Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Narkotika Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima: 8 Oktober 2015; disetujui: 15 Oktober 2015

dokumen-dokumen yang mirip
RechtsVinding Online. Kelembagaan Badan Narkotika Nasional Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima: 2 Oktober 2015; disetujui: 7 Oktober 2015

BAB I PENDAHULUAN. yang luar biasa (Extra Ordinary Crime). Permasalahan ini tidak hanya menjadi

No II. anggota masyarakat yang telah berjasa mengungkap adanya tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika, perlu diberi landasan hukum ya

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN. sebanyak orang dan WNA sebanyak 127 orang 1.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. narkoba pada tahun 2012 berkisar 3,5%-7% dari populasi dunia yang berusia 15-64

SOSIALISASI INSTITUSI PENERIMA WAJIB LAPOR (IPWL) OLEH : AKBP AGUS MULYANA

BAB I PENDAHULUAN. atau kesulitan lainnya dan sampai kepada kematian tahun). Data ini menyatakan bahwa penduduk dunia menggunakan

BAB I PENDAHULUAN. legal apabila digunakan untuk tujuan yang positif. Namun

BAB III PENERAPAN REHABILITASI BAGI PECANDU NARKOTIKA DAN KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA. 3.1 Penempatan Rehabilitasi Melalui Proses Peradilan

BNN TES URINE PEGAWAI BPK SUMUT

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2011 TENTANG PELAKSANAAN WAJIB LAPOR PECANDU NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. hukum seperti telah diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang No. 35 Tahun

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

J A K A R T A, M E I

PRESS RELEASE AKHIR TAHUN 2016 KERJA NYATA PERANGI NARKOTIKA

I. PENDAHULUAN. Permasalahan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba (narkotika,

BAB I PENDAHULUAN. pasar narkoba terbesar di level Asean. Menurut United Nation Office on Drugs and

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2011 TENTANG PELAKSANAAN WAJIB LAPOR PECANDU NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN BERSAMA KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL REPUBLIK INDONESIA TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2011 TENTANG PELAKSANAAN WAJIB LAPOR PECANDU NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. kejahatan yang bersifat trans-nasional yang sudah melewati batas-batas negara,

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan menyimpang yang ada dalam kehidupan masyarakat. maraknya peredaran narkotika di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. perlu berinteraksi dengan sesama manusia sebagai aplikasi dari proses sosial

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan nasional Indonesia bertujuan mewujudkan manusia

BUPATI JEMBER SALINAN PERATURAN BUPATI JEMBER NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

BAB 1 PENDAHULUAN. lainnya) bukan merupakan hal yang baru, baik di negara-negara maju maupun di

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. ketergantungan bagi penggunanya dimana kecenderung akan selalu

PERATURAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

2014, No Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Nega

I. PENDAHULUAN. Pemberantasan penyalahgunaan narkotika merupakan masalah yang sangat penting,

PERATURAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL NOMOR 16 TAHUN 2014 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN NARKOTIKA NASIONAL

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Peredaran gelap narkotika di Indonesia menunjukkan adanya

BAB III BADAN NARKOTIKA NASIONAL. A. Latar belakang berdirinya Badan Narkotika Nasional (BNN)

UU NO.35 tahun 2009 tentang Narkotika PP 25 tahun 2010 Tentang Wajib Lapor. Abdul Azis T, SKep

S A L I N A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PROBOLINGGO,

BAB I PENDAHULUAN. terbendung lagi, maka ancaman dahsyat semakin mendekat 1. Peredaran

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

BAB IV TINJAUAN UMUM LOKASI PENELITIAN. A. Sejarah Berdirinya Badan Narkotika Nasional Provinsi Riau

JURNAL ILMIAH KOORDINASI ANTARA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA (POLRI) DAN BADAN NARKOTIKA NASIONAL (BNN) DALAM MENCEGAH

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Kelima, Penyidikan Oleh Badan Narkotika Nasional (BNN)

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN TENTANG PELAKSANAAN WAJIB LAPOR PECANDU NARKOTIKA

BAB I PENDAHULUAN. Analisis Implementasi..., Agustinus Widdy H, Program Pascasarjana, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. dalam proses pembiusan sebelum pasien dioperasi. Seiring dengan perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penyalahgunaan narkotika pada akhir-akhir tahun ini dirasakan

PERANAN KEMENKEU DALAM IMPLEMENTASI JAKSTRANAS P4GN TAHUN

KEBIJAKAN NON PENAL DALAM PENANGGULANGAN KEJAHATAN NARKOTIKA. Adhi Prasetya Handono, Sularto*), Purwoto ABSTRAK

PRESS RELEASE AKHIR TAHUN 2017 KERJA BERSAMA PERANG MELAWAN NARKOBA

PERATURAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2OII TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. dan pengembangan ilmu pengetahuan. Indonesia dan negara-negara lain pada

PETUNJUK TEKNIS ANTARA. NOMOR : PAS-07.HM TAHUN 2414 NOMOR : J U KNlSlO 1 llt,l201 4 BARESKRIM

BAB II PROSES PENYIDIKAN BNN DAN POLRI TERHADAP TERSANGKA NARKOTIKA MENGACU PADA UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

PERATURAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL NOMOR 03 TAHUN 2010 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN NARKOTIKA NASIONAL

II. TINJAUAN PUSTAKA. Negara Republik Indonesia dan penyidikan oleh penyidik Badan Narkotika

BAB I PENDAHULUAN. Alam dan Sumber Daya Manusia yang melimpah, sehingga Indonesia

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 8, 2014 BNN. Penghargaan. Pencegahan. Pemberantasan. Narkotika. Prekursor. Tata Cara.

PERATURAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. sosial, dan politik dalam dunia internasional, Indonesia telah ikut berpatisipasi

RENCANA KERJA 2015 BADAN NARKOTIKA NASIONAL KOTA MATARAM

KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DAERAH NUSA TENGGARA BARAT RESOR DOMPU STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR SAT RES NARKOBA

BAB II PERBEDAAN PUTUSAN REHABILITASI DAN PUTUSAN PIDANA PENJARA DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA

BAB I PENDAHULUAN. dengan perjalanan waktu dan kemajuan teknologi. tiga bagian yang saling terkait, yakni adanya produksi narkotika secara gelap

BAB I PENDAHULUAN. hakim di sidang pengadilan. Penegakan hukum ini diharapkan dapat menangkal. tersebut. Kejahatan narkotika (the drug trafficking

PERANAN MASYARAKAT DALAM MEMBANTU PENYIDIK UNTUK MENGUNGKAP TINDAK PIDANA NARKOTIKA (STUDI KASUS DI POLTABES SURAKARTA)

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN TENTANG PELAKSANAAN WAJIB LAPOR PECANDU NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG

I. PENDAHULUAN. Fenomena penyalahgunaan dan peredaran narkotika merupakan persoalan

BUPATI BULUNGAN PROPINSI KALIMANTAN UTARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan masyarakat, bangsa dan umat manusia. yang sangat mengkhawatirkan. Terutama pada remaja-remaja saat ini yang makin

Dalam Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2009, sanksi bagi pelaku kejahatan narkoba adalah sebagai berikut :

SKRIPSI PELAKSANAAN TEKNIK PEMBELIAN TERSELUBUNG OLEH PENYELIDIK DALAM TINDAK PIDANA PEREDARAN GELAP NARKOTIKA DI KOTA PADANG

I. PENDAHULUAN. anak-anak yang kurang perhatian orang tua, dan begitu beragamnya kegiatan yang

2017, No Medis dan Lembaga Rehabilitasi Sosial bagi Pecandu dan Korban Penyalahgunaan Narkotika; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2

BAB I PENDAHULUAN. penggunaan akuntansi berbasis akrual (accrual) oleh pemerintah, termasuk

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia adalah negara berdasarkan UUD 1945 sebagai konstitusi

BAB V PENUTUP. Penyalahguna magic mushroom dapat dikualifikasikan sebagai. golongan I sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

HUKUMAN MATI NARAPIDANA NARKOBA DAN HAK ASASI MANUSIA Oleh : Nita Ariyulinda *

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah salah satu Negara yang sangat menentang tindak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Narkotika diperlukan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masyarakat dunia khususnya bangsa Indonesia, saat ini sedang dihadapkan

BAB I PENDAHULUAN. pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan di

NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PENYALAHGUNAAN DAN PEREDARAN GELAP NARKOBA (P4GN) DI KABUPATEN BANYUWANGI

KEBIJAKAN NARKOTIKA, PECANDU DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. kepentingan pengobatan manusia, yaitu sebagai obat untuk mengobati suatu

PROPINSI SULAWESI SELATAN. KEPUTUSAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL PROVINSI SULAWESI SELATAN Nomor : KEP/ 06 / X / 2011 / BNNP TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. cepat dari proses pematangan psikologis. Dalam hal ini terkadang menimbulkan

BAB 1 PENDAHULUAN. dirasakan semakin menunjukkan peningkatan. Hal tersebut dapat dilihat dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Permasalahan mengenai penggunaan Narkotika semakin hari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pergaulan dalam hidup masyarakat merupakan hubungan yang terjadi

BAB V PENUTUP. Yogyakarta yang telah diuraikan dalam BAB IV, maka dapat dikemukakan. 1) Melakukan kegiatan pembinaan dan penyuluhan

Bab I. Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang. Perancangan Interior Panti Rehabilitasi Penyalahgunaan Narkoba

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan penyalangunaan narkoba di Indonesia telah menjadi ancaman

Transkripsi:

Upaya Pencegahan dan Pemberantasan Narkotika Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima: 8 Oktober 2015; disetujui: 15 Oktober 2015 Permasalahan narkotika merupakan salah satu permasalahan global yang selalu menjadi perhatian serius negara-negara di seluruh dunia, karena kondisinya yang sampai saat ini belum mampu ditangani dengan baik dan cenderung mengalami peningkatan, baik secara kualitas maupun kuantitas.(http://www.jurnalasia.com). Akhir-akhir ini permasalahan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba semakin marak dan kompleks, terbukti dengan meningkatnya jumlah penyalahgunaan, pengedar yang tertangkap, dan pabrik narkoba yang di bangun di Indonesia. Penyebab terjadinya penyalahgunaan narkoba disebabkan oleh beberapa faktor yang saling mempengaruhi satu sama lain, yaitu faktor letak geografi Indonesia, ekonomi, kemudahan memperoleh obat, keluarga dan masyarakat, kepribadian, dan fisik dari individu yang menyalahgunakannya. (http://www.kompasiana.com/) Dalam kurun waktu kurang dari dua bulan, BNN kembali melakukan pengungkapan kasus besar. Saat masyarakat Indonesia masih merasakan kehangatan datangnya 2015, BNN melakukan penangkapan terhadap 9 tersangka, 4 Warga Negara Indonesia (WNI) dan 5 Warga Negara Asing (WNA). Barang bukti diperoleh dengan jumlah fantastis 862 kg di Jakarta Barat. Raihan tersebut ialah yang terbanyak dalam proses penyelidikan di Indonesia. Sebelumnya, BNN mengamankan sejumlah tersangka dengan barang bukti ganja asal Aceh sebanyak 8,8 ton di Pekanbaru tujuan Jakarta. Di November 2014, BNN juga berhasil mengamankan sabu dengan jumlah besar, yaitu 151,5 kg di Jakarta Barat, dengan jumlah tersangka 3 WNA. Dalam dua bulan, jumlah sabu dari dua TKP tersebut ialah 1.013,5 kg. Kalau pengguna sabu per gramnya untuk 4 orang, 1.013.500 gram dapat digunakan untuk 4.054.000 orang. Jika pengguna aktif menggunakan sabu dalam satu bulan sebanyak 4 kali sebanyak 1 gram, dalam satu tahun pengguna tersebut menggunakan 91 gram. Artinya, sabu 1,013 ton yang dapat disita BNN akan habis dalam 1

satu tahun jika digunakan 11.130 pengguna aktif. (http://www.mediaindonesia.com/). Pada peringatan Hari Anti Narkoba Indonesia (HANI) tahun 2015 ada beberapa hal yang patut menjadi perhatian kita bersama dalam upaya penanganan kondisi darurat narkotika. Pertama, dalam rangka penanganan penyalahgunaan dan pecandu narkotika melalui upaya pemulihan atau rehabilitas. Jumlah pecandu narkotika saat ini belum diimbangi dengan ketersediaan layanan rehabilitasi ketergantungan narkotika yang memadai. Untuk itu dengan keterbatasan layanan rehabilitasi ketergantungan narkotika ini menuntut semua pihak, baik kalangan pemerintah, swasta dan masyarakat untuk turut berpartisipasi menyediakan layanan rehabilitasi ketergantungan narkotika. Permasalahan kedua, penanganan terhadap penjahat narkotika hanya dapat dihentikan dengan pemberian hukuman yang setimpal termasuk hukuman mati. Selanjutnya, permasalahan ketiga adalah upaya pencegahan penyalahgunaan narkotika merupakan upaya yang sangat penting dan utama karena hal ini menyangkut keselamatan seluruh warga negara dari pengaruh buruk narkotika. (http://www.jurnalasia.com/) Tiga pendekatan yang dipakai dalam menangani masalah narkoba adalah melalui pendekatan Supply Reduction, Demand Reduction, dan Harm Reduction. Pendekatan Supply Reduction bertujuan memutus mata rantai pemasok Narkotika mulai dari produsen sampai pada jaringan pengedarnya, pendekatan Demand Reduction adalah memutus mata rantai para pengguna, sedangkan pendekatan Harm Reduction merupakan pendekatan pengurangan dampak buruk terkait narkoba. Dua pendekatan pertama lebih dipakai oleh penegak hukum dalam penanganan masalah narkoba. (http://www.kebijakanaidsindonesia.net/). Pendekatan harm reduction lebih condong sebagai pendekatan kesehatan masyarakat dalam upaya pengurangan dampak buruk narkotika. Paling tidak ada tiga alasan mengapa hukum tidak menerima pendekatan harm reduction, yakni karena hukum pada dasarnya reduksionis dan dikotomis, hukum dikenakan untuk penyimpangan yang bersifat ultimum remedium, hukum pada dasarnya menuntut kodifikasi dan prosedural. Sementara, penegak hukum kurang menerima pendekatan harm reduction karena beberapa alasan antara lain sebagian besar aparat hukum berpandangan legal-formal, mengganggu prinsip kepastian hukum, dan penegak hukum pada fase pra-adjudikasi mengembangkan anggapan klasik pada drug 2

users. Kenyataannya, di beberapa negara termasuk Indonesia pendekatan demand dan supply reduction masih menjadi pilihan dalam menanggulangi masalah narkoba. Sedangkan menurut standar UNODC (United Nation Office Drugs and Crime) organisasi dunia dibawah PBB yang secara khusus menangani kejahatan narkoba dan kriminal menyatakan ada 3 (tiga) tipe pencegahan yaitu: 1. Pencegahan Primer Melakukan upaya pencegahan sejak dini agar tidak menyalahgunakan narkoba. Ditujukan bagi masyarakat yang tidak atau belum menyalahgunakan narkoba. 2. Pencegahan Sekunder Diperuntukkan bagi mereka yang telah mulai, menginisiasi penyalahgunaan narkoba, disadarkan agar tidak berkembang menjadi adiksi, menjalani terapi dan rehabilitasi. Serta diarahkan agar yang bersangkutan melaksanakan pola hidup sehat dalam kehidupan seharihari. 3. Pencegahan Tersier Ditujukan bagi mereka yang telah menjadi pecandu, direhabilitasi agar pulih dari ketergantungan sehingga dapat kembali bersosialisasi dengan keluarga dan masyarakat. Pencegahan Penyalahgunaan Narkotika BNN melalui BNN Provinsi (BNNP) dalam upaya pencegahan narkotika salah satunya dengan melakukan sosialisasi dan penyuluhan antara lain ke sekolah-sekolah yaitu SMP dan SMA serta ke perguruan tinggi bekerja sama dengan dinas pendidikan. BNNP membentuk satuan tugas di sekolah dan perguruan tinggi. Adapun kendala yang dihadapi yaitu kurang berjalannya koordinasi dengan baik, antar instansi bekerja secara sendiri-sendiri. BNNP membuka jalur interaktif dengan masyarakat melalui Radio Republik Indonesia dengan mengundang narasumber antara lain dinas kesehatan, kepolisian resort, jaksa, dinas pendidikan, dan lembaga swadaya masyarakat. Koordinasi dan kerjasama juga dilakukan oleh BNNP dalam pemberantasan peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika salah satunya dengan saling memberikan informasi tentang data target para pelaku penyalahguna narkotika termasuk secara bersama-sama melakukan kegiatan penyerahan di bawah pengawasan (control delivery), interdiksi pelabuhan, dan interdiksi bandara. Adapun peranan BNNP dalam program rehabilitasi terhadap pecandu dan korban penyalahguna narkotika antara lain: 3

a. melaksanakan sosialisasi ke seluruh lapisan masyarakat, baik melalui tatap muka langsung (face to face), media radio, televisi, spanduk, dan billboard; b. membentuk satuan tugas dari berbagai kalangan antara lain di sekolah-sekolah, kampus, dan di lingkungan masyarakat untuk turut berpartisipasi menjaring korban penyalahguna untuk dapat mengikuti program rehabilitasi; c. untuk mencari penyalahguna melaksanakan kegiatan operasi (razia) ke tempat-tempat yang dinilai rawan penyalahgunaan narkotika antara lain lokalisasi, bilyard, tempat kos, dan warnet; d. melaksanakan dialog interaktif ke berbagai kalangan/elemen masyarakat, dalam rangka menarik atau menghimbau kepada korban untuk mau di rehabilitasi agar tidak sampai kecanduan; e. melakukan kegiatan sosialisasi kepada mantan pecandu untuk mendorong pecandu serta penyalahguna lainnya melapor kepada Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) dan menjalani program rehabilitasi; dan f. untuk meningkatkan kinerja khususnya bidang rehablitasi bekerja sama dengan instansi pemerintah maupun swasta. maupun komponen masyarakat untuk dapat melakukan upaya rehabilitasi terhadap pecandu baik rawat jalan maupun rawat inap. Pembera Pemberantasan Penyalahgunaan Narkotika Dalam melaksanakan tugas pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, BNN berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika. Kewenangan ini dilaksanakan oleh Penyidik BNN yang diangkat dan diberhentikan oleh Kepala BNN. Bersama dengan Polri dan Penyidik PNS, BNN dapat bertindak sebagai penyidik dalam tindak pidana narkotika. Selain kewenangan tersebut, BNN juga memiliki kewenangan yang sifatnya non-yudisial seperti kewenangan untuk meningkatkan kemampuan dan kualitas lembaga rehabilitasi medis, memberdayakan masyarakat terkait dengan upaya pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, serta mengembangkan laboratorium narkotika dan prekursor narkotika. Terkait dengan penyadapan setelah terdapat bukti awal yang cukup, serta 4

kewenangan untuk melakukan teknik pembelian terselubung dan penyerahan di bawah pengawasan. Pembagian ranah pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika antara BNN dan Polri tidak terdapat pembagian yang jelas mengenai kewenangan penyidikan tindak pidana narkotika yang menjadi ranah BNN dan Polri. Hanya dalam Pasal 84 yang menyebutkan bahwa baik BNN maupun Polri harus saling memberitahukan dimulainya proses penyidikan sebuah kasus. Adanya ketentuan tersebut dimaksudkan agar penyidikan atas tindak pidana narkotika lebih efektif dan efisien sebab jika penyidikan telah dilakukan oleh salah satu instansi maka instansi lain tidak perlu melakukan penyidikan yang sama terhadap perkara yang sama. Oleh karena itu perlu diatur secara rinci mengenai hubungan antara BNN dengan Polri dalam menjalankan kewenangan penyidikan. Tindak pidana narkotika merupakan kejahatan yang luar biasa, maka diperlukan penanganan yang luar biasa pula. Oleh sebab itu perlu mendorong masyarakat agar berperan serta seluas luasnya dalam upaya pencegahan maupun pemberantasan narkotika. Permasalahan narkotika tidak akan dapat diselesaikan oleh pemerintah semata, melainkan harus melibatkan seluruh elemen masyarakat tanpa terkecuali. * Penulis adalah Tenaga Fungsional Perancang Undang-Undang Bidang Politik, Hukum, dan Hak Asasi Manusia Deputi Perundang-Undangan Sekretariat Jenderal DPR-RI 5