Membaca hadis-hadis Nabi tentang hak waris bagi perempuan adalah membaca sebuah episode sejarah perubahan sosial yang revolusioner terhadap hak dan akses perempuan atas harta peninggalan keluarga. Betapa tidak, dari literatur hadis kita menjadi tahu bahwa ayat-ayat tentang warisan secara drastis menghentikan praktek ketidakadilan terhadap perempuan yang membudaya secara luas dan turun-temurun. Dari literatur hadis pula kita bisa mengerti bahwa sekalipun ayat-ayat waris sudah turun, keberatan akan adanya hak waris bagi perempuan masih mengemuka. Dalam proses transformasi yang revolusioner namun tanpa darah itulah, Rasulullah saw. hadir sebagai pengubah peradaban dengan keteguhannya memproteksi hak waris bagi perempuan. Semua itu muaranya satu: demi menjamin keadilan bagi perempuan dan laki-laki sebagai wujud risalah yang rahmatan lil alamin. Tulisan ini akan mencoba memaparkan spirit keadilan dalam hukum waris yang tersimpulkan dari peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa Rasulullah saw. dan pesan-pesan yang tersirat di balik ayat dan hadis tentang warisan. Beberapa spirit keadilan itu adalah: 1. Dari Benda Warisan Menjadi Pewaris Sebelum kedatangan Islam, tradisi Arab Jahiliyah dan beberapa peradaban besar lainnya menempatkan perempuan sebagai benda yang diwariskan. Pada masa pra- Islam lazim terjadi jika seorang suami meninggal, istrinya menjadi salah satu benda warisan yang ditentukan nasibnya oleh keluarga suami. Mau dinikahi saudara suaminya, mau dinikahkan dengan orang lain dengan mahar yang harus diserahkan kepada pihak suami, atau dibiarkan menikah lagi dengan orang lain dengan syarat membayar tebusan tertentu kepada pihak keluarga suami, semua itu ditentukan pihak keluarga suami karena perempuan adalah benda warisan. Inilah salah satu bentuk praktek adhal (penyengsaraan perempuan) pada masa jahiliyah. Islam datang dan semua praktek adhal pun dilarang sebagaimana tertera dalam Q.S. an-nisa ayat 19 Hai orang-orang yang beriman tidak halal bagimu menjadikan perempuan sebagai benda warisan dengan paksa. Kedatangan Islam mengubah tradisi menjadikan perempuan sebagai benda warisan menjadi pewaris yang haknya dilindungi, baik sebagai anak, istri, ibu, maupun saudara orang yang meninggal. Surat an-nisa ayat 7, 11, 12, dan 176 dengan jelas dan rinci menyebut mereka berikut proporsi warisannya. Rasulullah saw. bahkan memberikan hak waris kepada nenek (ketika ayah atau ibu sudah tidak ada) dan keponakan perempuan (jika ayah sang keponakan sudah tiada); suatu hal yang belum menjadi common sense para sahabat hatta setelah Rasulullah saw. wafat. Dalam sebuah hadis 1 / 5
riwayat Qabishah bin Dzuaib disampaikan bahwa seorang nenek datang kepada Khalifah Abu Bakar ra., menanyakan bagian warisannya. Abu Bakar menjawab, Engkau tidak punya bagian apapun dalam Kitabullah, dan saya tidak tahu ada bagianmu dalam Sunnah Rasulullah saw. Kembalilah, sampai saya menanyakan hal ini kepada orang-orang. Abu Bakar pun bertanya kepada orang-orang, maka Mughirah bin Syu bah menjawab, Saya hadir di hadapan Rasulullah (pada saat) beliau memberikan bagian 1/6 kepada nenek Abu Bakar bertanya lebih lanjut, Apakah ada orang selainmu (yang menyaksikan)? Maka berdirilah Muhammad bin Maslamah al-anshari, dan ia mengatakan sebagaimana yang dikatakan oleh Mughirah. Khalifah Abu Bakar pun kemudian memberikan bagian 1/6 kepada nenek tersebut. Qabishah selanjutnya meriwayatkan bahwa seorang nenek yang lain datang kepada Khalifah Umar bin Khattab, menanyakan bagian warisannya. Umar menjawab, Engkau tidak punya bagian apapun dalam Kitabullah. Namun 1/6 warisan itu untukmu. Jika kalian berdua maka 1/6 itu untuk berdua, dan jika sendiri maka 1/6 itu untuk sendiri. (HR Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah ). Peristiwa di atas menunjukkan bahwa Rasulullah saw. dalam sejarah hidupnya menjadi pemimpin yang konsisten melindungi hak waris perempuan, baik yang disebutkan dalam Al-qur an, maupun yang tidak. Eksekusi Nabi yang memberikan hak waris kepada nenek (ibu kandung ibu atau ayah) membuktikan hal itu; sebuah eksekusi yang ternyata masih samar-samar diketahui oleh Khalifah Abu Bakar pada masanya. Ayat-ayat dan peristiwa yang terekam dalam hadis sebagaimana disebutkan di atas memberi penegasan bahwa dengan kehadiran Islam hak waris perempuan terlindungi dan siapapun tidak boleh menghalangi perempuan mendapatkan haknya. 2. Setiap Status Dilindungi Haknya Dalam ayat-ayat waris (Q.S. An-Nisa/4: 7, 11, 12, dan 176) dan hadis-hadis Nabi, bagian perempuan selalu disebutkan secara eksplisit, baik dalam statusnya sebagai anak, isteri, ibu, nenek, saudara perempuan, atau keponakan perempuan dari orang yang meninggal. Begitu jelas dan detailnya bagian perempuan dalam setiap status, sehingga tidak ada celah sedikitpun untuk tidak memberikan warisan kepada perempuan yang berhak karena jenis kelamin dan usianya. Proteksi total atas hak perempuan tanpa memandang usia ini mengikis habis praktek yang lazim berlaku di kalangan kaum pagan saat itu, yakni warisan hanya diberikan kepada laki-laki dewasa yang dianggap produktif dan bisa berkontribusi ketika terjadi peperangan. Anak laki-laki, perempuan segala usia, apalagi yang yatim, tidak dianggap sebagai manusia yang pantas mendapatkan warisan. Tradisi itu pula yang menjadi asbabun nuzul surat an-nisa ayat 7. Betapa perempuan nyata-nyata tidak dianggap tampak dalam peristiwa yang menjadi sebab turunnya ayat 11 dan 12 surat an-nisa. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Jabir ra., disampaikan peristiwa datangnya isteri Sa d bin ar-rabi kepada Rasulullah saw. yang mengadu bahwa Sa d bin ar-rabi, sahabat Nabi yang syahid pada perang Uhud, meninggalkan dua anak perempuan. Namun paman kedua putri 2 / 5
Rabi itu (saudara laki-laki Sa d) mengambil semua harta peninggalan Sa d. Kedua putrinya tidak bisa menikah kecuali memiliki harta itu. Mendengar pengaduan ini Rasulullah saw, bersabda Allah akan memberi keputusan dalam soal ini, lalu turunlah surat an-nisa ayat 11 dan 12. Nabi pun memerintahkan sang paman untuk memberikan dua pertiga harta warisan Sa d kepada kedua putrinya dan seperdelapan kepada ibunya. Sisanya baru buat sang paman. Demikianlah, dari literatur hadis terkuak bahwa ayat-ayat waris adalah ayat-ayat pembelaan terhadap hak waris perempuan dan anak yang sebelumnya dianggap nihil. Allah dan Rasulullah selalu hadir saat perempuan dan anak merasakan ketidakadilan dengan turunnya ayat Al-qur an dan eksekusi Nabi yang tanpa ragu memberi perlindungan dan pemihakan kepada kaum perempuan. 3. Dari Keadilan Manipulatif Menjadi Substantif Turunnya ayat-ayat waris ternyata tidak serta merta mengubah keadaan. Pola pikir lama masih berat ditinggalkan. Apalagi bagi mereka yang merasa terkurangi privilege-nya karena harus berbagi warisan dengan perempuan. Proteksi Islam terhadap hak waris perempuan dirasakan sebagian masyarakat kala itu sebagai sesuatu yang tidak adil karena orang-orang yang dianggap tidak produktif dan tidak berkontribusi dalam peperangan seperti isteri, anak perempuan dan anak laki-laki kecil ikut mendapatkan bagian dalam warisan. Keadilan saat itu benar-benar dirumuskan secara manipulatif oleh mereka yang menikmati ketidakadilan. Di tengah situasi seperti itu Rasulullah saw. lagi-lagi berada di garda terdepan dari proses perubahan sosial. Beliau tidak hanya menyampaikan dan mengajarkan pesan dari langit, melainkan terlibat langsung dalam proses perubahan tradisi yang sesungguhnya tidak mudah karena ada kelompok tertentu yang dikurangi haknya. Ketegasan Rasulullah saw. untuk memproteksi tanpa ragu hak waris bagi perempuan dan anak inilah yang mampu mentransformasikan makna keadilan dari yang manipulatif menjadi substantif; dari keadilan yang dirumuskan secara sepihak oleh pelaku ketidakadilan menjadi keadilan yang mewadahi semua kepentingan, terutama kepentingan mereka yang sebelumnya tidak berdaya karena dianggap tidak ada. 4. Proporsional, Tidak Selalu Setengah Bagian Laki-laki Hari ini, ketika kita membaca norma umum hukum waris yang secara literal menyatakan bahwa bagian laki-laki dua kali bagian perempuan, sebagian mungkin merasa ada ketidakadilan. Padahal jika kita telisik lebih jauh, secara literal pula norma ini hanya berlaku jika perempuan menjadi ahli waris bersama-sama dengan laki-laki dalam posisi yang setara, semisal sama-sama sebagai anak atau sama-sama sebagai saudara kandung atau seayah dari si mayit. Namun norma ini ini tidak berlaku ketika perempuan menjadi anak tunggal, atau bersaudara yang semuanya perempuan. Proporsi 2:1 juga tidak berlaku bagi ibu dan ayah si mayit yang meninggalkan anak. Dalam keadaan ini ibu dan ayah sama-sama berhak mewarisi 1/6 harta warisan. (QS an-nisa /4 ayat 11). Demikian juga ketika perempuan dan laki-laki sama-sama sebagai saudara seibu dari si mayit yang tidak memiliki anak. Mereka sama-sama berhak mendapat bagian 1/6 jika sendiri, atau 2/3 ketika bersaudara dua orang atau lebih. 3 / 5
Pembagian ini menunjukkan bahwa proporsi warisan tidak selalu 2:1 bagi laki-laki dan perempuan, namun disesuaikan dengan beban dan tanggung jawab. Seorang ibu dan ayah yang anaknya meninggal dan sang anak meninggalkan cucu diasumsikan sebagai orang tua yang sudah berusia tidak muda lagi dan sudah bebas tanggungjawab menafkahi anak. Mereka perlu mendapat perhatian yang sama dari anak-anaknya karena diasumsikan mereka sudah memasuki usia senja. Karena itu pantas jika anak mereka meninggal terlebih dahulu, bagian bapak dan ibu tidak ada perbedaan. Sebaliknya anak yang ditinggal mati orangtuanya diasumsikan masih usia produktif. Jika ia laki-laki tentu punya kewajiban menafkahi keluarganya. Karena itu wajar jika anak laki-laki mendapat bagian dua kali dari anak perempuan. Asumsinya, dua bagian untuk anak laki-laki adalah untuk dirinya dan keluarganya, sementara satu bagian anak perempuan hanya untuk dirinya karena ia tidak punya kewajiban menafkahi keluarga. Dengan kata lain proporsi warisan disesuaikan dengan asumsi tanggungjawab nafkah yang dipikul ahli waris. Inilah keadilan yang proporsional dan kontekstual karena hukum dirumuskan dengan memperhatikan konteks situasi dan kondisi yang melingkupinya. 5. Instrumen Kepedulian dan Pemberdayaan Kelompok Lemah Di luar soal proporsi warisan dan siapa ahli waris, sesungguhnya ada hal penting yang rasanya jarang terpikirkan, apalagi dipraktekkan saat ini, yakni keberadaan harta warisan sebagai istrumen kepedulian dan pemberdayaan kelompok lemah. Padahal ayat 8 surat an-nisa dengan jelas menyampaikan pesan itu; Dan apabila sewaktu pembagian warisan itu hadir beberapa kerabat (yang tidak memiliki hak waris), anak-anak yatim dan orang-orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik. Ayat ini menyiratkan pesan agar harta warisan bisa menjadi instrumen kepedulian yang dapat mempererat tali silaturrahim dan memberdayakan kelompok lemah secara luas, tidak terbatas pada ahli waris semata. Kerabat non ahli waris (dalam hadis dan literatur fiqh biasa disebut Dzawil Arhaam), anak-anak yatim dan orang miskin (atau mereka yang merepresentasikan kelompok lemah) dianjurkan untuk diberi bagian sepantasnya agar harta warisan lebih berkah dan bermanfaat bagi banyak orang. Pada masa awal-awal Islam, saat masih ada Rasulullah hingga masa Tabi in, praktek memberi harta warisan tidak hanya kepada yang memiliki hak waris sebagaimana di atas adalah hal yang dianggap wajib. Itulah tradisi kepedulian yang terasa hilang saat ini karena digerus penafsiran yang mengatakan bahwa ayat ini dinasakh oleh ayat 11, 12 dan 179 surat an-nisa. Padahal banyak sekali sahabat besar dan tabiin yang mewajibkan praktek positif tersebut, seperti Ibnu Abbas, Ibnu Mas ud, Abu Musa, ats-tsauri, Ibnu Sirin,az-Zuhri, Atha bin Abi Rabah dan Sa id bin Jubair. Dengan memahami pesan ayat 8 surat an-nisa dan apa yang dilakukan pada masa-masa awal Islam ini, kita bisa katakan bahwa jika kepada kerabat yang tidak memiliki hak waris saja dianjurkan untuk berbagi harta warisan sebagai bentuk kepedulian, apalagi jika kepedulian itu diwujudkan dalam bentuk kesediaan berbagi kepada semua saudara laki-laki dan perempuan sesama ahli waris. Warisan tentu menjadi sarana nyata untuk mempererat tali silaturrahim. Atas dasar inilah tampaknya hari ini kita tidak perlu mempertanyakan dasar hukumnya jika ada saudara laki-laki yang dengan kepedulian dan keikhlasannya mau berbagi sama rata dengan saudarinya. Dengan melakukan hal ini, laki-laki tersebut sesungguhnya telah melakukan 4 / 5
perbuatan ihsan (berbuat baik lebih dari sekedar yang ditentukan/diwajibkan). Apalagi saat ini banyak perempuan yang faktanya menjadi tulang punggung keluarga karena berbagai alasan; menjadi single parent, suaminya menganggur, mengalami sakit atau cacat permanen, atau penghasilan suami memang jauh dari mencukupi standar minimal kebutuhan keluarga. Maka, sungguh mulia laki-laki yang menjadikan hukum waris ini sebagai sarana berbuat ihsan kepada saudarinya, apalagi jika dengan itu saudarinya menjadi terberdayakan. Sebab, pada akhirnya hukum waris memang dimaksudkan untuk mewujudkan kesejahteraan ahli waris secara berkeadilan sepeninggal si mayit, dan sungguh bukan untuk menjadikan ahli waris bertengkar karena terjebak perebutan harta warisan!!! Wallahu A lam. 5 / 5