BAB III PERBARENGAN DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA DAN JENIS- JENIS SANKSI PIDANANYA. 1. Pengertian perbarengan tindak pidana

dokumen-dokumen yang mirip
II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059]

Dalam Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2009, sanksi bagi pelaku kejahatan narkoba adalah sebagai berikut :

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 31/PUU-XV/2017 Pidana bagi Pemakai/Pengguna Narkotika

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan

BAB IV ANALISIS PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KURIR NARKOTIKA. A. Sanksi Yang Dapat Dikenakan Kepada Anak Yang Menjadi Kurir

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang,

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam Undang-

BAB V PENUTUP. unsur-unsurnya adalah sebagai berikut : dapat diminta pertanggung jawaban atas perbuatannya.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana

Bab IX : Sumpah Palsu Dan Keterangan Palsu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Pidana Penjara Seumur Hidup (selanjutnya disebut pidana seumur hidup)

TINJAUAN HUKUM PIDANA TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG KEBIJAKAN PENGATURAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI INDONESIA

BAB II PENGATURAN TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM PECANDU NARKOTIKA. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat) dan

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

PENDAHULUAN. penyalahgunaan, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi dan keamanan nasional,

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang

BAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan

: UPAYA PERLINDUNGAN ANAK BERHADAPAN HUKUM DALAM SISTEM PERADILAN ANAK FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA ABSTRAK

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana. Belanda yaitu strafbaar feit yang terdiri dari tiga kata, yakni straf

BAB I PENDAHULUAN. mengenai adanya suatu samenloop van strafbare feiten, apabila di dalam. salah satu dari tindakan-tindakan yang telah dilakukan.

BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI TINDAK PIDANA NARKOTIKA. 2.1 Pengaturan Hukum tentang Tindak Pidana Narkotika dalam Undang- Undang Nomor 9 Tahun 1976

PELAKSANAAN SANKSI PIDANA DENDA PADA TINDAK PIDANA PSIKOTROPIKA

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis

PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR. Suwarjo, SH., M.Hum.

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ATMAJAYA YOGYAKARTA

II. TINJAUAN PUSTAKA. arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah tersebut dapat berkonotasi dengan bidang-bidang

Pelaksanaan Pidana Mati kemudian juga diatur secara khusus dalam Peraturan Kapolri Nomor 12 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati

BAB III PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM BAGI PENGEDAR DAN PENYALAH GUNA MAGIC MUSHROOM. 3.1 Pertanggungjawaban Hukum Bagi Pengedar Magic Mushroom

KETENTUAN-KETENTUAN HUKUM PIDANA YANG ADA KAITANNYA DENGAN MEDIA MASSA. I. Pembocoran Rahasia Negara. Pasal 112. II. Pembocoran Rahasia Hankam Negara

BAB III PERKEMBANGAN PENGATURAN TENTANG TINDAK PIDANA NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA SEBELUM LAHIRNYA DAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ]

II. TINJAUAN PUSTAKA. dimana keturunan tersebut secara biologis berasal dari sel telur laki-laki yang kemudian

BAB II PENERAPAN KONSEP NOODWEER DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN SEBAGAI AKIBAT ADANYA TINDAK PIDANA KEHORMATAN KESUSILAAN

BAB III PENAMBAHAN 1/3 HUKUMAN MENURUT HUKUM POSITIF. sempit yang berkaitan dengan hukum pidana. 1. suatu pembalasan tersirat dalam kata pidana.

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Bab XIV : Kejahatan Terhadap Kesusilaan

BAB I PENDAHULUAN. eksistensi negara modern, dan oleh karena itu masing-masing negara berusaha

BAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II PERAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN HUKUMAN DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA

UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA [LN 1997/67, TLN 3698]

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. dalam kesatuan langkah menuju tercapainya tujuan pembangunan tersebut.

POLITIK HUKUM PEMERINTAH DALAM PENYUSUNAN RUU KUHP. Prof. Dr. Enny Nurbaningsih, S.H.,M.Hum. Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

EKSISTENSI PIDANA DENDA MENURUT SISTEM KUHP 1 Oleh : Aisah 2

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

I. PENDAHULUAN. dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu

Lex Administratum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016

BAB I PENDAHULUAN. Setiap tahun kenakalan anak selalu terjadi. Apabila dicermati

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pasal 1 angka 11 Bab 1 tentang Ketentuan Umum Kitab Undang-Undang Hukum

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2008

II. TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Kurir Narkotika. (Study Putusan No. 14/Pid.Sus Anak/2015/PN. Dps) Siti Zaenab

Bab XXV : Perbuatan Curang

II. TINJAUAN PUSTAKA. umur harus dipertanggungjawabkan. Dalam hukum pidana konsep responsibility

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya

BAB III ANALISIS PERBANDINGAN PENGANIYAAN TERHADAP IBU HAMIL YANG MENGAKIBATKAN KEGUGURAN JANIN ANTARA HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM PIDANA POSITIF

PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMALSUAN DAN PENGEDARAN UANG PALSU SKRIPSI

PERSPEKTIF DAN PERAN MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN PIDANA ALTERNATIF

PELAKSANAAN PUTUSAN PIDANA PEMBAYARAN UANG PENGGANTI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI SURAKARTA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

I. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian pidana yang bersifat khusus ini akan menunjukan ciri-ciri dan sifatnya yang khas

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid),

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB III PIDANA BERSYARAT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

BAB V PENUTUP. pembahasan, maka telah didapat pokok-pokok kesimpulan dalam penulisan

peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, untuk

PENERAPAN SANKSI YANG BERKEADILAN TERHADAP ANAK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara hukum ( rechtstaats), maka setiap orang yang

Berlin Nainggolan: Hapusnya Hak Penuntutan Dalam Hukum Pidana, 2002 USU Repository

Bab XII : Pemalsuan Surat

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP SANKSI ABORSI YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DIBAWAH UMUR

PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP PENYALAHGUNAAN PSIKOTROPIKA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN Oleh: Oktaphiyani Agustina Nongka 2

I. PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Perubahan ke-4 Undang-Undang Dasar Hal ini. tindakan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia.

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DALAM PUTUSAN NOMOR 1/PID.SUS-ANAK/2016/PN.

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

KATA PENGANTAR. Saya adalah mahasiswi Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

Transkripsi:

BAB III PERBARENGAN DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA DAN JENIS- JENIS SANKSI PIDANANYA A. Tindak Pidana Perbarengan (concursus) 1. Pengertian perbarengan tindak pidana Gabungan melakukan tindak pidana sering diistilahkan dengan concursus atau samenloop. Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai pengertian perbarengan tindak pidana maka perlu diketahui bagaimana pendapat para sarjana hukum dalam memberikan definisi mengenai Perbarengan tindak pidana ini. Menurut KUHP gabungan melakukan tindak pidana sering diistilahkan dengan Samenloop van Strafbare Feiten yaitu satu orang yang melakukan beberapa peristiwa pidana. 1 Pakar hukum seperti Von Lizt menyebut perbarengan tindak pidana dengan istilah gesetzeskonkurrenz, artinya gabungan peraturan undang-undang, karena satu perbuatan atau feit hanya dapat mengakibatkan satu feit saja. 2 Perbarengan tindak pidana adalah terjadinya dua atau lebih tindak pidana oleh satu orang dimana tindak pidana yang pertama kali dilakukan belum dijatuhi pidana, atau antara tindak pidana yang pertama dengan tindak pidana berikutnya belum dibatasi oleh suatu putusan hakim. 3 Delik perbarengan tindak pidana merupakan perbuatan pidana yang berbentuk 1 E. Utrecht, Hukum Pidana II, Pustaka Tinta Mas,Surabaya, 1994, hlm. 137. 2 Ibid. hlm. 139 3 Mahrus Ali, Op. Cit., hlm. 134 44

Khusus, kerena beberapa perbuatan pidana yang terjadi hakikatnya hanya dilakukan oleh satu orang (samenloop van strafbare feiten). 4 2. Macam-macam Perbarengan (Concursus) Dalam hukum pidana, perbarengan tindak pidana terdiri dari tiga hal, perbarengan peraturan (concursus idealis), perbuatan berlanjut (vorgezette handelings), dan perbarengan perbuatan (concursus realis). 5 a. Perbarengan Peraturan (concursus idealis) Perbarengan Perbuatan atau yang dalam bahasa Belanda diistilahkan dengan eendaadse samenloop yang tercantum dalam pasal 63 KUHP yang berbunyi : (1) Jika sesuatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang dikenakan hanya salah satu diantara Aturan-aturan itu, jika berbeda-beda, yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat. (2) Jika sesuatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan. Concursus Idealis terjadi apabila seorang melakukan satu tindak pidana tetapi dengan melakukan satu tindak pidana itu ia memenuhi rumusan dari beberapa ketentuan pidana (perbarengan peraturan). Contohnya : perkosaan dimuka umum, selain melanggar pasal 285 sekaligus juga pelanggaran pasal 281 tentang kesusilaan. b. Perbuatan Berlanjut (vorgezette handelings) 4 Aruan Sakidjo dan Bambang Poernomo, Hukum Pidana Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Kodifikasi, Ghalia Indonesia, Jakarta,1990. hlm. 169. 5 Mahrus Ali, Op.Cit, hlm. 135 45

Disebut perbuatan berlanjut yaitu apabila seseorang yang dalam kenyataannya memang melakukan beberapa perbuatan pidana, tetapi antara perbuatan pidana yang satu dan yang lainnya masing-masing berhubungan erat satu sama lain karena bersumber dari satu niat jahat pelaku tindak pidana. Dalam KUHP perbarengan yang berbentuk perbuatan berlanjut diatur dalam pasal 64 yang berbunyi : 6 (1) Jika antara beberapa perbuatan, meskipun perbuatan itu masingmasing merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan yang berlanjut, maka hanya diterapkan satu aturan pidana; jika berbeda-beda, yang diterapkan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat. (2) Demikian pula hanya dikenakan satu aturan pidana, jika orang dinyatakan bersalah melakukan pemalsuan atau perusakan mata uang, dan menggunakan barang yang dipalsu atau dirusak itu (3) Akan tetapi jika orang yang melakukan kejahatan-kejahatan tersebut dalam pasal 364, 373, 379 dan pasal 407 ayat I, sebagai perbuatan berlanjut dan nilai kerugian yang ditimbulkan jumlahnya melebihi dari tiga ratus tujuh puluh lima rupiah, maka dikenakan aturan pidana tersebut dalam pasal 362, 372, 378, atau 406. Berdasarkan ketentuan dalam pasal 64 diatas, perbuatan berlanjut terjadi apabila tindakan masing-masing yang dilakukan merupakan kejahatan atau pelanggaran, akan tetapi ada hubungan yang sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai tindakan berlanjut. 7 Ciri-ciri pokok sebagai kejahatan atau pelanggaran yang sedemikian rupa adalah : 8 1) Rentetan perbuatan pidana yang terjadi harus timbul dari satu kehendak atau niat jahat; 6 Ibid, hlm. 137-138 7 Erdianto Efendi, Op Cit, hlm. 185 8 Mahrus Ali, Op Cit, hlm.139 46

2) Beberapa perbuatan pidana yang dilakukan haruslah sejenis atau sama kualifikasi deliknya; 3) Jarak waktu antara melakukan perbuatan pidana yang satu dengan perbuatan pidana yang lain tidak boleh terlalu lama. c. Perbarengan Perbuatan (concursus realis) Perbarengan perbuatan terjadi apabila seseorang yang melakukan dua atau lebih tindak pidana sehingga karenanya ia secara hukum dipandang telah melanggar dua atau lebih aturan pidana, atau dengan kata lain seorang melakukan beberapa perbuatan yang tidak ada hubungannya satu sama lain dan masingmasing perbuatan itu merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri. 9 Concursus realis diatur dalam pasal 65 sampai pasal 71 KUHP. 3. Perbarengan Tindak Pidana Narkotika Perumusan tindak pidana narkotika dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Bab XV bersifat sangat luas dan satu tindak pidana dapat termasuk juga dalam rumusan tindak pidana yang lain (all embracing), dengan demikian maka suatu perbuatan yang telah memenuhi rumusan suatu tindak pidana narkotika dapat pula memenuhi rumusan tindak pidana yang lain. Sebagai ilustrasi: perbuatan yang tanpa hak dan melawan hukum memproduksi narkotika Golongan I sebagaimana dilarang dalam Pasal 113 ayat (1) pasti juga memenuhi tindak pidana berdasarkan Pasal 112 ayat (1) yaitu secara tanpa hak 9 Amir Ilyas et al, Op Cit,hlm. 145 47

dan melawan hukum menguasai narkotika Golongan I. Bukankah seseorang yang memproduksi berarti juga pasti menguasai narkotika yang diproduksinya. sifat all embracing tersebut dalam asas-asas dan ilmu hukum pidana menyebabkan terjadinya concursus idealis atau perbarengan peraturan. Menurut ketentuan Pasal 63 ayat (1) KUHP apabila suatu perbuatan memenuhi Iebih dari satu aturan pidana sebagaimana ilustrasi diatas, maka hanya dikenakan satu aturan yang memuat ancaman pidana paling berat. Apabila diantara aturan-aturan tersebut terdapat hubungan sebagai lex specialis dan lex generalis maka yang berlaku adalah ketentuan yang bersifat khusus sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 63 ayat (2) KUHP. 10 Tindak Pidana Narkotika bagi pengguna rangkap pengedar termasuk dalam tindak pidana perbarengan karena terjadinya dua atau lebih tindak pidana dilakukan oleh satu orang yang mana tindak pidana yang pertama belum dijatuhi pidana, antara tindak pidana yang awal dengan tindak pidana berikutnya belum dibatasi oleh suatu putusan hakim. Tindak pidana tersebut termasuk Concursus Realis, Perbarengan perbuatan terjadi apabila seseorang yang melakukan dua atau lebih tindak pidana sehingga karenanya ia secara hukum dipandang telah melanggar dua atau lebih aturan pidana, atau dengan kata lain seorang melakukan beberapa perbuatan yang tidak ada hubungannya satu sama lain dan masingmasing perbuatan itu merupakan tindak pidana yang berdiri sendiri.. 11 10 http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/downloadpdf/b5274ecedfbe1a1438cf1ffc 9d5e2336 11 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 2; Penafsiran Hukum Pidana, Dasar Peniadaan, Pemberatan & Peringanan, Kejahatan Aduan, Perbarengan & Ajaran Kausalitas, Kencana, Jakarta, 2011, hlm. 46 48

Apabila hanya penyalahguna rangkap pengedar maka akan dikenakan hukuman yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat dalam artian berarti terdakwa dipidana dengan pidana penjara seumur hidup dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) seperti yang tertera dalam pasal 114 tentang pengedar, namun walaupun dijatuhi hukuman terberat pengedar bisa saja mendapatkan tindakan rehabilitasi, apabila terdakwa terbukti sebagai pengguna rutin yang tidak lain adalah pecandu narkotika. Pecandu Narkotika bisa mendapatkan tindakan rehabilitasi saat di lapas yang berarti itu adalah seperti hukuman bagi para pecandu saja tapi perlu digaris bawahi bahwa hanya pengedar yang membutuhkan rehabilitasi dalam keadaan darurat dan di sertai keterangan dokter saja yang dapat melakukan tindakan rehabilitasi. 12 B. Tujuan Pemidanaan Menurut Sudarto, tujuan pemidanaan pada hakikatnya merupakan tujuan umum negara. Sehubungan dengan hal tersebut, maka politik hukum adalah berarti usaha untuk mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu dan untuk samasama yang akan datang. Sudarto mengemukakan bahwa tujuan pemidanaan adalah : 13 12 http://www.solopos.com/2015/09/24/kasus-narkoba-banyak-pengedar-berlindung-dipasal-pengguna-645846 13 Soedarto, Hukum Pidana Dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru, Bandung, 1983. hlm. 83 49

a. Untuk menakut-nakuti agar orang agar jangan sampai melakukan kejahatan orang banyak maupun menakut-nakuti orang tertentu orang tertentu yang sudah melakukan kejahatan agar di kemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi. b. Untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang sudah menandakan suka melakukan kejahatan agar menjadi orang yang baik tabiatnya, sehingga bermanfaat bagi masyarakat; c. Untuk mencegah dilakukannya tindak pidana demi pengayoman negara, masyarakat, dan penduduk, yakni : 1) Untuk membimbing agar terpidana insaf dan menjadi anggota masyarakat yang berbudi baik dan berguna 2) Untuk menghilangkan noda-noda yang diakibatkan oleh tindak pidana. Menentukan tujuan pemidanaan menjadi persoalan yang dilematis, terutama dalam menentukan apakah pemidanaan ditujukan untuk melakukan pembalasan atas tindak pidana yang terjadi atau merupakan tujuan yang layak dari proses pidana sebagai pencegahan tingkah laku yang anti sosial. Menentukan titik temu dari dua pandangan tersebut jika tidak berhasil dilakukan, memerlukan formulasi baru dalam sistem atau tujuan pemidanaan dalam hukum pidana. Pemidanaan mempunyai beberpa tujuan yang bisa dikasifikasikan berdaarkan teori-teori tentang pemidanaan. 14 14 Zainal Abidin, 2005. Op. cit. hlm. 10 50

Perkembangan teori tentang pemidanaan selalu mengalami pasang surut dalam perkembangannya. Teori pemidanaan yang bertujuan rehabilitasi telah dikritik karena didasarkan pada keyakinan bahwa tujuan rehabilitasi tidak dapat berjalan. Maka pada tahun 1970 telah terdengar tekanan-tekanan bahwa treatment terhadap rehabilitasi tidak berhasil serta indeterminate sentence tidak diberikan dengan tepat tanpa garis-garis pedoman. 15 Menurut Muladi, dalam tujuan pemidanaan dikenal istilah restorative justice model yang mempunyai beberapa karakteristik, yaitu : 16 a. Kajahatan dirumuskan sebagai pelanggaran seorang terhadap orang lain dan diakui sebagai konflik; b. Titik perhatian pada pencegahan masalah pertanggungjawaban dan kewajiban pada masa depan; c. Sifat normatif dibangun atas dasar dialog dan negosiasi; d. Restitusi sebagai sarana perbaikan para pihak, rekonsiliasi dan restorasi sebagai tujuan utama; e. Keadilan dirumuskan sebagai hubungan- hubungan hak, dinilai atas dasar hasil; f. Sasaran perhatian pada perbaikan kerugian sosial; g. Masyarakat memerlukan fasilitator di dalam proses restoratif; h. Peran korban dan pelaku tindak pidana diakui, baik dalam masalah maupun dalam penyelesaian hak-hak dan kebutuhan korban. Pelaku tindak pidana didorong untuk bertanggung jawab; 15 Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System dan Implementasinya. Raja Grafindo Persada, Jakarta. 2002. hlm. 61 16 Muladi, Op. cit. hlm. 127-129 51

Pertanggungjawaban si pelaku dirumuskan sebagai dampak pemahaman terhadap perbuatan dan untuk membantu memutuskan yang terbaik. Tindak pidana dipahami dalam konteks menyeluruh, moral, sosial, dan ekonomis Stigma dapat dihapus melalui tindakan restoratif. C. Jenis-Jenis Sanksi Pidana Jenis-jenis sanksi pidana pada dasarnya telah diatur dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP). Pengaturan tentang sanksi pidana ini ditunjukkan sebagai upaya pemberian sanksi pada pelaku yang telah melakukan perbuatan melawan hukum, pemberian sanksi ini di dalam hukum pidana disebut dengan hukuman. Hukuman sendiri diatur dalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu: a. Pidana pokok : 1) Pidana Mati Jenis pidana ini, merupakan pidana yang terberat, pidana yang paling banyak mendapatkan sorotan dan perbedaan pendapat/pandangan, terdapat pro dan kontra baik dari kalangan ahli hukum Indonesia maupun luar Indonesia, dengan berbagai macam alasan dan argumentasinya masing-masing. 17 Pidana mati yang ada dalam KUHP Indonesia masih berlaku sampai saat ini, walaupun penjatuhan pidana mati hanya diberikan pada tindak pidana berat dan tindak pidana khusus (extra ordinary crimes) saja. Sanksi pidana mati 82. 17 I Made Widnyana, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta, PT. Fikahati Aneska, 2010. hlm. 52

merupakan hukum positif di Indonesia, yang diperkuat dengan dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2-3/PUU- V/2007 yang menyatakan bahwa sanksi pidana mati yang dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana tidak bertentangan dengan konstitusi dan HAM, sehingga penjatuhan sanksi pidana mati di Indonesia ini dapat diberikan pada tindak pidana-tindak pidana tertentu. 2) Pidana Penjara Pidana penjara merupakan pidana terberat kedua setelah pidana mati. Pidana penjara merupakan pidana utama diantara pidana hilang kemerdekaan. Lama pidana penjara, bisa seumur hidup dan dapat selama waktu tertentu. Pidana selama waktu tertentu, minimum (paling pendek) adalah satu hari dan maksimum (paling lama) lima belas tahun. Maksimum lima belas tahun dapat dinaikkan menjadi dua puluh tahun apabila: 18 a) Kejahatan diancam dengan pidana mati b) Kejahatan diancam dengan pidana penjara seumur hidup. c) Terjadi perbuatan pidana karena adanya perbarengan, recidive atau karena yang ditentukan dalam Pasal 52 dan 52 bis KUHP. d) Karena keadaan khusus, seperti misalnya Pasal 347 ayat (2), e) Pasal 349 KUHP. 3) Pidana Kurungan 18 Ibid, hlm. 97. 53

Pidana kurungan adalah lebih ringan daripada pidana penjara. Sifat lebih ringan ini jelas kelihatan dari pelaksanaanya. Terpidana kurungan ditempatkan dalam keadaan yang lebih baik, hal ini dapat dilihat dari halhal sebagai berikut: (1) Kurungan harus dijalani di dalam daerah dimana terpidana berdiam ketika putusan Hakim dijalankan, atau jika tidak mempunyai tempat kediaman, di dalam daerah dimana ia berada, kecuali kalau Menteri kehakiman atas permintaan terpidana membolehkan menjalani pidananya di daerah lain.pasal 21 KUHP. (2) Pekerjaan terpidana kurungan lebih ringan daripada pekerjaan yang diwajibkan kepada terpidana penjara. Pasal 19 ayat (2) KUHP. (3) Orang yang dipidana kurungan boleh memperbaiki nasibnya dengan biaya sendiri. Pasal 23 KUHP, lembaga yang diatur dalam pasal ini terkenal dengan nama pistole. Ringannya pidana kurungan dapat juga dilihat dari maksimum pidananya, dimana maksimum pidana kurungan adalah lebih pendek yaitu 1 tahun (dan dapat menjadi 1 tahun 4 bulan), sedangkan pidana penjara maksimum 15 tahun (dan dalam keadaan tertentu dapat menjadi 20 tahun). Sebagaimana halnya pidana penjara, pidana kurungan juga mengenal minimun umum dan maksimum umum. Minimum pidana kurungan adalah 1 hari dan maksimum pidana kurungan adalah 1 tahun. Dalam hal ada pemberatan pidana seperti: 54

(1) Karena perbarengan (2) Karena pengulangan (3) Karena ketentuan pasal 52 dan 52 bis KUHP, maksimum pidana kurungan dapat ditambah 1/3nya sehingga menjadi 1 tahun 4 bulan pidana kurungan tidak boleh lebih dari 1tahun 4 bulan. 4) Pidana Denda Berbeda dengan pidana penjara dan pidana kurungan, pidana denda hanya mengenal minimum umum yaitu tiga rupiah tujuh puluh lima sen sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat (1) KUHP. Ketentuan minimum denda dengan perhitungan sen itu harus dibaca rupiah sesuai dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1960 terutama Pasal 1 ayat (1), dimana kata sen harus dibaca rupiah dan dikalikan 15. Apabila pidana denda tidak dibayar, dapat diganti dengan kurungan Pasal 30 ayat (2) KUHP. Lamanya kurungan pengganti (denda) minimum 1 (satu) hari dan maksimum 6 (enam) bulan Pasal 30 ayat (3) KUHP, dalam keadaan tertentu seperti dalam hal perbarengan, pengulangan dan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 52 dan 52 bis KUHP, maksimum kurungan pengganti dapat ditambahkan 1/3 sehingga menjadi 8 bulan Pasal 30 ayat (5) KUHP. Maksimum kurungan pengganti, tidak boleh lebih dari 8 bulan Pasal 30 ayat (6) KUHP. 55

5) Pidana Tutupan Pidana tutupan ini ditambahkan kedalam Pasal 10 KUHP melalui Undang - Undang No. 20 tahun 1946, yang maksudnya sebagaimana tertuang dalam ( Pasal 2 ayat 1 ) yang menyatakan bahwa Dalam mengadili orang yang melakukan kejahatan, yang diancam dengan pidana penjara karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati, hakim boleh menjatuhkan pidana tutupan. Pada ayat dua dinyatakan bahwa pidana tutupan cara melakukan perbuatan itu atau akibat dari nperbuatan itu adalah sedemikian rupa sehingga hakim berpendapat bahwa pidana penjara lebih tepat. 19 b. Pidana tambahan : 1) Pencabutan Hak-hak Tertentu Menurut van Schravendijk, hukuman tambahan pencabutan hakhak tertentu itu sebetulnya lebih baik bersifat tindakan daripada hukuman sebab maksudnya terutama ialah: supaya si terhukum tidak dapat mengulang delik yang dilakukan olehnya. 20 Mengenai pencabutan hak-hak tertentu ini diatur dalam Pasal 35 s/d 38 KUHP. Pencabutan hak-hak tersebut di atas tidak dengan sendirinya karena hukum, tetapi harus melalui (dengan putusan hakim). Tenggang waktu pencabutan hak-hak tertentu tidaklah tanpa batas (selama-lamanya) tetapi untuk sementara waktu. Demikian juga tidak semua jabatan dapat diputuskan 19 P.A.F Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, Sinar Grafika, 2012, hlm 33 20 Van Schravendijk dalam I Made Widnyana, Op. cit, hlm. 113. 56

untuk dicabut oleh hakim, tetapi ada jabatan tertentu yang hanya dapat dicabut/dipecat oleh penguasa lain. 21 2) perampasan barang-barang tertentu Perampasan barang-barang tertentu, diatur dalam Pasal 39 s/d 41 KUHP. Barang-barang yang dapat dirampas itu dibagi dalam 2 (dua) golongan, yaitu: 22 a) Barang yang diperoleh dari kejahatan, seperti uang palsu yang diperoleh dari kejahatan pemalsuan uang, uang yang diperoleh dari kejahatan penyuapan, dsb. Barang ini disebut corpora delicti dan selalu dapat dirampas asal saja menjadi milik dari yang terhukum dan berasal dari kejahatan, baik dari kejahatan doleus maupun kejahatan culpose. Dalam hal ini corpora delicti itu diperoleh dari pelanggaran (overtreding), maka corpora delicti itu hanya dapat dirampas dalam hal-hal yang ditentukan oleh undang-undang, misalnya pasal-pasal 502 ayat (2) KUHP, 519 ayat (2) KUHP, 549 ayat (2) KUHP, dll. b) Barang yang dengan sengaja dipakai untuk melakukan kejahatan, misalnya sebuah pistol, sebuah pisau belati, sebuah golok, alat-alat untuk melakukan abortus, dll. Barang-barang ini disebut instrumenta delicti dan selalu dapat dirampas asal saja milik dari yang terhukum dan dipakai untuk melakukan 21 I Made Widnyana, Ibid, hlm. 115-116. 22 Ibid, hlm. 116-119. 57

suatu kejahatan doleus. Dalam hal instrumenta delicti itu digunakan untuk melakukan kejahatan culpose atau pelanggaran, maka instrumenta delicti itu hanya dapat dirampas dalam hal-hal yang ditentukan oleh undang-undang, misalnya pasal-pasal 205 ayat (2), 502 ayat (2), 519 ayat (2), 549 ayat (2), KUHP, dll. Perlu diperhatikan bahwa termasuk corpora delicti maupun instrumenta delicti itu meliputi juga hewan dan ternak. 3) pengumuman putusan hakim Putusan hakim selalu diucapkan dalam sidang terbuka dan terbuka untuk umum, kecuali apabila dipandang perlu sidang atau putusan dilakukan secara tertutup, tetapi hanya terhadap beberapa kasus tertentu saja seperti kasus yang menyangkut bidang kesusilaan. Pengumuman putusan hakim hanya dapat dilakukan terhadap perbuatan pidana tertentu saja, sebagaimana telah ditentukan dalam undangundang pidana seperti pasal 128 ayat 3 KUHP, pasal 206 ayat 2 KUHP, pasal 337 ayat 1 KUHP, pasal 395 ayat 1 KUHP, dll. Tujuan dari pidana tambahan ini, menurut Utrecht adalah untuk mencegah (prevensi) orang tertentu atau golongan orang tertentu melakukan jenis delik yang sering dilakukan, seperti menghindarkan diri dari membayar pajak (belasting ontduiking), menjual susu yang telah dicampur dengan air, dll. Dengan jalan pengumuman ini, masyarakat umum diberitahukan supaya berhati-hati dalam 58

pergaulan dengan orang tertentu atau golongan orang tertentu yang telah memperlihatkan diri sebagai orang yang tidak jujur, petualang, dsb. 23 Ketentuan pada Pasal 10 KUHP tersebut, jelaslah bahwa stelsel pidana kita menurut KUHP dibedakan dalam pidana pokok dan pidana tambahan, di samping itu urut-urutan dari pidana ini dimulai dari yang terberat ke yang lebih ringan. Pidana pokok jelas lebih berat dari pidana tambahan. Pidana tambahan biasanya hanya bisa ditambahkan pada salah satu pidana pokok, jadi bersifat imperatif (lihat pasal-pasal 250 bis, 261 KUHP dan 275 KUHP). Di dalam pidana pokok urut-urutannya adalah pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, dan pidana denda. 24. Penjatuhan sanksi pidana selain diatur dalam KUHP terdapat sanksisanksi lain diluar KUHP yang diatur di dalam peraturan perundang-undangan yang ada di Negara kita. Peraturan perundang-undangan yang ada dalam sistem hukum Negara kita lahir akibat adanya peristiwa-peristiwa hukum yang terjadi di masyarakat akan tetapi belum ada pengaturannya di dalam KUHP. Sehingga lahirlah peraturan perundang-undangan untuk memberantas dan meminimalisasi persitiwa-peristiwa hukum yang belum diatur tersebut, agar peristiwa tersebut tidak terus berkelanjutan dan merugikan Negara. D. Sanksi Pidana Tindak Pidana Narkotika 23 Utrecht dalam I Made Widnyana, Ibid., hlm. 121-123. 24 I Made Widnyana, Ibid., hlm. 79. 59

1. Sanksi Pidana Berdasarkan Undang-Undang Narkotika Tindak pidana Narkotika diatur didalam Undang-undang no.35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Tindak Pidana Narkotika adalah tindak pidana khusus, sebagai tindak pidana khusus, maka pengaturanya diperbolehkan menyimpang dari ketentuan-ketentuan umum yang ada di KUHP maupun KUHAP. Berbagai bentuk penyimpangannya diantaranya mengenai (1) jenis sanksi dimana KUHP mengatur sanksi alternatif sedangkan di pengaturan tindak pidana khusus dapat memakai sanksi alternatif kumulatif, (2) subyek tindak pidana di KUHP adalah individu, sedangkan di pengaturan tindak pidana khusus subyek tindak pidana dapat dibebankan pada korporasi, serta (3) dalam KUHP delik percobaan tidak dipidana, namun dalam pengaturan tindak pidana khusus delik percobaan dapat dikenakan pidana. 25 Mengenai tindak pidana, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika mengatur hal tersebut secara khusus dalam bab XV. Pada bab tersebut, disebutkan mengenai macam-macam tindak pidana narkotika. Tindak pidana narkotika tersebut diancam dengan berbagai macam jenis sanksi pidana yakni sanksi pidana pokok seperti pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda, serta sanksi pidana tambahan seperti pencabutan izin usaha dan pencabutan status badan hukum. Untuk perumusan sanksinya yaitu memakai : a. sistem perumusan kumulatif antara pidana penjara dan denda 25 Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana, Mandar Maju, Bandung, 2003, hlm. 36 60

b. sistem perumusan alternatif kumulatif antara pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara dan pidana denda c. sistem perumusan alternatif antara pidana kurungan atau denda. Terkait perumusan lamanya sanksi pidana dalam Undang-undang Narkotika dikenal dua perumusan yakni perumusan dengan atau sistem maksimum khusus dan atau sistem minimum khusus. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika juga mengatur mengenai ketentuan pidana terhadap penyalahgunaan dan peredaran narkotika dalam Pasal 116, 121, 127, 114: 26 Pasal 116 yang berbunyi: (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan I terhadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). (2) Dalam hal penggunaan narkotika terhadap orang lain atau pemberian Narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahundan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). Pasal 121 yang berbunyi (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan NarkotikaGolongan II terhadap orang lainatau memberikan Narkotika Golongan II untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4(empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun danpidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00(delapan miliar rupiah). (2) Dalam hal penggunaan Narkotika terhadap orang lain atau pemberian Narkotika Golongan II untuk digunakan orang lain sebagaimana dimaksud 26 Ibid, hlm.57 61

pada ayat (1) mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3(sepertiga). Pasal 127 yang berbunyi: (1) Setiap Penyalah Guna: a. Narkotika golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun; b. Narkotika golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan c. Narkotika golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun. (2) Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103. (3) Dalam hal penyalah guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan narkotika, penyalahguna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Pasal 11 4 yang berbunyi : (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). (2) Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, menyerahkan, atau menerima Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjarapaling singkat 6 (enam) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga). Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 mengatur mengenai pidana minimum dan maksimum dan ketentuan pidana terhadap penyalahgunaan 62

narkotika, di dalam menerapkan ketentuan pidana tersebut juga langsung diikuti dengan kewajiban untuk memperhatikan ketentuan pasal mengenai rehabilitasi terhadap pecandu narkotika yang dimuat di dalam ketentuan ayat (2). Undang- Undang Nomor 35 tahun 2009 juga memberikan peluang yang lebih besar bagi pecandu narkotika untuk divonis menjalani rehabilitasi. 2. Sanksi Rehabilitasi Berdasarkan Undang-Undang Narkotika Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 juga diatur penggunaan mekanisme double track system. Artinya,sanksi yang dapat dikenakan terhadap tindak pidana narkotika tidak hanya terbatas pada sanksi pidana, namun dapat pula dikenakan sanksi tindakan. Sanksi tindakan yang dimaksud yakni sanksi rehabilitasi yang ditunjukkan khusus bagi pecandu narkotika. Pasal 103 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 menyatakan bahwa hakim dalam menangani perkara pecandu narkotika dapat: 27 a. Memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan atau perawatan melalui rehabilitasi jika yang bersangkutan terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika b. Menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan atau perawatan melalui rehabilitasi jika yang bersangkutan tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika. 27 Supramono, Hukum Narkotika Indonesia, Djambatan, Jakarta, 2011. hlm. 20 63

Adanya kata dapat dalam pasal tersebut membuat pelaksanaan sanksi tindakan dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 bergantung pada iktikad dan keyakinan pribadi dari hakim. Berdasarkan hal tersebut double track system adalah sistem paling tepat dalam perumusan sanksi terhadap tindak pidana penyalahgunaan narkotika, karena berdasarkan tinjauan victymologi bahwa pecandu narkotika adalah sebagai selfvictimizing victims yaitu korban sebagai pelaku, victymologi tetap menetapkan penyalahgunaan narkotika sebagai korban, meskipun korban dari tindak pidana/kejahatan yang dilakukannya sendiri. oleh karena itu, maka pecandu narkotika yang juga sebagai korban patut untuk mendapat perlindungan. Namun, karena pecandu narkotika juga sebagai pelaku suatu tindak pidana/kejahatan maka ia juga harus tetap dihukum, oleh karena hal inilah maka dikatakan bahwa double track system dalam perumusan sanksi terhadap tindak pidana penyalahgunaan narkotika adalah paling tepat. Kebijakan hukum pidana terhadap pecandu atau korban penyalahguna narkotika kini selain dikenakan pidana penjara, dapat juga dikenakan tindakan rehabilitasi. Berdasarkan Pasal 54 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika menyatakan bahwa Pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Pengertian rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial dijelaskan pada ketentuan umum. Rehabilitasi medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika. Rehabilitasi sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam 64

kehidupan masyarakat. Rehabilitasi terhadap penyalahguna narkotika menganut teori treatment sebab rehabilitasi terhadap penyalahguna narkotika merupakan suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan. Hal tersebut sesuai dengan pemidanaan yang dimaksudkan pada aliran teori treatment yaitu untuk memberi tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation) kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman. Pelaku kejahatan adalah orang yang sakit sehingga membutuhkan tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation). 28 28 Ibid, hlm.34 65