I. PENDAHULUAN. kompleksnya persoalan penegakan hukum. Dalam era reformasi telah melahirkan paradigma

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. membuat bertambah kompleksnya persoalan penegakan hukum. Dalam era

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya,

I. PENDAHULUAN. dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh dan, berkembang, dan

I. PENDAHULUAN. profesi maupun peraturan disiplin yang harus dipatuhi oleh setiap anggota Polri.

II. TINJAUAN PUSTAKA. penahanan, penuntutan dan pemeriksaan disidang pengadilan, serta pelaksanaan putusan

I. PENDAHULUAN. terhadap tindak pidana pencurian, khususnya pencurian dalam keluarga diatur didalam

hukum terhadap tindak pidana pencurian, khususnya pencurian dalam keluarga diatur

I. PENDAHULUAN. dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 yang menyatakan sebagai berikut bahwa : Pemerintah

I. PENDAHULUAN. hukum sebagai sarana dalam mencari kebenaran, keadilan dan kepastian hukum. Kesalahan,

II. TINJAUAN PUSTAKA. hukum pada hakikatnya adalah proses perwujudan ide-ide. merupakan suatu proses yang melibatkan banyak hal. 1

I. PENDAHULUAN. berlainan tetapi tetap saja modusnya dinilai sama. Semakin lama kejahatan di ibu

I. PENDAHULUAN. menjadi penyeimbang dalam kehidupan bermasyarakat dipertanyakan. Bagaimana. hambatan dari hal-hal yang dapat menggangu kinerja hukum.

I.PENDAHULUAN. Kejahatan merupakan salah satu masalah kehidupan masyarakat

I. PENDAHULUAN. Hak asasi manusia merupakan dasar dari kebebasan manusia yang mengandung

I. PENDAHULUAN. Indonesia sebagai Negara berkembang sangatlah membutuhkan pembangunan yang merata di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekarang ini masyarakat sangat membutuhkan peran Polisi sebagai pelindung

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pembentukan Undang-Undang kita telah mempergunakan perkataan strafbaar feit untuk

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia segala sesuatu atau seluruh aspek kehidupan diselenggarakan

I. PENDAHULUAN. demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, menjunjung tinggi atas hak

I. PENDAHULUAN. dirasakan tidak enak oleh yang dikenai oleh karena itu orang tidak henti hentinya

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian

I. PENDAHULUAN. kebebasan, baik yang bersifat fisik maupun pikiran. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar

BAB I PENDAHULUAN. fungsi dan wewenang, sebagai suatu organisasi yang baik dan kuat memiliki

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pelaksanaan penegakan hukum tidak selalu sesuai dengan apa yang tertulis dalam

BAB I PENDAHULUAN. Pancasila dan Undang-Undang Dasar Pasal 1 angka 3 UUD 1945 merumuskan

I. PENDAHULUAN. kesejahteraan masyarakat. Sebagai bagian dari sistem transportasi nasional, Lalu. dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi.

I. PENDAHULUAN. dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

BAB I PENDAHULUAN UNIVERSITAS INDONESIA. Fungsi bidang pembinaan..., Veronica Ari Herawati, Program Pascasarjana, 2008

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Mengenai Penegakan Hukum Pidana. 1. Penegak Hukum dan Penegakan Hukum Pidana

I. PENDAHULUAN. Kebebasan dasar dan hak dasar itu yang dinamakan Hak Asasi Manusia (HAM), yang

I. PENDAHULUAN. kondisi sosial budaya dan politik suatu negara berkembang untuk menuju sistem

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara hukum ( rechtstaats), maka setiap orang yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. dimana keturunan tersebut secara biologis berasal dari sel telur laki-laki yang kemudian

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (human traficking) terutama terhadap perempuan dan anak

I. PENDAHULUAN. berkaitan satu sama lainnya. Hukum merupakan wadah yang mengatur segala hal

I. PENDAHULUAN. tidak sesuai dengan perundang-undangan. Sebagai suatu kenyataan sosial,

I. PENDAHULUAN. Penanganan dan pemeriksaan suatu kasus atau perkara pidana baik itu pidana

yang tersendiri yang terpisah dari Peradilan umum. 1

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana sekarang ini telah menjadi suatu fenomena, dimana hampir setiap hari ada berita

BAB III PENGATURAN PENEGAKAN HUKUM TERHADAP APARAT KEPOLISIAN

cenderung meningkat, juga cukup besar dibandingkan komponen pengeluaran APBN yang lain,

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

melakukan penyidikan terhadap tindak pidana psikotropika dengan pelaku anak

I. PENDAHULUAN. Dewasa ini tindak pidana perkosaan merupakan kejahatan yang cukup mendapat

BAB I PENDAHUULUAN. terjadi tindak pidana perkosaan. Jika mempelajari sejarah, sebenarnya jenis tindak

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah

PELAKSANAAN PERLINDUNGAN KHUSUS TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN PENCABULAN MENURUT UU NO. 23 TAHUN 2002

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Penerapan hukum dengan cara menjunjung tinggi nilai-nilai yang

I. PENDAHULUAN. Hukum merupakan seperangkat aturan yang diterapkan dalam rangka menjamin

I. PENDAHULUAN. Pemberantasan penyalahgunaan narkotika merupakan masalah yang sangat penting,

I. PENDAHULUAN. sehingga banyak teori-teori tentang kejahatan massa yang mengkaitkan dengan

I. PENDAHULUAN. negatif bagi manusia dan lingkungannya, yaitu ditandai dengan adanya kejahatan.

BAB II LANDASAN TEORI. Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah : 6. a. untuk menghindari anak dari penahanan;

I. PENDAHULUAN. Perkembangan masyarakat merupakan suatu gejala yang biasa dan bersifat umum

I. PENDAHULUAN. dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Prajurit TNI adalah warga

DAFTAR PUSTAKA. Arief, Barda Nawawi Berbagi Aspek Kebijakan Penegakan Pembangunan Hukum Pidana. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan masyarakat tersebut, aturan-aturan tersebut disebut juga normanorma

I. PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya sebagaimana tercantum

I. PENDAHULUAN. Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkembangan hukum akan selalu berkembang seiring dengan perkembangan

I. PENDAHULUAN. mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna

I. PENDAHULUAN. Munculnya gelombang reformasi di akhir dekade 90-an yang ditandai dengan

I. PENDAHULUAN. seluruh rakyat Indonesia. Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. perlu dikemukakan terlebih dahulu identitas responden. : Anggota Pembinaan dan Disiplin Bid Propam Polda Lampung

SKRIPSI UPAYA POLRI DALAM MENJAMIN KESELAMATAN SAKSI MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

I. PENDAHULUAN. dalam rumah tangga saat ini kerap terjadi baik merupakan kekerasan secara fisik

I. PENDAHULUAN. merupakan peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh setiap masyarakat agar

I. PENDAHULUAN. Keadaan di dalam masyarakat yang harmonis akan terpelihara dengan baik jika tercipta

I. PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia. Kepolisian adalah hak-ihwal berkaitan dengan fungsi

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1

I. PENDAHULUAN ), antara lain menggariskan beberapa ciri khas dari negara hukum, yakni :

I. PENDAHULUAN. Salah satu syarat pokok demokrasi adalah adanya sistem Pemilihan Umum (Pemilu)

I. PENDAHULUAN. karna hukum sudah ada dalam urusan manusia sebelum lahir dan masih ada

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN. seluruh masyarakat untuk meningkatkan mutu kehidupannya, sebagaimana yang

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini.

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana. hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturanaturan

PERAN LEMBAGA PENEGAK HUKUM DALAM MENJAMIN KEADILAN DAN KEDAMAIAN

BAB I PENDAHULUAN. Pemasyarakatan yang berperan penting dalam proses penegakan hukum. Untung S. Radjab (2000 : 22) menyatakan:

BAB I PENDAHULUAN. kelompok masyarakat, baik di kota maupun di desa, baik yang masih primitif

I. PENDAHULUAN. Fenomena penyalahgunaan dan peredaran narkotika merupakan persoalan

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 44 TAHUN 2010 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Oleh : Baskoro Adi Nugroho NIM. E

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Kepolisian Negara Republik Indonesia. Negara Republik Indonesia disebutkan bahwa Kepolisian bertujuan untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

PELAKSANAAN UPAYA PAKSA TERHADAP ANGGOTA POLRI PELAKU TINDAK PIDANA DI WILAYAH HUKUM POLRES JAYAPURA KOTA

PENDAHULUAN. penyalahgunaan, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi dan keamanan nasional,

I. PENDAHULUAN. Salah satu persoalan yang selalu dihadapi di kota-kota besar adalah masalah lalu lintas. Hal ini

STANDART OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) SATUAN SABHARA

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

I. PENDAHULUAN. yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa dimasa yang

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

I. PENDAHULUAN. usahanya ia tidak mampu, maka orang cenderung melakukanya dengan jalan

I. PENDAHULUAN. Anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah warga negara Indonesia yang

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara yang berdasarkan atas

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana pemalsuan uang mengandung nilai ketidak benaran atau palsu atas

Transkripsi:

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan masyarakat yang demikian cepat dalam era globalisasi telah membuat bertambah kompleksnya persoalan penegakan hukum. Dalam era reformasi telah melahirkan paradigma baru dalam segenap tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang pada dasarnya memuat koreksi pada tatanan lama dan menyempurnakan kearah tatanan Indonesia baru yang lebih baik untuk diterapkan dalam praktek penyelenggaraan Pemerintahan Negara termasuk didalamnya fungsi Kepolisian. Babak baru sejarah Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dimuat setelah adanya TAP MPR No. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Polri serta TAP MPR No. VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri. Dalam ketetapan tersebut antara lain dinyatakan, TNI dan Polri secara kelembagaan terpisah sesuai dengan peran dan fungsi masingmasing. Berdasarkan kedua ketetapan MPR tersebut, tidak ada ketentuan yang menyatakan bahwa anggota Polri merupakan lembaga Sipil (Non -militer), namun berdasarkan ketentuan yang menyatakan TNI dan Polri merupakan lembaga yang terpisah dan Anggota Polri tunduk pada kekuasaan peradilan umum, maka dapat disimpulkan Polri telah beralih menjadi lembaga sipil. Berubahnya Polri menjadi lembaga sipil tentunya membawa konsekuensi, baik di bidang administrasi, penegakan hukum maupun penegakan disiplin anggota. Polri telah ditetapkan sebagai alat Negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,

menegakan hukum, memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Dalam memainkan peran tersebut Polri dituntut untuk melaksanakan secara profesional serta didukung oleh kualitas pengetahuan dan keterampilan teknis kepolisian yang tinggi juga sangat ditentukan oleh prilaku terpuji setiap Anggota Polri di tengah masyarakat karena sebagai salah satu tombak penegakan hukum yang berkaitan langsung dengan kehidupan sehari-hari masyarakat mulai dari persoalan sepele seperti masalah pelanggaran lalu lintas sampai masalah serius yang menyangkut tindak pidana politik. Anggota Polri selalu bersinggungan dengan masyarakat, hal ini sangat rentan sehingga cenderung menimbulkan pelanggaran dalam pelaksanaan tugas, oleh karenanya penanganan yang berkualitas dan profesional merupakan suatu keharusan bagi Polri. Sesuai dengan tujuan, fungsi, tugas dan tanggung jawab sebagaimana diatur dalam Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri), keberadaan Polri bertujuan untuk menjamin tertib dan tegaknya hukum serta terbinanya ketentraman masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri dan terselenggaranya fungsi pertahanan keamanan Negara serta tercapainya tujuan nasional dengan menjunjung tinggi dan menghormati hak-hak anggota masyarakat dengan harapan tidak menyimpang atau melanggar hukum, apabila dalam pelaksanaan tugasnya terjadi pelanggaran hukum maka Anggota Polri tersebut harus mempertanggungjawabkan perbuatannya secara hukum. Masyarakat di Era Reformasi telah berani menilai dan mengkritik kinerja aparat hukum, khusunya Kepolisian. Kritikan dan kekecewaan yang dilontarkan masyarakat pada Kepolisian adalah sesuatu hal yang wajar, karena yang bersinggung secara langsung dengan masyarakat

dalam penegakan hukum adalah kepolisian. Menurut Satjipto Rahardjo dan Anton Tabah (1993 : 11), Polisi adalah elemen Sistem Peradilan Pidana (SPP) yang terdepan, yang berhadapan langsung dengan masyarakat dibandingkan dengan elemen SPP yang lain (Jaksa, Hakim dan Lembaga Pemasyarakatan). Masyarakat sering menilai buruk kinerja SPP, karena melihat kinerja polisi yang kurang profesional. Kenyataan dalam masyarakat banyak ditemukan Anggota Polri yang berprilaku tidak sesuai dengan tugas dan kewajibannya melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat serta menegakan hukum. Antara lain, masih didapati tindakan anggota kepolisian yang tidak profesional. Banyak Anggota Polri yang menyalahgunakan wewenang yang ada padanya. Bahkan banyak Anggota Polri yang melakukan tindak pidana seperti pencabulan yang dilakukan terhadap pembantu rumah tangganya, yang membuat buruk nama institusi atau lembaga Polri. Berikut disajikan data mengenai anggota Polri yang melakukan tindak pidana di Poltabes Bandar Lampung tahun 2009 : Tabel 1. Anggota Polri Pelaku Tindak Pidana di Poltabes Bandar Lampung NO NAMA PANGKAT JENIS TINDAK PIDANA 1 Bym IPTU Penyalahgunaan Psikotropika (ekstacy) 2 SS BRIPKA Penganiayaan dan Pengeroyokan mengakibatkan orang meninggal dunia 3 RU BRIPKA Pencurian Mobil 4 Pn BRIPDA Memiliki dan atau menguasai serta mengedarkan psikotropika jenis extacy sebanyak 39 butir

5 MM BRIPTU Melakukan penadahan sepeda motor hasil kejahatan 6 YG BRIPTU Pencabulan 7 Td BRIPDA Penadahan 8 DT BRIPTU Menggunakan narkotika gol.1 9 AB BRIPKA Memiliki atau menyimpan psikotropika 10 SK BRIGPOL Memiliki atau menyimpan psikotropika Sumber : Data Primer dari Poltabes Bandar lampung, diolah tahun 2010 Perubahan paradigma menjadi civilian police telah membawa konsekuensi yang mmenggiring institusi Polri untuk mereformasikan diri melakukan perubahan substansi atas 3 (tiga) aspek penting institusi, yaitu aspek instrumental, struktural dan kultural. Pada aspek instrumental antara lain dibidang hukum adalah dijabarkannya Undang-Undang Polri kedalam Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Teknis Institusional Peradilan Umum Bagi Anggota Polri (penyebutan selanjutnya disingkat, yaitu PP No. 3/2003). setiap anggota Polri yang melanggar ketentuan hukum pidana, maka terhadap anggota Polri tersebut akan diproses sesuai dengan ketentuan hukum pidana yang berlaku, yaitu diproses dan diajukan dalam peradilan umum. Hal ini sesuai dengan ketentuan TAP MPR No. VII/MPR/2000 yaitu Anggota Polri tunduk pada kekuasaan peradilan umum. Berdasarkan Pasal 28 D Ayat (1) UUD 1945 dinyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta pengakuan yang sama dihadapan hukum. Dengan demikian Anggota Polri sebagai warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum pemerintahan dengan warga negara lainnya. Pada dasarnya setiap manusia mempunyai kedudukan yang sama dimuka hukum tanpa kecuali demikian pula dengan

Anggota Polri bukanlah sosok yang kebal hukum walaupun sebagai penegak hukum bukan berarti bebas dari hukum. Sebagaimana diketahui bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) berlaku untuk penduduk dan warga negara Indonesia dengan tanpa kecuali, ini berarti Anggota Polri yang juga sebagai penduduk dan warga negara Indonesia tidak luput dari ketentuan KUHP, sehingga apabila Anggota Polri melakukan tindak pidana maka dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana menurut ketentuan KUHP. Perbuatan cabul adalah segala perbuatan yang melanggar kesusilaan / kesopanan atau perbuatan yang keji, kesemuanya itu didalam lingkungan nafsu birahi kelamin misalnya cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada dan sebagainya. Persetubuhan juga termasuk dalam pencabulan cabul, akan tetapi di dalam Undang-Undang disebutkan tersendiri (R.Susilo. 1989 : 212). Perbuatan cabul bisa menimpa siapa saja baik laki-laki maupun perempuan dan begitu pula pelakunya, bisa saja dia seorang perempuan, keinginan nafsu yang tinggi bisa menimpa siapa saja dan apabila tidak mengeremnya tentu akan terjadi kasus kekerasan seksual. Menurut Pasal 289 KUHP, Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. Dalam hal penanganan penegakan hukum pidana yang diberlakukan bagi Anggota Polri yang melakukan tindak pidana berbeda penanganannya dengan masyarakat biasa. Anggota Polri harus mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dalam sidang pengadilan umum sesuai dengan

ketentuan hukum pidana yang berlaku. Disamping itu, Anggota Polri yang melakukan tindak pidana juga mendapatkan hukuman dari dalam lembaga kepolisian. Apabila tindak pidana yang dilakukan Anggota Polri tersebut hanya dianggap sebagai suatu pelanggaran maka Anggota Polri tersebut terkena sanksi berupa pelanggaran disiplin dan disidang dalam sidang disiplin. Namun apabila lembaga kepolisian tetap menganggap itu sebagai tindak pidana, maka Anggota Polri yang melakukan tindak pidana tersebut dianggap telah melanggar Kode Etik Profesi Polri dan akan mendapat hukuman dari dalam lembaga kepolisian yang harus dipertanggungjawabkan melalui Sidang Kode Etik Profesi. Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian yang selanjutnya akan dibuat laporan atas penelitian tersebut sebagai skripsi dengan judul Analisis Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Pencabulan Oleh Anggota Kepolisian (Studi Pada Poltabes Bandar Lampung). B. Permasalahan Dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas, maka yang menjadi permasalahan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut : a. Bagaimanakah penegakan hukum terhadap tindak pidana pencabulan oleh anggota kepolisian? b. Apakah faktor-faktor penghambat penegakan hukum terhadap tindak pidana pencabulan oleh anggota kepolisian? 2. Ruang Lingkup

Berdasarkan permasalahan di atas maka yang menjadi lingkup penelitian ini akan dibatasi pada hal-hal yang berhubungan dengan penegakan hukum terhadap tindak pidana pencabulan oleh anggota kepolisian serta faktor penghambat penegakan hukum terhadap tindak pidana pencabulan oleh anggota kepolisian. Sedangkan lokasi penelitian dilakukan pada wilayah hukum Poltabes Bandar Lampung. C. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan dalam penulisan ini adalah : a. Mengetahui penegakan hukum terhadap tindak pidana pencabulan oleh anggota kepolisian sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. b. Mengetahui faktor-faktor penghambat penegakkan hukum terhadap tindak pidana pencabulan oleh anggota kepolisian. 2. Kegunaan Penelitian a. Kegunaan Teoritis Secara teoritis diharapkan penulisan ini dapat digunakan sebagai bahan kajian bagi kalangan hukum dalam mengembangkan dan memperluas ilmu pengetahuan dan dalam bidang hukum pada umumnya,dan khususnya hukum pidana. b. Kegunaan Praktis Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan kepada Praktisi Hukum khususnya, serta kepada masyarakat umumnya untuk mengetahui dan turut serta berpartisipasi dalam penanggulangan pencabulan yang dilakukan oleh anggota kepolisian. D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis Kerangka teori adalah konsep konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan kesimpulan terhadap dimensi dimensi sosial yang dianggap relevan untuk penelitian (Soerjono Soekanto : 1986 : 123). Pada permasalahan yang dibahas mengenai penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana pencabulan oleh anggota kepolisian, di bawah ini dikemukakan beberapa teori sebagai berikut: Suatu kelompok atau organisasi selalu mempunyai aturan intern dalam rangka meningkatkan kinerja, profesionalisme, budaya organisasi maupun kebersamaan untuk menjamin terpeliharanya tata tertib dan pelaksanaan tugas sesuai dengan tujuan, peranan, fungsi, wewenang, dan tanggungjawab institusi tersebut. Aturan-aturan intern yang berlaku di dalam kelompok atau organisasi dapat berupa aturan yang tertulis maupun tidak tertulis. Menurut Amiroeddin Sjarif (1983 : 18) : Di zaman modern, tujuan dari organisasi biasanya dibuat secara tertulis, yakni sebagai terdapat didalam anggaran dasar. Selain itu ditentukan pula tata kerja, hubunganhubungan serta tata tertib dalam melaksanakan usaha-usaha untuk mencapai tujuan, yang rumusan dalam garis besarnya terdapat dalam peraturan rumah tangga. Dan di samping aturan-aturan yang tertulis, banyak pula aturan-aturan yang tidak tertulis. Tetapi walaupun tidak tertulis ia merupakan kelaziman yang senantiasa dianut. Selanjutnya ditegaskan pula oleh Amiroeddin Sjarif (1983 : 18), apabila anggota -anggota dari suatu kelompok atau organisasi tidak mempunyai sikap patuh / taat pada ketentuan-ketentuan tadi, baik terhadap yang tertulis maupun yang tidak tertulis sudah pasti akan membawa kelompok atau organisasi tersebut pada keadaan yang lemah sehingga tidak dapat diharapkan akan tercapai tujuan yang dicita-citakan.

Penegakkan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide ide tentang keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial menjadi kenyataan. Proses perwujudan ide ide itulah yang merupakan hakikat dari penegakkan hukum (Satjipto Raharjo.1987: 15). Penegakkan hukum bukan semata mata berarti palaksanaan perundang-undangan, walaupun dalam kenyataan di Indonesia kecendrungannya adalah demikian, sehingga pengertian Law Enforcement begitu populer. Bahkan ada kecendrungan untuk mengartikan penegakan hukum sebagai pelaksanaan keputusan keputusan pengadilan. Pengertian yang sempit ini jelas mengandung kelemahan, sebab pelaksanaan perundang undangan atau putusan pengadilan, bisa terjadi malahan justru menggangu kedamaian dalam pergaulan hidup (Soerjono Soekanto, 1986: 5). a. Teori Tentang Penegakan Hukum Goldstein membedakkan penegakan hukum menjadi 3 (tiga), yaitu : 1) Total Enforcement yakni ruang lingkup penegakan hukum pidana sebagaimana yang dirumuskan oleh hukum pidana substantive (substantive law crime). Penegakan hukum secara total ini tidak mungkin dilakukan sebab para penegak hukum dibatasi secara ketat oleh hukum acara pidana yang antara lain mencakup aturan-aturan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan pendahuluan. Disamping itu mungkin hukum pidana substantif sendiri memberikan batasanbatasan, misalnya dibutuhkan terlebih dahulu adanya aduan sebagai syarat penuntutan pada delik aduan. Ruang lingkup yang dibatasi ini disebut Area of No Enforcement. Setelah ruang lingkup penegakan hukum yang bersifat total tersebut dikurangi dengan Area of No Enforcement, muncul bentuk penegakan hukum pidana yang kedua, yakni Full Enforcement. Dalam lingkup mana para penegak hukum diharapkan menegakkan hukum secara maksimal, tetapi oleh Goldstein harapan itu dianggap Not a Realistic Expectation, sebab adanya keterbatasan dalam bentuk waktu, personil, alat-alat investigasi, dana dan lain sebagainya yang kesemuanya itu mengakibatkan keharusan dilakukannya Discretions. Sehingga hasilnya yang tersisa adalah Actual Enforcement.

Menurut Sudarto (1981 : 181), Penegakkan Hukum dapat dibagi 3 (tiga) kerangka konsep, yakni : 1. Konsep penegakan hukum masalah Prevensi (Pencegahan) Penegakan hukum bidangnya luas sekali, tidak hanya bersangkut-paut dengan tindakan-tindakan apabila sudah ada atau ada persangkaan telah terjadi kejahatan, akan tetapi juga menjaga kemungkinan akan terjadinya kejahatan; 2. Konsep penegakan hukum masalah Tindakan Represif ialah segala tindakan yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum sesudah terjadi kejahatan atau tindak pidana; 3. Konsep penegakan hukum Tindakan Kuratif pada hakekatnya juga merupakan usaha preventif dalam arti yang seluas-luasnya, ialah dalam usaha penanggulangan kejahatan. b. Teori Tentang Faktor Penghambat Menurut Soerjono Soekanto (1983 : 17) menjelaskan ada 5 (lima) Faktor faktor penghambat penegakan hukum agar suatu kaedah hukum benar-benar berfungsi, yaitu : 1. Kaedah Hukum itu sendiri Berlakunya kaedah hukum di dalam masyarakat ditinjau dari kaedah hukum itu sendiri, menurut teori-teori hukum harus memenuhi tiga macam hal berlakunya kaedah hukum, yaitu : a. Berlakunya secara yuridis, artinya kaedah hukum itu harus dibuat sesuai dengan mekanisme dan prosedur yang telah ditetapkan sebagai syarat berlakunya suatu kaedah hukum. b. Berlakunya secara sosiologis, artinya kaedah hukum itu dapat berlaku secara efektif, baik karena dipaksakan oleh penguasa walau tidak diterima masyarakat ataupun berlaku dan diterima masyarakat. c. Berlaku secara filosofis, artinya sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi. Jika hanya berlaku secara filosofis maka kaedah hukum tersebut hanya merupakan hukum yang dicita-citakan (ius constituendum). 2. Penegak Hukum

Komponen yang bersifat struktural ini menunjukkan adanya kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum. Lembaga-lembaga tersebut memiliki undang-undang tersendiri hukum pidana. Secara singkat dapat dikatakan, bahwa komponen yang bersifat struktural ini memungkinkan kita untuk mengharapkan bagaimana suatu sistem hukum ini harusnya bekerja. 3. Fasilitas Fasilitas dapat dirumuskan sebagai sarana yang bersifat fisik, yang berfungsi sebagai faktor pendukung untuk mencapai tujuan. Fasilitas pendukung mencakup perangkat lunak dan perangkat keras. 4. Masyarakat Setiap warga masyarakat atau kelompok pasti mempunyai kesadaran hukum, yakni kepatuhan hukum yang tinggi, sedang atau rendah. Sebagaimana diketahui kesadaran hukum merupakan suatu proses yang mencakup pengetahuan hukum, sikap hukum dan perilaku hukum. Dapat dikatakan bahwa derajat kepatuhan masyarakat terhadap hukum merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan. Artinya, jika derajat kepatuhan warga masyarakat terhadap suatu peraturan tinggi, maka peraturan tersebut memang berfungsi. 5. Kebudayaan Sebagai hasil karya, cipta, rasa didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Variasi kebudayaan yang banyak dapat menimbulkan persepsi-persepsi tertentu terhadap penegakan hukum. Variasi-variasi kebudayaan sangat sulit untuk diseragamkan, oleh karena itu penegakan hukum harus disesuaikan dengan kondisi setempat. Kelima faktor tersebut di atas saling berkaitan dengan hal-hal yang menjadi penghambat di dalam penegakan hukum khususnya di dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana pencabulan oleh anggota Polri. Dimana faktor pengahambat tersebut berasal dari kaedah hukum

yang mengatur suatu tindak pidana tersebut, aparat penegak hukum, masyarakat, fasilitas serta budaya yang berlaku didalam masyarakat tertentu. 2. Konseptual Pengertian kerangka konsep adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsepkonsep khusus yang merupakan kumpulan arti-arti yang berkaitan dengan istilah-istilah yang ingin diketahui (Soerjono Soekanto, 1986 : 132). a. Penegakkan Hukum, adalah suatu tindakan untuk menjamin dan melindungi masyarakat dan hak haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta mendapat perlindungan dari kekerasaan dan diskriminasi. Pidana adalah hukum mengenai perbuatan perbuatan kejahatan dan pelanggaran penguasa. (Kamus Lengkap Bahasa Indonesia,1998). b. Tindak Pidana adalah perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa melanggar larangan tersebut (Moeljanto : 1987 : 2). c. Cabul adalah keji dan kotor (seperti melanggar kesopanan); perbuatan yang buruk (melanggar kesusilaan); berbuat --, berbuat tidak senonoh (melanggar kesusilaan); gambar (bacaan) --, gambar (bacaan) yang melanggar kesusilaan; perempuan --, perempuan lacur. Perhatian seksual yang tidak dikehendaki dan menimbulkan rasa risih pada yang bersangkutan atau yang menimbulkan persoalan di tempat umum seperti di sekolah, di tempat kerja atau di masyarakat. (SarikitSyah.Http://www.wikimu.com/news/displaynews.aspx?id=5984). d. Pencabulan adalah semua tindakan seksual atau kecenderungan betindak seksual yang bersifat intimidasi non fisik (kata -kata, bahasa, gambar) atau fisik (ge rakan kasat mata

dengan memegang, menyentuh, meraba, mencium) yang dilakukan seorang laki-laki atau sekelompoknya terhadap perempuan atau sekelompoknya (Daldjoeni : 1994 : 4). E. Sistematika Penulisan. Guna memudahkan dalam membaca dan memahami isi skripsi ini, maka penulis menyusun kedalam 5 (lima) bab yang isinya mencerminkan susunan dari materi yang perinciannya sebagai berikut : I. PENDAHULUAN Bab ini berisikan latar belakang penulisan, permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penulisan, kerangka teoritis dan konseptual serta sistematika penulisan. II. TINJAUAN PUSTAKA Bab ini berisikan tentang pemahaman kepada pengertian-pengertian umum tentang pokok-pokok bahasan, yaitu tentang pengertian tindak pidana, pengertian Kepolisian Negara Republik Indonesia, pengertian pencabulan, pengertian penegakan hukum, prosedur / mekanisme proses perkara pidana, faktor-faktor penghambat penegakan hukum pidana. III. METODE PENELITIAN Bab ini menguraikan metode penulisan, yaitu pendekatan masalah, sumber dan jenis data, penentuan populasi dan sampel dan metode pengumpulan data, serta analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Bab ini berisikan jawaban dari permasalahan yang telah dirumuskan yang memuat tentang penegakkan hukum terhadap tindak pidana pencabulan oleh anggota kepolisian, faktor-faktor pengahambat penegakan hukum terhadap tindak pidana oleh anggota kepolisian. V. PENUTUP Bab ini berisikan kesimpulan yang dapat diambil penulis dan saran-saran yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas. DAFTAR PUSTAKA

Daldjoeni. 1994. Perempuan Sudah Dilecehkan Masih Dituduh Mengiming-imingi. Jakarta : Kompas. Moeljatno. 1987. Patalogi Sosial Jilid 1. Jakarta : Rajawali. Raharjo, Satjipto dan Anton Tabah, 1987. Polisi Pelaku Dan Pemikir. Gramedia, Jakarta. Sjarif, Amiroeddin, 1983. Disiplin Militer dan Pembinaannya, Ghalia Indonesia, Jakarta. Soedarto. 1990. Hukum Pidana I, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. Semarang. Soekanto, Soerjono, 1986-1999. Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1997. Jakarta.: Gramedia Pustaka. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Maestro, Jakarta. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Polri. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Displin Anggota Polri. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Tekhnis Institusional Peradilan Umum Bagi Anggota Polri. Undang-Undang Dasar 1945. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Syah, Sarikit. PelecehanSeksual. Dalam (http://www.wikimu.com/news/displaynews.aspx?id=5984)