STUDI KEANEKARAGAMAN MAKROZOOBENTHOS DI ALIRAN SUNGAI BELAWAN KECAMATAN PANCUR BATU DAN KECAMATAN SUNGGAL KABUPATEN DELI SERDANG SKRIPSI OLEH:

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 2 BAHAN DAN METODE

BAB 2 BAHAN DAN METODE

BAB 2 BAHAN DAN METODA

BAB 2 BAHAN DAN METODA

BAB 2 BAHAN DAN METODA

BAB 2 BAHAN DAN METODA

TINJAUAN PUSTAKA. Sungai merupakan suatu bentuk ekosistem akuatik yang mempunyai

BAB 2 BAHAN DAN METODA

KEANEKARAGAMAN MAKROZOOBENTHOS DI BAGIAN HULU SUNGAI HORAS KECAMATAN HATONDUHAN KABUPATEN SIMALUNGUN SUMATERA UTARA SKRIPSI

Perubahan Lingkungan Ekosistem Sungai Belawan terhadap Kualitas Air dan Keanekaragaman Makrozoobenthos sebagai Bioindikator

TINJAUAN PUSTAKA. Estuari oleh sejumlah peneliti disebut-kan sebagai area paling produktif,

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 BAHAN DAN METODA

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air

KEANEKARAGAMAN MAKROZOOBENTHOS DI PERAIRAN PULAU KAMPAI KECAMATAN PANGKALAN SUSU KABUPATEN LANGKAT SUMATERA UTARA SKRIPSI OLEH AFRIDAWATI

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

stasiun 2 dengan stasiun 3 dengan stasiun 3 Stasiun 1 dengan Stasiun 1 Morishita Horn

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. kelangsungan hidup yang panjang. Oleh karena itu peran bentos dalam

STUDI KEANEKARAGAMAN MAKROZOOBENTOS DI DANAU LAU KAWAR DESA KUTA GUGUNG KECAMATAN SIMPANG EMPAT KABUPATEN KARO SKRIPSI

KEANEKARAGAMAN DAN DISTRIBUSI PLANKTON DI PERAIRAN MUARA DESA BELAWAN I KECAMATAN MEDAN BELAWAN SKRIPSI NURHAYATI

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Makrozoobenthos Sebagai Bioindikator Kualitas Perairan Organisme makrozoobenthos

sedangkan sisanya berupa massa air daratan ( air payau dan air tawar ). sehingga sinar matahari dapat menembus kedalam air.

STUDI KEANEKARAGAMAN MAKROZOOBENTOS DI ALIRAN SUNGAI PADANG KOTA TEBING TINGGI SKRIPSI DAHLIA ROSMELINA SIMAMORA

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Plankton. Ima Yudha Perwira, SPi, Mp

KEANEKARAGAMAN IKAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN KUALITAS AIR DI PERAIRAN SUNGAI BINGEI, BINJAI

TINJAUAN PUSTAKA. peranpenting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Struktur Komunitas Makrozoobenthos

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

KEANEKARAGAMAN MAKROZOOBENTOS DI SUNGAI BAH BOLON KABUPATEN SIMALUNGUN SUMATERA UTARA SKRIPSI OLEH NATALIA LUSIANINGSIH

BAB III METODE PENELITIAN. Sistematika Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga Surabaya.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Air sungai merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat vital bagi

Stasiun 1 ke stasiun 2 yaitu + 11,8 km. Stasiun '4.03"LU '6.72" BT. Stasiun 2 ke stasiun 3 yaitu + 2 km.

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan Maret

BAB III METODE PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Air merupakan unsur penting bagi kehidupan makhluk hidup baik manusia,

POPULASI LOBSTER AIR TAWAR (Cherax quadricarinatus) DI PERAIRAN DANAU TOBA, DESA MARLUMBA, KECAMATAN SIMANINDO, KABUPATEN SAMOSIR, SUMATERA UTARA

Nilai fisikokimia perairan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Sungai Bone mempunyai panjang 119,13 Km 2 yang melintasi wilayah

PENGARUH AKTIVITAS MASYARAKAT TERHADAP KUALITAS AIR DAN KEANEKARAGAMAN PLANKTON DI SUNGAI BELAWAN MEDAN

bentos (Anwar, dkk., 1980).

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sungai Bedagai merupakan sumberdaya alam yang dimiliki oleh Pemerintah

Keanekaragaman dan Kelimpahan Makrozoobentos di Sungai Naborsahan Kabupaten Toba Samosir Sumatera Utara

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebabkan karena lingkungan air tawar memiliki beberapa kondisi, antara lain:

I. PENDAHULUAN. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai saluran air bagi daerah

BAB I PENDAHULUAN. Sidoarjo dan 6 kota yaitu Batu, Malang, Blitar, Kediri, Mojokerto, dan Surabaya

TINJAUAN PUSTAKA. adanya aliran yang cukup kuat, sehingga digolongkan ke dalam perairan mengalir

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2013 sampai dengan April 2014.

KARYOTIPE KROMOSOM KANTONG SEMAR (Nepenthes reinwardtiana Miq. dan Nepenthes tobaica Danser.) DENGAN MENGGUNAKAN METODE PENCET (SQUASH) SKRIPSI

BAB 2 BAHAN DAN METODE

STRUKTUR KOMUNITAS MAKROZOOBENTOS DI PERAIRAN SUNGAI BINGAI KECAMATAN BINJAI BARAT KOTA BINJAI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam

TINJAUAN PUSTAKA. hubungan bebas dengan laut terbuka dan menerima masukan air tawar dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai. (Sosrodarsono et al., 1994 ; Dhahiyat, 2013).

TINJAUAN PUSTAKA. Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara. Oleh

JENIS-JENIS GASTROPODA DI SUNGAI KUYUNG DESA KUMBUNG NAGARI LUNANG UTARA KECAMATAN LUNANG KABUPATEN PESISIR SELATAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

2.2. Struktur Komunitas

BAB III METODE PENELITIAN. Pengambilan data sampel menggunakan metode eksplorasi, yaitu pengamatan atau

II. TINJAUAN PUSTAKA. lingkungan hidup yang didalamnya terdapat hubungan fungsional yang sistematik

BAB 1 PENDAHULUAN. sekitar 21% persediaan air Asia Pasifik (Walhi, 2005). Perairan air tawar, salah

Komunitas Makrozoobentos di Sungai Batang Gadis Kabupaten Mandailing Natal Sumatera Utara. Sumatera Utara Utara (

Estimasi Populasi Gastropoda di Sungai Tambak Bayan Yogyakarta

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Sungai berdasarkan keberadaan airnya dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu (Reid, 1961):

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. pengumpul hujan dan juga berbagai kehidupan manusia. Umumnya sungai

KEPADATAN POPULASI IKAN JURUNG (Tor sp.) DI SUNGAI BAHOROK KABUPATEN LANGKAT

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Sungai Tabir terletak di Kecamatan Tabir Kabupaten Merangin. Sungai Tabir

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat

KEANEKARAGAMAN MAKROZOOBENTOS SEBAGAI INDIKATOR KUALITAS PERAIRAN DANAU SIOMBAK KECAMATAN MEDAN MARELAN KOTA MEDAN

TINJAUAN PUSTAKA. diantara zona laut yang lainnya. Zona intertidal dimulai dari pasang tertinggi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dikenal sebagai negara yang mempunyai potensi besar dalam

PRODUKTIVITAS PRIMER PERIFITON DI SUNGAI NABORSAHAN SUMATERA UTARA

KERAGAMAN ALGA HIJAU (Chlorophyta) DAN ALGA COKLAT (Phaeophyta) DI PERAIRAN PANTAI GAMO DESA SISARAHILI GAMO KOTA GUNUNGSITOLI NIAS SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. sumber irigasi, sumber air minum, sarana rekreasi, dsb. Telaga Jongge ini

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

KARAKTERISTIK MORFOLOGI DAN AKTIVITAS ENZIM POLIFENOL OKSIDASE DAN PEROKSIDASE PADA ORGAN TANAMAN SALAK SIDEMPUAN (Salacca sumatrana var.

POSTER KERAGAMAN JENIS MAKROZOOBENTOS DI PERAIRAN SUNGAI OGAN, SUMATERA SELATAN 1 Marson 2

Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol. 3, No. 3, September 2012: ISSN :

KEANEKARAGAMAN BURUNG PANTAI DAN POTENSI MAKANAN DI PANTAI MUARA INDAH KECAMATAN PANTAI LABU KABUPATEN DELI SERDANG PROPINSI SUMATERA UTARA SKRIPSI

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan

STUDI KELIMPAHAN DAN JENIS MAKROBENTHOS DI SUNGAI CANGAR DESA SUMBER BRANTAS KOTA BATU. *

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif. Pengambilan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai. Secara ekologis sungai

KEANEKARAGAMAN PLANKTON DAN HUBUNGANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN MUARA SUNGAI ASAHAN T E S I S OLEH F. KASTRO SIMANJUNTAK NIM.

KEANEKARAGAMAN JENIS SERANGGA AIR DI SUNGAI SAMIN KABUPATEN KARANGANYAR DAN SUKOHARJO PROVINSI JAWA TENGAH. Skripsi

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Selat Bali Bagian Selatan

KEANEKARAGAMAN MAKROZOOBENTOS DI DANAU TOBA DESA HARANGGAOL KECAMATAN HARANGGAOL HORISAN KABUPATEN SIMALUNGUN

3. METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif kuantitatif.

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Perairan merupakan perpaduan antara komponen fisika, kimia dan biologi

Water Quality Black Water River Pekanbaru in terms of Physics-Chemistry and Phytoplankton Communities.

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem merupakan suatu interaksi antara komponen abiotik dan biotik

Transkripsi:

STUDI KEANEKARAGAMAN MAKROZOOBENTHOS DI ALIRAN SUNGAI BELAWAN KECAMATAN PANCUR BATU DAN KECAMATAN SUNGGAL KABUPATEN DELI SERDANG SKRIPSI OLEH: TETTY RINI REBECCA SIREGAR 050805062 DEPARTEMEN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMETERA UTARA MEDAN 2009

STUDI KEANEKARAGAMAN MAKROZOOBENTHOS DI ALIRAN SUNGAI BELAWAN KECAMATAN PANCUR BATU DAN KECAMATAN SUNGGAL KABUPATEN DELI SERDANG SKRIPSI OLEH: TETTY RINI REBECCA SIREGAR 050805062 Pembimbing II Pembimbing I Drs. Arlen H. J., M.Si Mayang S. Y., S.Si., M.Si NIP. 19581018 199003 1001 NIP. 132 206 571 DEPARTEMEN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMETERA UTARA MEDAN 2009

KATA PENGANTAR Puji dan syukur Penulis Panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus, yang telah memberikan berkat dan karunia-nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan hasil penelitian yang berjudul Studi Keanekaragaman Makrozoobenthos di Aliran Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu dan Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang dalam waktu yang telah ditetapkan. Pada kesempatan ini Penulis juga ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Mayang Sari Yeanny, S.Si dan Bapak Drs. Arlen H. J., M.Si, selaku Dosen Pembimbing I dan Pembimbing II, yang telah banyak memberikan dorongan, bimbingan, arahan, waktu serta perhatian yang besar terutama saat Penulis memulai penulisan hingga penyusunan hasil penelitian ini selesai. Penulis juga ingin mengucapkan terimakasih kepada Ibu Dra. Nunuk Priyani M.Sc, selaku Dosen Pembimbing Akademik dan juga kepada Bapak Dr. Dwi Suryanto, M.Sc sebagai Ketua Departemen Biologi FMIPA USU. Ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada kedua orang tua penulis yang sangat penulis cintai (P. Siregar dan E. br. Hutagalung) atas ketulusan cinta, doa, nasihat dan segala dukungan yang mereka berikan kepad penulis. Kepada seluruh keluarga besar penulis kak Rumondang Siregar, S.H dan Bang Sitompul, Kak Ruth Pita Siregar, S.P dan Bang Pardede, Kak Renta Siregar, S.Sos dan Bang Simatupang, Bang Daniel Siregar, Sarah Siregar, keponakkan tersayang Martha Sitompul dan Markus Sitompul, terimakasih atas senyum, dan semangat yang selalu kalian berikan kepadaku. Tuhan selalu memberikan yang terbaik buat kita semua. Amien. Kepada sahabat-sahabat tersayangku Biologi 2005 (Erna, Rico, Julita, Riris, Delni, Ruth, Simlah, Phyle, Valen, Taripar, Misran, Toberni, Sidahin, Erni, Rosida,

Andini, Dwi, Susanty Siagian, Sarmut, Fendi, Kabul, Irfan, Winda, Widya, Wulan, Dini, Fifi, Putri, Rahmad, Juned, Andi, Maysarah, Sarah, Siti, Fatimah, Eri, Yanti, Susi, Nikmah, Kalista, Elfrida, Utin, Diana, Umi, Seneng, Mustika, Naverta, Nia) terimakasih atas kebersamaan yang telah kita selama ini, kalian membuat hidupku lebih berwarna. Kepada tim lapangan Inchai, Desi, Jayana, Reymond, Anri, Erna, terimakasih atas semangat dan bantuan kalian, sukses buat kita semua. Kepada Keluarga besar Biologi USU terimakasih atas senyum tulus yang kalian berikan pada penulis. Kepada seluruh pihak yang tidak dapat penulis ucapkan satu persatu, terimakasih atas dukungan, semangat, dan kasih sayang kalian kepada penulis. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan hasil penelitian ini, untuk itu Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak demi kesempurnaan hasil penelitian ini. Sebelum dan sesudahnya Penulis mengucapkan terimakasih. Medan, November 2009 Penulis

ABSTRAK Penelitian tentang Keanekaragaman Makrozoobenthos di Aliran Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu dan Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang telah dilakukan pada bulan Mei 2009 sampel diambil dari 5 stasiun penelitian dan dilakukan 15 kali perulangan pada setiap Stasiun. Titik pengambilan sampel ditentukan dengan metode Purposive Random Sampling. Sampel diambil dengan menggunakan Surber net kemudian diidentifikasi di Laboratorium Sistematika Hewan Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara, Medan. Dari hasil penelitian didapatkan sebanyak 33 genus makrozoobenthos yang terdiri dari 4 filum, 5 kelas, 11 ordo, dan 22 famili. Nilai kepadatan populasi tertinggi didapatkan dari genus Pomatiopsis sebesar 101,48 ind/m 2 yang ditemukan pada Stasiun V. Indeks Keanekaragaman (H ) makrozoobenthos tertinggi didapatkan pada Stasiun II sebesar 2,42 dan terendah pada Stasiun V sebesar 0,58. Indeks Keseragaman makrozoobenthos tertinggi didapatkan pada Stasiun II sebesar 0,92 dan yang terendah pada Stasiun V sebesar 0,28. Indeks Similaritas tertinggi didapatkan antara Stasiun I dan Stasiun III sebesar 64,51% dan terendah antara Stasiun II dan Stasiun V sebesar 27,27%. Dari hasil analisis korelasi pearson menunjukkan bahwa penetrasi cahaya, intensitas cahaya, DO, kejenuhan oksigen berkorelasi searah terhadap keanekaragaman makrozoobenthos, sedangkan temperatur, kecepatan arus, ph, BOD 5, COD, dan kandungan organik substrat berkorelasi berlawanan terhadap keanekaragaman makrozoobenthos. Kata kunci: Keanekaragaman, Makrozoobenthos, Sungai Belawan.

ABSTRACT Research about the Diversity Of Macrozoobenthic in Belawan river flow Pancur Batu Subdistrict and Sunggal Subdistrict Deli Serdang Regency have been done in May 2009 and from this research we want to know Sampel were collected from five Stations by Purposive Random Sampling method. Surber net s was used to taken the sampel. Samples were identified in Laboratory Animal Systematic, Department of Biology, Faculty of Mathematic and Natural Sciences of North Sumatera University, Medan. The result showed that there were found 33 genera of macrozoobenthic within 4 phylum, 5 class, 11 ordo, and 22 family. The highest population density was Pomatiopsis with 101,48 ind/m 2 that was founded in Station five. The highest diversity index (H ) of makrozoobenthic was founded in Station two with 2,42 and the smallest in Station five with 0,58. The highest equitability index was founded in Station two with 0,92 and smallest in Station five with 0,28. The highest similarity index was found between Station one and Station three with 64,51% and smallest between Station two and Station four with 27,27%. From according to the analysis of Pearson Correlation, penetration, light intensity, DO, Oxygen saturation has the direct correlated to the diversity of macrozoobenthic, while light temperature, current velocity, ph, BOD 5, COD, and substrat organic has the opposite correlated to the diversity of macrozoobenthic. Key words: Diversity, Macrozoobenthic, Belawan River.

DAFTAR ISI halaman

Kata Pengantar Abstrak Abstract Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar Daftar Lampiran Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang 1.2 Permasalahan 1.3 Tujuan Penelitian 1.4 Hipotesis 1.5 Manfaat Penelitian Bab 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Ekosistem Sungai 2.2 Pencemaran Sungai 2.3 Benthos 2.4 Faktor-faktor Abiotik yang Mempengaruhi Makrozoobenthos Bab 3 Bahan dan Metoda 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Metoda Penelitian 3.3 Pengambilan Sampel 3.4 Identifikasi Sampel 3.5 Pengukuran Faktor Fisik dan Kimia Perairan 3.6 Analisis Data Bab 4 Hasil dan Pembahasan 4.1 Klasifikasi Makrozoobenthos 4.2 Parameter Abiotik 4.3Analisis Korelasi Pearson Dengan Metode Komputerisasi SPSS Ver. 13.00 Bab 5. Kesimpulan dan Saran 5.1 Kesimpulan 5.2 Saran Daftar Pustaka i iii iv v vi vii viii 1 1 2 3 3 3 4 4 4 5 7 10 10 13 13 13 13 16 19 19 29 34 36 36 37 38 44

DAFTAR TABEL halaman Tabel 3.1 Alat dan Satuan yang Dipergunakan dalam Pengukuran Faktor Fisik Kimia Perairan Tabel 4.1 Klasifikasi Makrozoobenthos Yang Didapatkan di Aliran Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu dan Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang Tabel 4.2 dnilai Kepadatan Populasi (ind/m 2 ), Kepadatan Relatif (%) dan Frekuensi Kehadiran (%) Makrozoobenthos Pada Setiap Stasiun Penelitian Tabel 4.3 Nilai KR>10 % dan FK>25 % dari Makrozoobenthos yang Didapatkan pada Setiap Stasiun Penelitian Tabel 4.4 Indeks Keanekaragaman (H ) dan Indeks Keseragaman (E) Makrozoobenthos Pada Setiap Stasiun Penelitian Tabel 4.5 Indeks Similaritas (IS) (%) Makrozoobenthos Pada Setiap Stasiun Penelitian Tabel 4.6 Rata-rata Nilai Faktor Fisik Kimia Perairan Yang Diperoleh Pada Setiap Stasiun Penelitian Tabel 4.7 Nilai Analisis Korelasi Pearson Antara Indeks Keanekaragaman Makrozoobenthos dengan Faktor Fisik Kimia Perairan Tabel 4.8 Nilai koefisien Korelasi 16 19 21 26 27 29 30 34 35

DAFTAR GAMBAR halaman Gambar 3.1 Lokasi Penelitian Stasiun I 10 Gambar 3.2 Lokasi Penelitian Stasiun II 11 Gambar 3.3 Lokasi Penelitian Stasiun III 11 Gambar 3.4 Lokasi Penelitian Stasiun IV 12 Gambar 3.5 Lokasi Penelitian Stasiun V 12

DAFTAR LAMPIRAN halaman Lampiran A. Bagan Kerja Metode Winkler Untuk Mengukur DO 41 Lampiran B. Bagan Kerja Metode Winkler Untuk Mengukur BOD 5 42 Lampiran C. Bagan Kerja Pengukuran COD Dengan Metode Refluks 43 Lampiran D. Bagan Kerja Pengukuran Kadar Organik Substrat 44 Lampiran E. Nilai Oksigen Terlarut Maksimum (mg/l) Pada Berbagai Besaran Temperatur Air 45 Lampiran F. Citra Satelit Lokasi Penelitian 46 Lampiran G. Foto Makrozoobenthos Yang Didapatka Pada Setiap Stasiun Penelitian 47 Lampiran H. Hasil Analisis Korelasi Pearson 53 Lampiran I. Data Mentah Makrozoobenthos Yang Didapatkan Pada Setiap Stasiun Penelitian 54 Lampiran J. Contoh Hasil Perhitungan 59 Lampiran K. Analisis COD dan Kandungan Organik Substrat Pada Setiap Stasiun Penelitian 61

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sungai merupakan jaringan alur-alur pada permukaan bumi yang terbentuk secara alamiah, mulai dari bentuk kecil di bagian hulu sampai besar di bagian hilir (Loebis et al, 1993). Selanjutnya dinyatakan bahwa air hujan yang jatuh di atas permukaan bumi dalam perjalannya sebagian kecil menguap dan sebagian besar menyerap ke dalam tanah dan ada juga yang mengalir ke tempat-tempat yang lebih rendah, kemudian menjadi alur sedang seterusnya mengumpul menjadi satu alur besar atau utama yang disebut dengan sungai dan terus mengalir ke laut. Dengan demikian dapat dikatakan sungai berfungsi menampung curah hujan dan mengalirkannya ke laut. Sungai bagian dari ekosistem air tawar yang ditandai dengan adanya aliran yang diakibatkan karena adanya arus. Arus adalah aliran air yang terjadi karena adanya perubahan vertikal per satuan panjang (Asdak, 1995). Selanjutnya dijelaskan bahwa sungai juga ditandai dengan adanya anak sungai yang menampung dan menyimpan serta mengalirkan air hujan ke laut melalui sungai utama. Sungai merupakan suatu sistem yang dinamis dengan segala aktivitas yang berlangsung antara komponen-komponen lingkungan yang terdapat di dalamnya. Sehingga sungai merupakan salah satu habitat bagi berbagai jenis organisme air

termasuk makrozoobenthos yang dapat memberikan gambaran kualitas dan kuantitas dari hubungan ekologis yang terdapat di perairan tersebut (Barus, 2004). Wargadinata (1995) menyatakan bahwa, sungai merupakan salah satu perairan yang dipengaruhi oleh banyak faktor, baik oleh faktor alam maupun aktivitas manusia. Pada umumnya aktivitas manusia yang mempengaruhi ekosistem sungai meliputi kegiatan pertanian, pemukiman, dan industri. Secara langsung atau tidak langsung sampah atau limbah pertanian, pemukiman, dan industri yang masuk ke sungai dapat mengakibatkan perubahan terhadap sifat fisik, kimia maupun sifat biologi sungai. Sungai juga mempunyai fungsi yang sangat penting dalam memenuhi kebutuhan masyarakat, yaitu sebagai sarana transportasi, mandi, mencuci, dan sebagainya. Tetapi sungai dapat menjadi malapetaka apabila tidak dijaga, baik dari segi manfaatnya maupun pengamanannya, misalnya dengan tercemarnya air oleh zatzat kimia akan mempengaruhi kehidupan yang ada disekitarnya dan merusak lingkungan (Subagyo, 1992). Sungai Belawan merupakan salah satu sungai yang secara keseluruhan mempunyai panjang ± 72 km, yang mengalir dari hulu (Kuta Limabaru) sampai hilir (Selat Malaka). Disepanjang aliran Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu dan Kecamatan Sunggal terdapat berbagai macam aktivitas manusia, seperti pemukiman penduduk, pertanian, rekreasi, lalu lintas truk, PDAM Tirtanadi Sunggal, dan kegiatan industri. Dengan adanya berbagai aktivitas tersebut dapat menimbulkan dampak negatif terhadap kualitas perairan, diantaranya perubahan faktor fisik maupun kimia perairan, sehingga akan berakibat buruk bagi kehidupan organisme air diantaranya adalah makrozoobenthos. Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Studi Keanekaragaman Makrozoobenthos di Aliran Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu dan Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang.

1.2 Permasalahan Beragamnya aktivitas di Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu dan Kecamatan Sunggal, baik secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap faktor fisik kimia perairan, dimana perubahan faktor fisik kimia perairan tersebut akan mempengaruhi keanekaragaman makrozoobenthos di perairan tersebut, namun demikian sampai saat ini belum diketahui bagaimanakah keanekaragaman makrozoobenthos di aliran Sungai Belawan tersebut. 1.3 Tujuan Penelitian a. Mengetahui keanekaragaman makrozoobenthos di aliran Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu dan Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang. b. Mengetahui hubungan faktor fisik kimia terhadap keanekaragaman makrozoobenthos di aliran Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu dan Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang. 1.4 Hipotesis a. Terdapat perbedaan keanekaragaman makrozoobenthos pada setiap stasiun penelitian di aliran Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu dan Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang. b. Terdapat hubungan faktor fisik-kimia perairan terhadap keanekaragaman makrozoobenthos di aliran Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu dan Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang. 1.5 Manfaat Penelitian

a. Memberikan informasi mengenai keanekaragaman makrozoobenthos di aliran Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu dan Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang. b. Memberikan informasi yang berguna bagi pihak yang membutuhkan tentang kondisi lingkungan perairan Sungai Belawan berkaitan dalam upaya menjaga kelestariannya. BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Sungai Ekosistem air yang terdapat di daratan secara umum dibagi atas 2 yaitu perairan berarus tenang (perairan lentik), misalnya danau, rawa, waduk, dan sebagainya, serta perairan berarus deras (perairan lotik), misalnya sungai, kali, kanal, parit, dan sebagainya. Perbedaan utama antara perairan lotik dan lentik adalah dalam kecepatan arus air. Perairan lentik mempunyai kecepatan arus yang lambat serta terjadi akumulasi massa air dalam periode waktu yang lama, sedangkan perairan lotik umumnya mempunyai kecepatan arus yang tinggi, disertai perpindahan massa air yang berlangsung dengan cepat (Barus, 2004). Sungai sebagai salah satu perairan lotik mempunyai zonasi longitudinal dimana pada aliran air dapat dijumpai tingkat yang lebih tinggi dari hulu ke hilir (Odum, 1994). Perubahan lebih terlihat pada bagian atas atau hulu dari aliran air karena kemiringan, volume aliran dan komponen kimia berubah dengan cepat. Komunitas

biologi di sepanjang aliran sungai dapat dipengaruhi oleh kedalam aliran, komposisi substrat dan kecepatan arus (Whitten et al, 1987). 2.2 Pencemaran Sungai Pada umumnya ekosistem sungai dimanfaatkan masyarakat untuk berbagai keperluan, diantaranya perikanan, transportasi air, tempat akhir pembuangan limbah, industri, pertanian, irigasi, rekreasi (pemandian) dan untuk kebutuhan domestik misalnya kebutuhan air minum dan kebutuhan sehari-hari (Loebis et al, 1993). Masalah pencemaran sungai merupakan salah satu jenis pencemaran yang saat ini telah menarik perhatian secara luas karena telah tumbuh menjadi masalah internasional (Danusaputro, 1985). Aktivitas suatu komponen ekosistem selalu memberi pengaruh pada komponen ekosistem yang lain. Manusia merupakan salah satu komponen yang paling penting dimana sebagai komponen yang dinamis, manusia seringkali mengakibatkan dampak pada salah satu komponen lingkungan yang mempengaruhi ekosistem secara keseluruhan (Asdak, 1995). Ada beberapa sumber pencemaran yang dapat membahayakan suatu badan perairan sungai, misalnya industrilisasi dan pembuangan limbah berbahaya dan beracun ke sungai dapat mengakibatkan terganggunya ekosistem sungai, diantaranya dari kelompok nekton dan benthos (Kusumaatmaja, 1996). 2.3 Benthos Benthos adalah organisme air yang mendiami dasar perairan dan tinggal di dalam atau pada sedimen dasar perairan. Hewan ini memegang peranan penting dalam perairan seperti dalam proses dekomposisi dan mineralisasi material organik yang memasuki perairan, serta menduduki beberapa tingkatan trofik dalam rantai makanan (Cole, 1983). Berdasarkan sifat hidupnya benthos dibedakan antara fitobenthos yaitu

organisme benthos yang bersifat tumbuhan dan zoobenthos yaitu organisme benthos yang bersifat hewan (Barus, 2004). Berdasarkan letaknya benthos dapat dibedakan menjadi 2 kelompok, yaitu infauna dan epifauna. Infauna adalah benthos yang hidupnya terpendam di dalam substrat perairan dengan cara menggali lubang, sebagian besar hewan tersebut hidup sesil dan tinggal di suatu tempat. Epifauna adalah benthos yang hidup di permukaan dasar perairan yang bergerak dengan lambat di atas permukaan dari sedimen yang lunak atau menempel dengan kuat pada substrat padat yang terdapat pada dasar perairan (Barnes & Mann, 1994). Menurut Lalli & Parsons (1993), berdasarkan ukuran tubuhnya zoobenthos dapat dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu: 1) Makrobenthos, kelompok hewan yang lebih besar dari 1,0 mm. Kelompok ini adalah hewan bentos yang terbesar, jenis hewan yang termasuk kelompok ini adalah molusca, annelida, crustaceae, beberapa insekta air dan larva dari diptera, odonata dan lain sebagainya. 2) Mesobenthos, kelompok bentos yang berukuran antara 0,1 mm 1,0 mm. Kelompok ini adalah hewan kecil yang dapat ditemukan di pasir atau lumpur. Hewan yang termasuk kelompok ini adalah molusca kecil, cacing kecil dan crustaceae kecil. 3) Mikrobenthos, kelompok benthos yang berukuran lebih kecil dari 0,1 mm. Kelompok ini merupakan hewan yang terkecil. Hewan yang termasuk ke dalamnya adalah protozoa khususnya ciliata. Benthos sering digunakan untuk menduga ketidakseimbangan lingkungan fisik, kimia dan biologi suatu perairan. Perairan yang tercemar akan mempengaruhi kelangsungan hidup organisme perairan, diantaranya adalah makrozoobenthos, karena

makrozoobenthos merupakan organisme air yang mudah terpengaruh oleh adanya bahan pencemar, baik bahan pencemar kimia maupun fisik (Odum, 1994), selanjutnya dijelaskan bahwa benthos dapat dijadikan sebagai indikator biologis, berdasarkan pada: a. Mobilitas terbatas sehingga memudahkan dalam pengambilan sampel. b. Ukuran tubuh relatif lebih besar sehingga memudahkan untuk identifikasi. c. Hidup di dasar perairan, relatif diam sehingga secara terus menerus terdedah (exposed) oleh air sekitarnya. d. Pendedahan yang terus menerus mengakibatkan makrozoobenthos dipengaruhi oleh keadaan lingkungan. e. Perubahan lingkungan mempengaruhi keanekaragaman makrozoobenthos. 2.4 Faktor-faktor Abiotik yang Mempengaruhi Makrozoobenthos Sifat fisik kimia perairan sangat penting dalam ekologi. Oleh karena itu selain melakukan pengamatan terhadap faktor biotik, seperti makrozoobenthos, perlu juga dilakukan pengamatan faktor-faktor abiotik (fisik-kimia) perairan, karena antara faktor abiotik dengan biotik saling berinteraksi (Nybakken, 1988). Faktor abiotik (fisik kimia) perairan yang mempengaruhi kehidupan makrozoobenthos antara lain: 2.4.1 Temperatur Temperatur merupakan faktor pembatas bagi pertumbuhan hewan bentos. Batas toleransi hewan benthos terhadap temperatur tergantung spesiesnya. Umumnya

temperatur diatas 30 C dapat menekan pertumbuhan populasi hewan bentos (James & Evison, 1979). Pola temperatur ekosistem akuatik dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti intensitas cahaya matahari, pertukaran panas antara air dan udara sekelilingnya dan juga oleh faktor kanopi (penutupan oleh vegetasi) dari pepohonan yang tumbuh di tepi perairan. Kelarutan berbagai jenis gas di dalam air serta semua aktivitas biologisfisiologis di dalam ekosistem akuatik sangat dipengaruhi oleh temperatur. Menurut hukum Van t Hoffs kenaikan temperatur 10 0 C (hanya pada kisaran temperatur yang masih ditolerir) akan meningkatkan aktivitas fisiologis (misalnya respirasi) dari organisme sebesar 2-3 kali lipat (Barus, 2004). Naiknya temperatur air dapat menimbulkan beberapa akibat diantaranya menurunnya jumlah oksigen terlarut dalam air, meningkatkan kecepatan reaksi kimia, mengganggu kehidupan biota air, apabila batas temperatur yang mematikan terlampaui maka organisme air diantaranya makrozoobenthos mungkin akan mati (Wardhana, 1995). 2.4.2 Dissolved Oxygen (DO) Dissolved Oxygen (DO) merupakan banyaknya oksigen terlarut dalam suatu perairan. Oksigen terlarut merupakan suatu faktor yang sangat penting di dalam ekosistem perairan, terutama sekali dibutuhkan untuk proses respirasi bagi sebagian besar organisme air. Kelarutan oksigen di dalam air terutama sangat dipengaruhi oleh faktor temperatur, dimana kelarutan maksimum terdapat pada temperatur 0 0 C, yaitu sebesar 14,16 mg/l O 2. Sumber utama oksigen terlarut dalam air berasal dari adanya kontak antara permukaan air dengan udara dan juga dari proses fotosintesis. Air kehilangan oksigen melalui pelepasan dari permukaan ke atmosfer dan melalui aktivitas respirasi dari organisme akuatik (Barus, 2004).

Kisaran toleransi zoobentos terhadap oksigen terlarut berbeda-beda. Menurut Sastrawijaya (1991), kehidupan zoobenthos dapat bertahan jika ada oksigen terlarut minimum sebanyak 5 mg/l, selebihnya tergantung kepada ketahanan organisme, derajat keaktifan, kehadiran pencemar, temperatur air dan sebagainya. 2.4.3 Biological Oxygen Demand (BOD) Biological Oxygen Demand (BOD) adalah peristiwa penguraian bahan buangan organik melalui proses oksidasi oleh mikroorganisme di dalam air (Wardhana, 1995). Nilai Biological Oxygen Demand (BOD) menyatakan jumlah oksigen yang diperlukan oleh mikroorganisme aerobik dalam proses penguraian senyawa organik, yang diukur pada suhu 20 0 C. Dari hasil penelitian misalnya diketahui bahwa untuk menguraikan senyawa organik yang terdapat di dalam limbah rumah tangga secara sempurna, mikroorganisme membutuhkan waktu sekitar 20 hari lamanya. Mengingat bahwa waktu selama 20 hari dianggap terlalu lama dalam proses pengukuran ini, sementara dari hasil penelitian diketahui bahwa setelah pengukuran dilakukan dalam 5 hari jumlah senyawa organik yang diuraikan sudah mencapai 70%, maka pengukuran yang umum dilakukan adalah pengukuran selama 5 hari (BOD 5 ) (Förstner, 1990 dalam Barus, 2004). Nilai konsentrasi BOD 5 pada suatu badan perairan dapat mempengaruhi kehidupan biota air diantaranya zoobenthos. Batas toleransi hewan benthos terhadap BOD 5 tergantung spesiesnya. Umumnya nilai konsentrasi BOD 5 di atas 10 mg/l - 20 mg/l O 2 dapat menekan pertumbuhan populasi hewan benthos (Brower et al, 1990). 2.4.4 ph Setiap spesies memiliki kisaran toleransi yang berbeda terhadap ph. ph yang ideal bagi kehidupan organisme akuatik termasuk makrozoobenthos pada umumnya

berkisar antara 7 sampai 8,5. Kondisi perairan yang sangat asam ataupun sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan gangguan metabolisme dan respirasi. ph yang sangat rendah akan menyebabkan mobilitas berbagai senyawa logam berat yang bersifat toksik semakin tinggi yang tentunya akan mengancam kelangsungan hidup organisme akuatik, dan ph yang tinggi akan menyebabkan keseimbangan antara amonium dan amoniak dalam air akan terganggu, dimana kenaikan ph di atas netral akan meningkatkan konsentrasi amoniak yang juga bersifat sangat toksik bagi organisme termasuk makrozoobenthos (Barus, 2004). 2.4.5 Substrat Dasar Substrat dasar merupakan faktor utama yang sangat mempengaruhi kehidupan, perkembangan dan keanekaragaman zoobenthos. Susunan substrat dasar penting bagi organisme yang hidup di zona dasar seperti benthos, baik pada air diam maupun air mengalir (Michael, 1984). Substrat dasar yang berupa batu-batu pipih dan batu kerikil merupakan lingkungan hidup yang baik zoobenthos sehingga bisa memiliki keanekaragaman dan kepadatan yang besar (Odum, 1994). Dasar perairan berupa pasir dan sedimen halus merupakan lingkungan hidup yang kurang baik untuk hewan bentos (Koesbiono, 1979). BAB 3 BAHAN DAN METODA

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2009, di aliran Sungai Belawan, Kecamatan Pancur Batu dan Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang, pada 5 (lima) stasiun pengamatan, sebagai berikut: a. Stasiun I Stasiun ini terletak di Desa Salam Tani, Kecamatan Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang, yang secara geografis terletak pada 03 0 27 42,0 LU 098 0 35 15,9 BT. Di daerah ini tidak dijumpai pemukiman penduduk dan aktivitas masyarakat (kontrol). Substrat pada stasiun ini berupa pasir berbatu dan terdapat vegetasi berupa Araceae, Arecaceae, Malvaceae, Poaceae, dan Pteridophyta. Gambar 3.1 Lokasi Penelitian Stasiun I b. Stasiun II Stasiun ini terletak di Desa Lama, Kecamatan Pancur batu, Kabupaten Deli Serdang, yang secara geografis terletak pada 03 0 28 50,0 LU 098 0 35 06,4 BT. Di daerah ini terdapat aktivitas lalu lintas truk. Substrat pada stasiun ini berupa pasir berbatu dan terdapat vegetasi berupa Araceae, Asteraceae, Malvaceae, Moraceae, Musaceae, Piperaceae, dan Poaceae.

Gambar 3.2 Lokasi Penelitian Stasiun II c. Stasiun III Stasiun ini terletak di Desa Tanjung Slamat, Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang, yang secara geografis terletak pada 03 0 32 23,6 LU 098 0 35 41,2 BT. Daerah ini merupakan daerah rekreasi. Substrat pada stasiun ini berupa pasir berbatu dan terdapat vegetasi berupa Asteraceae, Moraceae, Musaceae, Piperaceae, dan Poaceae. Gambar 3.3 Lokasi Penelitian Stasiun III d. Stasiun IV Stasiun ini terletak di Desa Sunggal Kanan, Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang, yang secara geografis terletak pada 03 0 33 54,2 LU 098 0 36 34,0 BT. Di daerah ini terdapat kegiatan PDAM Tirtanadi Sunggal. Substrat pada stasiun ini

berupa pasir berbatu dan berlumpur dan terdapat vegetasi berupa Amaranthaceae, Anacardiaceae, Araceae, Asteraceae, Malvaceae, Musaceae, dan Poaceae. Gambar 3.4 Lokasi Penelitian Stasiun IV e. Stasiun V Stasiun ini terletak di Kelurahan Kampung Lalang, Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang, yang secara geografis terletak pada 03 0 35 56,6 LU 098 0 36 19,1 BT. Di daerah ini terdapat kegiatan industri pabrik. Substrat pada stasiun ini berupa lumpur berpasir dan berbatu, dan terdapat vegetasi berupa Araceae, Asteraceae, Malvaceae, Musaceae, dan Poaceae. Gambar 3.5 Lokasi Penelitian Stasiun V 3.2 Metoda Penelitian

Metoda yang digunakan dalam penentuan lokasi sampling untuk pengambilan sampel makrozoobenthos adalah Purpossive Random Sampling pada lima stasiun pengamatan. Pada masing-masing stasiun dilakukan 15 (limabelas) kali ulangan. 3.3 Pengambilan Sampel Pengambilan sampel Makrozoobenthos dilakukan dengan menggunakan surber net yang diletakkan pada dasar sungai dengan posisi melawan arah arus. Sampel yang didapat disortir dengan menggunakan Metoda Hand Sortir, selanjutnya dibersihkan dengan air, kemudian dimasukkan ke dalam botol koleksi yang berisi alkohol 70% sebagai pengawet lalu diberi label dan diidentifikasi. 3.4 Identifikasi Sampel Identifikasi sampel dilakukan di Laboratorium Sistematika Hewan Departemen Biologi FMIPA USU dengan menggunakan buku identifikasi Edmoson (1963), Pennak (1978), McCafferty (1983), dan Sterrer (1986). 3.5 Pengukuran Faktor Fisik dan Kimia Perairan 3.5.1 Temperatur Temperatur diukur dengan menggunakan termometer air raksa, dimana termometer air raksa dimasukkan ke dalam air ± 10 menit kemudian dibaca skalanya.

3.5.2 Penetrasi Cahaya Diukur dengan menggunakan keping seechi yang dimasukkan ke dalam badan air sampai keping seechi tidak terlihat, kemudian diukur panjang tali yang masuk ke dalam air. 3.5.3 Kecepatan Arus Dilakukan dengan menggunakan gabus yang diletakkan di atas air, dan dibiarkan mengalir mengikuti arus, kecepatan arus diukur dengan stopwatch sesuai dengan jarak yang ditentukan. 3.5.4 ph ph diukur dengan menggunakan ph meter dengan cara memasukkan ph meter ke dalam sampel air yang diambil dari dasar perairan sampai pembacaan pada alat konstan dan dibaca angka yang tertera pada ph meter tersebut. 3.5.5 Dissolved Oxygen (DO) Dissolved Oxygen (DO) diukur dengan menggunakan metoda winkler. Sampel air diambil dari dasar perairan dan dimasukkan ke dalam botol winkler kemudian dilakukan pengukuran oksigen terlarut. Bagan kerja terlampir (Lampiran A).

3.5.6 Kejenuhan Oksigen Kejenuhan oksigen dapat dihitung dengan menggunakan rumus: O2( u) Kejenuhan (%) = x100% O2( t) Dimana: O 2 (u) = Nilai konsentrasi oksigen yang diukur (mg/l) O 2 (t) = Nilai konsentrasi oksigen sebenarnya sesuai dengan harga temperatur. Tabel nilai oksigen terlarut makisimum terlampir (Lampiran E). 3.5.7 BOD 5 Pengukuran BOD 5 dilakukan dengan menggunakan metoda winkler. Sampel air yang diambil dari dasar perairan dimasukkan ke dalam botol winkler. Bagan kerja terlampir (Lampiran B). 3.5.8 Chemical Oxygen Demand (COD) Pengukuran COD dilakukan dengan metoda refluks di Laboratorium Pusat Penelitian Lingkungan Universitas Sumatera Utara Medan. Bagan kerja terlampir (Lampiran C). 3.5.9 Kandungan Organik Substrat Pengukuran kandungan organik substrat dilakukan dengan metoda analisa abu, dengan cara substrat diambil, ditimbang sebanyak 100 gr dan dimasukkan ke dalam oven dengan temperatur 45 0 C sampai beratnya konstan (2-3 hari), substrat yang kering digerus di lumpang dan dimasukkan kembali ke dalam oven dan dibiarkan selama 1

jam pada temperatur 45 0 C agar substrat benar-benar kering. Kemudian ditmbang 25 gr dan diabukan dalam tanur dengan temperatur 700 0 C selama 3,5 jam. Kemudian substrat yang tertinggal ditimbang berat akhirnya, dan dihitung kandungan organik substrat dengan rumus: dengan: A B KO = x 100% A KO A B = Kandungan organik = Berat konstan substrat = Berat abu Analisa kandungan organik substrat dilakukan di Laboratorium Pusat Penelitian Lingkungan Universitas Sumatera Utara. Bagan kerja terlampir (Lampiran D). Secara keseluruhan pengukuran faktor fisik kimia berserta satuan dan alat yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 3.1. Tabel 3.1 Alat dan Satuan yang Dipergunakan dalam Pengukuran Faktor Fisik Kimia Perairan. No. Parameter Satuan Alat Tempat 1. Temperatur air o C Termometer Air Raksa In-situ 2. Penetrasi cahaya Cm Keping Seechi In-situ 3. Intensitas cahaya Candela Lux Meter In-situ 4. Kecepatan arus m / det Stopwatch, gabus, dan meteran In-situ 5. ph air - ph air In-situ 6. DO Mg/l Metoda Winkler In-situ 7. Kejenuhan oksigen % - In-situ 8. BOD 5 Mg/l Metoda Winkler dan Inkubasi Laboratorium 9. COD Mg/l Metoda Refluks Laboratorium 10. Kandungan organik % Oven dan Tanur Laboratorium 3.6 Analisis Data

Data makrozoobenthos yang diperoleh dihitung nilai kepadatan populasi, kepadatan relatif, frekuensi kehadiran, indeks diversitas Shannon-Wienner, indeks ekuitabilitas, indeks similaritas, dan analisa korelasi dengan persamaan menurut Michael (1984), Krebs (1985), dan Barus (2004) sebagai berikut: a. Kepadatan Populasi (K) Jumlah individu suatu spesies K = Unit Sampel b. Kepadatan Relatif (KR) K suatu spesies KR = x 100% K total c. Frekuensi Kehadiran (FK) Jumlah ulangan yang ditempati suatu spesies FK = x 100% Jumlah total ulangan dimana nilai FK : 0 25% = sangat jarang 25 50% = jarang 50 75% = sering > 75% = sangat sering d. Indeks Diversitas Shannon Wienner (H ) atau Indeks Keanekaragaman dimana :H In Pi s H = pi ln pi i= 1 = indeks diversitas Shannon-Wienner = logaritma nature = Σ ni/n (Perbandingan jumlah individu suatu jenis dengan keseluruhan jenis) dengan nilai H : 0<H <2,302 = keanekaragaman rendah 2,302<H <6,907 = keanekaragaman sedang H >6,907 = keanekaragaman tinggi

e. Indeks Equitabilitas (E) atau Indeks Keseragaman Indeks equitabilitas (E) = H' H max dimana : H = indeks diversitas Shannon-Wienner H maks = keanekaragaman spesies maksimum = In S (dimana S banyaknya spesies) dengan nilai E berkisar antara 0-1 f. Indeks Similaritas (IS) atau Indeks Kesamaan 2c IS = x 100% a + b dengan: a = jumlah spesies pada lokasi a b = jumlah spesies pada lokasi b c = jumlah spesies yang sama pada lokasi a dan b Bila: IS = 75 100% : sangat mirip IS = 50 75% : mirip IS = 25 50% : tidak mirip IS = 25% : sangat tidak mirip g. Analisis Korelasi

Analisis korelasi dianalisis menggunakan Analisis Korelasi Pearson dengan metoda komputerisasi SPSS Ver.13.00. Dimana yang dikorelasikan adalah faktor fisik kimia perairan terhadap keanekaragaman makrozoobenthos yang diperoleh. BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Klasifikasi Makrozoobenthos Dari penelitian yang telah dilakukan didapatkan makrozoobenthos yang termasuk ke dalam 4 filum, 5 kelas, 11 ordo, 22 famili, dan 33 genus yang tersebar pada 5 (lima) stasiun penelitian dengan klasifikasi berdasarkan tingkat hirarkinya seperti terlihat pada Tabel 4.1 di bawah ini : Tabel 4.1 Klasifikasi Makrozoobenthos Yang Didapatkan di Aliran Sungai Belawan Kecamatan Pancur Batu dan Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang. No. Filum Kelas Ordo Famili Genus Stasiun I II III IV V 1. Annelida Chaetopoda Oligochaeta Tubificidae Tubifex - - - + + 2. Arthropoda Crustaceae Decapoda Palaemonidae Macrobrachium - + - + - Palaemonetes + - + + + Dytiscidae Laccophilus - - + - - Elmidae Heterlimnius - - - - + Coleoptera Insecta Stenelmis + + - - - Noteridae Hydrocanthus - - - - + Psephenidae Psephenus + + + - - Diptera Psychodidae Pericoma - - - + -

Ephemeroptera Heptageniidae Heptagenia + + + + + Coenagrionidae Argia - + - - - Ischnura + - - - - Odonata Gomphidae Hagenius + + + - - Progomphus + + + - - Lestidae Lestes + - - + - Macromiidae Macromia - - - + - Plecoptera Capniidae Allocapnia - + - - - Trichoptera Hydropsyche Symphitophysche - + - - - Polycentropodidae Polycentropus + + - + - Basommatophora Physidae Physa - - - + - Sphaeriidae Sphaerium + + + - + Fontigens - - - + - Gillia - - - + - Lyrodes + + + + - 3. Mollusca Gastropoda Bullimidae Pomatiopsis + + + - + Heterodonta Pyrgulopsis + - + + - Anculosa + - - - - Pleuroceridae Apella + + - - - Goniobasis + - + - - Thiaridae Tarebia - - + + - Viviparidae Lioplax + - - - - Viviparus - - + + + 4. Plathyhelminthes Turbellaria Tricladida Planariidae Planaria + - - - - TOTAL 18 14 13 15 8 Keterangan: + : Ada - : Tidak Ada Dari Tabel 4.1 dapat dilihat bahwa filum Arthropoda merupakan makrozoobenthos yang terbanyak didapatkan di aliran Sungai Belawan, Kecamatan Pancur Batu dan Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang, yang terdiri dari 2 kelas, 8 ordo, 14 famili, 18 genus, kemudian diikuti dari filum Mollusca yang terdiri dari 1 kelas, 2 ordo, 6 famili, 13 genus. Keadaan ini menunjukkan bahwa kondisi lingkungan perairan, seperti substrat dasar perairan yang berpasir dan berbatu, kandungan oksigen terlarut dalam air yang cukup tinggi (6,48-7,46 mg/l), kandungan organik substrat sebagai sumber nutrisi (0,04-6,07%), ph air (7,35-7,56), dan suhu yang tidak terlalu rendah dan tidak terlalu tinggi (lihat Tabel 4.6) di daerah ini sesuai untuk kehidupannya. Menurut Pennak (1989), Arthropoda menyukai habitat berbatu dan berpasir, kandungan oksigen terlarut dalam air yang tinggi, serta ph air yang normal. Menurut Hynes (1976), beberapa Mollusca dapat hidup dan berkembang dengan baik pada berbagai jenis substrat yang memiliki ketersediaan nutrisi yang berlimpah, kandungan oksigen terlarut dalam air tinggi, dan ph air yang normal. Sedangkan filum yang paling sedikit didapatkan adalah Annelida dan Plathyhelminthes masing-masing terdiri dari 1 kelas, 1 ordo, 1 famili dan 1 genus. Sedikitnya jumlah genus dari filum Plathyhelminthes yang didapatkan karena kondisi perairan yang kurang mendukung bagi kehidupan hewan ini, seperti kecepatan arus yang tinggi, dan kandungan oksigen terlarut yang cukup besar. Menurut Hutchinson

(1993), Plathyhelminthes dapat berkembang baik pada perairan yang memiliki kecepatan arus yang rendah. Sedangkan Annelida, terutama dari jenis Tubifex lebih menyukai lingkungan perairan dengan kadar oksigen terlarut yang rendah, hal ini sesuai dengan yang dinyatakan Sastrawijaya (1991), Tubifex banyak ditemukan pada perairan dengan kadar oksigen terlarut yang rendah dan BOD yang cukup tinggi. 4.1.1 Nilai Kepadatan Populasi (K), Kepadatan Relatif (KR), dan Frekuensi Kehadiran (FK) Makrozoobenthos Pada Setiap Stasiun Penelitian Berdasarkan data jumlah makrozoobenthos yang diperoleh pada setiap Stasiun penelitian, seperti tertera pada Lampiran I didapatkan nilai kepadatan populasi, kepadatan relatif dan frekuensi kehadiran seperti tertera pada Tabel 4.2 di bawah ini :

Tabel 4.2 Nilai Kepadatan Populasi (ind/m 2 ), Kepadatan Relatif (%) dan Frekuensi Kehadiran (%) Makrozoobenthos Pada Setiap Stasiun Penelitian. Stasiun No. Genus I II III IV V K (ind/m 2 ) KR (%) FK (%) K (ind/m 2 ) KR (%) FK (%) K (ind/m 2 ) KR (%) FK (%) K (ind/m 2 ) KR (%) FK (%) K (ind/m 2 ) KR (%) FK (%) 1. Allocapnia 0,74 3,23 6,67 2. Anculosa 0,74 0,61 6,67 3. Apella 8,15 6,75 26,66 2,96 12,90 26,66 4. Argia 0,74 3,23 6,67 5. Fontigens 2,22 1,36 20,00 6. Gillia 0,74 0,45 6,67 7. Goniobasis 6,67 5,52 33,33 5,93 10,81 26,66 8. Hagenius 3,70 3,07 13,33 0,74 3,23 6,67 0,74 1,35 6,67 9. Heptagenia 70,37 58,28 60,00 1,48 6,45 13,33 4,44 8,11 40,00 26,67 16,29 60,00 0,74 0,63 6,67 10. Heterlimnius 0,74 0,63 6,67 11. Hydrocanthus 2,22 1,90 13,33 12. Ischnura 1,48 1,23 13,33 13. Laccophilus 0,74 1,35 6,67 14. Lestes 0,74 0,61 6,67 1,48 0,90 6,67 15. Lioplax 0,74 0,61 6,67 16. Lyrodes 8,15 6,75 33,33 1,48 6,45 6,67 7,41 13,51 40,00 28,89 17,65 40,00 17. Macrobrachium 3,70 16,15 33,33 6,67 4,07 26,66 18. Macromia 1,48 0,90 6,67 19. Palaemonetes 3,70 3,07 26,66 16,30 29,73 53,33 17,04 10,37 53,33 4,44 3,80 20,00 20. Pericoma 0,74 0,45 6,67 21. Physa 0,74 0,45 6,67 22. Planaria 0,74 0,61 6,67 23. Polycentropus 1,48 1,23 6,67 2,22 9,68 13,33 5,93 3,62 20,00 24. Pomatiopsis 2,96 2,45 20,00 2,96 12,90 20,00 3,70 6,76 26,66 101,48 86,71 93,33 25. Progomphus 6,67 5,52 33,33 0,74 3,23 6,67 2,22 4,05 13,33 26. Psephenus 0,74 0,61 6,67 1,48 6,45 13,33 1,48 2,70 13,33 27. Pyrgulopsis 0,74 0,61 6,67 7,41 13,51 26,66 10,37 6,33 26,66 28. Sphaerium 2,22 1,84 13,33 2,22 9,68 20,00 0,74 1,35 6,67 1,48 1,27 13,33 29. Stenelmis 0,74 0,61 6,67 0,74 3,23 6,67 30. Symphitophysche 0,74 3,23 6,67 31. Tarebia 0,74 1,35 6,67 51,85 31,67 73,33 32. Tubifex 2,22 1,36 20,00 5,19 4,43 40,00 33. Viviparus 2,96 5,41 26,66 6,67 4,07 33,33 0,74 0,63 6,67 Total 120,73 100 22,94 100 54,81 100 163,71 100 117,03 100

Dari Tabel 4.2 di atas dapat dilihat bahwa pada Stasiun I makrozoobenthos yang memiliki nilai kepadatan populasi, kepadatan relatif dan frekuensi kehadiran tertinggi ditemukan pada genus Heptagenia dengan nilai K sebesar 70,37 ind/m 2, nilai KR sebesar 58,28 % dan nilai FK sebesar 60,00 %. Tingginya nilai kepadatan populasi, kepadatan relatif dan frekuensi kehadiran dari genus Heptagenia disebabkan kondisi lingkungan perairan yang mendukung kelangsungan hidup genus Heptagenia tersebut, seperti kondisi substrat berbatu, kandungan oksigen dalam air yang tinggi dan kecepatan arus yang cukup besar (lihat Tabel 4.6). Menurut McCafferty (1983), Heptagenia merupakan salah satu insekta yang mempunyai habitat di permukaan batu. Selain itu, merupakan jenis yang mampu hidup dan beradaptasi pada arus yang deras, dan kandungan oksigen terlarut yang tinggi. Sedangkan nilai kepadatan populasi, kepadatan relatif dan frekuensi kehadiran makrozoobenthos terendah ditemukan pada genus Anculosa, Lestes, Lioplax, Planaria, Psephenus, Pyrgulopsis, dan Stenelmis dengan nilai K sebesar 0,74 ind/m 2, KR sebesar 0,61 %, dan FK sebesar 6,67 %. Rendahnya nilai kepadatan populasi, kepadatan relatif dan frekuensi kehadiran genus tersebut disebabkan kondisi lingkungan yang tidak sesuai dengan keberadaan hewan tersebut, seperti nilai kandungan organik substrat yang sangat rendah sebesar 0,66%, dan kecepatan arus yang tinggi (lihat Tabel 4.6). Menurut Hynes (1976), Anculosa, Lioplax, dan Pyrgulopsis dapat ditemukan pada perairan yang memiliki kandungan organik substrat yang tinggi, serta temperatur air yang tinggi. Menurut McCafferty (1983), Lestes dan Psephenus ditemukan pada perairan yang berarus lambat, kandungan organik substrat yang tinggi, dan kandungan oksigen dalam air yang tinggi. Menurut Hutchinson (1993), Planaria dapat berkembang dengan baik pada perairan yang memiliki substrat dasar berbatu dan kandungan organik substrat yang tinggi. Pada Stasiun II makrozoobenthos yang memiliki nilai kepadatan populasi, kepadatan relatif dan frekuensi kehadiran tertinggi ditemukan pada genus

Macrobrachium dengan nilai K sebesar 3,70 ind/m 2, nilai KR sebesar 16,15 % dan nilai FK sebesar 33,33 %. Tingginya nilai kepadatan populasi, kepadatan relatif dan frekuensi kehadiran dari genus Macrobrachium disebabkan kondisi lingkungan seperti substrat yang berupa pasir berbatu, ph air yang normal, arus yang tidak begitu deras, ph air yang normal, dan nilai kandungan oksigen dalam air yang tinggi (lihat Tabel 4.6). Menurut Pennak (1978), kondisi perairan dengan substrat dasar perairan berpasir dan berbatu, kandungan oksigen dalam air yang cukup tinggi serta ph air yang normal sangat cocok bagi kehidupan Macrobrachium. Sedangkan nilai kepadatan populasi, kepadatan relatif dan frekuensi kehadiran makrozoobenthos terendah ditemukan pada genus Allocapnia, Argia, Hagenius, Progomphus, Stenelmis, dan Symphitophysche dengan nilai K sebesar 0,74 ind/m 2, KR sebesar 0,61 %, dan FK sebesar 6,67 %. Rendahnya nilai kepadatan populasi, kepadatan relatif dan frekuensi kehadiran genus tersebut disebabkan rendahnya jumlah kandungan organik pada stasiun ini yakni sebesar 0,04 % serta intensitas cahaya yang cukup rendah sebesar 505,60 Candela (lihat Tabel 4.6). Pennak (1978) menjelaskan bahwa Allocapnia menyukai tempat dengan substrat dasar berbatu. Menurut McCafferty (1983), Argia dijumpai pada perairan dengan kandungan oksigen dalam air tinggi, kandungan organik substrat yang tinggi, dan arus yang lambat. Menurut Hynes (1976), Hagenius adalah hewan yang menyukai habitat yang berpasir dan berbatu. Menurut McCafferty (1983), Progomphus menyukai substrat yang berpasir, berlumpur, berbatu, kandungan organik substrat yang tinggi, arus yang lambat. Menurut Seki (1982), Symphitophysche banyak ditemukan pada perairan dengan substrat berbatu, kandungan organik substrat yang tinggi, dan arus yang kuat. Menurut McCafferty (1983), Stenelmis ditemukan pada perairan yang memilki kandungan oksigen terlarut tinggi, kandungan organik substrat tinggi, substrat berbatu.

Pada Stasiun III makrozoobenthos yang memiliki nilai kepadatan populasi, kepadatan relatif dan frekuensi kehadiran tertinggi ditemukan pada genus Palaemonetes dengan nilai K sebesar 16,30 ind/m 2, nilai KR sebesar 29,73 % dan nilai FK sebesar 53,33 %. Tingginya nilai kepadatan populasi, kepadatan relatif dan frekuensi kehadiran dari genus Palaemonetes disebabkan kondisi lingkungan seperti kandungan organik substrat yang tinggi sebesar 6,07%, nilai ph yang normal dan kandungan oksigen terlarut yang tinggi (lihat Tabel 4.6). Menurut Barnes & Mann (1994), Palaemonetes dapat berkembang dengan baik pada lingkungan yang memiliki kandungan oksigen terlarut dalam air tinggi, ph normal, dan kandungan organik substrat yang tinggi. Sedangkan nilai kepadatan populasi, kepadatan relatif dan frekuensi kehadiran makrozoobenthos terendah ditemukan pada genus Hagenius, Laccophilus, Sphaerium, dan Tarebia dengan nilai K sebesar 0,74 ind/m 2, KR sebesar 1,35 %, dan FK sebesar 6,67 %. Rendahnya nilai kepadatan populasi, kepadatan relatif, dan frekuensi kehadiran genus tersebut disebabkan kondisi lingkungan yang tidak sesuai, seperti nilai kandungan oksigen dalam air yang rendah, dan nilai COD yang tinggi (lihat tabel 4.6). Menurut Hynes (1976), Hagenius adalah hewan yang menyukai habitat yang berpasir dan berbatu. Menurut McCafferty (1983), Laccophilus dapat hidup pada perairan yang memilki kandungan oksigen terlarut yang tinggi, kadar COD yang rendah, dan substrat berbatu. Menurut Pennak (1978), Sphaerium dapat hidup pada kondisi perairan dengan ph < 6, namun hewan ini punya kemampuan adaptasi yang tinggi sehingga dapat hidup pada ph > 6. Menurut Hynes (1976), genus Tarebia dapat ditemukan pada perairan dengan ph normal, oksigen terlarut yang tinggi, kandungan COD yang rendah. Pada Stasiun IV makrozoobenthos yang memiliki nilai kepadatan populasi, kepadatan relatif dan frekuensi kehadiran tertinggi ditemukan pada genus Tarebia dengan nilai K sebesar 51,85 ind/m 2, nilai KR sebesar 31,67 % dan nilai FK sebesar 73,33 %. Tingginya nilai kepadatan populasi, kepadatan relatif dan frekuensi

kehadiran dari genus Tarebia disebabkan kondisi lingkungan seperti kandungan organik substrat yang cukup tinggi sebesar 2,07 %, dan dan kandungan oksigen terlarut yang tinggi sebesar 7,26 mg/l (lihat Tabel 4.6). Menurut Hynes (1976), faktor lingkungan perairan yang menjadi pembatas bagi genus Tarebia adalah, oksigen terlarut, dan tersedianya nutrisi yang baik. Namun demikian kebanyakan jenis ini dapat menolerir perubahan lingkungan. Sedangkan nilai kepadatan populasi, kepadatan relatif dan frekuensi kehadiran makrozoobenthos terendah ditemukan pada genus Gillia, Pericoma, dan Physa dengan nilai K sebesar 0,74 ind/m 2, KR sebesar 0,45 %, dan FK sebesar 6,67 %. Rendahnya nilai kepadatan populasi, kepadatan relatif dan frekuensi kehadiran genus tersebut disebabkan kondisi lingkungan yang tidak sesuai dengan keberadaan hewan tersebut seperti tingginya nilai COD sebesar 10,85 mg/l, arus yang cukup deras sebesar 0,43 m/s (lihat Tabel 4.6). Menurut Pennak (1989), Pericoma ditemukan pada perairan dengan arus yang tidak begitu besar dan kandungan COD dalam air yang masih dapat ditolerir. Menurut Hynes (1976), Gillia dapat hidup pada perairan yang memiliki kandungan COD yang rendah. Menurut Pennak (1978), Physa arus merupakan salah satu faktor pembatas bagi hewan ini, dimana Physa dapat ditemukan pada perairan yang memiliki arus yang tidak begitu kuat. Pada Stasiun V makrozoobenthos yang memiliki nilai kepadatan populasi, kepadatan relatif dan frekuensi kehadiran tertinggi ditemukan pada genus Pomatiopsis dengan nilai K sebesar 101,48 ind/m 2, nilai KR sebesar 86,71 % dan nilai FK sebesar 93,33 %. Tingginya nilai kepadatan populasi, kepadatan relatif dan frekuensi kehadiran dari genus Pomatiopsis disebabkan kondisi lingkungan yang mendukung kehidupannya, seperti ph sebesar 7,56, suhu sebesar 25,60 0 C (lihat Tabel 4.6). Hynes (1976) menyatakan bahwa, Pomatiopsis pada umumnya hidup pada kondisi perairan yang tercemar dengan ph lebih dari 5 dan suhu yang cukup tinggi.

Sedangkan nilai kepadatan populasi, kepadatan relatif dan frekuensi kehadiran makrozoobenthos terendah ditemukan pada genus Heptagenia, Heterlimnius, dan Viviparus dengan nilai K sebesar 0,74 ind/m 2, KR sebesar 0,63 %, dan FK sebesar 6,67 %. Rendahnya nilai kepadatan populasi, kepadatan relatif dan frekuensi kehadiran genus tersebut disebabkan kondisi lingkungan yang tidak sesuai dengan keberadaan hewan tersebut seperti kandungan oksigen yang rendah, dan BOD 5 yang tinggi (lihat Tabel 4.6). Menurut Pennak (1978), Viviparus dapat hidup pada perairan yang memiliki kadar BOD 5 rendah dan kadandungan oksigen terlarut yang tinggi. Menurut McCafferty (1983), genus Heptagenia ditemukan pada perairan yang memiliki kandungan oksigen yang tinggi dan nilai BOD 5 yang rendah dan mempunyai habitat di permukaan batu besar. Menurut Pennak (1978), Heterlimnius dapat bertahan hidup pada kondisi perairan yang memiliki kandungan oksigen tinggi. 4.1.2 Nilai KR > 10% dan FK > 25% dari Makrozoobenthos yang Didapatkan pada Setiap Stasiun Penelitian Berdasarkan nilai kepadatan relatif dan frekuensi kehadiran makrozoobenthos yang diperoleh pada setiap stasiun penelitian, seperti tertera pada Tabel 4.2 maka dapat dikelompokkan makrozoobenthos yang memiliki KR > 10% dan FK > 25% seperti pada Tabel 4.3 di bawah ini : Tabel 4.3 Nilai KR > 10% dan FK > 25% dari Makrozoobenthos yang Didapatkan pada Setiap Stasiun Penelitian. No Genus Stasiun I II III IV V KR FK KR FK KR FK KR FK KR FK (%) (%) (%) (%) (%) (%) (%) (%) (%) (%) 1. Apella 12,90 26,66 2. Goniobasis 10,81 26,66 3. Heptagenia 58,28 60,00 16,29 60,00 4. Lyrodes 13,51 40,00 17,65 40,00 5. Macrobrachium 16,15 33,33 6. Palaemonetes 29,73 53,33 10,37 53,33 7. Pomatiopsis 86,71 93,33 8. Pyrgulopsis 13,51 26,66

9. Tarebia 31,67 73,33 Jumlah Genus 1 2 4 4 1 Dari Tabel 4.3 di atas dapat dilihat genus makrozoobenthos yang memiliki KR > 10% dan FK > 25% pada Stasiun I terdapat 1 genus yaitu Heptagenia, pada Stasiun II terdapat 2 genus yaitu Apella dan Macrobrachium. Sementara pada stasiun III ditemukan 4 Genus makrozoobenthos yang dapat hidup dan berkembang dengan baik yakni dari genus Goniobasis, Lyrodes, Palaemonetes dan Pyrgulopsis, pada Stasiun IV terdapat 4 genus yang dapat hidup dengan baik pada habitatnya yakni genus Heptagenia, Lyrodes, Palaemonetes dan Tarebia. Pada Stasiun V didapatkan 1 genus yakni Pomatiopsis. Hal ini disebabkan faktor abiotik pada masing-masing Stasiun dapat mendukung bagi kehidupan hewan-hewan tersebut selain itu terdapatnya suplai makanan yang cukup serta kemampuan berkompetisi dengan jenis yang lain. Suin (2002) menjelaskan, suatu habitat dikatakan cocok dan sesuai dengan perkembangan suatu organisme apabila nilai KR > 10% dan FK > 25%. Menurut Lock & William (1981), suatu individu akan dapat hidup pada habitat yang mampu menyuplai kehidupannya, jika penyuplaian akan kebutuhan kehidupannya sedikit atau minim akan berakibat spesies tersebut tidak dapat mempertahankan kehidupannya. 4.1.3 Indeks Keanekaragaman (H ) dan Indeks Keseragaman (E) Makrozoobenthos Pada Setiap Stasiun Penelitian Dari penelitian yang telah dilakukan pada setiap Stasiun penelitian didapatkan Indeks Keanekaragaman (H ) dan Indeks Keseragaman (E) makrozoobenthos seperti terlihat pada Tabel 4.4 di bawah ini : Tabel 4.4 Indeks Keanekaragaman (H ) dan Indeks Keseragaman (E) Makrozoobenthos Pada Setiap Stasiun Penelitian. Indeks Stasiun I II III IV V Keanekaragaman (H ) 1,64 2,42 2,08 1,97 0,58 Keseragaman (E) 0,56 0,92 0,81 0,72 0,28