BAB 2 LANDASAN TEORI

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II DISKRIPSI PERUSAHAAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Luasnya wilayah Indonesia dan jumlah penduduknya mencapai 220 juta jiwa

I. PENDAHULUAN. atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan

ANALISIS PENERAPAN PENGENAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS TRANSAKSI EKSPOR IMPOR JASA FREIGHT FORWARDING (Studi Kasus PT.Welgrow Indopersada)

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI

BAB II KAJIAN PUSTAKA. negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib. membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (Undang-Undang)

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI

P - 08/BC/2009 PERUBAHAN ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR : P-42/BC/2008 TENTANG

BAB II TEORI PERPAJAKAN, PAJAK PERTAMBAHAN NILAI, PENGADILAN PAJAK DAN BANDING PAJAK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. laporan Tugas Akhir ini. Adapun penelitian terdahulu yang penulis ulas

BAB II LANDASAN TEORI. Definisi pajak menurut undang-undang dan pakar pajak sebagai berikut :

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1) Menurut Rochmat Soemitro pajak adalah iuran rakyat kepada kas

BAB II LANDASAN TEORI. pajak berdasarkan Undang-Undang No.28 Tahun 2007 tentang. Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yaitu sebagai berikut:

BAB II LANDASAN TEORI. yang berbeda tentang definisi dari pajak itu sendiri. Soemitro dalam bukunya Dasardasar

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

PENGANTAR KEPABEANAN DI BIDANG IMPOR

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 148/PMK.04/2011 TENTANG

BAB II. adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang

SALINAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 453/KMK

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Seiring perkembangan jaman, pajak sangat dibutuhkan baik di perusahaan

-1- DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI,

Menimbang : Mengingat :

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Beberapa pengertian prosedur menurut para ahli adalah :

2015, No Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 211 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5739); Menetapkan MEMUTUSKAN: : PERATURAN M

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata CaraPerpajakan

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Undang Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 193/PMK.03/2015 TENTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR: PER-16/BC/2016 TENTANG

LAMPIRAN INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1991 TENTANG KEBIJAKSANAAN KELANCARAN ARUS BARANG UNTUK MENUNJANG KEGIATAN EKONOMI

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Menurut Prof. Dr. P.J.A. Adriani, Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara


DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II LANDASAN TEORI. miliki kepada bangsa lain atau negara asing dengan mengharapkan

Kewajiban Pabean Atas Impor- Ekspor Tenaga Listrik

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR: P- 05 /BC/2006

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2009 TENTANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian pajak berdasarkan Undang-undang Nomor 16 Tahun. atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang

DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI,

DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI,

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pengertian pajak menurut (Mardiasmo; 2011) Pajak adalah iuran rakyat

BAB II LANDASAN TEORI

SANDINGAN UU PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TAHUN 2000 DAN TAHUN 2009

148/PMK.04/2011 PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 145/PMK.04/2007 TENTANG KETENTUAN KE

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pajak ialah iuran kepada kas negara berdasarkan undang-undang yang dapat

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR : PER- 14/BC/2012

BAB II LANDASAN TEORI

PENGERTIAN DAN DEFINISI CIRI CIRI YANG MELEKAT PADA DEFINISI PAJAK ISTILAH-ISTILAH PERPAJAKAN

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

BAB II LANDASAN TEORI. peraturan perudang-undangan yang berlaku (Tandjung, 2011: 379).

DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI,

PROSEDUR KEPABEANAN BEA DAN CUKAI IMPOR BARANG PADA PT. PERTAMINA LUBRICANTS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang sehingga

Buku Panduan Perpajakan Bendahara Pemerintah BAB VI PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN)

SELAMAT DATANG PESERTA SOSIALISASI KETENTUAN DI BIDANG IMPOR DAN EKSPOR. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan RI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI

Konsekuensi Penetapan Tarif dan Nilai Pabean

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NO.P- 42/BC/2008 TGL.31 DES 2008 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENGELUARAN BARANG IMPOR UNTUK DIPAKAI

LAMPIRAN INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1985 TANGGAL 4 APRIL 1985

BAB III PELAKSANAAN KERJA PRAKTEK. 3.1 Bidang Pelaksanaan Kerja Praktek. marketing. Adapun fungsi bidang ekspor ini adalah melakukan pengurusan

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P - 25/BC/2007 TENTANG

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 144/PMK.04/2007 TENTANG PENGELUARAN BARANG IMPOR UNTUK DIPAKAI

Mengenal Lebih Dekat Pajak Pertambahan Nilai

PAJAK PERTAMBAHAN NILAI

BAB 3 ANALISIS SISTEM YANG BERJALAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri. Keberhasilan suatu bangsa dalam pembangunan nasional sangat ditentukan

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 213/PMK.04/2008

BAB II BAHAN RUJUKAN 2.1. Pajak Pengertian Pajak Rochmat Soemitro (1990;5)

Penetapan Nilai Transaksi Dengan Menggunakan Rumus Tertentu, Tepatkah?

BAB III OBJEK PENELITIAN Sejarah Singkat PT. Lentera Buana Jaya. PT. Lentera Buana Jaya adalah perusahaan yang bergerak di bidang

BAB II LANDASAN TEORI. pajak, diantaranya pengertian pajak yang dikemukakan oleh Prof. Dr. P. J. A. Adriani

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 70/PMK.04/2007 TENTANG KAWASAN PABEAN DAN TEMPAT PENIMBUNAN SEMENTARA

1 of 5 21/12/ :45

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER-29/BC/2016 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 154/PMK.03/2010 Tanggal 31 Agustus 2010

EASE OF DOING BUSINESS TRADING ACROSS BORDER

Oleh : I Nyoman Darmayasa, SE., M.Ak., Ak. BKP. Politeknik Negeri Bali

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 146/PMK.04/2014

BAB 4. Pembahasan Hasil Penelitian

Pengeluaran Barang Impor Untuk Dipakai Dengan Pelayanan Segera (Rush Handling) Abstrak

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 120/PMK.04/2017 TENTANG

SEKRETARIATPENGADILAN PAJAK. Putusan : Put-87849/PP/M.XVA/99/2017. Jenis Pajak : Gugatan Masa Pajak : 2009 Pokok Sengketa

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR P-02/BC/2008 TENTANG

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI

2 Pertambahan Nilai, perlu melakukan penyesuaian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana

DOKUMEN EKSPOR IMPOR. Hertiana Ikasari, SE, MSi

FUNGSI KEPABEANAN Oleh : Basuki Suryanto *)

Perpajakan 2 PPN & PPnBM

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 62/PJ/2013 TENTANG

FASILITAS DI BIDANG KEPABEANAN TERKAIT IMPORTASI BARANG MINYAK DAN GAS BUMI

BAB II LANDASAN TEORITIS. 1. Pengertian, Tujuan dan Manfaat Pajak Pertambahan Nilai. yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak

Transkripsi:

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Jasa Freight Forwarding Istilah Freight Forwarding pertama kali dikenal di Amerika Serikat pada tahun 1942 dalam Freight Forwarders Act, 1942. Kegiatan usaha Freight Forwarding sudah mulai sejak tahun 1930 oleh beberapa Forwarder yang melayani jasa pengangkutan di darat dan di air dan hanya melayani pengangkutan domestik. Pengertian jasa Freight Forwarding di Indonesia disebut dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 10 Tahun 1988 yaitu kegiatan usaha yang ditujukan untuk mewakili kepentingan pemilik barang untuk mengurus semua kegiatan yang diperlukan bagi terlaksananya kegiatan pengiriman barang melalui transportasi udara, laut, dan darat, dengan kegiatan penerimaan barang, penyimpanan barang, sortasi barang, pengepakan barang, penandaan barang, pengukuran barang, penimbangan barang, pengurusan penyelesaian dokumen, penerbitan dokumen angkutan, perhitungan biaya angkutan, klaim asuransi atas pengiriman barang serta penyelesaian tagihan dan biaya biaya lainnya. Menurut Koleangan (2004:20) pengertian Freight Forwading adalah orang atau badan usaha yang melakukan jasa pengurusan dokumen dan atau definisi baku yang diberlakukan secara international, pengapalan barang atas permintaan importir atau eksportir dengan menerima pembayaran sebagai kompensasi. Menurut Suyono (2003:155) pengertian Freight Forwarding adalah badan usaha yang bertujuan memberikan jasa pelayanan/pengurusan atau seluruh kegiatan 9

diperlukan bagi terlaksananya pengiriman, pengangkutan dan penerimaan barang dengan menggunakan multimodal transport baik melalui darat, laut atau udara. Menurut Suyono (2005), Freight Forwarder adalah badan usaha yang bertujuan memberikan jasa pelayanan/pengurusan atas seluruh kegiatan yang diperlukan bagi terlaksanannya pengiriman, pengangkutan dan penerimaan barang dengan menggunakan multi modal transport melalui darat, laut, dan/udara. Disamping itu, Freight Forwarder juga melaksanakan pengurusan prosedur dan formalitas dokumentasi yang dipersyaratkan oleh adanya peraturan-peraturan pemerintah Negara ekspor, Negara transit dan Negara impor. Jasa freight forwarding dibagi dalam empat segmen yaitu: a. Pengusaha pengurusan jasa kepabeanan (PPJK) b. Jasa pengurusan transportasi murni (JPT) c. Trucking d. Pergudangan Definisi pengusahan pengurusan jasa kepabeanan berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor P-24/BC/2007 adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pengurusan pemenuhan kewajiban pabean untuk dan atas kuasa importir atau eksportir. Sedangkan definisi dari kewajiban pabean adalah semua kegiatan di bidang kepabeanan yang wajib dilakukan untuk memenuhi ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan. Pengusaha pengurusan jasa kepabeanan melayani konsumennya (eksportir dan importir) bisa menyelesaikan kewajiban pabeannya sendiri, namun tidak semua eksportir dan importir mengetahui atau menguasai ketentuan tata laksana kewajiban pabean. Oleh karena itu, seringkali pemilik barang memberikan kuasa penyelesaian kewajiban pabean tersebut kepada pengusaha pengurusan jasa kepabeanan yang 10

terdaftar di Kantor Pelayanan Bea Cukai. Untuk dapat menjadi custom brokers, maka pengusaha pengurusan jasa kepabeanan harus mempunyai Nomor Pokok Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Bea dan Cukai setempat. Definisi jasa pengurusan transportasi murni sama dengan pengertian jasa Freight Forwarding yang diatur dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 10 Tahun 1988. Kegiatan usaha jasa pengurusan transportasi murni berhubungan dengan pengiriman barang ke berbagai tujuan baik domestik maupun ke luar negeri, dimulai dari pengambilan barang dari tempat penjual/pemilik barang hingga barang selamat sampai di pelabuhan/bandara yang disetujui sesuai dengan sifat barang, tujuan pengiriman, jadwal pengiriman dan jenis transportasi pengiriman apakah melalui udara atau laut. Jenis pelayanan yang diberikan dalam jasa pengurusan transportasi murni mulai dari door to door (barang diantar dari tempat/gudang penjual ke tempat/gudang pembeli), door to port (barang diantar dari tempat/gudang penjual ke pelabuhan tempat pembeli), port to port (barang diantar dari pelabuhan tempat penjual ke pelabuhan tempat pembeli). Pengertian trucking sendiri tidak ada diatur dalam peraturan sehingga setiap orang dapat memberikan definisinya. Secara umum trucking merupakan jasa Freight Forwarding melalui transportasi darat dengan menggunakan truk. Pengertian pergudangan juga tidak diatur dalam peraturan. Secara umum pergudangan adalah salah satu jenis jasa Freight Forwarding yang melayani konsumen dalam penyimpanan barang-barang yang dimuat dari kapal sebelum didistribusikan ke tempat si penerima barang. 11

2.2 Mekanisme Freight forwarding Tujuan dari jasa Freight Forwarding ini adalah bagaimana barang milik konsumen/pemilik barang dapat sampai ke tempat yang dituju dan aman sesuai dengan harapan pemilik barang. Biasanya pemilik barang/penjual tidak mau memikirkan pengiriman barang dengan mempertimbangkan resiko kehilangan/kerusakan barang yang akan dikirim, sehingga urusan pengiriman barang diberikan kepada perusahaan Forwarding. Konsumen perusahaan Forwarding bukan hanya pemilik barang/penjual tetapi juga perusahaan forwarding lainnya yang kapasitasnya lebih kecil untuk melayani para konsumennya. Perusahaan Forwarding dalam menjalankan usahanya sering kali bekerjasama dengan pihak ketiga. Pihak ketiga itu antara lain perusahaan pengangkutan/pelayaran (transportasi darat, shipping line, maupun air line), pemilik gudang, perusahaan bongkar muat (PBM), dan perusahaan cleaning service. Namun ada juga perusahaan Forwarding yang tidak bekerjasama dengan pihak ketiga karena memiliki gudang sendiri, memiliki kapal sendiri atau memiliki truk sendiri. Adapun mekanisme jasa Freight Forwarding dapat digambarkan sebagai berikut: 12

Pihak Ketiga c d f Forwarder lain a e Freight Forwarder e a Konsumen dalam negeri/konsumen luar negeri 1.Pengangkutan/tracking 2.Handling, Packing 3.Documents, Storage b Toko/Penjual Konsumen Pemilik Barang Gambar 2.1 Mekanisme jasa freight forwarding Keterangan : a. Konsumen/pemilik barang melakukan negosiasi harga kepada Freight Forwarder untuk biaya jasa pengurusan pengiriman barang. Disamping itu juga Forwarder lain dapat meminta jasa Freight Forwarding atas pengiriman barang konsumennya. b. Konsumen/pemilik barang membuat pemesanan kepada Freight Forwarder untuk pengurusan pengiriman barang, handling impor atau ekspor, penyimpanan barang, dst. c. Freight Forwarder selanjutnya akan melakukan pengurusan dokumen pengangkutan dan mengikutsertakan pihak ketiga (perusahaan pengangkutan) untuk melakukan kegiatan operasionalnya. d. Pihak ketiga (perusahaan pengangkutan) akan membuat tagihan kepada Freight Forwarder atas biaya pengangkutan barang. 13

e. Freight Forwarder kemudian membuat tagihan baru (re-invoicing) kepada konsumen/pemilik barang atas biaya pengangkutan barang beserta jasa Freight Forwardingnya. f. Pihak ketiga (perusahaan pengangkutan) membuat tagihan yang langsung atas nama konsumen untuk biaya pengangkutan barang kepada Freight forwarder dan Freight forwarder, selanjutnya akan mengirimkan tagihan tersebut kepada konsumen/pemilik barang. Jumlah yang ditagih oleh Freight forwarder (pemberi jasa) kepada konsumen/pemilik barang (penerima jasa) dari pihak ketiga disebut reimbursement. Dalam hal bentuk tagihan (invoice) yang dibuat, pada prakteknya ada dua skema yang dilakukan : 1. Skema pertama, dimana : a. Tagihan pihak ketiga diteruskan tanpa ditambahkan imbalan (markup). b. Dokumen tagihan dari pihak ketiga langsung atas nama konsumen/pemilik barang bukan atas nama Freight Forwarder. c. Freight forwarder hanya membantu meneruskan tagihan tersebut dari pihak ketiga kepada konsumen/pemilik barang. 14

Pihak ketiga Perusahaan Pengangkutan Konsumen/Pemilik Barang Penerima Jasa Freight Forwarding Pemberi Jasa Gambar 2.2 Skema Tagihan Invoice Pertama Dalam skema ini, tagihan pihak ketiga yang diminta ke konsumen terdiri dari biaya pengangkutan darat, THC, biaya cleaning container, biaya lift in/off container, biaya shipping line/air line. 2. Skema kedua, dimana: a. Tagihan pihak ketiga tidak diteruskan kepada konsumen/pemilik barang. b. Dokumen tagihan dari pihak ketiga atas nama Freight Forwarder bukan atas nama konsumen/pemilik barang. c. Freight Forwarder menerbitkan tagihan baru (re-invoicing) kepada konsumen/pemilik barang ditambah mark-up. Pihak Ketiga Perusahaan Pengangkutan Freight forwarding Pemberi Jasa Konsumen/Pemilik barang Penerima Jasa Gambar 2.3 Skema Tagihan Invoice kedua 15

Dalam skema ini, tagihan freight forwarder yang diminta ke konsumen terdiri dari biaya pengangkutan darat, THC, biaya cleaning container, biaya lift on/off container, biaya shipping line / air line, biaya dokumen pengangkutan dan pengiriman (document fee), dan biaya jasa forwarder (agency fee). 2.3 Konsep Perpajakan Ekspor dan Impor 2.3.1 Sejarah Perpajakan di Indonesia Secara umum pemungutan pajak yang teratur dan permanen telah dikenakan pada masa kolonial. Tetapi pada masa kerajaan dahulu juga telah ada pungutan seperti pajak, pungutan seperti itu dipersembahkan kepada raja sebagai wujud rasa hormat dan upeti kepada raja, yang disampaikan rakyat di wilayah kerajaan maupun di wilayah jajahan, figur raja dalam hal ini dapat dipandang sebagi manifestasi dari kekuasaan tunggal kerajaan (negara). Pada awal kemerdekaan pernah dikeluarkan Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1950 yang menjadi dasar bagi pajak peredaran (barang), yang dalam tahun 1951 diganti dengan Pajak Penjualan. Pengenaan Pajak secara sitematis dan permanen, dimulai dengan pengenaan Pajak terhadap tanah, hal ini telah ada pada zaman kolonial. Pajak ini disebut Landrent (sewa tanah) oleh Gubernur Jenderal Raffles dari Inggris. Pada masa penjajahan Belanda disebut Landrente. Peraturan tentang Landrente dikeluarkan tahun 1907 yang kemudian diubah dan ditambah dengan Ordonansi Landrente. Pada tahun 1932, dikeluarkan Ordonansi Pajak Kekayaan yang beberapa kali diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun1964. 16

Pada tahun 1960 dikeluarkan UU Nomor 5 Tahun 1960 yang mengemukakan bahwa hukum atas tanah berlaku atas semua tanah di Indonesia, ditegaskan lagi dengan Keputusan Presidium Kabinet Tanggal 10 Februari Tahun 1967 Nomor 87/Kep/U/4/1967. dengan pemberian otonomi dan desentralisasi kepada Pemerintah Daerah, Pajak Hasil Bumi kemudian namanya diubah menjadi IPEDA (Iuran Pembangunan Daerah) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Iuran Negara No.PM.PPU 1-1-3 Tanggal 29 November 1965 yang berlaku mulai 1 November 1965. Pengenaan Pajak langsung sebagai cikal bakal dari pajak penghasilan sudah terdapat pada zaman Romawi Kuno, antara lain dengan adanya pungutan yang bernama tributum yang berlaku sampai dengan tahun 167 Sebelum Masehi. Pengenaan Pajak Penghasilan secara eksplisit yang diatur dalam suatu Undang-undang sebagai Income Tax baru dapat ditemukan di Inggris pada tahun 1799. Di Amerika Serikat, Pajak Penghasilan untuk pertama kali dikenal di New Plymouth pada tahun 1643, dimana dasar pengenaan pajak adalah a person's faculty, personal faculties and abilitites", Pada tahun 1646 di Massachusett dasar pengenaan pajak didasarkan pada "returns and gain". Tersonal faculty and abilities" secara implisit adalah pengenaan Pajak Pengahasilan atas orang pribadi, sedangkan "Returns and gain" berkonotasi pada Pajak Penghasilan Badan. Tonggak-tonggak penting dalam sejarah pajak di Amerika Serikat adalah Undang-Undang Pajak Federal tahun 1861 yang selanjutnya telah beberapa kali mengalami Tax Reform, terakhir dengan Tax Reform Act tahun 1986. Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan (tax return) yang dibuat pada tahun 1860- an berdasarkan Undang-Undang Pajak Federal tersebut telah dipergunakan 17

sampai dengan tahun 1962. Sejarah perpajakan di Indonesia dapat dibagi ke dalam beberapa kurun waktu yaitu masa penjajahan Belanda, setelah merdeka sampai 1979, 1979 sampai tahun 1983, dan 1983 sampai sekarang. Pada masa penjajahan Belanda, sistem perpajakan menekankan fungsinya pada segi pemasukan keuangan untuk keperluan penjajahan di Belanda. Karena pajak ditarik dari rakyat untuk kepentingan pembangunan di Negeri Belanda maka sistem pemungutan pajak yang dianut pada masa itu adalah sistem yang meletakkan dasar kekuatan administrasi perpajakan. Sistem ini menekankan bahwa jumlah pajak terutang, sepenuhnya ditentukan oleh aparat pajak. Kelemahan sistem ini adalah wajib pajak tidak diberikan kepercayaan sama sekali dalam penghitungan utang pajaknya. Aparat perpajakan memiliki wewenang yang sangat luas, sehingga sangat merugikan wajib pajak. Sekalipun Indonesia telah merdeka, namun hukum perpajakan tidak banyak berubah. Perubahan yang dilakukan tidak mendasar, sehingga hukum pajak yang berlaku masih meletakkan landasannya pada kekuasaan administrasi parpajakan. Karena pemerintah ingin meningkatkan penerimaan pajak maka pada tahun 1967 diperkenalkan sistem pemungutan pajak yang dikenal sistem MPS (Menghitung Pajak Sendiri) dan MPO (Menghitung Pajak Orang lain) dengan Undang-Undang No. 867 junto Peraturan Pemerintah No.11 Tahun 1967. Sistem pemungutan pajak dalam cara yang baru itu termasuk sistem self assessment. Sejak tahun1983 telah berlaku Undang-Undang No.6 Tahun 1983, Undang-Undang No.7 Tahun 1983 dan Undang - Undang No.8 Tahun 1983. Dalam Undang-Undang Perpajakan tahun 1983 tersebut berlaku asas 18

perpajakan Indonesia, yaitu : 1. Asas kegotongroyongan nasional terhadap kewajiban kenegaraan, termasuk membayar pajak. 2. Asas keadilan, dalam pemungutan pajak kewenangan yang dominan tidak lagi diberikan kepada aparat pajak untuk menentukan jumlah pajak yang harus dibayar. 3. Asas kepastian hukum, wajib pajak diberikan ketentuan yang sederhana dan mudah dimengerti serta pelaksanaan administrasi pemungutan pajaknya tidak birokratis. 4. Asas kepercayaan penuh, masyarakat diberikan kepercayaan penuh untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya, termasuk keaktifan pelaksanaan administrasi perpajakan. Dengan berlakunya Undang-Undang No.6, 7, dan 8 Tahun 1983 maka sistem Perpajakan Indonesia secara mutlak menganut sistem self assessment dan kewenangan aparat pajak tidak lagi seluas kewenangan yang diperolehnya dalam undang-undang perpajakan yang lama. 2.3.2 Pengertian Pajak Pajak menurut Pasal 1 angka 1 UU No 6 Tahun 1983 sebagaimana telah disempurnakan terakhir dengan UU No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Pajak adalah "Kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang Undang, dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat''. 19

Pajak Menurut Rochmat Soemitro (2005) adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan undang- undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Definisi tersebut kemudian dikoreksinya yang berbunyi sebagai berikut: Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada Kas Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment. Pajak dari perspektif ekonomi dipahami sebagai beralihnya sumber daya dari sektor privat kepada sektor publik. Pemahaman ini memberikan gambaran bahwa adanya pajak menyebabkan dua situasi menjadi berubah. Pertama, berkurangnya kemampuan individu dalam menguasai sumber daya untuk kepentingan penguasaan barang dan jasa. Kedua, bertambahnya kemampuan keuangan negara dalam penyediaan barang dan jasa publik yang merupakan kebutuhan masyarakat. Sementara pemahaman pajak dari perspektif hukum menurut Soemitro merupakan suatu perikatan yang timbul karena adanya Undang- Undang yang menyebabkan timbulnya kewajiban warga negara untuk menyetorkan sejumlah penghasilan tertentu kepada negara, negara mempunyai kekuatan untuk memaksa dan uang pajak tersebut harus dipergunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan. Dari pendekatan hukum ini memperlihatkan bahwa pajak yang dipungut harus berdasarkan Undang- Undang sehingga menjamin adanya kepastian hukum, baik bagi fiskus sebagai pengumpul pajak maupun wajib pajak sebagai pembayar pajak. 20

2.3.3 Pengertian Ekspor dan Kegiatannya Berdasarkan UU Kepabeanan Pasal 1 butir 14, Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan barang dari daerah pabean. Barang ekspor adalah barang yang dikeluarkan dari daerah pabean. Sedangkan eksportir adalah orang perseorangan atau badan hukum yang mengeluarkan barang dari daerah pabean. Secara harfiah dikatakan bahwa barang telah diekspor jika barang tersebut telah diangkut keluar melalui batas daerah pabean untuk dibawa ke luar daerah pabean. Karena tidak mungkin menempatkan pejabat bea dan cukai di sepanjang garis perbatasan untuk memberikan pelayanan dan melakukan pengawasan barang ekspor. Maka timbulah anggapan di dalam hukum dimana dinyatakan bahwa barang yang telah dimuat di sarana pengangkut untuk dikeluarkan dari daerah pabean dianggap telah diekspor dan diperlakukan sebagai barang ekspor (Pasal 2 ayat 2 UU Kepabeanan). Namun barang dimaksud bukan merupakan barang ekspor dalam hal dapat dibuktikan bahwa barang tersebut ditujukan untuk dibongkar di suatu tempat dalam daerah pabean, misalnya untuk perdagangan antar pulau yang masih di dalam daerah pabean (Pasal 2 ayat 3 UU Kepabeanan). Sarana pengangkut adalah setiap kendaraan, pesawat udara, kapal laut, atau sarana lain yang digunakan untuk mengangkut barang ekspor. Sedang yang dimaksud dimuat yaitu dimasukkannya barang ke dalam sarana pengangkut dan telah diajukan pemberitahuan pabean termasuk dipenuhinya Bea Keluar. Jadi walaupun barang tersebut telah dimuat di sarana pengangkut 21

yang akan berangkat ke luar daerah pabean, jika dapat dibuktikan barang tersebut akan dibongkar di dalam daerah pabean dengan menyerahkan suatu pemberitahuan pabean, barang tersebut tidak dianggap sebagai barang ekspor. Menurut Irham dan Yogi (2003), mendefinisikan ekspor sebagai berikut: Menjual barang-barang ke luar negeri untuk ekspor memperoleh devisa yang akan digunakan bagi penyelenggaraan industri/pembangunan di negaranya, dengan asumsi ekspor yang terjadi haruslah dengan diversifikasi ekspor sehingga bila terjadi kerugian dalam satu macam barang akan dapat diimbangi oleh keunggulan dari komoditi lainnya. Kegiatan ekspor adalah sistem perdagangan dengan cara mengeluarkan barang-barang dari dalam negeri keluar negeri dengan memenuhi ketentuan yang berlaku. Ekspor merupakan total barang dan jasa yang dijual oleh sebuah negara ke negara lain, termasuk diantara barang-barang, asuransi, dan jasa-jasa pada suatu tahun tertentu (Bambang Triyoso, 2004). Kegiatan ekspor adalah sistem perdagangan dengan cara mengeluarkan barang-barang dari dalam negeri ke luar negeri dengan memenuhi ketentuan yang berlaku. Ekspor merupakan total barang dan jasa yang dijual oleh sebuah negara ke negara lain, termasuk diantara barangbarang, asuransi, dan jasa-jasa pada suatu tahun tertentu (Priadi, 2000). Ekspor merupakan barang dan jasa yang diproduksi di dalam negeri yang dijual secara luas ke luar negeri (Mankiw, 2006). Kegiatan ekspor adalah sistem perdagangan dengan cara mengeluarkan barang-barang dari dalam negeri keluar wilayah pabean Indonesia dengan memenuhi ketentuan yang berlaku. Ekspor merupakan total barang dan jasa yang dijual oleh negara ke 22

negara lain, termasuk diantara barang-barang, asuransi, dan jasa pada suatu tahun tertentu (Sasandara, 2005). Selanjutnya pengertian ekspor menurut Todaro (2002) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ekspor adalah: Kegiatan perdagangan internasional yang memberikan rangsangan guna membutuhkan permintaan dalam negeri yang menyebabkan tumbuhnya industri-industri pabrik besar, bersamaan dengan struktur politik yang stabil dan lembaga sosial yang fleksibel. Berdasarkan uraian di atas, terlihat bahwa ekspor mencerminkan aktivitas perdagangan antar bangsa yang dapat memberikan dorongan dalam dinamika pertumbuhan perdagangan internasional, sehingga negara - negara yang sedang berkembang kemungkinan untuk mencapai kemajuan perekonomian setaraf dengan negara - negara yang lebih maju. Selanjutnya menurut Baldwin (2005) yang dimaksud dengan ekspor adalah salah satu sektor perekonomian yang memegang peranan penting melalui perluasan pasar antara beberapa negara, di mana dapat mengadakan perluasan dalam suatu industri, sehingga mendorong dalam industri lain, selanjutnya mendorong sektor lainnya dari perekonomian. Fungsi penting komponen ekspor dari perdagangan luar negeri adalah negara memperoleh keuntungan dan pendapatan nasional naik, yang pada gilirannya menaikkan jumlah output dan laju pertumbuhan ekonomi. Dengan tingkat output yang lebih tinggi lingkaran setan kemiskinan dapat dipatahkan dan pembangunan ekonomi dapat ditingkatkan (Jhingan, 2006). 2.3.3.1 Jenis Jenis Ekspor Jenis Kegiatan ekspor terbagi atas 2 bagian, yaitu : 23

1. Ekspor Langsung Ekspor Langsung adalah cara menjual barang atau jasa melalui perantara / eksportif yang bertempat di negara lain atau negara tujuan ekspor. Penjualan dilakukan melalui distributor dan perwakilan penjualan perusahaan. Kelebihannya : Produksi terpusat di negara asal dan kontrol terhadap distribusi lebih baik. Kelemahannya : Biaya transportasi lebih tinggi untuk produk dalam skala besar dan adanya hambatan perdagangan serta proteksionisme. 2. Ekspor tidak langsung Ekspor tidak langsung adalah teknik dimana barang dijual melalui perantara/eksportir negara asal kemudian dijual oleh perantara tersebut. Melalui perusahaan, perusahaan manajemen ekspor (export management comapanies) dan perusahaan pengekspor (export trading companies). Kelebihannya : Sumber daya produksi terkonsentrasinya dan tidak perlu menangani ekspor secara langsung. Kelemahannya : 24

Kontrol terhadap distribusi kurang dan pengetahuan terhadap operasi di negara lain kurang. 2.3.3.2 Dokumen Ekspor 1. Dokumen Utama: a. PEB (Pemberitahuan Ekspor Barang) b. B/L (Bill of Lading) untuk angkutan laut c. Invoice d. Packing List 2. Dokumen Pelengkap: a. SKA (Surat Keterangan Asal / COO (Certificate of Origin) b. SM (Sertifikat Mutu) c. LPS-E (Laporan Pemeriksaan Surveyor Ekspor) 2.3.4 Pengertian Impor dan Kegiatannya Kata kata Impor sudah sering terdengar sebelumnya, namun pengertian impor itu sendiri dapat diartikan sebagai berikut : Menurut Hamdani (2003:2) impor adalah : Membeli barang dari luar negeri ke dalam peredaran Republik Indonesia dan barang yang dibeli tersebut harus dilaporkan kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Departemen Keuangan. Sedangkan menurut Djauhari Ahsjar (2007:153) Impor adalah Memasukan barang dari luar negri kedalam wilayah pabean Indonesia dengan memenuhi ketentuan yang berlaku. Definisi Impor Undang-Undang Kepabeanan Indonesia seperti yang dibukukan dalam UU 25

No.10 tahun 1995 tentang Kepabeanan Pasal 1 ayat 14 bahwa yang dimaksud impor adalah Kegiatan memasukan barang kedalam daerah pabean. 2.3.4.1 Pemeriksaan Pabean dan Penetapan Jalur Menurut Sunarno (2010:10) Pemeriksaan Pabean Secara Selektif Terhadap Barang Impor yang telah diajukan PIB dilakukan pemeriksaan pabean secara selektif berdasarkan manajemen resiko, meliputi penelitian dokumen dan pemeriksaan fisik barang. Dalam rangka pemeriksaan pabean secara selektif ditetapkan jalur pengeluaran, sebagai berikut: a. Jalur Merah Jalur Merah adalah proses pelayanan dan pengawasan pengeluaran Barang Impor dengan dilakukan pemeriksaan fisik dan penelitian dokumen sebelum penerbitan SPPB. b. Jalur Kuning Jalur Kuning adalah proses pelayanan dan pengawasan Barang Impor dengan tidak melakukan pemeriksaan fisik,tetapi dilakukan dokumen sebelum penerbitan SPPB. c. Jalur Hijau Jalur Hijau adalah proses pelayanan dan pengawasan pengeluaran Barang Impor dengan tidak dilakukan pemeriksaan fisik, tetapi dilakukan penelitian dokumen setelah penerbitan Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB). d. Jalur MITA Non-Prioritas 26

Jalur MITA Non-Prioritas adalah proses pelayanan dan pengawasan pengeluaran Barang Impor oleh Importir dengan langsung diterbitkan SPPB tanpa dilakukan pemeriksaan fisik dan penelitian dokumen, kecuali dalam hal: a) Barang Ekspor yang dimpor kembali; b) Barang yang terkena pemeriksaan acak; c) Barang Impor tertentu yang ditetapkan Pemerintah. dan diterbitkan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Fisik (SPPF) yang merupakan izin untuk pemeriksaan fisik ditempat Impotir, maka diterbitkan SPPB setelah selesainya penelitian dokumen. e. Jalur MITA Prioritas Jalur MITA Prioritas adalah proses pelayanan dan pengawasaan pengeluaran Barang Impor oleh Importir Jalur Prioritas dengan langsung diterbitkan SPPB tanpa dilakukan pemeriksaan fisik dan penelitian dokumen. 2.3.4.2 Proses Pemasukan Barang Impor dari Luar Negeri Negara Indonesia sebagai negara importir menurut Djauhari Ahsjar (2007:206) adalah Importir terima asli dokumen lengkap dari eksportir melalui opening bank, kemudian importir mengisi formulir Pemberitahuan Impor Barang (PIB) yang dikeluarkan oleh Kantor Bea dan Cukai. Menurut Suharto, AM dan Eko Probo (2007:65) mengemukakan bahwa barang-barang impor harus melewati 27

pemeriksaan Pabean yang meliputi pemeriksaan dokumen dan pemeriksaan barang secara fisik. Menurut Sunarno (2010:15) Tata Kerja Penyelesaian Barang Impor Untuk Dipakai dengan PIB yang disampaikan Melalui Sistem PDE Kepabeanan dimulai dari pendaftaran PIB, lebih lanjut dijelaskan sbb : a) Importir mengisi PIB secara lengkap dengan menggunakan program aplikasi PIB, dengan mendasarkan pada data dan informasi dari dokumen pelengkap pabean. b) Importir melakukan pembayaran Bea Masuk (BM), Cukai, PDRI, dan PNBP melalui Bank Devisa Persepsi/ Pos Persepsi yang telah terhubung dengan sistem PDE Kepabeanan, kecuali untuk Importir yang menggunakan fasilitas pembayaran berkala. c) Importir mengirim data PIB secara elektronik ke SKP di Kantor Pabean melalui portal INSW. Portal INSW melakukan penelitian tentang pemenuhan ketentuan larang/ pembatasan atas barang impor yang diberitahukan. Dalam hal hasil penelitian menunjukkan barang impor yang diberitahukan terkena ketentuan larangan/ pembatasan dan persyaratannya belum dipenuhi, portal INSW mengembalikan data PIB kepada Importir diajukan kembali setelah dipenuhi. Dalam hal hasil penelitian menunjukan barang yang impor: a) Tidak terkena ketentuan larangan/ pembatasan atau ketentuan larangan/ pembatasannya telah dipenuhi, portal INSW 28

meneruskan data PIB ke Sistem Komputer Pelayanan (SKP) di Kantor Pabean untuk diproses lebih lanjut. b) Perlu penelitian lebih lanjut terkait dengan ketentuan larangan/ pembatasan, portal INSW meneruskan data PIB ke SKP di Kantor Pabean untuk diproses lebih lanjut. c) Bank Devisa Persepsi/ Pos Persepsi mengirim credit advice secara elektronik ke SKP di Kantor Pabean. d) SKP di Kantor Pabean menerima data PIB dan melakukan penelitian ada atau tidak adanya pemblokiran Importir dan PPJK. e) Dalam hal hasil penelitian menunjukan Importir diblokir, SKP menerbitkan respons penolakan. f) Dalam hal hasil penelitan menunjukan Importir tidak diblokir. 2.3.5 Dasar Pengenaan Pajak Pada dasarnya, Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai Ekspor dan Impor memilki perbedaan. Terdapat PPN (0%) untuk Ekspor dan 10% untuk Impor yang terutang atas Nilai Impornya. Namun karena PT. Welgow Indopersada bergerak di bidang jasa yang memiliki jasa dalam menangani pengurusan dokumen dan pengiriman barang Impor dan Ekspor saja, maka PT. Welgrow Indopersada tidak dikenakan pajak atas Barang Kena Pajaknya, sehingga tidak ada perbedaan dalam tarif pajak pada transaksi Ekspor dan Impor. Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dihitung dengan mengalikan tarif dengan Dasar Pengenaan Pajak. dalam Pasal 8A Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga 29

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, disebutkan ada lima macam Dasar Pengenaan Pajak, yaitu : 1. Harga Jual Harga jual adalah nilai berupa uang termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai No 42 Tahun 2009 dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak. 2. Penggantian Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pemberi jasa karena penyerahan Jasa Kena Pajak tidak termasuk pajak yang dipungut menurut Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai No 42 Tahun 2009 dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak. 3. Nilai Impor Nilai Impor adalah nilai berupa uang, yang menjadi dasar penghitungan Bea Masuk ditambah pungutan lainnya yang dikenakan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundangundangan Pabean untuk impor Barang Kena Pajak. 4. Nilai Ekspor Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau yang seharusnya diminta oleh eksportir. 30

5. Nilai Lain Nilai Lain adalah suatu nilai berupa uang yang digunakan sebagai Dasar Pengenaan Pajak bagi penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang memenuhi kriteria tertentu Dalam jasa Freight Forwarding, dasar pengenaan pajaknya adalah Nilai Lain yang diatur dalam PMK-38/PMK.011/2013 tentang PPN Nilai Lain yang merupakan perubahan atas PMK-75/PMK.03/2010 2.3.6 Saat dan Tempat Terutangnya Pajak Pertambahan Nilai Berdasarkan Mardiasmo (2011) Pajak Pertambahan Nilai akan terutang pada saat: 1. Penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak; 2. Impor Barang Kena Pajak; 3. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; 4. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean; 5. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud; 6. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; 7. Ekspor Jasa Kena Pajak; 8. Pembayaran, pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak atau sebelum peyerahan Jasa Kena Pajak atau dalam hal pembayaran dilakukan sebelum dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean. 31

2.3.7 Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa Freight Forwarding A. Dasar Hukum Sampai saat ini belum ada peraturan pajak yang mengatur secara khusus perlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas jasa freight forwarding, tetapi ada beberapa ketentuan yang dapat dipakai sebagai dasar hukum perlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas jasa freight forwarding antara lain: 1. Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Pajak Pertambahan Nilai. 2. Peraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000 Tentang Jenis Jasa yang Tidak Dikenakan PPN. 3. Peraturan Pemerintah Nomor 146 Tahun 2000 jo Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2003 Tentang Jasa Kena Pajak yang Dibebaskan Dari Pengenaan PPN. 4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2008 Tentang Jenis Jasa Lain yang Termasuk Jasa Kena Pajak. 5. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 527/KMK.03/2003 jo. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 28/PMK.03.2006 Tentang Perlakuan PPN Atas Jasa Dibidang Angkutan Umum di Darat dan Air. 6. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 567/KMK.04/2000 jo Keputusan Menteri Keuangan Nomor KMK 251/KMK.03/2002 Menyebutkan Nilai Lain. 7. Peraturan Menteri Keuangan PMK-38/PMK.011/2013 menyebutkan perubahan Nilai Lain yang diatur dalam PMK- 32

75/PMK.03/2010 Masing-masing dasar hukum perlakuan Pajak Pertambahan Nilai atau jasa Freight Forwarding akan dijelaskan dibawah ini : 1. Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Nomor 42 Tahun 2009 Dalam Pasal 1 disebutkan bahwa Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan yang dikenakan pajak berasarkan undang-undang ini. Dalam Pasal 4 disebutkan bahwa yang menjadi Objek Pajak Pertambahan Nilai adalah penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha dan pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean. 2. Peraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000 Tentang Jenis Jasa yang Tidak Dikenakan PPN Pasal 5 peraturan ini menyebutkan jenis jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai dengan rincian sebagai berikut : a. Jasa di bidang pelayanan kesehatan medik; b. Jasa di bidang pelayanan sosial; c. Jasa di bidang pengiriman surat dengan perangko; d. Jasa di bidang perbankan, asuransi, dan sewa guna usaha 33

dengan hak opsi; e. Jasa di bidang keagamaan; f. Jasa di bidang penididikan; g. Jasa di bidang kesenian dan hiburan yang telah dikenakan Pajak Hiburan; h. Jasa di bidang penyiaran yang bukan bersifat iklan; i. Jasa di bidang angkutan umum di darat dan di air; j. Jasa di bidang tenaga kerja; k. Jasa di bidang perhotelan; dan l. Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum. 3. Peraturan Pemerintah Nomor 146 Tahun 2000 jo Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2003 Tentang Jasa Kena Pajak yang Dibebaskan Dari Pengenaan PPN Dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah ini disebutkan bahwa kelompok Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai adalah jasa yang diterima oleh Perusahaan Angkutan Laut Nasional, Perusahaan Penangkapan Ikan Nasional, Perusahaan Kepelabuhan Nasional atau Perusahaan Penyelenggara Angkutan Sungai, Danau dan Penyebrangan Nasional yang meliputi : a. Jasa yang diterima oleh Perusahaan Angkatan Udara jasa persewaan kapal; b. Jasa kepelabuhan meliputi jasa tunda, jasa pandu, jasa tambat dan jasa labuh; 34

c. Jasa perawatan atau reparasi (docking) kapal. 4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2008 Tentang Jenis Jasa Lain yang Termasuk Jasa Kena Pajak Dalam Pasal 1 disebutkan mengenai jenis jasa lain yang termasuk dalam pengertian penyerahan Jasa Kena Pajak. Dari seluruh jasa yang disebutkan, ada beberapa jasa yang berhubungan dengan Freight Forwarding antara lain : a. Jasa perantara dan/ atau keagenan; b. Jasa Pengepakan; c. Jasa Penambangan dan jasa penunjang di bidang penambangan selain migas. Jasa Freight Forwarding dalam arti sempit dapat juga disebut sebagai jasa keagenan. Forwarder dalam melakukan bisnisnya bertindak sebagai agen karena mewakili kepentingan pemilik barang untuk mengurus pengiriman barangnya. Dalam definisinya, jasa Freight Forwarding juga melayani konsumen/pemilik barang dalam urusan pengepakan barang. Dalam Pasal 2 disebutkan yang termasuk penyerahan jasa penambangan dan jasa penunjang di biang penambangan selain migas adalah jasa pengangkutan/sistem transportasi, kecuali jasa angkutan umum. 5. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 527/KMK.03/2003 jo Peraturan Menteri Keuangan Nomor 28/PMK.03/2006 Tentang Perlakuan PPN Atas Jasa Dibidang Angkutan Umum di Darat dan Air 35

Ketentuan ini menerangkan bagaimana perlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa di bidang angkutan umum di darat dan di air. Dalam peraturan ini menyebutkan bahwa atas penyerahan jasa angkutan umum di darat dan di air tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai, yaitu: a. Penyerahan Jasa Angkutan Umum di jalan menggunakan kendaraan Angkutan Umum dan penyerahan Jasa Angkutan Kereta Api; b. Penyerahan Jasa Angkutan Umum di air yang meliputi penyerahan : 1. Jasa Angkutan Umum di Laut; 2. Jasa Angkutan Umum di Sungai dan Danau; 3. Jasa Angkutan Umum Penyebrangan. Sedangkan atas penyerahan jasa pemindahan orang atau barang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sepanjang jasa tersebut dilakukan dengan menggunakan sarana angkutan laut/sarana angkutan di sungai dan danau/sarana angkutan penyebrangan yang dilakukan dengan cara : a. Ada perjanjian lisan atau tertulis; b. Kapal digunakan hanya untuk mengangkut muatan milik 1 (satu) pihak dan / atau untuk mengangkut orang, yang terikat perjanjian dengan Pengusaha Angkatan Laut/Pengusaha Angkatan di sungai dan danau/pengusaha Angkutan Penyebrangan, dalam satu 36

perjalanan (trip). 6. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 567/KMK.04/2000 jo Keputusan Menteri Keuangan Nomor KMK 251/KMK.03/2002 Menyebutkan Nilai Lain Keputusan Menteri ini mengatur Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak untuk jasa pengiriman paket yaitu sebesar 10% dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih. Jadi, Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas jasa pengiriman paket sebesar 1% dari total tagihan (10% x (10% x nilai kontrak). Pajak Masukan yang berhubungan dengan penyerahan jasa pengiriman paket tidak dapat dikreditkan karena dalam Nilai Lain telah diperhitungkan Pajak Masukannya. 7. Peraturan Menteri Keuangan PMK-38/PMK.011/2013 menyebutkan perubahan Nilai Lain yang diatur dalam PMK- 75/PMK.03/2010 Pasal 2 menyebutkan bahwa Nilai Lain untuk penyerahan jasa pengurusan transportasi (Freight Forwarding) yang di dalam tagihan jasa pengurusan transportasi tersebut terdapat biaya transportasi (Freight charges) adalah 10% dari jumlah yang ditagih atau seharusnya ditagih. B. Mekanisme Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai Dari uraian dasar hukum di atas, maka dapat diartikan bahwa jasa Freight Forwarding termasuk dalam pengertian penyerahan Jasa Kena Pajak sehingga dalam pelaksanaannya Forwarder harus memungut Pajak Pertambahan Nilai atas jasa yang diberikannya 37

kepada konsumen. Dalam menghitung Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas jasa Freight Forwarding, maka Dasar Pengenaan Pajak yang digunakan adalah sebesar Nilai Penggantian. Besarnya Pajak Pertambahan Nilai yang terutang tergantung dari bentuk tagihan yang dibuat apakah reimbursment atau tidak (tagihan biasa) atas jasa Freight Fowarding yang diberikan, yaitu : 1. Reimbursement, dimana jumlah yang ditagih pemberi jasa (Freight Forwarder) kepada penerima jasa (konsumen/pemilik barang) adalah tagihan (invoice) dari pihak ketiga (perusahaan pengangkutan) yang dibuat langsung atas nama konsumen/pemilik barang/penjual. Sedangkan Freight Forwarder hanya meneruskan tagihan tersebut ke konsumen/pemilik barang. Tagihan reimbursement tidak memenuhi pengertian sebagai Nilai Penggantian (semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pemberi jasa). Berdasarkan penjelasan dalam Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S-807/PJ.53/2004 tanggal 10 September 2004, Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S-917/PJ.53/2004 tanggal 27 Agustus 2004 dan Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S- 917/PJ.53/2003 tanggal 16 September 2003 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa Freight Forwarding maka Dasar Pengenaan Pajak yang dipakai bukanlah sebesar reimbursement, tetapi sebesar tagihan Freight Forwarder atas jasanya saja kepada konsumen/pemilik barang. 2. Tagihan Forwarder, dimana tagihan pihak ketiga (perusahaan 38

pengangkutan) dibuat atas nama Freight Forwarder sehingga pemberi jasa (Forwarder) membuat tagihan baru atas nama Freight Forwarder kepada penerima jasa (konsumen/pemilik barang) untuk menagih biaya pengangkutan dari pihak ketiga ditambah dengan biaya jasa Freight Forwarding. Tagihan reimbursement ini telah memenuhi pengertian sebagai Nilai Penggantian (semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pemberi jasa). Berdasarkan penjelasan dalam Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S-807/PJ.53/2004 tanggal 10 September 2004, Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S-766/PJ.53/2004 tanggal 27 Agustus 2004 dan Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S-917/PJ.53/2003 tanggal 16 September 2003 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa Freight Forwarding, maka besarnya Dasar Pengenaan Pajak adalah total biaya dalam tagihan baru yang dibuat atas nama Forwader sendiri 39

40

41