PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 76 TAHUN 2014 TENTANG STANDAR PELAYANAN TERAPI OKUPASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

dokumen-dokumen yang mirip
2 MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN MENTERI KESEHATAN TENTANG STANDAR PELAYANAN ORTOTIK PROSTETIK. Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2015 TENTANG STANDAR PELAYANAN REFRAKSI OPTISI/OPTOMETRI

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG IZIN PRAKTIK PERAWAT

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 548/MENKES/PER/V/2007 TENTANG REGISTRASI DAN IZIN PRAKTIK OKUPASI TERAPIS

2 Mengingat e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu membentuk Undang-Undang tentang

2017, No d. bahwa untuk belum adanya keseragaman terhadap penyelenggaraan rehabilitasi, maka perlu adanya pengaturan tentang standar pelayanan

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... RUMAH SAKIT PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 43 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN FASILITASI AKREDITASI FASILITAS KESEHATAN TINGKAT PERTAMA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 2016 TENTANG FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 93 TAHUN 2015 TENTANG RUMAH SAKIT PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 93 TAHUN 2015 TENTANG RUMAH SAKIT PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

2 1. Pelayanan Kesehatan Tradional Empiris adalah penerapan kesehatan tradisional yang manfaat dan keamanannya terbukti secara empiris. 2. Pelayanan K

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK UTARA NOMOR 9 TAHUN 2013 SERI D NOMOR 9 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK UTARA NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PEKERJAAN PEREKAM MEDIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2014 TENTANG KEPERAWATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2017 TENTANG IZIN DAN PENYELENGGARAAN PRAKTIK PSIKOLOG KLINIS

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2017 TENTANG PELAYANAN KESEHATAN TRADISIONAL INTEGRASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PADA TAHUN 2020 MENHHASILKAN PERAWAT PROFESIONAL, PENUH CINTA KASIH DAN MAMPU BERSAING SECARA NASIONAL.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PEKERJAAN DAN PRAKTIK TENAGA GIZI

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 103 TAHUN 2014 TENTANG PELAYANAN KESEHATAN TRADISIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

2 Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); 3. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkot

PERATURAN GUBERNUR BANTEN NOMOR 50 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM RUJUKAN PELAYANAN KESEHATAN PERORANGAN DI PROVINSI BANTEN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.589, 2013 KEMENTERIAN KESEHATAN. Refraksionis Optisien. Optometris. Penyelenggaraan. Pencabutan.

2016, No Indonesia Nomor 4431); 2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144,

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

2 Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negar

2017, No Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-H

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2016 TENTANG IZIN DAN PENYELENGGARAAN PRAKTIK PENATA ANESTESI

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 81 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PEKERJAAN RADIOGRAFER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2016, No Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Neg

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PEKERJAAN PERAWAT ANESTESI

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PEKERJAAN DAN PRAKTIK FISIOTERAPIS

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KEPERAWATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN TENTANG

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2017 TENTANG WAJIB KERJA DOKTER SPESIALIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. 2. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PEKERJAAN DAN PRAKTIK FISIOTERAPIS

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BINTAN TAHUN 2012 NOMOR 7 SERI D NOMOR 3 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BINTAN NOMOR : 7 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN ORGANISASI RUMAH SAKIT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

2017, No Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5072); 4. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (Lem

PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA TENTANG STANDAR REHABILITASI SOSIAL PENYANDANG DISABILITAS OLEH LEMBAGA DI BIDANG KESEJAHTERAAN SOSIAL

WALIKOTA PONTIANAK PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN WALIKOTA PONTIANAK NOMOR 39 TAHUN 2015 TENTANG

2 Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Dengan Persetuju

2 Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4235) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun

BUPATI LINGGA PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN LINGGA NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG

INTEGRASI PENDIDIKAN KESEHATAN DALAM PELAYANAN RUMAH SAKIT (IPKP)

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia nomor 36 tahun 2014, tentang Kesehatan, adalah. setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan 1

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.25, 2008 DEPARTEMEN PERTAHANAN. RUMAH SAKIT dr Suyoto. Organisasi. Tata Kerja.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN TENTANG

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 867/MENKES/PER/VIII/2004 TENTANG REGISTRASI DAN PRAKTIK TERAPIS WICARA

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR HK.02.02/MENKES/148/I/2010 TENTANG IZIN DAN PENYELENGGARAAN PRAKTIK PERAWAT

PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 08 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 77 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN ORGANISASI RUMAH SAKIT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG KLINIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1363/MENKES/SK/XII/2001 TENTANG REGISTRASI DAN IZIN PRAKTIK FISIOTERAPIS

Contoh Panduan KORPS MARINIR RUMKITAL MARINIR CILANDAK PANDUAN. RUMKITAL MARINIR CILANDAK JAKARTA 2016 DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KEBIDANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KAPUAS,

2017, No Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Neg

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PEKERJAAN ASISTEN TENAGA KESEHATAN

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 75 TAHUN 2014 TENTANG PUSAT KESEHATAN MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2015, No Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 46 Tahun 2013 tentang Registrasi Tenaga Kesehatan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 N

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2011 TENTANG PELAKSANAAN WAJIB LAPOR PECANDU NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

2015, No Indonesia Tahun 1979 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3143); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Pe

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKAYANG NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG JAMINAN KESEHATAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BENGKAYANG,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

2017, No Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063); 3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tingg

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 103 TAHUN 2014 TENTANG PELAYANAN KESEHATAN TRADISIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PEKERJAAN REFRAKSIONIS OPTISIEN DAN OPTOMETRIS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2011 TENTANG PELAKSANAAN WAJIB LAPOR PECANDU NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2011 TENTANG PELAKSANAAN WAJIB LAPOR PECANDU NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN KEPALA BADAN TENAGA NUKLIR NASIONAL NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG KLINIK BADAN TENAGA NUKLIR NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 75 TAHUN 2014 TENTANG PUSAT KESEHATAN MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN INTERNAL STAF MEDIS KLINIK PRATAMA TABITA PENDAHULUAN

BUPATI KEPULAUAN MERANTI

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

2017, No d. bahwa upaya untuk memenuhi hak serta mempercepat perlindungan khusus bagi anak penyandang disabilitas perlu dikoordinasikan dengan

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 81 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PEKERJAAN RADIOGRAFER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI SOSIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2017 TENTANG LEMBAGA KONSULTASI KESEJAHTERAAN KELUARGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Transkripsi:

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 76 TAHUN 2014 TENTANG STANDAR PELAYANAN TERAPI OKUPASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan Pasal 24 ayat (3) Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan perlu menetapkan Peraturan Menteri Kesehatan tentang Standar Pelayanan Terapi Okupasi; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 49 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3637); 3. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 23 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pekerjaan dan Okupasi Terapi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 656); 4. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 46 Tahun 2013 tentang Registrasi Tenaga Kesehatan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 977); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN MENTERI KESEHATAN TENTANG STANDAR PELAYANAN TERAPI OKUPASI. Pasal 1...

- 2 - Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan: 1. Standar Pelayanan Terapi Okupasi adalah pedoman yang diikuti oleh okupasi terapis dalam melakukan pelayanan kesehatan. 2. Terapi Okupasi adalah bentuk pelayanan kesehatan kepada klien dengan kelainan/kecacatan fisik dan/atau mental yang mempunyai gangguan pada kinerja okupasional, dengan menggunakan aktivitas bermakna (okupasi) untuk mengoptimalkan kemandirian individu pada area aktivitas kehidupan sehari-hari, produktivitas dan pemanfaatan waktu luang. 3. Okupasi Terapis adalah setiap orang yang telah lulus dari pendidikan terapi okupasi sesuai ketentuan dengan peraturan perundangundangan. 4. Fasilitas Pelayanan Kesehatan adalah alat dan/atau tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat. 5. Klien adalah individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat sosial yang mendapatkan pelayanan terapi okupasi 6. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan. 7. Organisasi Profesi adalah Ikatan Okupasi Terapis Indonesia. Pasal 2 Pengaturan Standar Pelayanan Terapi Okupasi bertujuan untuk: a. memberikan acuan bagi penyelenggaraan pelayanan Terapi Okupasi yang bermutu dan dapat dipertanggungjawabkan; b. memberikan acuan dalam pengembangan pelayanan Terapi Okupasi di fasilitas pelayanan kesehatan; c. memberikan kepastian hukum bagi Okupasi Terapis; dan d. melindungi klien dan masyarakat sebagai penerima pelayanan. Pasal 3...

- 3 - Pasal 3 (1) Standar Pelayanan Terapi Okupasi meliputi alur pelayanan dan proses pelayanan terapi okupasi. (2) Standar pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diterapkan dalam pemberian pelayanan kepada klien pada semua kasus. (3) Penatalaksanaan pada masing-masing kasus disusun oleh Organisasi Profesi dan disahkan oleh Menteri. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Standar Pelayanan Terapi Okupasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 4 (1) Okupasi Terapis harus mematuhi Standar Pelayanan Terapi Okupasi. (2) Modifikasi terhadap Standar Pelayanan Terapi Okupasi hanya dapat dilakukan atas dasar keadaan yang memaksa untuk kepentingan klien, antara lain keadaan khusus klien, kedaruratan, dan keterbatasan sumber daya. (3) Modifikasi terhadap Standar Pelayanan Terapi Okupasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dicatat dalam dokumentasi Terapi Okupasi yang merupakan satu kesatuan dengan rekam medis. Pasal 5 (1) Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota, bersama Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan Organisasi Profesi melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan Standar Pelayanan Terapi Okupasi sesuai dengan kewenangan masing-masing. (2) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk: a. meningkatkan mutu pelayanan Terapi Okupasi; dan b. mengembangkan pelayanan Terapi Okupasi yang efisien dan efektif. (3) Pembinaan...

- 4 - (3) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui: a. advokasi dan sosialisasi; b. pendidikan dan pelatihan; dan/atau c. pemantauan dan evaluasi. (4) Pengawasan terhadap pelaksanaan Standar Pelayanan Terapi Okupasi sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait dilaksanakan oleh instansi dan/atau petugas yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 6 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 17 Oktober 2014 MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, ttd Diundangkan di Jakarta pada tanggal 29 Oktober 2014 NAFSIAH MBOI MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd AMIRDIN YASONNA H. LAOLY BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 1749

- 5 - LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 76 TAHUN 2014 TENTANG STANDAR PELAYANAN TERAPI OKUPASI STANDAR PELAYANAN TERAPI OKUPASI I. PENDAHULUAN Pembangunan kesehatan sebagai bagian integral dari pembangunan nasional pada hakekatnya adalah penyelenggaraan upaya kesehatan untuk mencapai kemampuan hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan upaya yang menyeluruh meliputi peningkatan mutu dan aksesibilitas terhadap tenaga, sarana, prasarana, dan peralatan di fasilitas pelayanan kesehatan. Terapi Okupasi adalah bentuk pelayanan kesehatan kepada pasien/klien dengan kelainan/kecacatan fisik dan/atau mental yang mempunyai gangguan pada kinerja okupasional, dengan menggunakan aktivitas bermakna (okupasi) untuk mengoptimalkan kemandirian individu pada area aktivitas kehidupan sehari-hari, produktivitas dan pemanfaatan waktu luang. Pelayanan terapi okupasi merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan dimana kebutuhan akan pelayanan terapi okupasi pada fasilitas pelayanan kesehatan akan cenderung meningkat sehubungan dengan meningkatnya prevalensi penyakit dan/atau kecacatan yang diakibatkannya. Dalam memenuhi ketentuan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan guna memenuhi tuntutan pelayan terapi okupasi di fasilitas pelayanan kesehatan, diperlukan standar pelayanan sehingga pelayanan terapi okupasi disetiap fasilitas pelayanan kesehatan memiliki keseragaman, bermutu dan dapat dipertanggungjawabkan.

- 6 - II. SUMBER DAYA MANUSIA A. Kualifikasi Okupasi Terapis merupakan setiap orang yang telah lulus dari pendidikan formal terapi okupasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, yaitu berijazah minimal diploma tiga okupasi terapi serta telah mendapatkan pengakuan kompetensi yang dibuktikan dengan surat tanda registrasi. Untuk dapat memberikan pelayanan, okupasi terapis harus memiliki surat izin praktik sesuai ketentuan peraturan perundangundangan. B. Jumlah Pemenuhan kebutuhan jumlah sumber daya manusia dalam penyelenggaraan pelayanan terapi okupasi di fasilitas pelayanan kesehatan, dihitung berdasarkan beban kerja yaitu 1 (satu) okupasi terapis melakukan tindakan pada 6 ( enam ) klien per sesi per hari. III. STANDAR PELAYANAN TERAPI OKUPASI Standar pelayanan terapi okupasi memuat alur dan proses pelayanan terapi okupasi. Alur pelayanan terapi okupasi merupakan serangkaian urutan alur pelayanan klien hingga sampai mendapatkan pelayanan terapi okupasi di fasilitas pelayanan kesehatan. Proses pelayanan terapi okupasi merupakan proses yang akan di lakukan oleh seorang okupasi terapis dari mulai pemeriksaan sampai dengan pendokumentasian.

- 7 - A. Alur Pelayanan Dalam melaksanakan praktiknya, okupasi terapis dapat menerima klien langsung (tanpa rujukan dari tenaga kesehatan lain) pada kasus yang bersifat promotif dan preventif atau berdasarkan rujukan dari tenaga kesehatan lainnya. 1. Alur pelayanan untuk klien langsung (pada pelayanan promotif dan preventif) Klien/Pasien Pendaftaran Pelayanan Terapi Okupasi Evaluasi dan Tindak Lanjut Selesai Keterangan: a) Klien datang langsung tanpa rujukan. b) Pendaftaran. c) Pelayanan terapi okupasi d) Tindak lanjut e) Selesai, pemberhentian program terapi okupasi f) Belum selesai, dilanjutkan program berikutnya.

- 8-2. Alur Pelayanan berdasarkan rujukan Klien Dokter, psikolog,dan/atau profesi lain Okupasi Terapis Proses Pelayanan Terapi Okupasi Belum Selesai Tindak lanjut Selesai Keterangan: a) Klien datang dari dokter, psikolog,atau profesi lain yang terkait dengan rujukan ke okupasi terapis b) Proses pelayanan terapi okupasi c) Evaluasi dan tindak lanjut d) Program selesai, penghentian program e) Program belum selesai di kembalikan kepada pemberi rujukan

- 9 - B. Proses Pelayanan PASIEN DATANG Asesmen Diagnostik Terapi Okupasi Tujuan Terapi Okupasi Intervensi Evaluasi dan Tindak Lanjut Dokumentasi Proses pelayanan terapi okupasi meliputi: 1. Asesmen/pemeriksaan terapi okupasi a) Asesmen terapi okupasi meliputi pengumpulan informasi berupa gangguan komponen kinerja okupasi yang meliputi komponen motorik, sensorik, persepsi, kognitif dan psikososial. b) Isi Asesmen yang dilakukan oleh okupasi terapis sekurangkurangnya memuat data anamnesa yang meliputi identitas umum dan riwayat keluhan, serta pemeriksaan komponen kinerja okupasi dan area kinerja okupasi serta mempertimbangkan pemeriksaan penunjang. c) Re-asesmen atau pemeriksaan ulang dimungkinkan bilamana terjadi perubahan yang signifikan pada kondisi pasien dalam fase pengobatan/intervensi.

- 10 - d) Hasil Asesmen dituliskan pada lembar rekam medis pasien/klien baik pada lembar rekam medis terintegrasi dan/atau pada lembar kajian khusus terapi okupasi. 2. Penegakan Diagnosis Terapi Okupasi a) Diagnosis terapi okupasi merupakan suatu pernyataan yang mengambarkan keadaan multi dimensi pasien yang dihasilkan dari analisis hasil pemeriksaan dan pertimbangan klinis, yang dapat menunjukkan adanya disfungsi/gangguan komponen kinerja okupasional dan area okupasional. b) Diagnosis terapi okupasi dapat berupa adanya gangguan komponen kinerja okupasional dan area okupasional. c) Diagnosa terapi okupasi dituliskan pada lembar rekam medis pasien baik pada lembar rekam medis terintegrasi dan/atau pada lembar kajian khusus terapi okupasi. 3. Tujuan Terapi Okupasi a) Tujuan terapi okupasi merupakan target terapi yang di rencanakan untuk di capai sesuai dengan kondisi yang di alami oleh pasien/klien. b) Tujuan terapi okupasi terdiri dari tujuan jangka pendek dan tujuan jangka panjang. c) Tujuan terapi okupasi di tuliskan pada lembar rekam medis terintegrasi dan/atau pada lembar kajian khusus terapi okupasi. 4. Intervensi Terapi Okupasi a) Intervensi terapi okupasi dilaksanakan dengan metode yang berbasis bukti sesuai perkembangan keilmuan terapi okupasi. b) Intervensi terapi okupasi meliputi: adjunctive therapy, enabling activity, purposefull activity, dan occupational activity.

- 11 - c) Intervensi terapi okupasi dilaksanakan dengan mengutamakan keselamatan pasien/klien, dilakukan berdasarkan program perencanaan intevensi dan dapat dimodifikasi setelah dilakukan evaluasi serta pertimbangan teknis dengan melalui persetujuan pasien/klien dan/atau keluarganya terlebih dahulu. d) Program intervensi dituliskan pada lembar rekam medis pasien baik pada lembar rekam medis terintegrasi dan/atau pada lembar kajian khusus terapi okupasi. 5. Evaluasi dan Tindak Lanjut a) Evaluasi/re-evaluasi dilakukan oleh okupasi terapis sesuai tujuan perencanaan intervensi. b) Evaluasi/re-evaluasi merupakan kegiatan monitoringevaluasi yang dilakukan pada saat intervensi dan/atau setelah periode tertentu intervensi, serta didokumentasikan pada rekam medis. c) Hasil evaluasi/re-evaluasi dapat berupa kesimpulan, termasuk dan tidak terbatas pada rencana penghentian program atau merujuk pada dokter/profesional lain terkait. d) Hasil evaluasi/re-evaluasi dituliskan pada lembar rekam medis pasien baik pada lembar rekam medis terintegrasi maupun pada lembar kajian khusus terapi okupasi. 6. Pendokumentasian a) Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan penyelenggara pelayanan terapi okupasi memperhatikan pentingnya dokumentasi sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam pelayanan terapi okupasi yang bermutu dan dapat dipertanggungjawabkan. b) Isi dokumentasi terapi okupasi sekurang-kurangnya memuat data umum pasien/klien, data hasil pemeriksaan komponen kinerja okupasional dan area okupasional, termasuk identitas okupasi terapis, maupun identitas perujuk (jika ada). c) Dokumentasi terapi okupasi terintegrasi dengan rekam medis dan dapat diakses oleh profesional kesehatan lain.

- 12 - IV. MANAJEMEN PELAYANAN A. Struktur Organisasi Pengelolaan penyelenggaraan pelayanan terapi okupasi pada fasilitas pelayanan kesehatan atau institusi lain terkait, dapat berbentuk suatu unit kerja tersendiri atau bergabung dengan pelayanan sejenis, disesuaikan dengan kebutuhan/situasi dan kondisi di fasilitas pelayanan kesehatan/institusi tersebut. Penyelenggaraan pelayanan tersebut dilakukan berdasarkan visi, misi, tujuan yang mencerminkan filosofi pelayanan terapi okupasi, disesuaikan dengan visi, misi, dan tujuan organisasi/fasilitas pelayanan kesehatan dimana pelayanan terapi okupasi diselenggarakan. Struktur organisasi pelayanan terapi okupasi paling sedikit terdiri dari pimpinan dan pelaksana yang memiliki tugas, kewenangan, dan tanggung jawab masing-masing dengan mempertimbangkan perencanaan kebutuhan pengembangan pelayanan. Pimpinan pelayanan terapi okupasi dapat dijabat oleh tenaga kesehatan lain selama tenaga okupasi terapis yang ada belum memenuhi persyaratan untuk menduduki jabatan pimpinan, sedangkan pelaksana pelayanan terapi okupasi adalah seorang okupasi terapis. B. Hubungan Kerja dengan Profesi lain 1. Dalam menjalankan dan mengelola tatalaksana pelayanan, okupasi terapis dapat bekerjasama dengan tenaga kesehatan lainnya. 2. Hubungan kerja dengan tenaga kesehatan lain ditujukan dalam upaya mengoptimalkan kemampuan klien sesuai kebutuhan. C. Peningkatan Mutu Pelayanan Dalam rangka peningkatan mutu pelayanan, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan melakukan: 1. Pemenuhan jumlah tenaga okupasi terapis yang disesuaikan dengan beban kerja.

- 13-2. Pengembangan kompetensi okupasi terapis melalui pendidikan berkelanjutan, pelatihan, pertemuan ilmiah, studi banding dan/atau penelitian. 3. Pemenuhan sarana, prasarana, dan peralatan pelayanan terapi okupasi. D. Pengendalian Mutu Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan pimpinan pelayanan terapi okupasi menjamin adanya pelayanan terapi okupasi yang berkualitas dengan melibatkan diri dalam pengendalian mutu di fasilitas pelayanan kesehatan. pelaksanaan pengendalian mutu dinilai dan dievaluasi secara berkala sesuai standar pelayanan terapi okupasi. V. PENUTUP Standarisasi pelayanan Terapi Okupasi di fasilitas pelayanan kesehatan diperlukan untuk terwujudnya keseragaman dalam peningkatan mutu pelayanan terapi okupasi yang profesional, komprehensif, terpadu, merata dan terjangkau sehingga dapat memberikan kontribusi untuk terwujudnya derajat kesehatan masyarakat yang optimal berorientasi kepada kepuasan masyarakat. oleh karena itu, penerapan standar pelayanan terapi okupasi pada fasilitas pelayanan kesehatan ini menjadi bagian penting dari upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan secara keseluruhan, dan akan dilakukan bimbingan, monitoring dan evaluasi secara berkala dan berkesinambungan. MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, ttd NAFSIAH MBOI