PENENTUAN POTENSI RISIKO TENORM PADA INDUSTRI NON NUKLIR

dokumen-dokumen yang mirip
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR,

EVALUASI PEMANTAUAN TENORM PADA PEMBUATAN NATRIUM ZIRKONAT. Sajima dan Sunardjo Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan - BATAN ABSTARK ABSTRACT

EVALUASI PENGARUH POLA ALIR UDARA TERHADAP TINGKAT RADIOAKTIVITAS DI DAERAH KERJA IRM

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2007 TENTANG KESELAMATAN RADIASI PENGION DAN KEAMANAN SUMBER RADIOAKTIF

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2007 TENTANG KESELAMATAN RADIASI PENGION DAN KEAMANAN SUMBER RADIOAKTIF

PEMERIKSAAN KESEHATAN PEKERJA RADIASI DI PTKMR

PENGUKURAN KONSENTRASI RADON DALAM TEMPAT PENYIMPANAN LIMBAH RADIOAKTIF. Untara, M. Cecep CH, Mahmudin, Sudiyati Pusat Teknologi Limbah Radioaktif

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2007 TENTANG KESELAMATAN RADIASI PENGION DAN KEAMANAN SUMBER RADIOAKTIF

UJI KONTAMINASI RADIONUKLIDA DAN SERTIFIKASI KOMODITI EKSPOR IMPOR

Kebijakan Pengawasan Ketenaganukliran

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA

KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA

SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN RADIASI

PENGGUNAN PERANGKAT LUNAK RESRAD-OFFSITE UNTUK MEMPERKIRAKAN RESIKO RADIOLOGIK SUATU FASILITAS LANDFILL SLAG TIMAH

Tantangan Pengawasan Naturally Occuring Radioactive Material (NORM) di Kabupaten Mamuju

KAJIAN PROTEKSI RADIASI TENORM DARI INDUSTRI DAN PERTAMBANGAN

MANAJEMEN LIMBAH NORMffENORM DALAM KEGIATAN INDUSTRI MINYAK DAN GAS

PENTINGNYA PENGAWASAN KONTAMINASI RADIOANUKLIDA DALAM MAKANAN, PRODUK RUMAH TANGGA DAN LINGKUNGAN

RINGKASAN. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor; Program St~di Pengeloiaan Sumberdaya

KAJIAN BAKU TINGKAT RADIOAKTIVITAS DI LINGKUNGAN UNTUK CALON PLTN AP1000

BAB V Ketentuan Proteksi Radiasi

*39525 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 27 TAHUN 2002 (27/2002) TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

GAMBARAN DOSIS INTERNA DARI BIOASSAY SAMPEL URINE PENDUDUK DESA BOTTENG KABUPATEN MAMUJU

PEMANTAUAN RADIOAKTIVITAS UDARA RUANGAN KERJA IEBE SAAT SISTEM VENTILASI UDARA TIDAK BEROPERASI

OPTIMASI ASPEK KESELAMATAN PADA KALIBRASI PESAWAT RADIOTERAPI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PEMANTAUAN LINGKUNGAN DI SEKITAR PUSAT PENELITIAN TENAGA NUKLIR SERPONG DALAM RADIUS 5 KM TAHUN 2005

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2007 TENTANG KESELAMATAN RADIASI PENGION DAN KEAMANAN SUMBER RADIOAKTIF

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KAJIAN RADIOAKTIVITAS UNTUK PENGAWASAN BERBAGAI BAHAN BANGUNAN

PENINGKATAN SISTEM PROTEKSI RADIASI DAN KESELAMATAN KAWASAN NUKLIR SERPONG TAHUN 2009

3. PRINSIP-PRINSIP DASAR PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF

Aneks TAHAPAN-TAHAPAN DASAR PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF Pengelolaan limbah radioaktif yang efektif harus memperhatikan tahapantahapan dasar

2015, No Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang

KAJIAN BAHAN SUMBER (U DAN Th) PADA EKSPLORASI, PENAMBANGAN, PEMROSESAN PASIR ZIRKON DI KALTENG

Proteksi Radiasi dalam Pekerjaan

PEMANTAUAN KERADIOAKTIFAN UDARA RUANGAN KERJA INSTALASI RADIOMETALURGI SAAT SUPPLY FAN DIMATIKAN

PENGANGKUTAN LIMBAH RADIOAKTIF PADAT DAN CAIR DARI PENIMBUL KE INSTALASI PENGOLAHAN LIMBAH RADIOAKTIF. Arifin Pusat Teknologi Limbah Radioaktif -BATAN

PENGUKURAN KONSENTRASI LURUHAN THORON DENGAN SPEKTROMETER GAMMA HP-Ge

Penentuan Konsentrasi dan Nilai Faktor Transfer Radionuklida Alam ( 226 Ra, 232 Th, 40 K) dari Tanah Sawah ke Beras menggunakan Spektrometer Gamma

PEMANTAUAN RADIOAKTIVITAS DEBU DI UDARA DAERAH KERJA PPGN TAHUN 2011

PEMETAAN SPASIAL KONDISI RADIOAKTIVITAS ALAM TERESTRIAL DI SEMENANJUNG MURIA, JAWA TENGAH

KONSEP PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA PEMANTAUAN RADIASI DAN PENGELOLAAN BAHAN SUMBER PADA PENAMBANGAN BAHAN GALIAN NON NUKLIR

KAJIAN PROTEKSI RADIASI DALAM PENGOPERASIAN PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA NUKLIR (PLTN) BERDASARKAN NS-G-2.7

PELUANG DAN TANTANGAN BATAN SEBAGAI ORGANISASI PENDUKUNG TEKNIS DI BIDANG PROTEKSI RADIASI

2 instalasi nuklir adalah instalasi radiometalurgi. Instalasi nuklir didesain, dibangun, dan dioperasikan sedemikian rupa sehingga pemanfaatan tenaga

[ B.16] [ Status Tingkat Dosis Daerah Radiasi Alam Tinggi Tual Maluku Tenggara ] [ Syarbaini]

PRINSIP DASAR PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF Djarot S. Wisnubroto Pusat Pengembangan Pengelolaan Limbah Radioaktif - BATAN

HUKUM KETENAGANUKLIRAN; Tinjauan dari Aspek Keselamatan dan Kesehatan Kerja, oleh Eri Hiswara Hak Cipta 2014 pada penulis

USAHA DAN/ATAU KEGIATAN BERISIKO TINGGI

RADIOKALORIMETRI. Rohadi Awaludin

FISIKA ATOM & RADIASI

SOAL. Za-salsabiila Page 1

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

KIMIA INTI DAN RADIOKIMIA. Stabilitas Nuklir dan Peluruhan Radioaktif

URGENSI AMANDEMEN TERHADAP PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF

pekerja dan masyarakat serta proteksi lingkungan. Tujuan akhir dekomisioning adalah pelepasan dari kendali badan pengawas atau penggunaan lokasi

EVALUASI PENGUKURAN RADIOAKTIVITAS ALPHA DAN BETA DI PERMUKAAN LANTAI INSTALASI RADIOMETALURGI TAHUN 2009

2 secarakimia, fisika, biologi, dan/atau secara termal. Daur ulang (recycle) Limbah B3 merupakan kegiatan mendaur ulang yangbermanfaat melalui proses

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

INVESTIGASI KANDUNGAN RADIOISOTOP DALAM SAMPEL AIR PADA SUNGAI DISEKITAR RUMAH SAKIT. Reza Achmad Furqoni 1,*)

ANALISIS LIMBAH RADIOAKTIF CAIR DAN SEMI CAIR. Mardini, Ayi Muziyawati, Darmawan Aji Pusat Teknologi Limbah Radioaktif

Widyanuklida, Vol. 15 No. 1, November 2015: ISSN

PENENTUAN WAKTU SAMPLING UDARA UNTUK MENGUKUR KONTAMINAN RADIOAKTIF BETA DI UDARA DALAM LABORATORIUM AKTIVITAS SEDANG

BAB PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

STUDI PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PADAT PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA NUKLIR

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 8 TAHUN 2016 TENTANG PENGOLAHAN LIMBAH RADIOAKTIF TINGKAT RENDAH DAN TINGKAT SEDANG

SURVEI RADIOAKTIVITAS UDARA DI DAERAH KERJA LINGKUNGAN PTAPB - BATAN YOGYAKARTA

KECENDERUNGAN KEBIJAKSANAAN PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF*) Djarot S. Wisnubroto

PENGUKURAN RADIOAKTIVITAS PB-210, PB-212 DAN PB-214 DALAM CUPLIKAN DEBU VULKANIK PASCA GUNUNG MERAPI MELETUS

EVALUASI PENGENDALIAN KESELAMATAN RADIASI DAN NON RADIASI DALAM PENGOLAHAN LIMBAH RADIOAKTIF TAHUN

EVALUASI DOSIS RADIASI INTERNAL PEKERJA RADIASI PT-BATAN TEKNOLOGI DENGAN METODE IN-VITRO

FORMAT DAN ISI LAPORAN SURVEI RADIOLOGI AKHIR

PREDIKSI DOSIS PEMBATAS UNTUK PEKERJA RADIASI DI INSTALASI ELEMEN BAKAR EKSPERIMENTAL

RANCANGAN PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR... TAHUN 2012 TENTANG TINGKAT KLIERENS

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 16 TAHUN 2012 TENTANG TINGKAT KLIERENS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

EVALUASI PENGENDALIAN KESELAMATAN RADIASI DAN NON RADIASI DALAM PENGOLAHAN LIMBAH RADIOAKTIF TAHUN

APLIKASI TEKNIK NUKLIR DALAM HIDROLOGI

IMPLEMENTASI SK. BAPETEN NOMOR : 01/KA-BAPETEN/V 1999, TENTANG KETENTUAN KESELAMATAN KERJA TERHADAP RADIASI DI INSTALASI NUKLIR.

PENYIMPANAN LESTARI LIMBAH TENORM DARI INDUSTRI MINYAK DAN GAS BUMI

BAB II LANDASAN TEORI

SISTEM PENGANGKUTAN LIMBAH RADIOAKTIF PADAT, CAIR DAN GAS. Arifin Pusat Teknologi Pengolahan Limbah Radioaktif

PROSES PENYIMPANAN LIMBAH RADIOAKTIF

PRA RANCANGAN KONTAINER TEMPAT PENYIMPANAN LIMBAH RADIOAKTIF SUMBER TERBUNGKUS 192 Ir

Prinsip Dasar Pengelolaan Limbah Radioaktif. Djarot S. Wisnubroto

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DEKONTAMINASI MIKROSKOP OPTIK HOTCELL 107 INSTALASI RADIOMETALURGI DENGAN CARA KERING

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG NILAI BATAS RADIOAKTIVITAS LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Transkripsi:

PENENTUAN POTENSI RISIKO TENORM PADA INDUSTRI NON NUKLIR Bunawas dan Syarbaini Puslitbang Keselamatan Radiasi dan Biomedika Nuklir BATAN Jalan Cinere Pasar Jumat, Jakarta 12440 PO Box 7043 JKSKL, Jakarta 12070 PENDAHULUAN NORM (Naturally Occurring Radioactive Material) merupakan bahan radioaktif yang sudah ada di alam sebagai bagian dari kehidupan manusia. NORM ada di mana-mana, karena semua bahan di udara, air, tanah, tanaman bahkan tubuh kita mengandung bahan radioaktif alam. Sedangkan TENORM (Technologically Enhanced Naturally Occurring Radioactive Material) dapat diartikan sebagai bahan radioaktif alam yang terkonsentrasi atau naik kandungannya yang merupakan by product dari kegiatan industri non nuklir yang menggunakan bahan baku dari (dalam) kulit bumi. TENORM sering juga disebut LSA (Low Spesific Activity). Kegiatan beberapa industri non nuklir dapat memobilisasi radionuklida alam yang terkandung di dalam batuan-batuan yang terdapat di dalam bumi. Radionuklida alam tersebut akan terkonsentrasi dan akhirnya membentuk material radioaktif. TENORM dalam industri minyak dan gas pertama kali terdeteksi pada tahun 1904 di Kanada, kemudian pada awal tahun 1980 dilakukan pengkajian aspek radiologi terhadap TENORM pada lapangan minyak di laut utara dan dilaporkan bahwa TENORM berpotensi memberikan dampak radiologi terhadap pekerja dan lingkungan, apabila tidak dikelola dengan benar. ASAL DAN TERBENTUKNYA NORM TENORM terbentuk sebagai akibat dari terkonsentrasinya radionuklida alam pada waktu proses industri berlangsung. TENORM yang terbentuk dapat berupa slag, scale (kerak air) dan sluge (lumpur). Radionuklida dalam TENORM berasal dari peluruhan radionuklida primordial dari peluruhan 238 U, 232 Th dan 40 K. Radionuklida alam ini banyak ditemukan dalam batuan dan mineral pada kulit bumi. Peluruhan radioaktif 238 U dan 232 Th dengan mode peluruhan dan energi yang dipancarkan beserta jenis radiasinya diperlihatkan pada Gambar 1 dan 2. Sektor industri non nuklir yang berpotensi sebagai sumber TENORM adalah: Minyak dan Gas Bumi Pupuk Fosfat dan potasium Metal (Besi, tembaga, Alumunium, Timah dan lain-lain) PLTU (Batu Bara dan Panas Bumi) Pulp dan Kertas Air Minum Kemasan dari sumber air alam Secara umum, radionuklida alam yang dominant ditemukan di dalam NORM adalah 238 U, 232 Th, 228 Th, 226 Ra, 228 Ra, 222 Rn, 220 Rn, 210 Pb dan 210 Po. Radiasi yang dipancarkan NORM merupakan campuran partikel alpha, beta dan photon gamma. Radon ( 222 Rn) dan thoron ( 220 Rn) adalah pemancar alpha murni dan berwujud gas. Berdasarkan sifat dan wujud dari masing-masing radionuklida ini maka metode penentuan setiap radionuklida tersebut berbeda. Pembentukan NORM diawali dengan terlarutnya isotop Radium batu-batuan seperti 226 Ra, 228 Ra, 224 Ra di dalam air yang terdapat Penentuan potensi risiko TENORM pada industri non nuklir 143 (Bunawas dan Syarbaini)

bersama minyak dan gas. Isotop 226 Ra berasal dari deret peluruhan 238 U dan 228 Ra beserta 224 Ra berasal dari deret peluruhan 232 Th. Radium mengendap bersama barium kemudian mengganti beberapa atom barium ini dalam struktur kristal barium sulfat. Karena 228 Ra meluruh menjadi 228 Th dan 226 Ra meluruh menjadi 210 Pb melalui radon ( 222 Rn) maka di dalam scale ditemukan 228 Th dan 210 Pb tersebut. Di dalam gas alam banyak ditemukan gas radon yang merupakan anak luruh dari 226 Ra. Gambar 1. Deret Peluruhan 238 U Pengendapan dalam bentuk sulfat maupun karbonat pada bagian dalam dari tubular (T), weelheads (W), Valve (V), pompa (P), separator (S), water treatment vessel (H), gas treatment (G) dan tangki oli (O). Pengendapan dalam fasilitas produksi gas alam dalam bentuk lapisan tipis endapan 210 Pb berupa film. Pengendapan kerak dapat berlangsung lama orde tahunan yang pada gilirannya dapat menurunkan bahkan menghentikan aliran fluida dan mengakibatkan sistem operasi yang tidak aman. Beberapa peneliti atau operator mencoba mencegah proses pengendapan kerak air ini dengan bahan kimia anhibitor dalam sistem injeksi air yang mengandung garam, maupun sumur produksi. Gambar 2. Deret peluruhan 232 Th 144 Buletin Alara, Volume 6 Nomor 3, April 2005, 143 150

Tabel 1. Radionuklida dominan berdasarkan jenis industri Industri sumber NORM Pupuk fosfat Radionuklida dominan 238 U, 234 U, 230 Th, 226 Ra, 210 Pb, 210 Po Pembangkit Listrik Tenaga Batubara Minyak dan Gas Bumi Peneglolaan Air Minum Penambangan Metal Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi 238 U, 234 U, 230 Th, 226 Ra, 210 Pb, 210 Po, 232 Th, 228 Ra, 228 Th 226 Ra, 210 Pb, 210 Po, 228 Ra, 228Th, 222 Rn 238 U, 234 U, 226 Ra, 210 Pb, 210 Po, 228 Ra 238 U, 234 U, 230 Th, 226 Ra, 210 Pb, 210 Po, 232 Th, 228 Ra, 228 Th 226 Ra, 210 Pb, 210 Po, 222 Rn Tabel 2. NORM pada produksi minyak dan gas Tipe Radionuklida Karakteristik Keberadaan Kerak Ra Lumpur Ra Endapan Pb Film Pb Film Po Kondensat Gas alam Air produksi 228 Ra, 226 Ra, 224 Ra dan hasil luruhannya 228 Ra, 226 Ra, 224 Ra dan hasil luruhannya 210 Pb dan luruhannya Endapan keras Ca, Sr, Ba Sulfat dan karbonat Pasir, tanah liat, parafin, logam berat Endapan Pb stabil - Bagian basah dari instalasi produksi - Pipa bor - Separator - Tangki skimmer - Bagian basah instalasi produksi gas - Pipa bor 210 Pb dan luruhannya Lapisan tipis film - Treatment oli dan gas transport 210 Po Lapisan tipis film - Fasilitas treatment kondensat 210 Po unsupported - Produksi gas 222 Rn, 210 Pb, 210 Po Gas mulia menempel pada permukaan 228 Rn, 226 Ra, 224 Ra, 210 Pb Sebagai saline, volume besar dalam produksi minyak - Pemakai utama - Treatment gas & sistem transpor - Setiap fasilitas produksi Penentuan potensi risiko TENORM pada industri non nuklir 145 (Bunawas dan Syarbaini)

Gambar 3. Pengendapan NORM dalam bentuk kerak air (scale) di dalam pipa Secara umum konsentrasi NORM di lumpur lebih rendah dibandingkan di kerak air. Konsentrasi 210 Pb relatif rendah di kerak air, namun tinggi diendapan Pb atau lumpur dengan konsentrasi mencapai 1.000.000 Bq/kg. Isotop thorium tidak termobilisasi dari reservoir, hasil luruhan 228 Th tumbuh dari pengendapan 228 Ra setelah pengendapan berlangsung. Hasilnya, bila kerak air mengandung 228 Ra tumbuh lama, maka konsentrasi 228 Th dapat 150 % lebih tinggi dibandingkan 228 Ra. ASPEK KESELAMATAN RADIASI TENORM TERHADAP PEKERJA DAN LINGKUNGAN Dalam kegiatan industri, TENORM yang dihasilkan dapat mencemari kawasan kerja yang terlepas ke lingkungan. Keberadaan TENORM yang tidak diketahui dengan pasti karena tidak dilakukannya pemantauan, dapat memberikan paparan radiasi eksternal dan internal. Paparan radiasi eksternal terjadi selama proses produksi berlangsung yang berasal dari akumulasi radionuklida yang memancarkan radiasi gamma. Paparan radiasi internal terjadi bila radionuklida masuk ke dalam tubuh pekerja dan orang lain melalui jalur pernapasan dan pencernaan, khususnya selama kegiatan perawatan, transport limbah dan peralatan produksi yang terkontaminasi, serta kegiatan pembersihan pipa dan tangki menggunakan teknik sand blasting. Paparan radiasi juga mengalami peningkatan selama proses dekomisioning fasilitas produksi dan fasilitas yang menangani limbah. Paparan radiasi eksternal dapat berasal dari NORM yang mengendap dalam bentuk kerak air (scale) dan lumpur (sludge) dalam pipa, vessel dan tangki yang dapat meningkatkan laju dosis yang signifikan di dalam dan di luar komponen alat produksi. Hasil peluruhan 226 Ra dan 228 Ra yang berumur pendek seperti 214 Pb, 214 Bi, 212 Pb, 212 Bi dan 208 Th yang memancarkan radiasi gamma dapat menembus dinding alat produksi dan memberikan laju dosis yang cukup signifikan bila kerak yang terakumulasi lebih dari beberapa bulan. Laju dosis bergantung kepada jumlah dan konsentrasi NORM serta perisai dari dinding pipa atau vessel. Laju dosis pada alat produksi berkisar antara 200-30.000 μr/j, nilai ini 1000 kali lebih tinggi dari paparan radiasi alamiah yang berasal dari radiasi teresterial dan kosmik. 146 Buletin Alara, Volume 6 Nomor 3, April 2005, 143 150

Gambar 4. Pemantauan laju paparan dengan survei meter Gambar 5. Kegiatan pembersihan dengan teknik sand blasting Paparan radiasi internal dari NORM dapat berasal dari radionuklida yang masuk tubuh melalui inhalasi (pernapasan) dan ingesi (pencernaan). Ini dapat terjadi pada saat dilakukan kegiatan membuka plant dan peralatan; penggantian pipa, katup dan filter; penanganan limbah; serta pembersihan kerak air yang menggunakan teknik sand blasting yang dapat menerbangkan partikel debu radioaktif ke udara. Masuknya radionuklida melalui pencernaan dapat terjadi pada saat makan dan minum di tempat kerja. Paparan radiasi interna menjadi dominan apabila sarana keselamatan kerja seperti masker dan sarung tangan tidak digunakan secara benar. Perlu diketahui bahwa bahan sand blasting seperti kerak timah (tin slag), kerak tembaga (copper slag) dan garnel mengandung radionuklida alam (NORM) 226 Ra, 228 Ra, 228 Th, 232 Th dan 238 U yang cukup tinggi berkisar antara 1000 100.000 Bq/kg. Pembuangan kerak air (scale) dan lumpur (sludge) yang mengandung Penentuan potensi risiko TENORM pada industri non nuklir 147 (Bunawas dan Syarbaini)

NORM dan dari plant dan peralatan seperti pipa, katup, vessel dan lain-lain pada saat perawatan dan dekomisioning perlu menerapkan tindakan proteksi radiasi untuk menjaga keselamatan, manajemen limbah dan aspek lingkungan, BATAS TINDAKAN TERHADAP TENORM Pengukuran aktivitas setiap radionuklida yang terkandung di dalam NORM perlu dilakukan untuk memastikan tingklat aktivitas radionuklida tersebut. International Atomic Energy Agency (IAEA) dan juga beberapa negara telah memberikan rekomendasi mengenai batasan (action level) aktivitas radionuklida NORM. Apabila aktivitas radionuklida sudah memenuhi batasan tersebut maka NORM harus dikendalikan sebagaimana halnya limbah radioaktif. Berdasarkan rekomendasi dari Basic Safety Standard yang dikeluarkan oleh IAEA, batas tindakan penanganan TENORM apabila konsentrasinya 1000 10.000 Bq/kg atau mempunyai paparan radiasi gamma 50 μr/jam. Komisi Eropa pada tahun 1997 menerbitkan panduan yang lebih rinci untuk implementasi titel VII dari BSS Eropa dalam kasus keberadaan radionuklida alam (NORM) karena termasuk daerah Grey Area dengan rentang dosis 1 msv/th 6mSv/th, karena diantara praktis dan intervensi dengan istilah pita dosis. Komisi Eropa juga menerbitkan dokumen khusus yang berhubungan dengan pembatasan NORM dalam bahan bangunan dan tingkat acuan untuk tempat kerja yang memproses bahan baku alam dengan radionuklida yang meningkat. Pada Tabel 2 ditampilkan konsentrasi radionuklida alam acuan disebut Tingkat Acuan dari beberapa industri non-nuklir yang memberikan paparan kerja dengan dosis 1 msv/tahun. PENGELOLAAN LIMBAH TENORM Dalam beberapa tahun terakhir, produksi TENORM di bidang industri telah meningkat karena pesatnya pertumbuhan industri-industri tersebut. Limbah baik padat, cair, gas ataupun partikulat yang mengandung NORM yang berpotensi memberikan dampak radiologi pada pekerja, anggota masyarakat dan lingkungan apabila terlepas ke lingkungan. NORM yang terkandung dalam komponen-komponen ini terdiri dari radionuklida alam yang mempunyai umur paro sangat panjang maka dari itu pengelolaan limbah NORM/TENORM perlu mendapat perhatian. Pengelolaan TENORM merupakan salah satu aspek penting dalam keselamatan radiasi, bertujuan untuk membatasi pemaparan masyarakat dan pekerja terhadap radiasi pengion dan melindungi lingkungan dari pelepasan radioaktivitas alam atau peningkatan konsentrasi radioaktivitas alam. Pengelolaan Limbah TENORM adalah langkah-langkah terintegrasi yang mencakup semua aspek atau simpul dari siklus peredaran limbah sejak produksi sampai penyimpanan atau pembuangan. Satu hal penting harus diingat dalam pengelolaan limbah TENORM adalah bahwa strategi pengelolaan harus mempertimbangkan tidak hanya resiko dari radiasi atau bahan radioaktif tetapi juga resiko dari non radioasi, karena kedua resiko ini dimiliki oleh TENORM sehingga dalam penetapan opsi pengelolaannya kedua resiko tersebut harus jadi bahan kajian. Sebagai contoh sludge, untuk pemilihan opsi metode pembuangan atau opsi pemrosesannya lebih mempertimbangkan aspek kontaminan non radioaktif daripada aspek radioaktifnya. Kajian terbaru oleh Asosiasi Perminyakan Amerika (API) merekomendasikan pembuangan limbah TENORM dari industri minyak dengan teknik Landfill kelas I. Hal ini sesuai dengan kebijakan Departemen Lingkungan Hidup dan BAPETEN. Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) berdasarkan undang-undang No 10 tentang ketenaganukliran menerbitkan peraturan 148 Buletin Alara, Volume 6 Nomor 3, April 2005, 143 150

Tabel 3. Tingkat acuan untuk industri non nuklir [10] No Material/Proses Radionuklida (Bq/gr yang memberikan dosis 1 msv/th) U- 238 Th- 230 Ra- 226 Th- 232 Th- 228 1 Industri fosfat 80 20 1 10 5 2 Industri Timah 80 20 3 10 5 3 Industri Ferro- 80 20 0,1 10 3 Niobium 4 Industri Zircon 40 9 1 7 4 5 Ektraksi logam tanah jarang monasit 6 Industri katode las (W-Th Welding Rods) 7 Minyak dan gas industri - Scale - Sludge 8 Industri sand blasting 80 20 0,8 10 6-350 - 300 300 - - - - 60 20 100 100 60 10 80 20 3 10 5 pemerintah (PP) No. 27 tahun 2002 tentang penanganan limbah radioaktif dalam pasal 32 ayat 1 disebutkan setiap orang atau badan yang melakukan penambangan bahan galian non-nuklir yang dapat menghasilkan limbah radioaktif sebagai sebagai hasil samping penambangan wajib melakukan analisis keselamatan radiasi. PENENTUAN RISIKO RADIASI TENORM Pengkajian telah dilakukan oleh BAPETEN bekerjasama dengan P3KRBiN-BATAN yang sampai saat ini pada lebih dari 15 industri nonnuklir yang diduga berpotensi memberikan paparan kerja dari sumber radiasi alam. Paparan kerja dari sumber radiasi alam pada industri non nuklir di dunia pada umumnya dan khususnya di Indonesia merupakan paparan kerja yang cukup potensial diterima oleh non pekerja radiasi, oleh karena itu beberapa organisasi internasional seperti ICRP, IAEA, Komisi Eropa (EC) sepakat untuk mengatur dan ada upaya memperkecil dampaknya terhadap pekerja melalui tindakan Intervensi misalnya pembatasan radon ditempat kerja 1000 Bq/m 3, konsentrasi mineral dan bijih (Ore) 1000 10.000 Bq/kg dan kenaikan paparan gamma sebesar 50 μr/jam (0,5 μsv/jam). Risiko radiasi TENORM dapat ditentukan melalui tahapan sebagai berikut: 1. Screening survey untuk penentuan Hot Spot Area 2. Pengambilan sample TENORM dan komponen lingkungan 3. Analisis laboratorium untuk penentuan jenis dan konsentrasi radionuklida yang terkandung di dalam TENOR dan komponen lingkungan 4. Perkiraan dosis yang diterima pekerja dan masyarakat untuk penentuan risiko radiasi TENORM Penentuan potensi risiko TENORM pada industri non nuklir 149 (Bunawas dan Syarbaini)

Panel pemeriksaan radiasi TENORM: Pajanan radiasi gamma total Analisis radionuklida dalam TENORM dan komponen lingkungan meliputi 238 U, 232 Th, 226 Ra, 228 Th, 228 Ra, 210 Pb, dan 40 K Pengukuran gas radioaktif dan luruhannya di udara meliputi radon ( 222 Rn), thoron ( 220 Rn), working level radon dan working level thoron. Untuk memperoleh informasi lebih lanjut, dapat menghubungi: Laboratorium Keselamatan Kesehatan dan Lingkungan (KKL) Puslitbang Keselamatan Radiasi dan Biomedika Nuklir BATAN Jl. Cinere Pasar Jumat, PO Box 7043 JKSKL, JAKARTA 12070 Telp: (021)751906 (hunting), 7654241 Faks : (021)7657950, 7654184 Email: lab.kkl.batan@mail.com 7. VAN DER HEIGDE, H. B., KLINJN, P. J., DUURSMA, K., EISMA, D., DE GROOT, D. J., HOGEL, P., KOSTER, H. W., and NOOYEN, J. L., Environmental Aspects of Phosphate Fertilizer Production in the Netherlands with Particular Reference in the Disposal of Phosphogypsum, Sci. Total Environment, 90, 203 225. 1990. 8. YENER, G., UYSAL, I., Low Energy Scintillation Spectrometry for Direct Determination of 238 U and 210 Pb in Coal and Ash Samples, J. Appl. Radiat. Isot., 47 (1), 93 96. 1966 9. TESTA, C., DESIDERI, D., MELI, M. A., ROSELLI, C., BASSIGNAIRI, A., and FINOZZI, P. B., The Determination of Radium, Uranium and Thorium in Low Specific Activity Scales and in Water of some Oil and Gas Production Plants, Proced. IRPA, 8, 1286 1289. 1992. DAFTAR PUSTAKA 1. HIPKIN, J., and PAYTER, R. A., Radiation Exposures to the Workforce from Natural Occurring Radioactivity in Industrial Processes, Radiation Protection Dosimetry, 36, 96 100. 1991. 2. HEATON, B. and LAMBLEY, J., Tenorm in the Oil, Gas and Mineral Mining Industry, J. Appl. Radiation and Isotop, 46, 577 581. 1995. 3. IAEA, Radiation Protection and the Management of Radioactive Waste in the Oil and Gas Industry, Safety Reports Series No. 34, IAEA, Vienna, 2003. 4. Undang-undang No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran. 5. BAPETEN, Peraturan Pemerintah RI No. 63 Tahun 2000 tentang Keselamatan dan Kesehatan terhadap Pemanfaatan Radiasi Pengion. 6. IAEA, International Basic Safety Standards for Protection against Ionizing Radiation and for the Safety of Radiation Sources, Basic Safety Series 155, IAEA, Vienna. 1996. 150 Buletin Alara, Volume 6 Nomor 3, April 2005, 143 150