BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN ASERTIVITAS PADA REMAJA DI SMA ISLAM SULTAN AGUNG 1 SEMARANG. Rheza Yustar Afif ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah. serta kebutuhan memungkinkan terjadinya konflik dan tekanan yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pentingnya perilaku asertif bagi setiap individu adalah untuk memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. Siswa sebagai generasi muda diharapkan berani untuk mengemukakan

I. PENDAHULUAN. lain. Menurut Supratiknya (1995:9) berkomunikasi merupakan suatu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pendapatnya secara terbuka karena takut menyinggung perasaan orang lain. Misalnya

BAB I PENDAHULUAN. Dalam masa perkembangan negara Indonesia, pendidikan penting untuk

BAB I PENDAHULUAN. kurang memahami apa yang sebenarnya diinginkan oleh dirinya.

PENDAHULUAN. membantu untuk menjalin hubungan kerja sama dan kemampuan memahami individu

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua

BAB I PENDAHULUAN. individu dengan individu yang lain merupakan usaha manusia dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Asertif. jujur, terbuka, penuh percaya diri, dan teguh pendiriannya (Davis, 1981).

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki kemampuan untuk menyesuaikan tingkah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. beranjak dewasa. Selain tugas-tugas akademis yang dikerjakan, mahasiswa juga

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan di sekolah, potensi individu/siswa yang belum berkembang

BAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

ASERTIVITAS DALAM PEMILIHAN STUDI LANJUT SISWA KELAS XII SMA DITINJAU DARI PERSEPSI TERHADAP POLA ASUH ORANGTUA NASKAH PUBLIKASI

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 1 PENDAHULUAN. Masalah yang sering terjadi pada masa remaja yaitu kasus pengeroyokan

BAB I PENDAHULUAN. dan berinteraksi dengan orang lain demi kelangsungan hidupnya. Karena pada

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

I. PENDAHULUAN. berkembang melalui masa bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa hingga. Hubungan sosial pada tingkat perkembangan remaja sangat tinggi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 KonteksMasalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. mengalami perubahan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa, biasaya. perubahan penampilan pada orang muda dan perkembangan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB V HUBUNGAN MOTIVASI BERKOMUNIKASI DENGAN EFEKTIVITAS KOMUNIKASI ANTAR ETNIS

BAB I PENDAHULUAN. banyak pilihan ketika akan memilih sekolah bagi anak-anaknya. Orangtua rela untuk

BAB I PENDAHULUAN. lain. Sebagai makhluk sosial manusia dituntut untuk dapat menyesuaikan diri,

BAB I PENDAHULUAN. dan berfungsinya organ-organ tubuh sebagai bentuk penyesuaian diri terhadap

BAB I PENDAHULUAN. artinya ia akan tergantung pada orang tua dan orang-orang yang berada di

: PETUNJUK PENGISIAN SKALA

BAB I PENDAHULUAN. maka diperlukan partisipasi penuh dari putra-putri bangsa Indonesia di berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas

BAB I PENDAHULUAN. prenatal sampai fase lanjut usia. Di antara rentang fase-fase tersebut salah

BAB II KAJIAN TEORI. sehari-hari. Perilaku sosial mempengaruhi penyesuaian sosial individu. Individu yang

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan periode transisi antara masa anak-anak ke masa dewasa

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pada prinsipnya sebagai makhluk sosial, antara individu yang satu dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. berhubungan dengan manusia lainnya dan mempunyai hasrat untuk

BAB II LANDASAN TEORI. Harga diri merupakan evaluasi individu terhadap dirinya sendiri baik secara

I. PENDAHULUAN. Sebagai makhluk sosial kita tidak akan mampu mengenal dan dikenal tanpa

BAB II LANDASAN TEORI. merupakan hak setiap individu untuk menentukan sikap, pemikiran dan emosi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. makhluk sosial. Pada kehidupan sosial, individu tidak bisa lepas dari individu

BAB I PENDAHULUAN. lainnya khususnya di lingkungannya sendiri. Manusia dalam beraktivitas selalu

BAB II LANDASAN TEORI. perhatian penuh kasih sayang kepada anaknya (Soetjiningsih, 1995). Peran

PENDAHULUAN Latar Belakang

PERBEDAAN PERILAKU ASERTIF ANTARA ETNIS JAWA DENGAN ETNIS DAYAK

BAB I PENDAHULUAN. Perhatian dunia pendidikan terhadap remaja semakin besar dan. meningkat.banyak ahli maupun praktisi yang memberikan perhatian besar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tergantung pada orangtua dan orang-orang disekitarnya hingga waktu tertentu.

Perpustakaan Unika LAMPIRAN 66

MODUL PERKULIAHAN. Kesehatan Mental. Kesehatan Mental yang Berkaitan dengan Kesejahketaan Psikologis (Penyesuaian Diri)

BAB I PENDAHULUAN. banyak pilihan ketika akan memilih sekolah bagi anak-anaknya. Mulai dari sekolah regular,

TINGKAT KEMAMPUAN ASERTIF PESERTA DIDIK DI SMA NEGERI 1 IX KOTO KABUPATEN DHARMASRAYA ABSTRACT

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa belajar bagi remaja untuk mengenal dirinya,

BAB I PENDAHULUAN. lain atau disebut manusia sebagai makhuk sosial. Semua itu didapatkan melalui

Hubungan antara Persepsi Anak Terhadap Perhatian Orang Tua dan Intensitas Komunikasi Interpersonal dengan Kepercayaan Diri pada Remaja Difabel

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS

ABSTRAK. iii. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. membutuhkan para mahasiswa yang tanggap akan masalah, tangguh, dapat di

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Proses pembelajaran merupakan bagian dari proses pendidikan. Pendidikan

PERILAKU ASERTIF PADA REMAJA AWAL MADE CHRISTINA NOVIANTI DR. AWALUDDIN TJALLA ABSTRAKSI

BAB I PENDAHULUAN. Remaja dalam arti adolescence (Inggris) berasal dari kata latin adolescere tumbuh ke

Dalam keluarga, semua orangtua berusaha untuk mendidik anak-anaknya. agar dapat menjadi individu yang baik, bertanggungjawab, dan dapat hidup secara

BAB 1 PENDAHULUAN. bagi keberlanjutan pembangunan masyarakat, bangsa, dan negara, sekaligus sebagai

HUBUNGAN ANTARA HARGA DIRI DENGAN PERILAKU ASERTIF PADA MAHASISWA AKTIVIS UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA. Skripsi

BAB I PENDAHULUAN. namun akan lebih nyata ketika individu memasuki usia remaja.

BAB I PENDAHULUAN. membutuhkan orang lain untuk dapat mempertahankan hidupnya. Proses

BAB I PENDAHULUAN. minat, sikap, perilaku, maupun dalam hal emosi. Tingkat perubahan dalam sikap

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kebahagiaan dengan semangat yang menggebu. Awalnya mereka menyebut

KAITAN ANTARA POLA ASUH PERMISIF DENGAN PERILAKU ASERTIF

BAB I PENDAHULUAN. adolescence yang berasal dari kata dalam bahasa latin adolescere (kata

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki ambang millennium ketiga, masyarakat Indonesia mengalami

BAB I PENDAHULUAN. berperilaku asertif, dalam hal ini teknik yang digunakan adalah dengan Assertif

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ditandai dengan adanya perkembangan yang pesat pada individu dari segi fisik, psikis

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Coakley (dalam Lerner dkk, 1998) kadang menimbulkan terjadinya benturan antara

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP OVER PROTECTIVE ORANGTUA DENGAN KECENDERUNGAN TERHADAP PERGAULAN BEBAS. S k r i p s i

BAB I PENDAHULUAN. untuk terus meningkatkan kemampuannya dengan menuntut ilmu. Berbagai macam lembaga

BAB 1 PENDAHULUAN. Siapakah saya? Apa potensi saya? Apa tujuan yang ingin saya capai di

PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dalam menunjukkan bahwa permasalahan prestasi tersebut disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam kehidupan remaja, karena remaja tidak lagi hanya berinteraksi dengan keluarga

Perkembangan Sepanjang Hayat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

Perkembangan Sepanjang Hayat

BAB I PENDAHULUAN. Lesbi merupakan suatu fenomena sosial yang tidak lagi mampu disangkal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. jejaring sosial. Direktur Pelayanan Informasi Internasional Ditjen Informasi dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Komunikasi adalah peristiwa sosial yang terjadi ketika manusia berinteraksi

BAB I PENDAHULUAN. penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam

BAB I PENDAHULUAN. akan tergantung pada orangtua dan orang-orang yang berada di lingkungannya

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia adalah makhluk sosial yang selalu membutuhkan orang lain dan

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki kebutuhan untuk berinteraksi timbal-balik dengan orang-orang yang ada di sekitarnya. Memulai suatu hubungan atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk dapat beradaptasi di tempat ia berada dengan baik. Salah satu komponen penting dalam beradaptasi dengan orang-orang di sekitar ialah komunikasi. Gaya komunikasi akan banyak ditentukan oleh latar belakang orang yang berkomunikasi, berupa kebiasaan dan kepribadian. Dalam berkomunikasi atau berinteraksi dengan orang lain, salah satu faktor yang harus diperhatikan ialah bagaimana seseorang mengungkapkan pendapatnya kepada orang lain tanpa menyinggung perasaan orang lain. Individu yang mampu mengemukakan pendapatnya tanpa menyinggung perasaan orang lain, berpeluang lebih besar untuk diterima oleh lingkungannya, dibandingkan individu yang tidak berani mengemukakan pendapatnya atau individu yang mengemukakan pendapatnya tanpa memperhatikan perasaan orang lain. Tidak hanya orang dewasa yang dituntut untuk dapat berinteraksi dengan baik, namun remaja juga diharapkan untuk bisa berinteraksi baik dengan orang-orang yang ada di sekitarnya. Saat membina hubungan interpersonal dengan orang lain, tidak jarang seorang remaja menemui masalah, seperti perbedaan pendapat atau pikiran dengan orang lain. 1

2 Ada tiga reaksi umum ditampilkan remaja di saat menjumpai masalah yaitu cenderung mengalah dan menghindar, cenderung menantang dengan mengemukakan suasana hatinya tanpa mempertimbangkan perasaan dan suasana hati orang lain, dan mengungkapkan perasaan dan pikiran-pikirannya dengan jujur, terbuka, dan jelas tanpa merugikan diri sendiri ataupun pihak lain. Mereka yang dapat mengungkapkan perasaan dan pikiran-pikirannya dengan jujur, terbuka, dan jelas tanpa merugikan diri sendiri ataupun pihak lain berarti memiliki kemampuan bersikap asertif. (Femina, Agustus 1997). Salah satu ciri khas interaksi pada saat remaja adalah interaksi dengan teman sebaya, misalnya membentuk suatu kelompok. Dalam kelompok, remaja akan berusaha membangun interaksi yang baik dengan mengikuti peraturan yang dibuat oleh kelompok tersebut. Remaja berusaha untuk menjadi bagian dari kelompok yang mereka bentuk, karena kelompok merupakan suatu tempat untuk membentuk identitas diri remaja. Dalam kelompok tersebut, tidak jarang dijumpai pelbagai aktivitas yang sebenarnya menyimpang dari nilai-nilai sosial yang berlaku, sehingga remaja tersebut berada dalam dua pilihan. Pilihan tersebut adalah mengikuti seluruh aktivitas yang dilakukan anggota kelompok sehingga remaja dapat diterima dalam kelompok, atau tidak mengikuti aktivitas tersebut dengan konsekuensi akan dikucilkan oleh anggota kelompok yang lain. Pada kenyataannya, ada remaja yang mampu menolak untuk terlibat di dalam aktivitas tersebut, tanpa mempedulikan cara pengungkapannya, namun ada remaja yang tidak dapat menolak karena takut dikucilkan dari kelompok tersebut walaupun

3 hal tersebut bukan keinginan dirinya. Ada pula yang menolak dengan cara pengungkapan yang lebih halus sehingga orang-orang atau teman sekelompoknya tidak tersinggung dengan pernyataan yang disampaikan remaja tersebut. Salah satu contoh perilaku yang dilakukan oleh suatu kelompok remaja yang memungkinkan seluruh anggota kelompok mengikutinya adalah jika dalam kelompok diharuskan untuk merokok, sedangkan dalam diri remaja itu sendiri tidak menginginkan hal seperti itu. Namun hal tersebut terkadang terpaksa dilakukan oleh remaja dan tidak mampu untuk menolaknya agar mereka tidak dikucilkan dari kelompok tersebut. Remaja yang dapat mengungkapkan perasaan dan pendapatnya secara halus, apa adanya dan tidak menyinggung perasaan orang lain adalah orang yang asertif. Menurut Spencer A. Rathus (1977), seseorang harus mampu mengemukakan pendapat, perasaan dan kebutuhan-kebutuhannya secara jujur dan terbuka tanpa menyakiti orang lain atau merugikan orang yang ada di sekitarnya, dengan kata lain perilaku tersebut dinamakan perilaku asertif. Mengingat pentingnya perilaku asertif dalam proses interaksi dan komunikasi yang efektif, maka kemampuan ini perlu dikembangkan serta dibiasakan. Setiap orang diharapkan untuk dilatih berkata jujur dan apa adanya tatkala menyatakan pendapatnya, baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat dan situasi pergaulan dengan teman sebaya. Apabila mengalami konflik atau perbedaan pendapat atau terjadi kesalahpahaman dengan orang lain, remaja yang asertif akan mencari penyelesaian yang memuaskan bagi kedua pihak. Selain itu remaja yang asertif selalu

4 memerlukan dan menginginkan kerjasama dengan orang lain dalam memenuhi kebutuhannya. Asertivitas pada seorang remaja dapat ditunjukkan dengan mengomunikasikan kebutuhan, keinginan, perasaan atau opini kepada orang lain dengan cara langsung dan jujur tanpa bermaksud menyakiti perasaan siapa pun. Pada umumnya remaja yang asertif dalam kehidupannya sehari-hari, mampu mengenal dirinya sendiri dengan baik, sehingga mampu menentukan pilihan keinginan dan tujuan hidupnya tanpa harus mempengaruhi orang lain. Remaja dengan asertivitas tinggi diharapkan mampu membela dirinya sendiri maupun orang lain ketika diperlakukan tidak adil, mampu memberikan tanggapan terhadap masalah yang dihadapi yang dapat mempengaruhi hidupnya, serta mampu menyatakan keinginannya secara tegas terhadap orang lain. Sama halnya dengan remaja dimanapun, remaja di SMA X Bandung tentunya berasal dari latar belakang yang berbeda-beda. Mereka juga perlu untuk mengembangkan perilaku asertif agar mereka mampu bersosialisasi dengan mudah di lingkungan sekitarnya. Remaja yang mampu berlaku asertif akan lebih mudah bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya dan menjalin hubungan dengan orang lain di luar lingkungan rumahnya. Tidak hanya mudah bersosialisasi, namun dengan mengembangkan perilaku asertif seorang remaja menghindari munculnya rasa ketegangan atau perasaan yang tidak nyaman karena remaja dapat mengemukakan pendapat dan perasaan mereka. Berlaku asertif dapat pula memberikan dampak yang positif

5 terutama dalam pengambilan suatu keputusan saat memecahkan suatu masalah. Seorang remaja yang sudah terbiasa mengemukakan pendapat dan perasaannya di lingkungan rumah, tentunya akan lebih mudah bersosialisasi dengan orang yang berada di sekitarnya. Remaja yang asertif, dapat membantu orang yang bersikap atau bertingkahlaku yang kurang tepat agar dapat mengetahui kesalah mereka dan dapat membangun perilaku yang jauh lebih baik. Adapun dampak yang ditimbulkan jika seorang remaja tidak berlaku asertif berarti yang bersangkutan mengabaikan hak diri sendiri, gagal untuk mempertahankan diri sendiri, dan membiarkan orang lain mengabaikan hak diri sendiri, memaafkan atau `memadamkan` ide, perasaan, sikap, kepercayaan atau informasi diri sendiri serta menghindar dari pengekspresian perasaan atau kebutuhan diri sendiri pada situasi di mana siswa justru diharapkan untuk itu. (http://www.angelfire.com, diakses tanggal 22 Juli 2009). Walaupun telah dikemukakan bahwa asertif adalah suatu perilaku yang penting, asertif tidak terlepas dari konsekuensi negatif. Asertif terkadang tidak mudah diterima oleh orang-orang di lingkungan sekitar. Asertif bukanlah penentu bahwa remaja tersebut disenangi oleh orang-orang di sekitarnya. Perilaku asertif yang dimiliki oleh seseorang tidak jarang menjadi sesuatu yang tidak menyenangkan bagi orang lain, karena beberapa orang ada yang merasa tidak senang jika menerima suatu pernyataan yang benar-benar jujur tentang dirinya. Konsekuensi negatif yang lain ialah kehidupan remaja yang asertif tidak selalu berjalan mulus, seringkali dipandang sebagai orang yang kasar atau kurang sopan serta bagaimana menyuarakan pendapat dapat dianggap mendorong

6 orang lain untuk melakukan sesuatu. Tetapi jauh dibalik konsekuensi negatif tersebut, banyak hal positif yang didapatkan jika seorang remaja memiliki perilaku asertif. Menurut Spencer A. Rathus (1977), ada beberapa faktor yang mempengaruhi munculnya perilaku asertif, yaitu jenis kelamin, nilai-nilai yang ditanamkan di dalam keluarga, cara pengasuhan orangtua, pengalaman di lingkungan sosial serta kebudayaan seseorang. Gaya pengasuhan orangtua adalah salah satu faktor yang berpengaruh kuat terhadap kemunculan sikap asertif pada seorang anak. Gaya pengasuhan orangtua lebih berpengaruh terhadap kemunculan asertif pada anak khususnya pada remaja karena keluarga atau orangtua adalah lingkungan primer bagi seorang anak sebelum anak tersebut terlibat di dalam interaksi dengan lingkungannya. Dalam penelitian ini, akan difokuskan pada gaya pengasuhan yang dikemukakan oleh Hauser (1984) yakni gaya pengasuhan enabling dan constraining. Gaya pengasuhan enabling ditandai oleh orangtua yang berinteraksi dengan remaja dan memberikan kesempatan kepada remaja untuk aktif melibatkan diri dalam menyampaikan pikiran dan prinsip mereka sendiri. Gaya pengasuhan enabling cenderung mendorong kompetensi sosial seperti halnya asertif pada seorang remaja. Sedangkan gaya pengasuhan orangtua constraining ditandai oleh orangtua yang kurang memberikan kesempatan kepada remaja untuk aktif melibatkan diri dalam menyampaikan pikiran-pikirannya. Gaya pengasuhan constraining cenderung menghambat perkembangan kompetensi sosial, berupa perilaku asertif dan penyesuaian diri seorang remaja. Masing-masing gaya pengasuhan memiliki dua aspek yakni aspek kognitif dan aspek afektif.

7 Orangtua merupakan figur yang signifikan dengan kehidupan para remaja masing-masing di rumah. Di satu pihak para remaja ini baru saja melewati masa anak dan di pihak lain para remaja ini belum sepenuhnya mandiri dan melepaskan ketergantungannya kepada orangtua. Oleh karena itulah dalam lingkungan keluarga, perilaku asertif bisa ditanamkan secara lebih kuat melalui beberapa cara antara lain, sikap keterbukaan di dalam keluarga. Hal ini berarti bahwa dalam keluarga perlu ada kesempatan seluas-luasnya bagi anak (remaja) untuk mengemukakan pendapatnya tentang segala sesuatu yang terjadi pada keluarga yang bersangkutan seperti dalam proses pengambilan keputusan penting keluarga. Untuk menumbuhkan kepercayaan diri anak dan berani mengemukakan pendapatnya maka anak perlu didengar, dihargai dan bahkan perlu diberikan pujian yang semestinya atas pendapatnya. Memberikan motivasi dan dorongan agar anak dapat bersosialisasi secara aktif melalui kegitankegiatan yang positif di lingkungannya merupakan salah satu cara penanaman perilaku asertif pada remaja. Seorang remaja yang tumbuh dalam keluarga yang memberikannya kesempatan untuk mengemukakan pendapat dan apa yang dirasakannya, maka di dalam kehidupan sosialnya, baik itu dengan teman dan masyarakat sekitarnya, anak lebih mudah untuk berlaku asertif. Mereka dengan mudah dapat menyampaikan apa yang mereka rasakan, pendapat mereka serta kebutuhan-kebutuhan mereka dengan jujur dan apa adanya, yaitu dengan cara yang baik tanpa menyakiti orang lain yang berinteraksi dengan dia. Remaja yang menghayati gaya pengasuhan orangtuanya

8 menerapkan pola asuh enabling dapat dikatakan bahwa paling memiliki peran yang besar dalam memunculkan perilaku asertif. Sebaliknya, jika remaja tumbuh di dalam keluarga yang orangtuanya tidak pernah memberikan kesempatan untuk mengungkapkan pikiran dan pendapat, maka remaja tersebut cenderung menjadi remaja yang kurang asertif. Kemunculan perilaku asertif dalam diri remaja akan mudah terhambat, sehingga remaja tersebut akan menemui kesulitan jika beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya (di luar lingkungan keluarganya) termasuk di sekolah. Gaya pengasuhan yang diterapkan di dalam keluarga seperti ini, disebut dengan pola atau gaya pengasuhan yang bersifat constraining, yang ditandai dengan adanya jarak antara orangtua dan remaja serta tidak adanya kesempatan yang diberikan kepada remaja untuk mengungkapkan pikiran dan pendapatnya, misalnya jika menghadapi suatu masalah dalam keluarga. Hal ini tentu saja sangat berpengaruh pada kepribadian remaja. Seorang remaja menjadi tidak berani mengemukakan apa yang mereka rasakan karena di dalam keluarganya sendiri, remaja merasa bahwa mereka sama sekali tidak dihargai, sehingga mereka takut untuk berlaku asertif. Remaja juga terkadang tidak dapat menjadi diri mereka sendiri jika berada di tengah orang lain atau lingkungan di luar keluarganya. Mereka diliputi oleh rasa cemas yang berlebihan karena mereka takut melakukan kesalahan. Seorang remaja terkadang menolak untuk berlaku asertif karena mereka berpikir, jika mereka berlaku asertif maka akan ditolak oleh lingkungan sekitarnya.

9 Berdasarkan angket yang diberikan kepada 15 orang remaja di SMA X Bandung, diperoleh hasil bahwa lima remaja yang menghayati interaksi orangtua mereka dengan dirinya adalah suatu interaksi yang terdapat keterbukaan satu sama lain, mampu bersikap mengemukakan pendapat, pikiran, serta ide mereka dengan jujur dan apa adanya serta dengan penyampaian yang baik karena mereka merasa bahwa mereka sudah terbiasa untuk mengemukakan pendapat mereka di lingkungan keluarga, jadi mereka sudah tidak canggung lagi untuk mengemukakan pendapat mereka kepada orang yang di sekitarnya. Remaja yang menghayati interaksi mereka dengan orangtuanya yang selalu ada keterbukaan berjumlah tiga orang dan mereka mengaku kurang mampu mengemukakan pendapat, pikiran mereka dengan jujur dan apa adanya. Remaja tersebut menyatakan bahwa walaupun mereka berada pada keluarga yang mau menerima pendapat setiap orang, namun di lingkungan sekitarnya mereka tidak bisa seterbuka di rumahnya karena mereka malu dan takut salah. Sekitar empat orang remaja yang menghayati interaksi mereka dengan orangtuanya bersifat tidak adanya saling pengertian dan keterbukaan mengaku tidak dapat mengemukakan pendapat, pikiran dan kemauan mereka dengan jujur dan apa adanya saat berada di lingkungan sekitarnya, karena mereka mengaku tidak terbiasa untuk menyatakan pendapat dan perasaan mereka, dan mereka meyakini bahwa pendapat mereka tidak akan dihiraukan oleh orang lain. Sedangkan sekitar tiga orang remaja yang menghayati interaksi mereka dengan orangtuanya yang ditandai bahwa tidak adanya saling pengertian dan keterbukaan serta penerimaan satu dengan yang lainnya dapat mengungkapakan pendapat dan kemauan mereka dengan jujur dan apa adanya serta

10 mampu memperhatikan cara pengungkapannya, karena mereka menganggap walaupun orangtua mereka tidak pernah mengajak mereka bertukar pikiran, bagi mereka berlaku seperti itu sangat penting agar mereka dengan mudah bergaul di lingkungan sekitar mereka. Dari uraian di atas dikemukakan bahwa dalam kehidupan nyata, seorang anak yang telah diberikan kesempatan untuk mengemukakan pendapat mereka secara terbuka dalam suatu keluarga lebih berpeluang untuk memunculkan perilaku asertif pada remaja, sedangkan anak yang kurang diberikan kesempatan dalam bertukar pikiran khususnya dalam memecahkan masalah, maka mereka cenderung kurang berani berlaku asertif di lingkungan mereka. Oleh karenanya, berdasarkan keragaman hasil survey awal pula, maka peneliti tertarik untuk mengetahui sejauhmana hubungan antara gaya pengasuhan orangtua dan asertivitas remaja di SMA X Bandung. 1.2 Identifikasi Masalah Dari penelitian ini ingin diketahui bagaimana hubungan antara gaya pengasuhan orangtua dengan asertivitas pada remaja di SMA X Bandung. 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui gambaran mengenai hubungan antara gaya pengasuhan orangtua dengan asertivitas pada remaja SMA X Bandung.

11 1.3.2 Tujuan Tujuan penelitian ini yaitu untuk memperoleh gambaran secara rinci mengenai hubungan gaya pengasuhan orangtua dengan asertivitas pada remaja SMA X Bandung. 1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoretis Memberikan masukan, khususnya dalam kajian psikologi perkembangan yang menyangkut pembentukan dan perkembangan asertivitas pada remaja SMA X Bandung dalam kaitannya dengan gaya pengasuhan orangtua. Memberikan masukan bagi peneliti yang lain yang berminat melakukan penelitian lanjutan mengenai gaya pengasuhan orangtua dan asertivitas, terutama pada responden yang memiliki karakteristik yang kurang lebih sama. 1.4.2 Kegunaan Praktis Sebagai bahan masukan bagi remaja, sehingga diharapkan dapat mempertimbangkan cara mereka dalam mengemukakan suatu hal atau pendapat yang dapat diterima oleh lingkungan.

12 Sebagai bahan masukan bagi orangtua, sehingga diharapkan dapat mempertimbangkan mengenai gaya pengasuhan yang sesuai bagi perkembangan perilaku asertif. 1.5 Kerangka Pemikiran Remaja, sama halnya dengan orang dewasa sebagai mahkluk sosial, tentunya membutuhkan keberadaan orang lain di sekitarnya. Remaja pada umumnya berada pada tingkat pendidikan SMA. Siswa di SMA X Bandung sama halnya dengan remaja pada umumnya yang membutuhkan interaksi dengan orang lain, di luar lingkungan keluarganya. Dalam berinteraksi, seorang siswa atau remaja tentunya harus memperhatikan cara mereka untuk berkomunikasi, agar orang di sekitar mereka dapat menerima mereka. Kemampuan seorang remaja dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya adalah sesuatu yang penting. Kemampuan seorang remaja dalam menyatakan pendapat dan perasaannya, sangat menentukan perlakuan lingkungan sekitarnya terhadap dirinya. Seorang remaja dapat diterima dengan baik di lingkungannya, jika seorang remaja dapat berinteraksi dengan baik dan dengan cara yang dapat diterima oleh orang di sekitarnya. Remaja yang dapat berinteraksi dengan lingkungannya akan mampu atau berani dalam mengungkapkan pikiran, perasaan, pendapat tanpa menyinggung pihak lain yang digolongkan oleh Rathus adalah remaja yang asertif.

13 Masa remaja disebut sebagai masa adolesensi. Kata adolescence berasal dari bahasa latin adolescere yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi matang. Kematangan disini mempunyai arti yang luas, mencakup kematangan secara fisiologis, psikologis, dan sosial. Masa remaja merupakan suatu masa peralihan dari masa anak ke masa dewasa, yang pada umumnya ditandai oleh perubahan-perubahan fisik yang mendahului kematangan seksual. Bersamaan dengan perubahan fisik ini, remaja juga mengalami proses perkembangan psikis. Seiring dengan perkembangan dan tugas-tugas yang akan dilalui oleh seorang remaja, maka asertivitas sangat penting untuk dikembangkan oleh seorang remaja. Perilaku asertif ialah keberanian dalam menyatakan diri secara jujur dan terbuka menyatakan kebutuhan, perasaan, pikiran-pikiran apa adanya tanpa menyakiti orang lain atau merugikan orang lain (Spencer A. Rathus, 1977). Asertivitas bukan merupakan kemampuan yang dibawa secara genetik atau sejak lahir. Asertivitas merupakan tingkah laku atau kemampuan yang dipelajari individu dari lingkungan sosialnya (Rathus & Nevid, 1977). Perilaku asertif dipelajari sejak anak belajar berespon terhadap situasi sosial. Perilaku asertif dipelajari sejak anak berespon terhadap situasi sosial. Asertivitas adalah suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan seorang remaja. Remaja yang sedang bertumbuh dan berkembang terkadang akan banyak menghabiskan waktu dengan teman-teman sebayanya yang berada di luar rumah. Sikap asertif pada remaja akan sangat membantu seorang remaja khususnya dalam membela hak-hak yang mereka miliki tanpa mengabaikan hak orang lain. Remaja

14 yang asertif akan berani untuk bertanggungjawab terhadap perasaan mereka tanpa menyakiti orang lain. Adapun karakteristik remaja yang asertif ialah mampu menyatakan perasaan dan pikirannya dengan baik tanpa melukai perasaan orang lain yang berkomunikasi atau beriteraksi dengan individu tersebut. Remaja yang asertif juga memiliki keberanian dalam menyatakan pendapatnya, memulai suatu pembicaraan, berani menyatakan penolakan terhadap hal yang tidak benar menurut norma yang berlaku serta menghargai hak-hak orang lain dengan tetap menghargai hak-hak diri sendiri. Bagi para remaja di sekolah terutama yang berumur di antara 13-18 tahun, sikap dan perilaku asertif sangatlah penting karena beberapa alasan yaitu sikap dan perilaku asertif akan memudahkan remaja tersebut bersosialisasi dan menjalin hubungan dengan lingkungan seusianya maupun di luarnya lingkungannya secara efektif. Dengan kemampuan untuk mengungkapkan apa yang dirasakan dan diinginkannya secara langsung serta bisa berterus terang maka para remaja bisa menghindari munculnya ketegangan dan perasaan tidak nyaman akibat menahan dan menyimpan sesuatu yang ingin diutarakannya. Begitupun jika seorang remaja memiliki sikap asertif, maka para remaja dapat dengan mudah mencari solusi dan penyelesaian dari berbagai kesulitan atu permasalahan yang dihadapinya secara efektif, sehingga permasalahan itu tidak akan menjadi beban pikiran yang dipendam yang tidak mendapat penyelesaian. Memiliki sikap asertivitas juga akan membantu para remaja untuk meningkatkan kemampuan kognitifnya, memperluas wawasannya tentang lingkungan, dan tidak mudah berhenti pada sesuatu yang tidak diketahuinya

15 (memiliki rasa keingintahuan yang tinggi) serta dengan bersikap asertif terhadap orang lain yang bersikap atau berperilaku kurang tepat bisa membantu remaja yang bersangkutan untuk lebih memahami kekurangannya sendiri dan bersedia memperbaiki kekurangan tersebut. Namun pada kenyataan yang ada, ada remaja mengalami kesulitan dalam mengungkapkan apa yang dirasakan, pendapat bahkan kebutuhan-kebutuhannya dengan cara yang tepat, walaupun dalam keluarganya telah dibiasakan mengemukakan pendapat dan apa yang dirasakannya dengan secara terbuka. (http://id.shvoong.com, diakses tanggal 23 Juli 2009) Asertivitas remaja tidak akan muncul begitu saja. Asertivitas pada seorang remaja tumbuh dan berkembang melalui suatu proses. Menurut Rathus, asertivitas pada seseorang akan tumbuh jika hal tersebut dipelajari dan dibiasakan. Hal tersebut berdasarkan social learning yang dikemukakan oleh Albert Bandura (1977) bahwa proses pembentukan suatu perilaku dapat melalui 4 tahap, begitu pula dengan perilaku asertif. Proses tersebut diawali dengan proses perhatian, dimana seorang remaja akan mengamati suatu tingkah laku yang dianggap berarti, yang ditampilkan oleh orang disekitarnya seperti orangtua. Tingkah laku orangtua itu akan disimpan dan diolah seorang remaja sehingga nantinya akan diterapkan remaja tersebut dalam pergaulannya. Selanjutnya, seorang remaja akan mengubah ingatannya tersebut dalam bentuk perilaku dimana perilaku tersebut akan ditampilkan jika remaja berinteraksi dengan orang lain di luar lingkungan keluarganya. Perilaku tersebut akan

16 diulangi atau bertahan jika perilaku tersebut mendapatkan respon yang postif dari lingkungannya. Perilaku tersebut termasuk didalamnya adalah perilaku asertif. Terdapat beberapa faktor yang berperan dalam dalam kemunculan suatu asertivitas yaitu jenis kelamin, nilai-nilai yang ditanamkan di dalam keluarga, cara pengasuhan orangtua, pengalaman di lingkungan sosial serta kebudayaan seseorang. Interaksi orang tua dan anak adalah salah satu faktor yang paling kuat dalam mempengaruhi kemunculan asertivitas pada remaja. Perkembangan kepribadian seorang remaja mencakup perkembangan sikap asertif yang dimiliki seorang remaja. Menurut Burns (1979), perkembangan kepribadian seorang remaja sangat dipengaruhi oleh gaya pengasuhan atau pola asuh yang diterapkan oleh orangtua. Orangtua merupakan bagian dari keluarga yang paling berarti bagi anak, sebab banyak berhubungan dengan anak. Cara orangtua bersikap dan memperlakukan anak akan dipersepsi oleh individu dan selanjutnya akan mempengaruhi perkembangan kepribadian anak seperti sikap asertif. Asertivitas pada remaja merupakan tingkah laku yang dipelajari seorang remaja dari lingkungannya. Keluarga merupakan lingkungan sosial yang pertama kali dialami seorang remaja. Melalui lingkungan keluarga seorang remaja belajar bertingkah laku, tumbuh dan berkembang, sehingga keluarga mempunyai pengaruh yang besar dalam perkembangan kepribadian individu. Gaya pengasuhan orangtua dapat diartikan secara umum sebagai segala bentuk interaksi orangtua dan anaknya. Namun bukan berarti bahwa faktor yang lain tidak memiliki peran dalam kemunculan sikap asertif pada remaja. Jenis kelamin juga berperan dalam

17 mempengaruhi kemunculan perilaku asertif pada remaja. Pada anak laki-laki yang dituntut banyak hal khususnya dalam hal keberanian tentunya akan memiliki sikap asertif yang lebih tinggi dibandingkan wanita pada umumnya. Hal lain yang juga berperan dalam kemunculan perilaku asertif yaitu bagaimana seorang remaja menghayati nilai-nilai yang ditanamkan di dalam keluarga. Misalnya jika seorang remaja tumbuh di dalam keluarga yang sangat terpaku pada tata krama berkomunikasi, seperti harus mengikuti perkataan orang-orang dewasa dan tidak boleh menyangganya walaupun hal tersebut tidak benar, maka tentunya remaja tersebut akan cukup sulit berlaku asertif. Jika ditinjau dari faktor kebudayaan, hal ini begitu luas sehingga hal tersebut cukup sulit untuk diamati. Masing-masing individu memiliki penghayatan yang berbeda-beda tentang budaya yang mereka miliki. Seseorang yang menghayati bahwa budaya yang mereka miliki seperti tidak boleh menolak permintaan orang lain, tentunya sangat berpengaruh dalam kemunculan asertif pada individu. Faktor yang tidak kalah pentingnya dalam mempengaruhi munculnya perilaku asertivitas adalah pengalaman seseorang di lingkungan sosial. Hal ini menunjukkan bagaimana seorang remaja menghayati keberadaannya di lingkungan sosialnya. Jika di lingkungan sosialnya, seorang remaja berlaku asertif dan hal tersebut diterima oleh lingkungannya maka remaja tersebut akan lebih mudah berlaku asertif di tempat yang berbeda selain lingkungan tersebut. Begitupun jika seorang remaja merasakan ada sesuatu yang tidak benar di sekitarnya, maka dengan kesadarannya, remaja tersebut akan berlaku asertif untuk menghindari sesuatu yang jauh lebih buruk.

18 Menurut Hauser (1984) pengasuhan anak terdapat dua bentuk pola pengasuhan yaitu gaya pengasuhan enabling dan constraining. Gaya pengasuhan enabling ditandai dengan orangtua yang berinteraksi dengan remaja dan memberikan kesempatan kepada remaja untuk aktif melibatkan diri dalam menyampaikan pikiran dan prinsip mereka sendiri. Sedangkan gaya pengasuhan orangtua yang bersifat constraining ditandai orangtua tidak memberikan kesempatan kepada remaja untuk aktif melibatkan diri dalam menyampaikan pikiran mereka. Gaya pengasuhan enabling memiliki aspek kognitif dan aspek afektif. Sama halnya dengan gaya pengasuhan enabling, gaya pengasuhan constraining juga memiliki aspek kognitif dan aspek afektif. Aspek kognitif dari pola asuh enabling ditandai dengan orangtua memberikan kesempatan, dorongan, saran serta dukungan kepada remaja untuk memecahkan masalah, orangtua bersedia memberikan penjelasan mengenai pendapat mereka tentang masalah dan informasi, dan orangtua ikut serta dalam eksplorasi remaja mengenai hal yang berkaitan dengan kompetensi sosial. Adapun indikator dari aspek afektif pola enabling tersebut ditandai orangtua menunjukkan sikap menerima usaha remaja dalam mencari informasi yang berkaitan dengan kompetensi sosial dan orangtua menunjukkan sikap empati terhadap usaha remaja dalam mencari dan menetapkan cara dalam berkompetensi sosial. Gaya pengasuhan constraining juga memiliki aspek kognitif dan aspek afektif, aspek kogitif ditandai dengan orangtua tidak memberikan kesempatan, dorongan ataupun saran serta kurang mendukung kepada remaja untuk memecahkan

19 masalah, orangtua tidak bersedia memberikan penjelasan mengenai pendapat mereka tentang masalah dan informasi khususnya yang berkaitan dengan kompetensi sosial dan orangtua tidak ikut serta dalam eksplorasi dan tidak memberikan kesempatan untuk memenuhi keingintahuan remaja. Sedangkan aspek afektif dari gaya pengasuhan constraining ditandai orangtua tidak menunjukkan sikap menerima usaha-usaha remaja dan orangtua tidak menunjukkan sikap empati terhadap usaha remaja dalam mencari dan menetapkan cara dalam berkompetensi sosial (Hauser,1984). Orangtua dalam mendidik anak tentunya akan menerapkan gaya pengasuhan yang mereka yakini bahwa gaya pengasuhan tersebut adalah sesuatu yang terbaik bagi perkembangan anaknya. Orangtua yang menerapkan gaya pengasuhan yang bersifat enabling, ditandai orangtua mau berinteraksi langsung dengan anak atau remaja dan memberikan kesempatan kepada remaja untuk melibatkan diri dalam menyampaikan setiap pendapat dan pikiran mereka. Orangtua yang menerapkan gaya pengasuhan enabling, senantiasa memberikan dorongan dan semangat kepada remaja khususnya dalam hal yang berkaitan dengan kompetensi sosial termasuk bersikap asertif (Hauser, 1984). Jika seorang remaja terbiasa untuk terlibat aktif dalam mengemukakan pendapatnya dan senantiasa didukung oleh orangtuanya dalam berkompetensi, maka anak juga akan menunjukkan perilaku asertif saat berada di lingkungan sekitarnya. Remaja akan mudah dalam mengkomunikasikan setiap pendapat dan pikiran mereka walaupun mereka berada di luar rumah.

20 Sedangkan di sisi lain, orangtua yang menerapkan gaya pengasuhan constraining akan menghambat munculnya asertif pada remaja. Orangtua yang menerapkan gaya pengasuhan contraining kurang atau tidak memberikan kesempatan kepada anaknya untuk aktif terlibat dalam mengemukakan pendapat dan pikirannya. Orangtua seakan tidak mau peduli dengan suatu keberhasilan anak, sehingga anak terkadang merasa bahwa tidak ada gunanya jika menyampaikan sesuatu kepada orangtua mereka. Orangtua yang menerapkan gaya pengasuhan constraining juga ditandai dengan situasi orangtua sangat tertutup bahkan tidak akan memberikan penjelasan mengenai masalah dan informasi yang berkaitan dengan kompetensi sosial, sehingga dampaknya kepada anak sangat fatal (Hauser, 1984). Remaja yang diasuh dengan gaya pengasuhan constraining, cenderung akan sulit untuk bersikap asertif. Mereka bisa saja mengungkapkan pendapat dan pikiran mereka, namun terkadang dengan cara penyampaian yang kurang baik sehingga mereka tidak akan diterima oleh lingkungan di sekitarnya. Walaupun asertif pada remaja tidak menjamin bahwa seorang remaja akan diterima, tetapi remaja yang asertif mampu untuk memperjuangkan diri mereka dan orang lain ketika diperlakukan tidak adil, mampu memberikan tanggapan terhadap masalah yang dihadapi yang dapat mempengaruhi hidupnya, serta menyatakan keinginannya dengan tegas terhadap orang lain. Asertif terkadang tidak dapat diterima oleh orang lain karena dianggap bahwa remaja yang asertif adalah remaja yang kurang sopan atau remaja yang kasar serta bagaimana seorang remaja menyuarakan pendapat mereka dianggap mendorong orang lain untuk melakukan

21 sesuatu. Tetapi walaupun asertif memiliki konsekuensi yang negatif, namun mengembangkan sikap asertif oleh seorang remaja jauh lebih penting dibandingkan jika hanya melihat konsekuensi negatifnya saja. Keterlibatan secara aktif seorang remaja di dalam rumahnya khususnya dalam mengemukakan pendapatnya, akan sangat membantu seorang remaja untuk dapat bersikap asertif di lingkungan sekitarnya. Mereka akan mampu untuk mengemukakan pendapat dan isi hati mereka dengan apa adanya serta tidak menyakiti perasaan orang lain yang berkomunikasi dengan mereka. Remaja asertif akan mengetahui cara yang tepat dalam penyampaian pendapat sehingga mereka akan lebih mudah untuk diterima di lingkungan sekitar mereka. Remaja yang diasuh dengan gaya pengasuhan enabling akan lebih mudah untuk mengembangkan sikap asertif dibandingkan dengan remaja yang diasuh dengan gaya pengasuhan contraining, dimana orangtua tidak pernah memberikan kesempatan kepada anaknya untuk mengemukakan pendapatnya.

22 Jenis kelamin Nilai-nilai yang ditanamkan dalam keluarga Remaja SMA X Bandung Usia 15-18 tahun - Gaya Pengasuhan Enabling (Kognitif dan Afektif) - Gaya Pengasuhan Constraining (Kognitif dan Afektif) Rs Asertivitas Pengalaman di lingkungan sosial Kebudayaan Bagan 1.1 Kerangka pemikiran

23 1.6 Asumsi Dari kerangka pemikiran dapat ditarik asumsi sebagai berikut : Gaya pengasuhan orangtua mempunyai dampak yang kuat terhadap sikap dan tingkah laku remaja di SMA X Bandung. Gaya pengasuhan enabling dan gaya pengasuhan constraining yang dihayati oleh remaja sangat berperan penting dalam cara remaja di SMA X Bandung berinteraksi dengan lingkungannya. Gaya pengasuhan yang dapat memunculkan asertivitas pada remaja di SMA X Bandung adalah gaya pengasuhan yang ditandai interaksi langsung dan terbuka antara orangtua dan remaja, orangtua memberikan kesempatan kepada remaja untuk aktif melibatkan diri dalam menyampaikan pikiran dan prinsip mereka, seperti halnya gaya pengasuhan enabling. Gaya pengasuhan yang yang dapat menghambat perkembangan atau kemunculan asertivitas pada remaja di SMA X Bandung adalah gaya pengasuhan yang ditandai orangtua tidak memberikan kesempatan kepada remaja untuk mengemukakan prinsip dan pikiran mereka, seperti gaya pengasuhan constraining.

24 1.7 Hipotesis Berdasarkan asumsi di atas, maka diturunkan hipotesis kerja sebagai berikut: Terdapat hubungan antara gaya pengasuhan orangtua enabling dan perilaku asertif pada remaja di SMA X Bandung. Terdapat hubungan negatif antara gaya pengasuhan orangtua constraining dengan perilaku asertif pada remaja di SMA X Bandung