2 PENDAHULUAN Batik merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang saat ini telah berkembang pesat, baik lokasi penyebaran, teknologi maupun desainnya. Semula batik hanya dikenal di lingkungan keraton di Jawa dan dibuat dengan sistem tulis sedangkan pewarna yang digunakan berasal dari alam baik tumbuh tumbuhan maupun binatang (Atikasari,2005). Bahan pewarna alami ini meliputi pigmen yang sudah terdapat dalam bahan atau terbentuk pada proses pemanasan, penyimpanan, atau pemrosesan. Beberapa pigmen alami yang banyak terdapat di sekitar kita antara lain: klorofil, karotenoid, tanin, dan antosianin. Umumnya, pigmen - pigmen ini bersifat tidak cukup stabil terhadap panas, cahaya, dan ph tertentu (Kwartiningsih dkk.,2009). Salah satu bahan alam yang akan dimanfaatkan yaitu limbah teh, berupa ampas daun-daun teh dalam jumlah besar dari pusat-pusat produksi minuman berbahan dasar teh. Pada umumnya, cara pembuangan dan penanganan limbah teh ke tempat - tempat pembuangan tidak sesuai bila dilakukan pada kuantitas limbah yang sangat besar, karena dapat menimbulkan pencemaran lingkungan. Selain itu, sampai saat ini pemanfaatan limbah teh masih sangat sederhana yaitu sebagai pupuk kompos serta campuran makanan ternak. Maka dari itu, akan dilakukan suatu penelitian untuk lebih memaksimalkan potensi dari limbah teh yaitu sebagai pewarna alami. Dengan memanfaatkan pewarna alami dari bahan alam nantinya akan dapat mengurangi adanya pencemaran lingkungan. Limbah teh berpotensi untuk memberikan warna yang dapat dijadikan sebagai pewarna batik tulis. Secara visualisasi, warna dari limbah teh sendiri adalah cokelat kehijau- hijauan dan itu secara kimia dapat dikategorikan sebagai pigmen warna yaitu tanin. Tanin dapat dijumpai pada hampir semua jenis tumbuhan hijau di seluruh dunia baik tumbuhan tingkat tinggi maupun tingkat rendah dengan kadar dan kualitas yang berbeda-beda. Di Indonesia sumber tanin antara lain diperoleh dari jenis bakau-bakauan atau jenis-jenis dari Hutan Tanaman Industri seperti akasia (Acacia sp), ekaliptus (Eucalyptus sp), pinus (Pinus sp), teh (Camellia sinensis) dan sebagainya (Risnasari,2002). Zat warna alam mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kelebihan zat warna alam adalah beban pencemaran yang relatif rendah dan tidak beracun, sedangkan kekurangan zat warna alam adalah belum mempunyai standar warna, ketahanan luntur
3 rendah, proses untuk mendapatkan masih sulit, proses pewarnaan rumit dan koleksi warna terbatas. Ketahanan luntur warna merupakan unsur yang sangat menentukan mutu suatu pakaian atau bahan berwarna. Warna yang baik pada bahan tekstil nantinya menjadi tidak diminati konsumen jika bahan tekstil tersebut pudar warnanya (Kusriniati, 2007). Penggunaan larutan fiksatif dalam proses pewarnaan kain akan membuat warna menjadi tidak mudah pudar (Ruwana,2008), maka dari itu perlu diketahui sejauh mana pengaruh fiksatif terhadap ketuaan dan ketahanan luntur warna limbah teh hijau pada kain batik dengan menggunakan metode pengolahan citra digital RGB (Arham, 2004). Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk menentukan pengaruh fiksasi terhadap ketuaan warna dan ketahanan luntur warna kain mori dan sutra dengan menggunakan pewarna alami limbah teh hijau terhadap pencucian dan panas penyetrikaan berdasarkan metoda pengolahan citra digital RGB. METODOLOGI Bahan dan piranti Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu limbah teh hijau yang diperoleh dari PT.Coca Cola Ungaran, kain mori dan kain sutra. Sedangkan bahan kimia yang digunakan adalah tunjung (FeSO 4 ), tawas (KAl 2 (SO 4 ) 2 ), kapur tohor (Ca(OH) 2 ), asam asetat (CH 3 COOH) 0,014%, soda abu (Na 2 CO 3 ), sabun netral dan akuades. Piranti yang digunakan antara lain : neraca Ohaus, gelas ukur, baskom, kain penyaring, pengaduk, panci stainless steel, kompor, penjepit kain,thermometer, setrika listrik, kipas angin (alat pengering listrik), pemindai (Scanner) Microtek 3880, program Mathematic Laboratory (MatLab 65). Metode penelitian Ekstraksi limbah teh (Kusriniati, 2007) 500 gram limbah teh yang telah dikering anginkan ditambah 2,5 liter air, kemudian direbus sampai volume menjadi ⅓ bagian dan didiamkan selama 1 malam. Selanjutnya disaring dan siap digunakan untuk mencelup kain mori dan sutra.
4 Pemasakan kain mori dan sutra (proses mordanting) (Kusriniati, 2007) Disiapkan larutan soda abu dengan komposisi soda abu 2 gram per 2 liter air. Larutan dipanaskan hingga suhu mencapai 60 C, lalu kain direndam dan dibolak balik selama 5 menit. Selanjutnya kain diangkat dan dibilas ulang dengan air dingin sampai bersih, kemudian dikering anginkan. Pewarnaan kain (Kusriniati, 2007) Kain yang sudah dimordanting dicelup ke dalam ekstrak limbah teh sambil dibolak-balik selama 3 menit. Selanjutnya kain yang sudah dicelup, kemudian dikering anginkan di tempat yang teduh tanpa terkena sinar matahari langsung. Proses pencelupan dilakukan sebanyak 5 kali. Fiksasi (Kusriniati, 2007) Kain mori dan sutra yang telah diwarnai, kemudian direndam dalam larutan tunjung 2%, larutan kapur 2,5%, dan larutan tawas 5% selama 5 menit. Setelah itu kain dikering anginkan sampai kering dan siap dilanjutkan untuk pengujian selanjutnya. Pengujian ketuaan warna (Kusriniati, 2007) Kain yang telah melewati proses pewarnaan dan fiksasi dipindai dengan menggunakan piranti pemindai. Data gambar yang diperoleh diberi kode sesuai dengan perlakuan yang diberikan untuk masing masing sampel kain. Selanjutnya data gambar dianalisa dengan program Matlab dan diperoleh data RGB (Red / Green / Blue) dan Grey. Pengujian ketahanan luntur terhadap panas penyetrikaan (Atikasari, 2005) Kain yang telah melewati proses fiksasi dipotong dengan ukuran 5 x 10 cm, kemudian diletakkan sepotong kain putih diatasnya. Selanjutnya permukaan kain disetrika selama 10 detik, lalu kain yang telah disetrika dipindai dengan menggunakan pemindai. Data gambar yang diperoleh diberi kode sesuai dengan perlakuan yang diberikan untuk masing masing sampel kain. Selanjutnya data gambar dianalisa dengan program Matlab dan diperoleh data RGB (Red / Green / Blue) dan Grey.
5 Pengujian ketahanan luntur terhadap pencucian(atikasari, 2005) Kain dibuat berukuran 5 x 10 cm kemudian dicuci menggunakan larutan sabun sebanyak 5 kali. Setelah itu kain dibilas sebanyak 2 kali dengan air bersuhu 40 C, lalu diasamkan dengan asam asetat 0,014% selama 1 menit. Selanjutnya kain dibilas kembali dengan air dingin dan dikeringkan dengan disetrika, lalu kain yang telah disetrika dipindai dengan menggunakan pemindai. Data gambar yang diperoleh diberi kode sesuai dengan perlakuan yang diberikan untuk masing masing sampel kain. Selanjutnya data gambar dianalisa dengan program Matlab dan diperoleh data RGB (Red / Green / Blue) dan Grey. Analisis data Data ketuaan warna kain mori dan sutra dianalisis dengan menggunakan rancangan dasar RAK (Rancangan Acak Kelompok) dengan 3 perlakuan dan 9 kali ulangan. Sebagai perlakuan adalah 3 jenis fiksatifyaitu tawas 5 %, kapur 2,5 % dan tunjung 2 % sedangkan sebagai kelompok adalah waktu proses kain. Data ketahanan luntur warna kain mori dan sutra dianalisis dengan Analisa Dwi Ragam dan Rancangan Dasar RAK juga dengan 3 perlakuan dan 9 kali ulangan. Semua data hasil percobaan dianalisis dengan menggunakan Analisa Sidik Ragam dan Uji F pada taraf nyata 5 % sedangkan untuk menguji beda antar perlakuan dilakukan Uji Beda Nyata Jujur (BNJ) dengan tingkat kebermaknaan 5% (Steel dan Torrie,1980). HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh berbagai jenis fiksatif terhadap ketuaan warna kain mori dengan pewarnaan limbah teh hijau Rataan ketuaan warna (±SE) kain mori dengan pewarnaan limbah teh hijau antar berbagai jenis fiksatif yang diekspresikan dengan nilai RGB dan Grey berkisar antara 0,3711 ± 0,0159 sampai dengan 0,7414 ± 0,0210. Nilai RGB dan Grey kecil menunjukkan warna kain mori tua atau gelap, sebaliknya apabila nilai RGB dan Grey besar menunjukkan kain mori berwarna muda atau terang (Tabel 1).
6 Red (R) w = 0,0196 Green (G) w = 0,0240 Blue (B) w = 0,0156 Grey (Gr) w = 0,0197 Tabel 1. Rataan Ketuaan Warna (±SE) Kain Mori Hasil Pewarnaan LimbahTeh Hijau antar Berbagai Jenis Fiksatif Keterangan :*W = BNJ 5 % *Tu = tunjung; Ka = kapur; Tw= tawas; *Angka-angka yang disertai oleh huruf yang sama menunjukkan antarperlakuan tidak berbeda secara bermakna, sedangkan angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan antarperlakuan berbeda secara bermakna. Keterangan ini berlaku juga untuk Tabel 2 6. Dari Tabel 1 terlihat bahwa rataan ketuaan warna kain mori antar berbagai jenis fiksatif menunjukkan kain mori dengan fiksatif tawas mempunyai warna paling terang diikuti oleh kapur dan selanjutnya fiksatif tunjung memberikan warna paling gelap (paling tua) (Gambar 1). Jenis Fiksatif Tu 2 % Ka 2,5 % Tw 5 % 0,4083 ± 0,0161 0,6715 ± 0,0067 0,7414 ± 0,0210 ( c ) 0,3874 ± 0,0159 0,5422 ± 0,0198 0,6689 ± 0,0074 ( c ) 0,3711 ± 0,0159 0,4434 ± 0,0097 0,5537 ± 0,0030 ( c ) 0,3906 ± 0,0164 0,5749 ± 0,0058 0,6593 ± 0,0233 ( c ) Gambar 1. Diagram Batang Rataan Ketuaan Warna Kain Mori Hasil Pewarnaan Limbah Teh Hijau antar Berbagai Jenis Fiksatif Keterangan: R = Red / merah, G = Green / Hijau, B = Blue / Biru dan Gr = Grey / Abu abu. Keterangan ini berlaku juga untuk Gambar 3, 4, 5, 6 dan 7. Dari Gambar 1,terlihat bahwa kain mori dengan fiksatif tunjung memberikan warna yang paling tua yaitu coklat kehijauan karena dalam pencelupan terjadi reaksi
7 antara tannin (asam tannat atau asam galotannat) pada limbah teh hijau dengan logam Fe 2+ pada fiksatif tunjung yang menghasilkan garam kompleks (ferro tanat). Garam kompleks tersebut terbentuk karena adanya ikatan kovalen koordinasi antara ion logam dengan ion non logam (Taofik.,dkk 2010). Selanjutnya untuk untuk kain mori dengan fiksatif kapur menunjukkan warna kuning lebih tua dibandingkan daripada tawas dan warna tersebut terjadi karena adanya reaksi ionik antara tannin (asam tannat atau asam galotannat) dengan ion Ca 2+ pada kapur tohor yang menghasilkan endapan kuning. Demikian pula sama halnya dengan kain mori dengan fiksatif tawas yang menunjukkan warna paling muda diantara dua fiksatif lainnya disebabkan karena terdapat reaksi ionik antara tannin (asam tannat atau asam galotannat) dengan ion Al 3+ pada tawas. Berbeda dengan tunjung, kedua reaksi terakhir ini (kapur dan tawas) tidak menghasilkan garam kompleks, tetapi senyawa berikatan ionik. Lebih jelasnya, ausokrom dalam tanin akan dapat berikatan lebih baik dengan molekul molekul serat kain apabila didukung dengan adanya garam garam kompleks. Ausokrom tersebut merupakan gugus zat warna yang bersifat mengikat warna dengan serat kain serta dapat berikatan dengan jenis garam (Gitopadmojo (1978) dalam Ruwana, 2008). Karena reaksi fiksatif kapur dan tawas tersebut tidak menghasilkan garam maka ikatan antara serat kain dan tanin (asam tanat atau galotanat) kurang kuat. Pengaruh berbagai jenis fiksatif terhadap ketahanan luntur warna kain mori dengan pewarnaan limbah teh hijau terhadap pencucian Rataan ketahanan luntur warna (±SE) kain mori dengan pewarnaan limbah teh hijauterhadap pencucian antar berbagai jenis fiksatif mempunyai nilai RGB dan Grey antara 0,4532 ± 0,0656 sampai dengan 0,7138 ± 0,0224 (Tabel 2).
8 Tabel 2. Rataan Ketahanan Luntur Warna (±SE) Kain Mori Hasil Pewarnaan Limbah Teh Hijau Terhadap Pencucian Red (R) W = 0,0693 Green (G) W = 0,0662 Blue (B) W = 0,0637 Grey (Gr) W = 0,0692 Jenis Fiksatif Tu 2% Tw 5 % Ka 2,5 % 0,6093 ± 0,0757 0,5278 ± 0,0662 0,4532 ± 0,0656 0,5486 ± 0,0921 0,6253 ± 0,0562 0,5425 ± 0,0781 0,4577 ± 0,0793 0,5553 ± 0,0777 0,7138 ± 0,0224 0,6533 ± 0,0173 0,5814 ± 0,0224 0,6585 ± 0,0196 Dari Tabel 2 terlihat bahwa kain mori dengan fiksatif tunjung dan tawas tidak luntur terhadap perlakuan pencucian sebaliknya untuk fiksatif kapur menunjukkan adanya kelunturan. Atau dengan kata lain kain mori dengan fiksatif tunjung dan tawas memiliki ketahanan luntur yang lebih tinggi dari pada fiksatif kapur (Gambar 2). Gambar 2. Diagram Batang Rataan Ketahanan Luntur Warna Kain Mori Hasil Pewarnaan Limbah Teh Hijau Terhadap Pencucian Adanya ketahanan luntur yang kuat pada kain mori dengan fiksatif tunjung dan tawas terhadap pencucian berkaitan dengan terjadinya ikatan tanin limbah teh yang mampu masuk ke dalam serat kain mori secara maksimum dan berikatan kuat dengan serat kain mori (Sulasminingsih, 2006). Sebaliknya untuk fiksatif kapur, (menurut Asri (2005) dalam Atikasari, 2005) zat warna tidak mampu masuk ke dalam serat secara maksimum dikarenakan putusnya ikatan antara serat kain dengan ausokrom sehingga daya serap serat kain hilang dan menyebabkan sisa zat warna hanya melekat pada permukaan serat kain saja.
9 Pengaruh berbagai jenis fiksatif terhadap ketahanan luntur warna kain mori dengan pewarnaan limbah teh hijau terhadap panas penyetrikaan Rataan ketahanan luntur warna (±SE) kain mori dengan pewarnaan limbah teh hijau terhadap panas penyetrikaanyang diekspresikan dengan nilai RGB dan Grey berkisar antara 0,4902 ± 0,0676 sampai dengan 0,6781 ± 0,0568 (Tabel 3). Tabel 3. Rataan Ketahanan Luntur Warna (±SE) Kain Mori Hasil Pewarnaan Limbah Teh HijauTerhadapPanas Penyetrikaan Red (R) W = 0,0421 Green (G) W = 0,0506 Blue (B) W = 0,0647 Grey (Gr) W = 0,0569 Jenis Fiksatif Tw 5 % Ka 2,5 % Tu 2 % 0,5997 ± 0,0422 0,5658 ± 0,0593 0,5042 ± 0,0819 0,5684 ± 0,0648 0,6263 ± 0,0168 0,5675 ±0,0132 0,4930 ± 0,0231 0,5769 ± 0,0160 0,6781 ± 0,0568 0,5587 ± 0,0628 0,4902 ± 0,0676 0,5880 ± 0,0763 Dari Tabel 3 terlihat bahwa ketahanan luntur warna kain mori terhadap panas penyetrikaan menunjukkan kain mori dengan fiksatif tawas, kapur, dan tunjung tidak luntur setelah disetrika, kecuali untuk nilai Red dengan fiksatif tunjung yang luntur setelah diberi perlakuan panas penyetrikaan(gambar 3). Gambar 3. Diagram Batang Rataan Ketahanan Luntur Warna Kain Mori Hasil Pewarnaan Limbah Teh Hijau Terhadap Panas Penyetrikaan
10 Dari Gambar 3 terlihat hanya rona merah (Red) dengan fiksatif tunjung mengalami kelunturan setelah diberi perlakuan panas penyetrikaan. Lunturnya rona merah (Red) tersebut dipengaruhi karena adanya pengaruh pemanasan. Sedangkan dengan fiksatif tawas, kapur dan tunjung dengan rona hijau (Green), biru (Blue) dan abu abu (Grey) tidak luntur. Hal ini terjadi karena tanin (asam tanat atau asam galotanat) dari limbah teh dalam serat kain mori tahan terhadap suhu tinggi. Menurut ( Khayati(1997) dalam Atikasari, 2005) serat mori tahan terhadap suhu tinggi dan merupakan kain tahan panas setrika. Oleh karena itu zat warna tanin pada serat kain mori tidak luntur setelah disetrika. Pengaruh berbagai jenis fiksatif terhadap ketuaan warna kain sutra dengan pewarnaan limbah teh hijau Rataan ketuaan warna (±SE) kain sutera dengan pewarnaan limbah teh antar berbagai jenis fiksatif yang diekspresikan dengan nilai RGB dan Grey berkisar antara 0,5663 ± 0,0204 sampai dengan 0,7908 ± 0,0138. Nilai RGB dan Grey kecil menunjukkan warna kain sutra tua atau gelap, sebaliknya apabila nilai RGB dan Grey besar menunjukkan kain sutra berwarna muda atau terang (Tabel 4). Tabel 4. Rataan Ketuaan Warna (±SE) Kain Sutra Hasil Pewarnaan Limbah Teh Hijau antar Berbagai Jenis Fiksatif Jenis fiksatif Tu 2 % Ka 2,5 % Tw 5 % Red (R) w = 0,0064 Green (G) w = 0,0085 Blue (B) w = 0,0092 Grey (Gr) w = 0,0073 0,5794 ± 0,0170 0,7798 ± 0,0189 0,7908 ± 0,0138 ( c ) 0,5663 ± 0,0204 0,7062 ± 0,0271 0,7256 ± 0,0196 ( c ) 0,5677 ± 0,0205 0,6460 ± 0,0339 0,6700 ± 0,0214 ( c ) 0,5712 ± 0,0194 0,7214 ± 0,0235 0,7393 ± 0,0158 ( c ) Dari Tabel 4 terlihat bahwa rataan ketuaan warna kain sutra antar berbagai jenis fiksatif menunjukkan kain sutera dengan fiksatif tawas menghasilkan warna paling terang (muda) diikuti oleh kapur (kurang terang) dan selanjutnya fiksatif tunjung paling gelap (tua) (Gambar 4).
11 Gambar 4. Diagram Batang Rataan Ketuaan Warna Kain Sutra Hasil Pewarnaan Limbah Teh Hijau antar Berbagai Jenis Fiksatif Pengaruh dari ketiga jenis fiksatif (tunjung, kapur dan tawas) terhadap ketuaan warna kain sutra ternyata sama dengan kain mori. Dengan menggunakan fiksatif tunjungakan menghasilkan garam kompleks sedangkan dengan fiksatif kapur dan tawas tidak menghasilkan garam kompleks, tetapi senyawa berikatan ionik yang sangat berperan penting dalam ketuaan warna. Menurut (Djufri (1985) dalam Asih, 2008) pewarna yang telah menempel pada serat kain sutra setelah difiksasi dengan tunjung akan menyebabkan ikatan serat kain dengan pewarna tersebut menjadi lebih kuat karena terjadi reaksi antara pewarna dengan fiksatif tunjung yang menghasilkan garam kompleks. Pengaruh berbagai jenis fiksatif terhadap ketahanan luntur warna kain sutra dengan pewarnaan limbah teh hijau terhadap pencucian Rataan ketahanan luntur warna (±SE) kain sutera dengan pewarnaan limbah teh hijau antar berbagai jenis fiksatif yang diekspresikan dengan nilai RGB dan Grey berkisar antara 0,6223 ± 0,0732 sampai dengan 0,8379 ± 0,0468 (Tabel 5).
12 Tabel 5. Rataan Ketahanan Luntur Warna (±SE) Kain Sutra Hasil Pewarnaan Limbah Teh HijauTerhadap Pencucian Red (R) W = 0,0662 Green (G) W = 0,0662 Blue (B) W = 0,0692 Grey (Gr) W = 0,0783 Jenis Fiksatif Tu 2% Tw 5% Ka 2,5% 0,7167 ± 0,0954 0,6669 ± 0,0914 0,6223 ± 0,0732 0,6682 ± 0,1109 0,8166 ± 0,0540 0,7809 ± 0,0580 0,7470 ± 0,0562 0,7935 ± 0,0678 0,8379 ± 0,0468 0,8130 ± 0,0432 0,7981 ± 0,0380 0,8217 ± 0,0512 Dari Tabel 5 terlihat bahwa ketahanan luntur warna kain sutra terhadap pencucian menunjukkan bahwa kain sutra dengan fiksatif tawas dan kapur luntur terhadap perlakuan pencucian, sebaliknya dengan fiksatif tunjung lebih tahan luntur dengan perlakuan pencucian (Gambar 5). Gambar 5. Diagram Batang Rataan Ketahanan Luntur Warna Kain Sutra Hasil Pewarnaan Limbah Teh Hijau Terhadap Pencucian Dari Gambar 5 terlihat bahwa fiksatif tunjung mempunyai ketahanan luntur yang paling kuat dibandingkan fiksatif tawas dan kapur. Kain sutra dengan fiksatif tunjung tidak luntur apabila diberi perlakuan pencucian, karena pada proses fiksasi terjadi reaksi yang menghasilkan garam kompleks antara bahan sutra dengan tannin (asam tanat atau asam galotanat) pada limbah teh hijau dan ferrosulfat. Hal tersebut dapat terjadi karena fiksatif tunjung merupakan zat pewarna yang reaktif sehingga akan
13 menjadikan kain mempunyai ketahanan luntur yang kuat baik terhadap pencucian maupun penyetrikaan (Asih,2008). Pengaruh berbagai jenis fiksatif terhadap ketahanan luntur warna kain sutra dengan pewarnaan limbah teh hijau terhadap panas penyetrikaan Rataan ketahanan luntur warna (±SE) kain sutera antar berbagai jenis fiksatif terhadap panas penyetrikaan yang diekspresikan dengan nilai RGB dan Grey berkisar antara 0,6443 ± 0,0938 sampai dengan 0,7719 ± 0,1467 (Tabel 6). Tabel 6. Rataan Ketahanan Luntur Warna (±SE) Kain Sutra Hasil Pewarnaan Limbah Teh HijauTerhadap Panas Penyetrikaan Red (R) W = 0,1014 Green (G) W = 0,0825 Blue (B) W = 0,1575 Grey (Gr) W = 0,0831 Jenis Fiksatif Tw 5% Ka 2,5% Tu 2% 0,7365 ± 0,0814 0,6911 ± 0,0701 0,6598 ± 0,1384 0,6894 ± 0,0710 0,7410 ± 0,0703 0,7050 ± 0,0521 0,6576 ± 0,1801 0,7048 ± 0,0536 0,7719 ± 0,1467 0,7188 ± 0,1109 0,6443 ± 0,0938 0,7478 ± 0,1162 Dari Tabel 6 terlihat bahwa ketahanan luntur kain sutra terhadap panas penyetrikaan menunjukkan bahwa tunjung, kapur, dan tawas pada kain sutra tidak akan luntur oleh adanya perlakuan penyetrikaan(gambar 6). Gambar 6. Diagram Batang Rataan Ketahanan Luntur Warna Kain Sutra Hasil Pewarnaan Limbah Teh Hijau Terhadap Panas Penyetrikaan
14 Dari Gambar 6 terlihat bahwa ketahanan luntur warna pada kain sutra terhadap panas penyetrikaan menunjukkan ketiga jenis fiksatif (tawas, kapur, dan tunjung) tidak mengalami kelunturan. Hal ini dapat terjadi karena tannin (asam tanat atau asam galotanat) dari limbah teh hijau pada kain sutra masih dapat tahan panas pada penyetrikaan yang bersifat suam suam kuku (suhu sedang). Lebih jelasnya, menurut (Soeprijono (1974) dalam Atikasari, 2005) serat kain sutra bersifat tahan terhadap panas sampai suhu 64 C dalam waktu yang tidak lama. Itu sebabnya zat warna tanin yang ada di dalam serat kain sutra tidak akan luntur setelah disetrika. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian di atas dapat disimpulkan : 1. Fiksatif tunjung pada kain mori dan sutra menghasilkan warna yang paling gelap, diikuti kapur dan tawas menghasilkan warna paling terang. 2. Kain mori dengan fiksatif tunjung dan tawas tidak luntur terhadap pencucian, sedangkan fiksatif kapur menunjukkan kelunturan. Sebaliknya kain sutra dengan fiksatif tunjung tidak luntur terhadap pencucian, sedangkan fiksatif tawas dan kapur menunjukkan adanya kelunturan. 3. Kain mori dengan fiksatif kapur dan tawas tidak luntur terhadap panas penyetrikaan, sedangkan dengan fiksatif tunjung menunjukkan adanya kelunturan untuk rona merah (Red). Sebaliknya kain sutra tidak luntur terhadap penyetrikaan untuk ketiga jenis fiksatif. DAFTAR PUSTAKA Arham, Z., 2004.Evaluasi Mutu Jeruk Nipis (Citrus aurantifolia Swingle) Dengan Pengolahan Citra Digital dan Jaringan Syaraf Tiruan. [Diunduh tanggal 16 Februari 2010] Asih, P., 2008. Perbandingan Kualitas Kain Batik Sutra dengan Berbagai macam proses Fiksasi.Universitas Widya Mataram Yogyakarta. Yogyakarta Atikasari, A., 2005.Kualitas Tahan Luntur Warna Batik Cap Di Griya Batik Larissa Pekalongan.Universitas Negeri Semarang. Semarang Kusriniati, D., 2007.Pemanfaatan Daun Sengon (Albizia falcataria) Sebagai Pewarna Kain Sutera MenggunakanMordan Tawas Dengan Konsentrasi Yang BerbedaPada BusanaCamisol.Universitas Negeri Semarang. Semarang Kwartiningsih.,D.A Setyawardhani, A. Wiyatno, A.Triyono.2009.Zat Pewarna Alami Tekstil Dari Kulit Buah Manggis. Universitas Negeri Semarang. Semarang Risnasari, 2002.Pemanfaatan Tanin Sebagai Bahan Pengawet Kayu. Universitas Negeri Semarang. Semarang
Ruwana, I., 2008.Pengaruh Zat Fiksasi Terhadap Ketahanan Luntur Warna Pada Proses Pencelupan Kain Kapas Dengan Menggunakan Zat Warna Dari Limbah Kayu Jati(Tectonagrandis).Universitas Negeri Semarang. Semarang Steel, R.G.D. dan J.H.Torrie.1980.Prinsip Dan Prosedur Statistika Suatu Pendekatan Biometrik. Gramedia, Jakarta. Sulasminingsih, 2006.Studi Komparasi Kualitas Kain Kapas Pada Pencelupan Ekstrak Kulit Kayu Pohon Mahoni Dengan Mordan Tawas Dan Garam Diazo.Universitas Negeri Semarang. Semarang Taofik., E. Yulianti, A. Barizi, E.K Hayati. 2010. Isolasi dan Identifikasi Senyawa Aktif Ekstrak Air Daun Paitan (Thitonia diversifolia) Sebagai Bahan Insektisida Botani Untuk Pengendalian Hama Tungau Eriophyidae. Universitas Maulana Malik Ibrahim. Malang 15