Vygotskian Perspective: Proses Scaffolding untuk mencapai Zone of Proximal Development (ZPD) Peserta Didik dalam Pembelajaran Matematika

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Sumber daya manusia merupakan faktor penting dalam membangun suatu

BAB I PENDAHULUAN. memunculkan persaingan yang cukup tajam, dan sekaligus menjadi ajang seleksi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dianggap sukar bagi sebagian besar siswa yang mempelajari matematika. dibandingkan dengan mata pelajaran lainnya.

BAB II LANDASAN TEORI

II. TINJAUAN PUSTAKA. Model pembelajaran berbasis masalah (Problem-based Learning), adalah model

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Suci Primayu Megalia, 2013

BAB I PENDAHULUAN. dalam proses belajar sehingga mereka dapat mencapai tujuan pendidikan.

2014 PENERAPAN PENDEKATAN COLLABORATIVE PROBLEM SOLVING DALAMPEMBELAJARAN MATEMATIKA UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUANKONEKSI MATEMATIS SISWA SMP

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Matematika merupakan salah satu bidang studi yang menduduki peranan

BAB III TINJAUAN PEDAGOGIK PEMBELAJARAN BERBASIS KOMPUTER

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai mahluk yang diberikan kelebihan oleh Allah swt dengan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Helen Martanilova, 2014

PEMAHAMAN KONSEP DAN KOMUNIKASI MATEMATIK DENGAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF CO-OP CO-OP

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Matematika merupakan suatu landasan dan kerangka perkembangan ilmu

BAB I PENDAHULUAN. daya manusia yang berkualitas, berkarakter dan mampu berkompetensi dalam

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Putri Hidayati, 2013

BERPIKIR LATERAL DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA. Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta

II. KAJIAN PUSTAKA. Efektivitas dalam bahasa Indonesia merujuk pada kata dasar efektif yang diartikan

BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN. Pembelajaran matematika membutuhkan proses bernalar yang tinggi

BAB II KAJIAN PUSTAKA. atau menangkap segala perisitiwa disekitarnya. Dalam kamus bahasa Indonesia. kesanggupan kecakapan, atau kekuatan berusaha.

BAB I PENDAHULUAN. Dalam beberapa tahun terakhir ini pesatnya kemajuan teknologi informasi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sri Asnawati, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Seiring dengan perkembangan zaman, bangsa Indonesia harus

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Teori Belajar yang Melandasi Problem Based Learning

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

Penerapan Metode Inkuiri Untuk Meningkatkan Disposisi Matematis Siswa SMA

Proses Berpikir Siswa dalam Pemecahan Masalah dengan Pemberian Scaffolding

BAB II HASIL BELAJAR MATEMATIKA PADA POKOK BAHASAN MENGHITUNG LUAS PERSEGI DAN PERSEGI PANJANG DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN KONSTRUKTIVISME

PENERAPAN STRATEGI SCAFFOLDING

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan berpikir logis dan keterampilan kognitif yang lebih tinggi pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Salah satu tujuan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) untuk mata

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. terutama dalam mata pelajaran matematika sejauh ini telah mengalami

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat pesat, hal ini

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan memegang peranan penting dalam kehidupan manusia.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Yeni Febrianti, 2014

I. PENDAHULUAN. didiknya. Sekolah sebagai lembaga pendidikan berusaha secara terus menerus dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nurningsih, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran Model Treffinger Untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Dan Koneksi Matematis Siswa

1. PENDAHULUAN. perkembangan ilmu dan teknologi suatu negara. Ketika suatu negara memiliki

BAB II LANDASAN TEORI. Koneksi berasal dari kata dalam bahasa inggris Connection, yang

PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK (PMR)

II. TINJAUAN PUSTAKA. dua orang atau lebih sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami. Untuk

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Strategi Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) Felder (1994: 5) menjelaskan bahwa dalam strategi TAPPS siswa mengerjakan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Eka Kartikawati,2013

II. TINJAUAN PUSTAKA. Secara umum belief diartikan sebagai keyakinan atau kepercayaan diri terhadap

BAB II KAJIAN TEORI. sosial inilah yang membentuk dasar berpikir, pendapat, keterampilan dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah salah satu bentuk perwujudan kebudayaan manusia

I. PENDAHULUAN. Keterampilan berbahasa terdiri atas empat komponen penting yaitu keterampilan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

II. TINJAUAN PUSTAKA. pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas

BAB I PENDAHULUAN. jenjang pendidikan di Indonesia mengindikasikan bahwa matematika sangatlah

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Model Pembelajaran Generatif (Generative Learning) Pembelajaran Generatif merupakan terjemahan dari Generative Learning.

BAB I PENDAHULUAN. Komunikasi dalam kehidupan sehari-hari sangatlah penting. Manusia tidak

PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERDASARKAN TEORI KONSTRUKTIVISME SOSIAL (VYGOTSKY)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Panji Faisal Muhamad, 2015

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini dunia pendidikan di negara kita semakin mendapat tantangan.

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini sangat berperan dalam upaya

PENERAPAN STRATEGI REACT DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIKA SISWA KELAS X SMAN 1 BATANG ANAI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kajian Teori

BAB I PENDAHULUAN. Menengah Kejuruan (SMK). Posisi SMK menurut UU Sistem Pendidikan. SMK yang berkarakter, terampil, dan cerdas.

BAB II KAJIAN TEORITIK

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Secara nasional, pendidikan merupakan sarana yang dapat mempersatukan setiap warga negara menjadi suatu

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi yang begitu pesat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah AgusPrasetyo, 2015

BAB I PENDAHULUAN. Permen 23 Tahun 2006 (Wardhani, 2008:2) disebutkan bahwa tujuan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

TEORI KULTUR (Sosiokultur, Lev Vygotsky)

BAB I PENDAHULUAN. logis, konsisten, dan dapat bekerjasama serta tidak mudah putus asa.

KURIKULUM 2013 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN 2015

BAB I PENDAHULUAN. Matematika adalah sesuatu yang sangat penting untuk dipelajari, karena

BAB I PENDAHULUAN. (dalam Risna, 2011) yang menyatakan bahwa: Soejadi (2000) mengemukakan bahwa pendidikan matematika memiliki dua

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Siti Chotimah Pendidikan Matematika, STKIP Siliwangi Bandung

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pendidikan pada dasarnya adalah suatu upaya untuk memberikan

BAB I PENDAHULUAN. dianggap sebagai pelajaran yang sulit dan kenyataannya sampai saat ini mutu pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan sains dan teknologi merupakan salah satu alasan tentang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nining Priyani Gailea, 2013

Pengaruh Penerapan Model Missouri Mathematics Project terhadap Kemampuan Komunikasi. matematika siswa SMK Dwi Sejahtera Pekanbaru.

Pengembangan Kemampuan Komunikasi Matematika Siswa. Melalui Pembelajaran Matematika

II. KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Teori Yang Melandasi Model Pembelajaran Make A Match

Komunikasi dalam Pembelajaran Matematika

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdiknas, 2005: 585) dituliskan bahwa

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN PENALARAN DAN KOMUNIKASI MATEMATIKA SISWA SEKOLAH DASAR

II. KAJIAN PUSTAKA. Manusia dalam hidupnya tidak pernah lepas dari belajar, karena dengan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk multidimensional yang dapat ditelaah dari

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan berpikir kritis, sistematis, logis, dan mampu mengkomunikasikan

Transkripsi:

Vygotskian Perspective: Proses Scaffolding untuk mencapai Zone of Proximal Development (ZPD) Peserta Didik dalam Pembelajaran Matematika Oleh : Jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Semarang e-mail : adinegaraindonesia@yahoo.com website: www.labvirtualschool.adinegara.com Abstrak Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memungkinkan semua pihak dapat memperoleh informasi dengan melimpah, cepat dan mudah dari berbagai sumber dan tempat di dunia. Setiap peserta didik perlu memiliki penguasaan matematika pada tingkat tertentu, yang merupakan penguasaan kecakapan matematika untuk dapat memahami dunia dan berhasil dalam kariernya. Peserta didik dalam mengkonstruksi suatu konsep perlu memperhatikan lingkungan sosial. Ada dua konsep penting dalam teori Vygotsky, yaitu Zone of Proximal Development (ZPD) dan scaffolding. Menurut pandangan konstruktivisme sosial, pengetahuan itu diperoleh secara individu yaitu dengan mengkonstruksi sendiri pengetahuannya dari proses interaksi dengan obyek yang dihadapinya serta pengalaman sosial. Komunikasi merupakan kunci pokok untuk mengajar dengan pendekatan sosiokultural dan untuk memahami peserta didik. Aplikasi pemikiran Vygotsky untuk mempelajari matematika menumbuhkan pemahaman matematika dari koneksi pemikiran dengan bahasa matematika yang baru dalam mengkreasi pengetahuan. Guru masuk dalam ZPD peserta didik dan memberikan bahasa matematika untuk membantu pemahaman konsep mereka dalam diskusi dengan bahasa peserta didik. Dengan Scaffolding yang diberikan oleh guru, peserta didik dapat menjelaskan dan menukar pemahaman matematika dalam kehidupan sosialnya sehingga pemahaman konsep dapat dicapai oleh peserta didik dan menumbuhkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa pada diri peserta didik. Kata kunci : Teori Sosiokultural, Vygotsky, Zone of Proximal Development (ZPD), scaffolding, Pembelajaran Matematika. A. PENDAHULUAN Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memungkinkan semua pihak dapat memperoleh informasi dengan melimpah, cepat dan mudah dari berbagai sumber dan tempat di dunia. Dengan demikian peserta didik perlu memiliki kemampuan memperoleh, memilih, mengelola informasi untuk bertahan pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti dan kompetitif. Kemampuan ini membutuhkan pemikiran kritis, sistematis, logis kreatif dan kemauan bekerja sama yang efektif. Cara berpikir seperti ini dapat dikembangkan melalui belajar matematika karena matematika memiliki struktur dan keterkaitan yang kuat dan jelas antar konsepnya sehingga memungkinkan peserta didik terampil berpikir rasional. Setiap peserta didik perlu memiliki penguasaan matematika pada tingkat tertentu, yang merupakan penguasaan kecakapan matematika untuk dapat memahami dunia dan berhasil dalam kariernya. Kecakapan matematika yang ditumbuhkan pada peserta didik merupakan sumbangan mata pelajaran matematika kepada pencapaian kecakapan hidup yang ingin dicapai melalui kurikulum. Pendidikan matematika mempunyai potensi besar untuk memainkan peran strategis dalam menyiapkan sumber daya manusia untuk menghadapi era industrialisasi dan globalisasi. Potensi ini dapat terwujud jika pendidikan matematika mampu melahirkan peserta didik yang cakap dalam matermatika dan berhasil menumbuhkan kemampuan berpikir logis, bersifat kritis, kreatif, inisiatif dan adaptif terhadap perubahan dan Makalah dipresentasikan dalam dengan tema Peningkatan Kontribusi Penelitian dan Pembelajaran Matematika dalam Upaya Pembentukan Karakter Bangsa pada tanggal 27 November 2010 di Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY

perkembangan. Kualitas sumber daya manusia seperti ini menjamin keberhasilan upaya penguasaan teknologi untuk pembangunan di Indonesia. Agar potensi tersebut dapat terwujud, diperlukan orientasi baru dalam pendidikan matematika yang meliputi reformasi sasaran program pendidikan matematika ke arah pengembangan kemampuan berpikir dan berbahasa, penyiapan peserta didik menghadapi isu sosial dampak penerapan Iptek, penanaman nilai-nilai etika dan estitika, kemampuan memecahkan masalah, pengembangan sikap kemandirian, kreatifitas serta tanggung jawab. Akan tetapi tuntutan itu akan semakin berat dipenuhi apabila kenyataan di lapangan masih ditemui fakta bahwa pembelajaran matematika dianggap sebagai pelajaran yang sulit dan menakutkan bagi peserta didik. Kemampuan peserta didik dalam berkomunikasi dan bekerja sama dalam melakukan keterampilan proses dan aktifitas dalam pemecahan masalah juga perlu ditingkatkan. Dengan kata lain, peserta didik diharapkan dapat memahami materi dan memperoleh manfaat untuk hidupnya serta tumbuhnya nilai-nilai budaya dan karakter bangsa serta nilai-nilai sosial kemasyarakatan sebagai ciri khas bangsa Indonesia yang berkebudayaan, bukan sematamata hanya bertujuan supaya meraih nilai tes yang tinggi yang berdampak munculnya jiwa individualis dalam persaingan. Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan, permasalahan yang dirumuskan adalah sebagai berikut. 1. Bagaimana cara peserta didik mengkonstruksi pemahaman konsep damalm matematika menurut pandangan Vygotsky? 2. Bagaimanakah penerapan teori sosiokultural dalam Pembelajaran Matematika? B. TEORI VYGOTSKY Lev Semenovich Vygotsky (dalam Taylor, 1993) menyatakan bahwa peserta didik dalam mengkonstruksi suatu konsep perlu memperhatikan lingkungan sosial. Konstruktivisme ini oleh Vygotsky (dalam Atwel & Cooper, 1998) disebut konstruktivisme social (socio-constructivism). Ada dua konsep penting dalam teori Vygotsky, yaitu Zone of Proximal Development (ZPD) dan scaffolding. Zone of Proximal Development (ZPD) merupakan jarak antara tingkat perkembangan sesungguhnya yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau melalui kerjasama dengan teman sejawat yang lebih mampu. Scaffolding merupakan pemberian sejumlah bantuan kepada peserta didik selama tahap-tahap awal pembelajaran, kemudian mengurangi bantuan dan memberikan kesempatan untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar setelah ia dapat melakukannya. Scaffolding merupakan bantuan yang diberikan kepada peserta didik untuk belajar dan memecahkan masalah. Bantuan tersebut dapat berupa petunjuk, dorongan, peringatan, menguraikan masalah ke dalam langkah-langkah pemecahan, memberikan contoh, dan tindakan-tindakan lain yang memungkinkan peserta didik itu belajar mandiri. 443

Pendekatan yang mengacu pada konstruktivisme sosial (filsafat konstruktivis sosial) disebut pendekatan konstruktivis sosial. Filsafat konstruktivis sosial memandang kebenaran matematika tidak bersifat absolut dan mengidentifikasi matematika sebagai hasil dari pemecahan masalah dan pengajuan masalah (problem posing) oleh manusia. Peserta didik berinteraksi dengan guru, dengan peserta didik lainnya dan berdasarkan pada pengalaman informal peserta didik mengembangkan strategi-strategi untuk merespon masalah yang diberikan. Secara umum, penganut faham konstruktivisme sosial memandang bahwa pengetahuan matematika merupakan konstruksi sosial. Hal ini didasarkan pada pandangan Ernest (1991:42) yang menyatakan bahwa: (1) Basis dari pengetahuan matematika adalah pengetahuan bahasa, perjanjian dan hukum-hukum, dan pengetahuan bahasa merupakan konstruksi sosial; (2) Proses sosial interpersonal diperlukan untuk membentuk pengetahuan subyektif matematika yang selanjutnya melalui publikasi akan terbentuk pengetahuan matematika; obyektif dan (3) Obyektivitas itu sendiri merupakan masalah sosial. Konstruktivisme sosial mengaitkan antara pengetahuan subyektif dan pengetahuan obyektif dalam suatu siklus melingkar. Maksudnya, pengetahuan matematika baru terbentuk melalui suatu siklus melingkar yaitu dimulai dari pengetahuan subyektif ke pengetahuan obyektif melalui suatu publikasi. Pengetahuan obyektif matematika diinternalisasi dan dikonstruksi oleh peserta didik selama proses belajar matematika. Ernest (1991) menjelaskan bahwa rekonstruksi metematika yang dilakukan oleh peserta didik melalui beberapa proses. Pertama, pengetahuan obyektif matematika direpresentasikan peserta didik dengan mengkonstruk melingkar yang ditunjukkan dengan alur mengkaji/menyelidiki, menjelaskan, memperluas, mengevaluasi sehingga terjadi rekonstruksi metematika konsepsi awal. Kedua, konsepsi awal sebagai hasil rekonstruksi individu tersebut merupakan pengetahuan subyektif matematika. Ketiga, pengetahuan subyektif matematika tersebut dikolaborasikan dengan peserta didik lain, guru dan perangkat belajar (peserta didik guru - perangkat belajar) sehingga terjadi rekonstruksi sebagai hasil dari proses scaffolding. Keempat, matematika yang direkonstruksi sebagai hasil dari proses scaffolding dan direpresentasikan oleh kelompok tersebut merupakan pengetahuan baru yaitu konsepsi peserta didik setelah belajar sehingga menjadi pengetahuan obyektif matematika. Siklus melingkar proses rekonstruksi matematika dapat dilihat pada gambar 1. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa menurut pandangan konstruktivisme sosial, pengetahuan itu diperoleh secara individu yaitu dengan mengkonstruksi sendiri 444

pengetahuannya dari proses interaksi dengan obyek yang dihadapinya serta pengalaman sosial. Gambar 1. Proses Rekonstruksi Matematika oleh Peserta didik C. TEORI SOSIOKULTURAL DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA Menurut Steele (2001: 1) komunikasi merupakan kunci pokok untuk mengajar dengan pendekatan sosiokultural dan untuk memahami peserta didik. Guru yang menggunakan teori ini melibatkan peserta didik dalam menyampaikan dan mempertahankan pemikirannya. Guru matematika, pendidik guru dan peneliti terlibat langsung dalam pembaharuan pembelajaran matematika sebagai upaya mempermudah peserta didik dalam memahami matematika. Pemahaman matematika diperoleh ketika peserta didik membangun hubungan dan koneksi dalam pengetahuan matematikanya dan komponen kunci dari pengembangan pemahaman adalah komunikasi. Komunikasi melibatkan bicara, mendengarkan, menulis, demonstrasi, melihat dan berpartisipasi dalam interaksi sosial, bertukar pikiran dengan yang lain dan mendengarkan pemikiran sesamanya. NCTM dalam (Steele, 2001) menyatakan pentingnya komunikasi dalam mempelajari dan memahami matematika. Dalam komunikasi, objek pemikiran datang dari refleksi, refinemen, diskusi dan amandemen. Proses komunikasi juga membantu membangun pengetahuan dan ide permanen serta membentuk pola kehidupan sosial dari peserta didik. 445

Dengan perspektif sosiokultural, peserta didik bertukar pendapat tentang pemikirannya dengan sesamanya dan mendengarkan sesamanya, mengkreasi pengetahuan dari praktek matematika dalam budayanya. Vygotsky (dalam Steele, 2001: 2) mengatakan bahwa bahasa merupakan alat manusia dalam komunikasi dan komunikasi merupakan alat budaya. Peserta didik mengkreasi pengetahuannya dan mengembangkan pemahaman matematika dengan belajar untuk menyampaikan dan mempertahankan pemikirannya serta membahas dengan sesamanya. Peserta didik belajar untuk bicara dengan bahasa matematika, mereka mentransformasi pemikirannya dari konsep matematika. Bahasa matematika datang dari masyarakat dan pemikiran (konsep) datang dari masing-masing individu. Ketika peserta didik aktif melibatkan fisik dan mentalnya, peserta didik dapat membuat hubungan dari bahasa kebiasaannya terhadap bahasa matematika. Dengan bahasa tersebut peserta didik menunjukkan pemahaman matematikanya dan guru mengetahui apa yang diketahuinya. Ketika peserta didik menyampaikan pemikirannya dalam bahasa kebiasaannya mengenai suatu konteks dalam situasi, guru dapat membuat hubungan antara bahasa peserta didik dengan bahasa simbol matematika. There is a word available nearly always when the concept has matured. Aplikasi pemikiran Vygotsky untuk mempelajari matematika menumbuhkan pemahaman matematika dari koneksi pemikiran dengan bahasa matematika yang baru dalam mengkreasi pengetahuan. Mengkonstruksi pengetahuan merupakan fokus yang krusial dari pembelajaran Matematika. Vygotsky percaya bahwa peserta didik belajar untuk menggunakan bahasa baru dengan internalisasi pengetahuan dari kata yang mereka katakan, pengembangan budaya peserta didik dari pengetahuan kata dua proses fungsi. Pertama, pada tingkat sosial dan kedua, pada tingkat individual dimana pengetahuan kata digeneralisasikan sebagai pemahaman. Peserta didik menggunakan dan menginternalisasikan kata-kata baru yang saat itu diperoleh dari orang lain. Mereka selalu menemukan diri mereka sendiri dalam Zona Pengembangan Proksimal (ZPD) sebagai pelajaran baru. ZPD merupakan tempat pengetahuan seseorang diantara pengetahuan saat itu dengan pengetahuan potensialnya. Dalam ZPD peserta didik mengkolaborasikan apa yang dilakukan sekarang yang akan dapat dilakukan hari esok. Dengan melibatkan peserta didik dalam aktifitas, guru dapat mengkreasi ZPD sehingga setiap peserta didik dapat mengembangkan pengetahuan dari konsep budaya mereka. Pertanyaan Penyelidikan Peserta didik melakukan artikulasi dalam mengekspresikan pikiran karena gurunya mendukung untuk mengklarifikasi pemikirannya. Dia memberikan pertanyaan penyelidikan sejak peserta didik memberikan penjelasan. Mangajar adalah suatu interaksi yang seimbang antara guru dan peserta didiknya. Guru mengkreasi sebuah konteks dimana peserta didik mengeksplorasi, merefleksi, dan mengkomunikasikan idenya kemudian mereka membuat koneksi dan bahasa personal biasanya ke dalam bahasa matematika formal. Guru memberikan kesempatan pada peserta didik untuk peduli pada matematika setiap langkah aktivitasnya. Representasi pemikiran Representasi dapat digunakan sebagai alat untuk mengkomunikasikan ide matematika oleh guru dan peserta didik. Dengan representasi ide mereka sebagai bagian dari proses komunikasi, mereka mantranslasi permasalahan atau ide ke dalam bentuk baru. Pada bagian tersebut peserta didik dapat menggambar diagram, menulis kalimat, dan menggunakan tubuhnya untuk merepresentasikan pikirannya. Dengan representasi, peserta didik diajak untuk fokus pada karakteristik yang esensial dari sebuah situasi, 446

membuat ide matematika lebih konkret dan mempermudah guru dalam membantu peserta didik untuk membangun kemahiran berbahasa matematika. Dalam proses representasi pikiran dan menemukan solusi, peserta didik melakukan negosiasi dan menggeneralisasikan pemahaman (konsep) dari kata-kata guru yang disampaikan kepada peserta didik untuk menyampaikan pemikirannya. Dengan mengkonstruksi pemahaman konsep, pesert didik mendesain dan mngadopsi prosedur mereka dan bertukar pikiran dengan peserta didik lainnya. Peserta didik menyampaikan dan bertukar pikiran tentang pemahaman konsep matematika. Ide teoritis diterima lebih mudah olehnya dan pemahaman penuh dari kata-kata dan ide bersesuaian dengan penguasaan kata-kata yang berkembang. Vygotsky mengatakan, manusia belajar bagai sebuah kehidupan sosial yang spesifiksecara alami dan sebuah proses yang menjadikan peserta didik tumbuh dalam kehidupan intelektual disekitarnya. Ada beberapa cara menggunakan bahasa untuk mengkomunikasikan tentang matematika oleh guru dan peserta didik, diantaranya dengan menggunakan bahasa biasa, bahasa verbal matematika, bahasa simbol, representasi visual, bertukar asumsi tanpa bicara dan bahasa matematika quasi. Representasi visual adalah komunikasi nonverbal penuh, contohnya melalui gambar atau dengan tangan. Zone of Proximal Development (ZPD) Dalam upaya mengkreasi ZPD dari peserta didiknya, guru membuat struktur pelajarannya dalam beberapa fase yang digunakan untuk berkomunikasi dalam pekerjaannya untuk mencapai ZPD. Komunikasi membantu guru memberikan tugas pada peserta didik yang dikerjakan sekarang dan mempersiapkan pelajaran yang akan datang. Fase 1. Guru menanyakan pertanyaan biasa yang berkaitan dengan permasalahan kontekstual untuk membangun pemahaman dan bertukar pemahaman dari definisi matematika dari situasi. Permasalahan dimungkinkkan mempunyai banyak strategi pemecahan. Fase 2. Peserta didik mendesain prosedur/ langkah untuk menjawab pertanyaan/ menyelesaikan permasalahan. Prosedur melibatkan menggambar, beraksi, menulis dan menggunakan alat. Prosedur tersebut digunakan untuk berpikir tentang pusat pemahaman konsep matematika. Fase 3. Guru membantu peserta didik untuk memunculkan komunikasi dari pemikirannya. Guru menanyakan pertanyaan yang lebih fokus untuk mendapatkan klarifikasi dari pemikiran peserta didik dan prosedur penyelesaian masalah. Interaks tersebut membantu menghubungkan bahasa informal biasa dari peserta didik dengan bahasa matematika formal. Fase 4. Peserta didik menginterpretasikan hasil penyelesaian masalah yang diperolehnya dengan hasil yang diperoleh peserta didik lainnya. Setelah diberi waktu bebas untuk berpikir dan bekerja, peserta didik berdiskusi dengan peserta didik lainnya dengan membandingkan konjektur dan strategi mereka masing-masing. Fase 5. Peserta didik melakukan negosiasi tentang cara menyelesaikan masalah dengan bimbingan guru dan saling memberikan pemahaman matematikanya. Fase 6. Peserta didik menggeneralisasikan kata (konsep). Di akhir pelajaran, peserta didik mendemonstrasikan generalisasi kata yang berbeda antara peserta didik satu dengan lainnya dan saling bertukar pikiran dalam interaksi tersebut. Dengan menggunakan fase-fase tersebut, guru masuk dalam ZPD peserta didik dan memberikan bahasa matematika untuk membantu pemahaman konsep mereka 447

dalam diskusi dengan bahasa mereka. Dengan bimbingan guru, peserta didik dapat menjelaskan dan bertukar pemahaman matematika dalam kehidupan sosialnya sehingga pemahaman konsep dapat dicapai oleh mereka. Peserta didik belajar memahami dengan mengatakan apa yang dipikirkan dan dicobanya untuk menyampaikan pada orang lain. Memahami jawaban peserta didik yang lain membantu peserta didik meraih tingkat pemikiran yang lebih tinggi. Peserta didik diharapkan menjawab pertanyaan dan mempertahankan jawabannya sehingga diperoleh jawaban yang valid. Ketika guru membantu peserta didik untuk learn to do with the teacher what they could not do without the teacher maka peserta didik berada pada ZPD. Beberapa pengajar matematika dan peneliti menunjukkan pembelajaran matematika sebagai suatu proses interaksi sosial. Dengan pendekatan sosiokultural, guru membuat konteks untuk memberikan bahasa ilmiah pada peserta didik tentang apa yang mereka kerjakan. Guru dapat menggunakan bahasa biasa yang digunakan peserta didik untuk membangun bahasa matematika. Pembelajaran dengan menggunakan teori sosiokultural penting bagi pendidik guru dan peneliti sebagai dokumentasi mengenai bagaimana kenyataan dari penerapan teori sosiokultural yang dipraktekkan oleh guru. D. PENUTUP Ada dua konsep penting dalam teori Vygotsky, yaitu Zone of Proximal Development (ZPD) dan scaffolding. Menurut pandangan konstruktivisme sosial, pengetahuan itu diperoleh secara individu yaitu dengan mengkonstruksi sendiri pengetahuannya dari proses interaksi dengan obyek yang dihadapinya serta pengalaman sosial. komunikasi merupakan kunci pokok untuk mengajar dengan pendekatan sosiokultural dan untuk memahami peserta didik. Aplikasi pemikiran Vygotsky untuk mempelajari matematika menumbuhkan pemahaman matematika dari koneksi pemikiran dengan bahasa matematika yang baru dalam mengkreasi pengetahuan. guru masuk dalam ZPD peserta didik dan memberikan bahasa matematika untuk membantu pemahaman konsep mereka dalam diskusi dengan bahasa peserta didik. Dengan Scaffolding yang diberikan oleh guru, peserta didik dapat menjelaskan dan menukar pemahaman matematika dalam kehidupan sosialnya sehingga pemahaman konsep dapat dicapai oleh peserta didik dan menumbuhkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa pada diri peserta didik.. DAFTAR RUJUKAN Atwel, Bleicher & Cooper. 1988. The Construction of The Social Contex of Mathematics classroom : A Sosiolingistic Analysis. Dalam Journal for Research in Mathematics Education. Vol 29 No.1 January 1998 hal 63-82. Ernest, P. 1991. The Philosophy of Mathematics Educations. London: Falmer Press. Steele, Diana F. 2001. Using Sociocultural Theory to teach mathematics: A Vygotskian Perspective. http://www.findarticles.com/p/articles/ mi_ga3667/is_200112/ai_n9009695. download tanggal 3 Januari 2006. Taylor. 1993. Vygotskian Influences in Mathematics Education with Particular Referencesto Attitude Development. Dalam Journal Focus o Learning Mathematics. Vol. 15 No.2 hal 3-17. 448