegiatan dan berusaha menjawab pertanyaan itu. 5) Menekankan pada peserta didik bahwa mereka belum selesai belajar sampai mereka yakin teman-teman satu kelompok dapat mencapai nilai sampai maksimal pada kuis. Memastikan peserta didik mengerti bahwa lembar kegiatan tersebut untuk belajar tidak hanya untuk diisi dan diserahkan. Jadi penting bagi peserta didik mempunyai lembar kegiatan untuk mengecek diri mereka dan teman-teman sekelompok mereka pada saat mereka belajar. Ingatkan peserta didik jika mereka mempunyai pertanyaan, mereka seharusnya menanyakan teman sekelompoknya sebelum bertanya guru. 6) Sementara peserta didik bekerja dalam kelompok, guru berkeliling dalam kelas. Guru sebaiknya memuji kelompok yang semua anggotanya bekerja dengan baik, yang anggotanya duduk dalam kelompoknya untuk mendengarkan bagaimana anggota yang lain bekerja dan sebagainya. c. Kuis Kuis dikerjakan peserta didik secara mandiri. Hal ini bertujuan untuk menunjukkan apa saja yang telah diperoleh peserta didik selama belajar dalam kelompok. Hasil kuis digunakan sebagai nilai perkembangan individu dan disumbangkan dalam nilai perkembangan kelompok. d. Skor Kemajuan Individual Gagasan dibalik skor kemajuan individual adalah untuk memberikan kepada tiap peserta didik tujuan kinerja yang akan dicapai apabila mereka bekerja lebih giat dan memberikan kinerja yang lebih baik dari pada sebelumnya. Setiap peserta didik dapat memberikan kontribusi poin yang maksimal kepada timnya dalam sistem skor ini, tetapi tidak ada peserta didik yang dapat melakukannya tanpa memberikan usaha mereka yang terbaik.

30 Setiap peserta didik diberikan skor awal, yang diperoleh dari rata-rata kinerja peserta didik tersebut sebelumnya dalam mengerjakan kuis yang sama. Peserta didik selanjutnya akan mengumpulkan poin untuk tim mereka berdasarkan tingkat kenaikan skor kuis mereka dibandingkan dengan skor awal mereka. e. Rekognisi Tim (Penghargaan Kelompok) Langkah pertama yang harus dilakukan pada kegiatan ini adalah menghitung nilai kelompok dan nilai perkembangan individu dan memberi sertifikat atau penghargaan kelompok yang lain. Pemberian penghargaan kelompok berdasarkan pada rata-rata nilai perkembangan individu dalam kelompoknya. Tim akan mendapatkan sertifikat atau bentuk penghargaan yang lain apabila skor rata-rata peserta didik mencapai kriteria tertentu. Skor tim peserta didik dapat juga digunakan untuk menentukan dua puluh persen dari peringkat mereka. 12. Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Kooperatif tipe STAD Penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe STAD, terdapat kelebihan dan kekurangannya. Menurut Ibrahim dalam Majid (2013: 188), kelebihannya adalah sebagai berikut: a. Dapat memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk bekerja sama dengan peserta didik lain. b. Peserta didik dapat menguasai pelajaran yang disampaikan. c. Dalam proses belajar mengajar peserta didik saling ketergantungan positif d. Peserta didik dapat saling mengisi satu sama lain. Adapun kekurangan dalam pembelajaran kooperatif tipe STAD adalah: a. Membutuhkan waktu yang lama b. Peserta didik yang pandai cenderung enggan apabila disatukan dengan temannya yang kurang pandai, dan yang kurang pandai akan merasa minder apabila digabungkan dengan temannya yang pandai, walaupun seiring dengan berjalannya waktu perasaaan itu akan hilang dengan sendirinya. c. Peserta didik diberikan kuis dan tes secara perorangan. Pada tahap ini setiap peserta didik harus memperhatikan kemampuannya dan menunjukkan apa yang diperoleh pada kegiatan kelompok dengan cara menjawab soal kuis atau tes sesuai dengan kemampuannya. Pada saat mengerjakan kuis atau tes ini, setiap peserta didik bekerja sendiri. d. Penentuan skor. Hasil kuis atau tes diperiksa oleh guru. Setiap skor yang diperoleh peserta didik dimasukkan ke dalam skor individual, untuk melihat

31 kemampuan individual. Rata-rata skor peningkatan individual merupakan sumbangan bagi kinerja pencapaian hasil kelompok. 13. Mean Keberhasilan dalam pembelajaran dapat diukur secara kuantitatif. Guru menentukan penilaian hasil belajar peserta didik dengan menghitung rata-rata nilai dari setiap peserta didik (baik ranah kognitif, afektif, maupun psikomotor). Menurut Sudaryono (2012: 152) untuk mencari nilai rata-rata (mean) dengan menjumlahkan secara keseluruhan dan kemudian dibagi dengan banyaknya peserta didik. Dirumuskan sebagai berikut: Keterangan : a. X : rata-rata (mean) b. x : Jumlah skor secara keseluruhan c. N : banyaknya peserta didik 14. Pemrograman Web X = x N Pemrograman web merupakan salah satu mata pelajaran yang diberikan pada peserta didik kelas X-A program keahlian Rekayasa Perangkat Lunak (RPL) di SMK Negeri 2 Karanganyar. Mata pelajaran pemrograman web diberikan pada semester ganjil dan genap dan akan terus digunakan sampai ke kelas yang lebih lanjut. Oleh karena itu, peserta didik harus benar-benar mampu memahami dan menguasai materi tersebut mengingat mata pelajaran pemrograman web ini merupakan mata pelajaran dasar bagi peserta didik khususnya program RPL untuk belajar web. Dalam mata pelajaran pemrograman web yang diberikan kepada semua kelas X RPL, terdapat kompetensi dasar memahami format formulir pada halaman web. Kompetensi dasar ini tidak hanya terdapat pada jenjang sekolah kejuruan saja, namun juga terdapat pada perguruan tinggi sebagi contoh pada program studi pendidikan teknik informatika dan komputer. Bidang materi pokok yang diajarkan pada mata pelajaran ini khususnya pada semester dua antara lain: a. Anatomi dan cara kerja form. b. Format formulir

32 c. Komponen entri teks (input teks password, dan input multiline) pada formulir halaman web. d. Komponen entri pilihan (input radio, checkbox, select dan datalist) pada formulir halaman web. Pembelajaran pemrograman web dengan model pembelajaran kooperatif tipe STAD merupakan salah satu solusi meningkatkan hasil belajar peserta didik. Hasil penelitian yang relevan dengan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD ( Student Team Achievement Division ) adalah penelitian yang dilakukan oleh Tri Arini Titisingtyas (2013), penelitian ini berkonsentrasi pada penerapan model pembelajaran koopertif tipe STAD berbasis TAI (Time Assisted Individualization) untuk meningkatkan hasil belajar peserta didik mata pelajaran Sistem Komputer kelas X RPL di SMK Negeri 6 Malang. Rancangan penelitian yang digunakan adalah penelitian tindakan kelas dengan tahap-tahap sesuai yang dikemukakan oleh Kemmis dan Mc Taggart. Adapun jenis PTK yang digunakan adalah kolaboratif partisipatoris, yakni adanya kerja sama antara peneliti dengan guru yang mengajar di kelas. Hasil penelitian yang diperoleh pada penelitian pada tabel 2.2. Tabel 2.2 Hasil Belajar X RPL SMKN 6 Malang Persentase Hasil Belajar Peserta Didik X RPL SMK Negeri 6 Malang Siklus I Siklus II Siklus III Kognitif (Post Test) 64,7 % 85,2 % 100 % Kognitif (Lembar diskusi 85,3 % 94,1 % 100 % kelompok) Afektif 79,31 % 82,5 % 85,69 % Psikomotorik 82,65 % 87,35 % 91,62 % (1) Persentase hasil belajar pada ranah kognitif siswa melalui post test pada siklus 1 sebesar 64,7%, pada siklus 2 menjadi sebesar 85,2%, dan pada siklus 3 mencapai angka persentase maksimum yaitu 100%.