I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari sekitar

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

permasalahan bangsa Indonesia. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah sangat meluas dan

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana terhadap kesalahan yang dilakukannya. Dengan demikian, terjadinya

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

I. PENDAHULUAN. dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu

I. PENDAHULUAN. dan sejahtera tersebut, perlu secara terus-menerus ditingkatkan usaha-usaha pencegahan dan

I. PENDAHULUAN. Indonesia saat ini sedang melaksanakan pembangunan nasional yang dilaksanakan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang

I. PENDAHULUAN. Hak asasi manusia merupakan dasar dari kebebasan manusia yang mengandung

I. PENDAHULUAN. berkembang sejalan dengan perkembangan tingkat peradaban. Berkaitan dengan

I. PENDAHULUAN. dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial

I. PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Perubahan ke-4 Undang-Undang Dasar Hal ini. tindakan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia.

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

I. PENDAHULUAN. kaya, tua, muda, dan bahkan anak-anak. Saat ini penyalahgunaan narkotika tidak

I. PENDAHULUAN. Kepolisian dalam mengemban tugasnya sebagai aparat penegak hukum

I. PENDAHULUAN. Manusia didalam pergaulan sehari-hari tidak dapat terlepas dari interaksi dengan

I. PENDAHULUAN. Masalah korupsi pada akhir-akhir ini semakin banyak mendapat perhatian dari

I. PENDAHULUAN. transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Kemampuan ini tentunya sangat

kearah yang tidak baik atau buruk. Apabila arah perubahan bukan ke arah yang tidak

I. PENDAHULUAN. Sebagaimana telah diketahui bahwa penegakkan hukum merupakan salah satu

I. PENDAHULUAN. Pemerintah mempunyai peranan yang sangat penting dalam. dalam kegiatan seperti pemeliharaan pertahanan dan keamanan, keadilan,

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

PENDAHULUAN. dan pada saat tertentu disebut sebagai biotic community atau masyarakat

I. PENDAHULUAN. Anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah warga negara Indonesia yang

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

1. PENDAHULUAN. Tindak Pidana pembunuhan termasuk dalam tindak pidana materiil ( Materiale

I. PENDAHULUAN. kebebasan, baik yang bersifat fisik maupun pikiran. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar

I. PENDAHULUAN. hukum sebagai sarana dalam mencari kebenaran, keadilan dan kepastian hukum. Kesalahan,

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang,

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (traficking) terutama terhadap perempuan merupakan pengingkaran terhadap

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

I. PENDAHULUAN. bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas

BAB I PENDAHULUAN. diwajibkan kepada setiap anggota masyarakat yang terkait dengan. penipuan, dan lain sebagainya yang ditengah masyarakat dipandang

I. PENDAHULUAN. Kejahatan yang berlangsung ditengah-tengah masyarakat semakin hari kian. sehingga berakibat semakin melunturnya nilai-nilai kehidupan.

I. PENDAHULUAN. berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang 1945, diarahkan untuk meningkatkan hukum bagi

tertolong setelah di rawat RSU dr. Wahidin Sudiro Husodo, kota Mojokerto. 1

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana. Belanda yaitu strafbaar feit yang terdiri dari tiga kata, yakni straf

I. PENDAHULUAN. adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materi terhadap perkara tersebut. Hal

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara hukum, hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (3)

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

I. PENDAHULUAN. berkaitan satu sama lainnya. Hukum merupakan wadah yang mengatur segala hal

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini

BAB I PENDAHULUAN. merupakan wujud penegakan hak asasi manusia yang melekat pada diri. agar mendapatkan hukuman yang setimpal.

I. PENDAHULUAN. dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 yang menyatakan sebagai berikut bahwa : Pemerintah

selalu berulang seperti halnya dengan musim yang berganti-ganti dari tahun ke

P U T U S A N Nomor : 62/Pid.B/2011/PN.Unh. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Antang ; Laki-Laki ; Indonesia ; Islam ;

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara hukum ( rechtstaats), maka setiap orang yang

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan norma serta

I. PENDAHULUAN. Disparitas pidana tidak hanya terjadi di Indonesia. Hampir seluruh Negara di

FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA

I. PENDAHULUAN. karna hukum sudah ada dalam urusan manusia sebelum lahir dan masih ada

BAB I PENDAHULUAN. oleh berbagai pihak. Penyebabnya beragam, mulai dari menulis di mailing list

PRAPERADILAN SEBAGAI UPAYA KONTROL BAGI PENYIDIK DALAM PERKARA PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan

Direktori Putusan Pengadilan Negeri Sibolga pn-sibolga.go.id P U T U S A N NO. 144/PID.B/2014/PN.SBG

BAB I PENDAHULUAN. sekali terjadi, bahkan berjumlah terbesar diantara jenis-jenis kejahatan terhadap

I. PENDAHULUAN. pembangunan pada keseluruhan bidang tersebut. Pelaksanaan kegiatan

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hukum ( rechtsstaat) dan bukan

BAB I PENDAHULUAN. mampu memimpin serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa dalam. dan tantangan dalam masyarakat dan kadang-kadang dijumpai

I. PENDAHULUAN. Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai aparatur negara mempunyai posisi sangat

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. yang berbeda. Itu sebabnya dalam keseharian kita dapat menangkap berbagai komentar

BAB I PENDAHULUAN. suatu perkara disandarkan pada intelektual, moral dan integritas hakim terhadap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu masalah besar yang dihadapi masyarakat pada saat ini

I. PENDAHULUAN. profesi maupun peraturan disiplin yang harus dipatuhi oleh setiap anggota Polri.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Penerapan hukum dengan cara menjunjung tinggi nilai-nilai yang

I. PENDAHULUAN. Anak sebagai bagian dari generasi muda merupakan penerus cita-cita perjuangan

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PENIPUAN (STUDI KASUS PADA PENGADILAN NEGERI DI SURAKARTA)

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

PENGADILAN TINGGI MEDAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai Negara hukum, Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana pemalsuan uang mengandung nilai ketidak benaran atau palsu atas

I. PENDAHULUAN. Penanganan dan pemeriksaan suatu kasus atau perkara pidana baik itu pidana

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PELAYARAN DI INDONESIA. A. Pengaturan Tindak Pidana Pelayaran Di Dalam KUHP

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan

P U T U S A N NOMOR : 445/PID/2013/PT-MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA.

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang

I. PENDAHULUAN. pembangunan nasional. Untuk mewujudkan hal tersebut perlu ditingkatkan usahausaha. yang mampu mengayomi masyarakat Indonesia.

II. TINJAUAN PUSTAKA. arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah tersebut dapat berkonotasi dengan bidang-bidang

I. PENDAHULUAN. disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan

BUPATI TUBAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TUBAN NOMOR 18 TAHUN 2016 TENTANG

I. PENDAHULUAN. pemikiran bahwa perubahan pada lingkungan dapat mempengaruhi kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

I. PENDAHULUAN. meminta. Hal ini sesuai dengan ketentuan Konvensi Hak Anak (Convention on the

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, maka

Transkripsi:

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari sekitar 17.058 pulau dengan panjang garis pantai sepanjang 81.000 km. Wilayah laut yang berada dalam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia diperkirakan mencapai 5,8 juta km² atau kurang lebih 75 % dari total luas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kawasan laut tersebut terdiri dari perairan laut wilayah (teritorial) 0,8 % juta km², perairan laut nusantara (kepulauan) 2,3 juta km², dan kawasan Zona Ekonomi Eksklusif 2,7 juta km². 1 Menyatakan perairan laut yang berada dalam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia serta laut lepas tersebut mengandung sumber daya ikan yang sangat potensial dan sebagai lahan pembudidayaan ikan. Hal tersebut merupakan berkah dari Tuhan Yang Maha Esa yang diamanatkan kepada bangsa Indonesia yang memiliki falsafah hidup pancasila dan Undang-Undang Negara Republik Indonesia tahun 1945, dengan memperhatikan daya dukung yang ada dan kelestariannya untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia berdasarkan keadilan dan pemerataan dalam pemanfaatannya tentunya dengan mengutamakan kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya. 1 http://www.bakorkamla.go.id/ Badan Koordinasi Keamanan Laut Republik Indonesia. Diakses Pada tanggal 20 Mei 2013 pukul 22.26 WIB.

2 Wilayah perairan yang sangat luas selain memberikan harapan dan manfaat yang besar, tapi juga membawa konsekuensi dan beberapa permasalahan yang juga besar dan memerlukan penanganan yang sangat serius, karena permasalahan tersebut menyebabkan banyaknya tindakan-tindakan yang berakibat kepada tidak dipatuhinya Undang-Undang tentang Perikanan. Pembangunan hukum nasional yang dilandasi motivasi dan tujuan agar masyarakat menghayati hak dan kewajibannya, meningkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masingmasing ke arah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban serta kepastian hukum demi terselenggaranya negara hukum sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pada tahap inilah peran hukum khususnya hukum pidana sangat dibutuhkan untuk menjadi media kontrol dan pencegahan terhadap tindakan-tindakan yang dapat menggangu stabilitas pengelolaan serta, kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya. Fungsionalisasi hukum sebagai sarana pengelolaan sumber daya perikanan, disamping sarana-sarana lainnya, memiliki kelebihan yang tidak dimiliki sarana lainnya, yakni sifat mengikat dan/atau memaksa dari hukum itu. Perumusan kaidah-kaidah kebijakan pengelolaan sumber daya perikanan dalam suatu perundang-undangan tidak serta merta menyelesaikan permasalahan yang ada, karena efektivitas hukum tersebut akan sangat tergantung pada aspek operasionalnya. Disinilah peran sanksi hukum yang seringkali dinilai penting dan sangat menentukan untuk tercapainya kepatuhan, terlebih lagi adanya suatu

3 pertanggungjawaban pidana dari para pelaku tindak pidana dan pemberi sanksi hukum pidana itu sendiri. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 tahun 2009, lebih memberikan kejelasan dan kepastian hukum terhadap penegakan hukum atas perkara tindak pidana perikanan, yang tercantum dalam putusan perkara nomor : 237/PID.SUS/2013/PN. TK. Berlakunya Undang-Undang Perikanan di Negara Republik Indonesia, tidak terlepas dari adanya perbuatan-perbuatan yang merupakan pelanggaran sehingga dapat dikategorikan sebagai Tindak Pidana Perikanan, baik yang dilakukan oleh perorangan/ nelayan / nelayan kecil / warga negara Indonesia maupun warga negara asing dan badan hukum Indonesia maupun badan hukum asing dalam wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia khususnya di perairan dalam daerah hukum Propinsi Lampung. Hal ini sesuai dengan data Pra Research (pra penelitian) yang telah dilakukan di Instansi Kejaksaan Tinggi Lampung. Data tersebut terkait dengan Tindak Pidana Perikanan yang dilakukan oleh Misni Bin Samiran, Tempat Lahir: Metro, Umur / Tanggal lahir: 34 thn / 14 Juli 1977, Jenis Kelamin: Laki-laki, Kebangsaan: Indonesia, Tempat Tinggal: Desa Margasari Kuala Penat Kec. Labuhan Maringgai Kab. Lampung Timur, Agama: Islam, Pekerjaan : Nelayan / Nakhoda kapal KM. Indosiar. Kasus Posisi Tindak Pidana Perikanan yang dilakukan oleh Misni Bin Samiran adalah sebagai berikut : Bahwa Misni Bin Samiran, selaku Nahkoda kapal KM. Indosiar, pada hari jumat tanggal 15 febuari 2013 sekitar jam 11.00 WIB.

4 Bertempat di perairan laut Tulang Bawang Propinsi Lampung pada posisi kordinat 4 51. 29.25 S 105 54 20.11 T, telah tertangkap tangan oleh Anggota Kepolisian Daerah Lampung dari satuan Direktorat Pol air Polda Lampung karena sedang melakukan penangkapan ikan/kerang dengan menggunakan jaring garuk kerang yang terbuat dari Besi seberat 200 Kg. yang dilarang oleh Pemerintah karena membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya. Jaring garuk kerang tersebut dilarang oleh pemerintah karena dapat merusak sumber daya bawah laut yang mengakibatkan kerusakan terumbu karang dan ekosistem lainnya seperti kerang-kerang yang masih kecil menjadi mati dan apabila terus berlanjut akan menyebabkan kepunahan atau setidak-tidaknya mengganggu dan merusak keberlanjutan sumberdaya ikan. Berdasarkan fakta-fakta pemeriksaan baik di tingkat Penyidikan, Penuntutan maupun dalam Pemeriksaan di Persidangan, Perbuatan Misni Bin Samiran telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan perbuatan Tindak Pidana Perikanan memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang dilarang sebagaimana diatur dan diancam pidana Pasal 85 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2009 Tentang perubahan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 Tentang perikanan yaitu: setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang berada di kapal penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan ukuran yang ditetapkan, alat penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan persyaratan, atau standar yang ditetapkan untuk tipe alat tertentu dan/ atau

5 alat penangkapan ikan yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 ( dua miliar rupiah). Pasal 9 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 tentang perikanan yaitu, ayat (1) setiap orang dilarang memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat bantu penangkapan ikan yang menganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia, ayat (2) Ketentuan mengenai alat penangkapan ikan yang menganggu dan merusak keberlanjutan sumberdaya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan negara Republik Indonesia. Berdasarkan putusan tesebut ada hal yang menarik dalam tuntutan jaksa dari perkara ini yaitu : Barang bukti berupa unit kapal kayu merk KM.Indosiar warna coklat dimusnahkan dan dirampas untuk negara, namun di dalam amar putusan hakim menyatakan barang bukti berupa SPI ( surat penangkapan ikan jenis dogol ) an. Jamaludin KM. Indosiar dikembalikan kepada yang berhak. Maksud dari tuntutan jaksa penuntut umum dan majelis hakim dalam putusannya dirampas, adalah diambil guna kepentingan hukum dan dikembalikan untuk negara, bisa jadi untuk dimusnahkan atau dilelang dan kemudian hasil lelang tersebut masuk ke kas negara. Maksud dari dikembalikan kepada yang berhak yaitu diberikan kepada orang yang berhak menerima barang bukti tersebut yaitu Jamaludin karena barang

6 bukti tersebut merupakan alat yang digunakan untuk melakukan tindak pidana dan bukan merupakan tujuan atau hasil dari tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa, oleh karena itu dikembalikan kepada yang berhak atas nama Jamaludin selaku pemilik kapal. Penulis melihat adanya ketidaksesuaian antara tuntutan jaksa penuntut umum dengan amar putusan hakim mengenai barang bukti beserta pertanggungjawaban pidana pelaku dalam putusan tindak pidana perikanan ini dengan nomor register perkara 237/PID.SUS /2013/PN.TK, oleh karena itu penulis mengangkat skripsi ini dengan judul Analisis Yuridis Terhadap Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Perikanan (Studi Putusan No. 237/Pid/Pidsus/2013/PN.TK). B. Permasalahan dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan Berdasarkan atas uraian latar belakang yang telah dikemukakan di atas maka yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah : a. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana perikanan dalam Tindak pidana perikanan (Studi Putusan Nomor : 237/PID.SUS/2013/PN.TK.)? b. Bagaimanakah dasar pertimbangan hakim terhadap pelaku tindak pidana perikanan ( Studi Putusan Nomor : 237/PID.SUS/2013/PN.TK.)? 2. Ruang Lingkup Ruang lingkup penelitian dari dua pokok bahasan diatas dalam skripsi ini yaitu ruang lingkup ilmu yang meliputi materi penelitian dalam bidang ilmu hukum pidana, khususnya Tindak Pidana Perikanan. Ruang lingkup substansi yang

7 meliputi objek penelitian yaitu Aparat Penegak Hukum (Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim) dalam menangani perkara tindak pidana perikanan dan pelaku tindak pidana perikanan itu sendiri. Sedangkan ruang lingkup wilayah berada di Propinsi Lampung dan ruang lingkup waktu yaitu tahun 2013. C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian skripsi ini adalah untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana perikanan dalam Tindak pidana perikanan (Studi Putusan Nomor : 237/PID.SUS/2013/PN.TK.) dan juga untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim terhadap pelaku tindak pidana perikanan ( Studi Putusan Nomor : 237/PID.SUS/2013/PN.TK.) dengan berdasarkan Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 tentang perikanan dan bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap pelsku tindak pidana perikanan dalam tindak tidana perikanan, serta bagaimana dasar pertimbangan hakim terhadap pelaku tindak pidana perikanan. 2. Kegunaan Penulisan a. Kegunaan Teoritis Secara Teori kegunaan penulisan skripsi ini adalah untuk memberi sumbangan ilmu pengetahuan bagi masyarakat pada umumnya, mahasiswa fakultas hukum dan para penegak hukum khususnya atas hasil

8 analisis yuridis terhadap pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana perikanan sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 tentang perikanan. b. Kegunaan Praktis 1. Berguna untuk memotivasi dan menambah pengalaman serta menambah ilmu pengetahuan bagi penulis yang tidak hanya sebatas dari perkuliahan yang diberikan dosen yang bersangkutan mengenai pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana perikanan. 2. Memberikan pengetahuan dan informasi bagi masyarakat luas mengenai pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana perikanan. 3. Berguna sebagai bahan acuan untuk penelitian-penelitian berikutnya. D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti. 2 Seseorang atau pada pelaku tindak pidana perikanan tidak akan dimintai pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana perikanan atau apa dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana perikanan apabila tidak melakukan perbuatan pidana dan perbuatan pidana 2 Sarjono Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. UI. Pers. Jakarta. Hal 127.

9 tersebut haruslah melawan hukum, namun meskipun dia melakukan perbuatan pidana, tidaklah selalu dia dapat dipidana. Orang yang melakukan perbuatan pidana hanya akan dipidana apabila dia terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan kesalahan. pertanggungjawaban pidana berdasarkan hukum pidana negara-negara yang menganut common law system, pada prinsipnya tidak memiliki perbedaan yang fundamental dengan civil law system. Hukum pidana Inggris mensyaratkan bahwa pada prinsipnya setiap orang yang melakukan kejahatan dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya, kecuali ada sebab-sebab yang meniadakan penghapusan pertanggungjawaban yang bersangkutan (exemptions from liability). 3 Chairul Huda menyatakan bahwa pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya. 4 Tegasnya, yang dipertanggungjawabkan orang itu adalah tindak pidana yang dilakukannya. Dengan demikian, terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang. Berbicara masalah pertanggungjawaban pidana tidak bisa dilepaskan dari tindak pidana. Orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan untuk dipidana, apabila tidak melakukan tindak pidana. Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi terhadap pelanggaran atas kesepakatan menolak suatu perbuatan tertentu. Penolakan 3 Romli Atmasasmita. 2009. Perbandingan Hukum Pidana Kontemporer. fikahati aneska. Jakarta. hlm. 93 4 Chairul Huda,. 2011. Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Cetakan ke-4,. Kencana Prenada Media Group Jakarta. hlm. 70

10 masyarakat terhadap suatu perbuatan, diwujudkan dalam bentuk larangan (dan ancaman dengan pidana) atas perbuatan tersebut. Hal ini merupakan cerminan, bahwa masyarakat melalui negara telah mencela perbuatan tersebut. Barangsiapa atau setiap orang yang melakukan akan dicela pula. Pembuat dicela jika melakukan tindak pidana tersebut sebenarnya ia dapat berbuat lain. Pertanggungjawaban pidana adalah mengenakan celaan terhadap pembuat karena perbuatannya yang melanggar larangan atau menimbulkan keadaan yang terlarang. Pertanggungjawaban pidana karenanya menyangkut soal peralihan celaan yang ada pada tindak pidana kepada pembuatnya. Mempertanggungjawabkan seseorang dalam hukum pidana adalah meneruskan celaan yang secara objektif ada pada perbuatan pidana secara subjektif terhadap pembuatnya. 5 Menurut Ruslan Saleh 6, tidaklah ada gunanya untuk mempertanggungjawabkan terdakwa atas perbuatannya apabila perbuatannya itu sendiri tidak bersifat melawan hukum, maka lebih lanjut dapat pula dikatakan bahwa terlebih dahulu harus ada kepastian tentang adanya perbuatan pidana, dan kemudian semua unsurunsur kesalahan harus dihubungkan pula dengan perbuatan pidana yang dilakukan, sehingga untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidanannya terdakwa maka terdakwa haruslah : (a) Melakukan perbuatan pidana; (b) Mampu bertanggung jawab; (c) Dengan kesengajaan atau kealpaan, dan 5 Roeslan Saleh. 1983. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana; Dua Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana. Aksara Baru. Jakarta. hlm. 13 6 Loc.Cit. Ruslan Saleh. Hal. 75-76.

11 (d) Tidak adanya alasan pemaaf. Berdasarkan uraian tersebut diatas, jika ke empat unsur tersebut diatas ada maka orang yang bersangkutan atau pelaku tindak pidana dimaksud dapat dinyatakan mempunyai pertanggungjawaban pidana, sehingga ia dapat dipidana. Orang yang dapat dituntut dimuka pengadilan dan dijatuhi pidana, haruslah melakukan tidak pidana dengan kesalahan. Kesalahan dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) yaitu: 1) Kemampuan bertanggungjawab; 2) Sengaja (dolus/opzet) dan lalai (culpa/alpa); 3) Tidak ada alasan pemaaf. 7 Pengertian kesalahan sebagai pengertian hukum dapat diketahui dari beberapa pendapat sarjana berikut ini: 8 a. Mezger : Kesalahan adalah keseluruhan syarat yang memberi dasar untuk adanya pencelaan pribadi terhadap si pembuat tindak pidana b. Simons : Sebagai dasar untuk pertanggungjawab dalam hukum pidana. Ia berupa keadaan psychisch dari si pembuat dan hubungannya terhadap perbuatannya dan dalam arti bahwa berdasarkan keadaan psychisch itu perbuatannya dapat dicelakan kepada si pembuat. 7 Tri Andrisman. 2009. Hukum pidana Asas- asas dan Dasar Aturan Umum hukum pidana indonesia.universitas Lampung. Bandar Lampung. Hal. 91 8 Loc. Cit. Hal. 94

12 Bahwa bilamana kita hendak menghubungkan petindak dengan tindakannya dalam rangka mempertanggungjawabkan atas tindakannya, agar supaya dapat ditentukan pemidanaan kepada petindak harus diteliti dan dibuktikan bahwa : a. subjek harus sesuai dengan perumusan undang-undang; b. terdapat kesalahan pada petindak; c. tindakan itu bersifat melawan hukum; d. tindakan itu dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang (dalam arti luas); e. dilakukannya tindakan itu sesuai dengan tempat, waktu dan keadaan lainnya yang ditentukan dalam undang-undang. 9 Menurut Mulyatno (dalam Tri Andrisman) 10 unsur-unsur pertanggungjawaban pidana adalah: 1. Kesalahan; 2. Kemampuan bertanggungjawab; 3. Tidak ada alasan pemaaf. Tegasnya bahwa, pertanggungjawaban pidana adalah merupakan pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya. Dengan demikian, terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang. Dimana masyarakat telah sepakat menolak suatu perbuatan tertentu yang diwujudkan dalam bentuk larangan atas perbuatan tersebut. 9 E.Y. Kanter dan S.R Sianturi. 2002. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Storia Grafika. Jakarta. Hal. 253. 10 Op.Cit. Tri Andrisman. 2009. Hal. 73.

13 Sebagai konsekuensi penolakan masyarakat tersebut, sehingga orang yang melakukan perbuatan tersebut akan dicela, karena dalam kejadian tersebut sebenarnya pembuat dapat berbuat lain. Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi terhadap pelanggaran atas kesepakatan menolak suatu perbuatan tertentu. 1. Subyek Pertanggungjawaban Pidana Subyek pertanggungjawaban pidana merupakan subyek tindak pidana, karena berdasarkan uraian-uraian diatas telah dibahas bahwa yang akan mempertanggungjawabkan suatu tidak pidana adalah pelaku tindak pidana itu sendiri sehingga sudah barang tentu subyeknya haruslah sama antara pelaku tindak pidana dan yang akan mempertanggungjawabkan perbuatan pidananya. Secara teoritis pertanggungjawaban pidana dapat dijabar berdasarkan hal sebagai berikut; Perbuatan yang tercela oleh masyarakat, dipertanggungjawabkan kepada sipembuatnya, artinya: celaan yang obyektif terhadap perbuatan itu kemudian diteruskan kepada si terdakwa, orang yang melakukan perbuatan pidana akan dipidana apabila telah ada aturan yang telah mengaturnya dan untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidananya terdakwa maka terdakwa haruslah; a. Melakukan perbuatan pidana; b. Mampu bertanggungjawab; c. Dengan sengaja atau alpa; d. Tidak adanya alasan pemaaf. 11 11 Roslan Saleh. 1983. Perbuatan Pidana dan Pertanggung Jawaban Pidana. Aksara Baru. Jakarta. Hal 10-11.

14 2. Teori dasar Pertimbangan Hakim Terhadap pelaku tindak perikanan yang harus dipertanggungjawabkan kepada sipembuatnya adalah jika sipembuat pidana melakukan perbuatan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat 1 sesuai ketentuan dalam Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagai berikut yaitu: setiap orang yang ditangkap, disangka, dituntut atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Perlu diketahui pula dalam Pasal 8 ayat 2 yaitu, dalam mempertimbangkan berat ringannya suatu putusan pada pelaku tindak pidana perikanan, disini hakim juga melihat sifat jahat dan baiknya dari pelaku tindak pidana perikanan. Teori dasar petimbangan hakim menurut Pasal 183 KUHAP mengenai pembuktian dalam perkara tindak pidana perikanan terhadap pelaku tindak pidana perikanan, peranan barang bukti pada tindak pidana perikanan, disamping barang bukti ada dua hal yang perlu dipertimbangan oleh hakim dalam putusan yaitu: (1) Barang bukti dan (2) Alat bukti. Menurut Pasal 184 ayat 1 KUHP, Hakim dalam menjatuhkan putusan dalam persidangan harus minimal dua alat bukti, yang digunakan oleh hakim berdasarkan KUHAP Pasal 184 yaitu: 1. surat 2. petunjuk 3. keterangan terdakwa 4. keterangan saksi 5. keterangan ahli

15 1. Konseptual Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungam antara konsepkonsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin atau akan diteliti 12. Untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman terhadap pokok-pokok pembahasan dalam penulisan ini, maka penulis memberikan beberapa konsep yang digunakan untuk memberikan penjelasan tehadap istilah dalam penulisan ini. Adapun istilah yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut : a. Analisis Yuridis adalah suatu teknik analisa data yang dilakukan dengan cara menguraikan secara jelas aspek-aspek hukum yang berkaitan dengan suatu peristiwa. 13 b. Pertanggungjawaban pidana adalah suatu perbuatan yang tercela oleh masyarakat yang harus dipertanggungjawabkan pada si pembuatnya atas perbuatan yang dilakukan. Dengan mempertanggung jawabkan perbuatan yang tercela itu pada si pembuatnya, apakah si pembuatnya juga dicela ataukah si pembuatnya tidak dicela. Pada hal yang pertama maka si pembuatnya tentu dipidana, sedangkan dalam hal yang kedua si pembuatnya tentu tidak dipidana. 14 12 Op.Cit. Soekanton, Sarjono. Pengantar Penelitian Hukum. Hal 132. 13 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia.. Balai Pustaka. Jakarta. 14 Op.Cit. Ruslan Saleh. Hal. 75-76.

16 c. Perbuatan tindak pidana adalah Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut. 15 d. Tindak Pidana Perikanan adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh orang atau badan hukum yang melanggar dan diancam pidana sesuai Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 tentang perikanan. e. Perikanan menurut Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Pasal 1 ayat 1 adalah, semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, pengelolaan, sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu bisnis perikanan. E. Sistematika Penulisan Untuk membahas masalah analisis yuridis terhadap pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana perikanan yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana, agar supaya tersusun secara baik, sistematis, dan mudah dipahami sehingga akhirnya akan dapat diambil suatu kesimpulan, penulis menggunakan sistematika penulisan sebagai berikut : 15 Moeljatno. 1987. Asas-asas Hukum Pidana. Bina Aksara. Jakarta. hal 54.

17 I. PENDAHULUAN Dalam bab ini memuat latar belakang penulisan, yang kemudian ditarik pokok-pokok permasalahan dan ruang lingkup, tujuan penulisan, dan kegunaan penulisan, konseptual serta sistematika penulisan. II. TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini akan diuraikan yaitu pengertian pertanggungjawaban pidana, unsur-unsur dalam pertanggungjawaban pidana, pengertian tindak pidana perikanan, unsur-unsur tindak pidana perikanan, subyek pertanggungjawaban pidana perikanan, perbuatan yang tergolong tindak pidana perikanan, pihakpihak yang berwenang menangani perkara tindak pidana perikanan di Indonesia; penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan perikanan sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 tahun 2009 tentang perubahan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 tahun 2004 tentang perikanan. III. METODE PENELITIAN Metode Penelitian Penulisan menggunakan metode Yuridis Normatif dan Yuridis Empiris yang kemudian dianalisis secara kualitatif dengan cara mengkaji pasal-pasal yang berhubungan dengan pertangungjawaban pidana dalam tindak pidana perikanan yang terdapat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 tahun 2009 tentang perubahan Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 31 tahun 2004 tentang perikanan. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Merupakan bab yang menjelaskan secara lebih terperinci tentang Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Perikanan (Studi Putusan

18 Nomor: 237/PID.SUS/2013/PN.TK.) dengan mengacu kepada Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 45 tahun 2009 tentang perubahan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 tahun 2004 tentang perikanan. V. PENUTUP Merupakan bab yang berisikan kesimpulan dari hasil penelitian dan saran atas hasil penelitian. DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN