RechtsVinding Online

dokumen-dokumen yang mirip
URGENSI MENYEGERAKAN PEMBAHASAN RUU KITAB HUKUM PEMILU Oleh: Achmadudin Rajab * Naskah diterima: 17 Juli 2016; disetujui: 15 September 2016

RechtsVinding Online. RUU tentang Penyelenggaraan Pemilu. bersikap untuk tidak ikut ambil bagian. dalam voting tersebut.

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 53/PUU-XIV/2016 Persyaratan Menjadi Hakim Agung dan Hakim Konstitusi

RechtsVinding Online

RechtsVinding Online

RechtsVinding Online. Naskah diterima: 17 Februari 2016; disetujui: 25 Februari 2016

RINGKASAN PUTUSAN. 2. Materi pasal yang diuji: a. Nomor 51/PUU-VI/2008: Pasal 9

DINAMIKA PETAHANA DAN PENCALONANNYA DALAM PILKADA Oleh: Achmadudin Rajab * Naskah diterima: 04 Mei 2016; disetujui: 26 Mei 2016

RechtsVinding Online. Naskah diterima: 21 Januari 2016; disetujui: 27 Januari 2016

POTENSI CALON PERSEORANGAN DALAM PERUBAHAN KEDUA UU NO. 1 TAHUN 2015 Oleh: Achmadudin Rajab * Naskah diterima: 23 Maret 2016; disetujui: 4 April 2016

INTERVENSI POLITIK DALAM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI Oleh: Meirina Fajarwati * Naskah diterima: 01 Juni 2016; disetujui: 23 Juni 2016

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 37/PUU-X/2012 Tentang Peraturan Perundang-Undangan Yang Tepat Bagi Pengaturan Hak-Hak Hakim

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 53/PUU-XIV/2016

PUTUSAN MK NO. 54/PUU-XIV/2016 DAN IMPLIKASI DI DALAM PILKADA Oleh Achmadudin Rajab* Naskah Diterima: 24 Juni 2017, Disetujui: 11 Juli 2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 125/PUU-XIII/2015 Penyidikan terhadap Anggota Komisi Yudisial

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 56/PUU-XIV/2016 Pembatalan Perda Oleh Gubernur dan Menteri

BAB III KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM SENGKETA PEMILIHAN KEPALA DAERAH. A. Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Sengketa Pilkada

RINGKASAN PUTUSAN. Perkara Nomor 17/PUU-V/2007 : Henry Yosodiningrat, SH, dkk

RechtsVinding Online

Ringkasan Putusan. 1. Pemohon : HABEL RUMBIAK, S.H., SPN. 2. Materi pasal yang diuji:

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 44/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR:...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 004/PUU-I/2003

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

SIARAN PERS. Penjelasan MK Terkait Putusan Nomor 36/PUU-XV/2017

DAFTAR INVENTARISASI MASALAH PEMERINTAH ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 53/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 52/PUU-XIV/2016 Penambahan Kewenangan Mahkamah Kontitusi untuk Mengadili Perkara Constitutional Complaint

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 130/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilu Anggota DPR, DPD & DPRD Tata cara penetapan kursi DPRD Provinsi

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 104/PUU-XIV/2016 Keterwakilan Anggota DPD Pada Provinsi Baru Yang Dibentuk Setelah Pemilu 2014

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 70/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 96/PUU-XIII/2015 Penundaan Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Calon Tunggal)

KUASA HUKUM Heru Widodo, S.H., M.Hum., dkk berdasarkan surat kuasa hukum tertanggal 22 Januari 2015.

I. PEMOHON Serikat Pekerja PT. PLN, selanjutnya disebut Pemohon

NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 155)

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 47/PUU-XV/2017 Hak Angket DPR Terhadap KPK

I. PARA PEMOHON Deden Rukman Rumaji; Eni Rif ati; Iyong Yatlan Hidayat untuk selanjutnya secara bersama-sama disebut Para Pemohon.

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

file://\\ \web\prokum\uu\2004\uu htm

BAB II DESKRIPSI (OBYEK PENELITIAN) hukum kenamaan asal Austria, Hans Kelsen ( ). Kelsen menyatakan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 51/PUU-XI/2013 Tentang Kewenangan KPU Dalam Menetapkan Partai Politik Peserta Pemilu

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 72/PUU-XV/2017

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Formil Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota

REFORMULASI PROSES REKRUITMEN HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI INDONESIA Oleh: Meirina Fajarwati * Naskah diterima: 03 Juni 2016; disetujui: 27 Juni 2016

I. PEMOHON Indonesian Human Rights Comitee for Social Justice (IHCS) yang diwakilkan oleh Gunawan

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 71/PUU-XV/2017. I. PEMOHON 1. Hadar Nafis Gumay (selanjutnya disebut sebagai Pemohon I);

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 39/PUU-XII/2014 Hak Memilih

PUTUSAN. Nomor 024/PUU-IV/2006 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 43/PUU-XIII/2015 Proses Seleksi Pengangkatan Hakim

Muchamad Ali Safa at

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI MAHKAMAH KONSTITUSI, MAHKAMAH AGUNG, PEMILIHAN KEPALA DAERAH

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG PROSEDUR BERACARA DALAM PEMBUBARAN PARTAI POLITIK

DPD RI, BUBARKAN ATAU BENAHI?? Oleh: Moch Alfi Muzakki * Naskah diterima: 06 April 2016; disetujui: 15 April 2016

DR. R. HERLAMBANG P. WIRATRAMAN MAHKAMAH KONSTITUSI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS AIRLANGGA, 2015

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 9/PUU-XIV/2016 Upaya Hukum Kasasi dalam Perkara Tindak Pidana Pemilu

BAB IV PENUTUP. sebelumnya, penulis menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

MATRIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, berikut beberapa

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

BAB I PENDAHULUAN. perubahan konstitusi yang memberikan jaminan kemandirian dan akuntabilitas

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 43/PUU-XIV/2016 Kewenangan Jaksa Agung Untuk Mengenyampingkan Perkara Demi Kepentingan Umum

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA SIARAN PERS MK PUTUSKAN UJI MATERI UU RUSUN

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 103/PUU-XIII/2015 Penolakan Pendaftaran Calon Peserta Pemilukada

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 29/PUU-XV/2017 Perintah Penahanan yang Termuat dalam Amar Putusan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

MATRIK PERBANDINGAN UNDANG-UNDANG RI NO. 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG SEBAGAIMANA YANG TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NO

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 20/PUU-XVI/2018 Parliamentary Threshold

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 40/PUU-XVI/2018 Dua Kali Masa Jabatan Bagi Presiden atau Wakil Presiden

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 51/PUU-XI/2013 Tentang Kewenangan KPU Dalam Menetapkan Partai Politik Peserta Pemilu

Ringkasan Putusan.

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan

Hukum Acara Pembubaran Partai Politik. Ngr Suwarnatha

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 108/PUU-XIV/2016 Peninjauan Kembali (PK) Lebih Satu Kali

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SKRIPSI. Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum OLEH : RANTI SUDERLY

Hubungan Antar Lembaga Negara IRFAN SETIAWAN, S.IP, M.SI

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARAN RAKYAT,

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 111 /PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilu Anggota DPR, DPD & DPRD Pembagian kursi tahap kedua

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

PUTUSAN Nomor 8/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

Transkripsi:

ANALISA MENGENAI JALUR HAKIM NONKARIR DALAM PERKARA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG MAHKAMAH AGUNG Oleh: Achmadudin Rajab * Naskah diterima: 20 Juli 2016; disetujui: 19 September 2016 Keberadaan Hakim Agung dari jalur nonkarier dalam sistem ketatanegaraan Indonesia digugat oleh Binsar M Gultom dan Lilik Mulyadi selaku Pemohon dalam perkara nomor 53/PUU-XIV/2016 mengenai Pengujian UU Mahkamah Agung terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945). Pada tanggal 13 Juli 2016 yang lalu telah dilangsungkan sidang Pemeriksaan Pendahuluan dan pada pokoknya Pemohon meminta agar keberadaan Hakim Agung dari jalur nonkarier dihapuskan karena dianggap inkonstitusional Dasar Hukum Hakim Nonkarier dalam UU Mahkamah Agung Dalam UUD NRI Tahun 1945 yakni dalam Pasal 24A ayat (5) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan peradilan di bawahnya diatur dengan undang-undang. Pengaturan lebih lanjut mengenai susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung inilah yang kemudian diwujudkan oleh pembentuk undangundang dalam hal ini DPR dan Presiden dengan undang-undang sebagaimana delegasi Pasal 24A ayat (5) UUD NRI Tahun 1945, yakni dalam Undang-Undang Mahkamah Agung sebagaima yang terakhir berlaku saat ini yakni Undang- Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (selanjutnya disebut UU No. 14 Tahun 1985) beserta perubahannya. Terkait dengan Hakim Agung dari jalur nonkarier, pertama kali diatur dalam UU No. 14 Tahun 1985. Pengaturan tersebut terdapat dalam ketentuan Pasal 7 ayat (2) UU No. 14 Tahun 1985 dan penjelasannya yang menyatakan bahwa Dalam hal-hal tertentu dapat dibuka kemungkinan untuk mengangkat Hakim Agung yang tidak didasarkan atas sistem karier dengan syarat bahwa yang bersangkutan berpengalaman sekurang-kurangnya 15 1

(lima belas) tahun di bidang hokum. Adapun dalam penjelasan Pasal 7 UU No. 14 Tahun 1985 menjelaskan Pada dasarnya pengangkatan Hakim Agung berdasarkan sistem karier dan tertutup. Namun demikian dalam hal-hal tertentu dapat pula dibuka kemungkinan untuk mengangkat Hakim Agung yang tidak didasarkan atas sistem karier. Selanjutnya hakim agung dari nonkarier diatur kembali dalam Undang- Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (selanjutnya disebut UU No. 5 Tahun 2004). Pengaturan hakim agung dari nonkarier dalam UU No. 5 Tahun 2004 berbeda dengan UU No. 14 Tahun 1985. Terdapat sejumlah penambahan persyaratan yang harus dipenuhi oleh calon hakim agung dari nonkarier dalam Pasal 7 ayat (2) UU No. 5 Tahun 2004. Kemudian UU No. 5 Tahun 2004 diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (selanjutnya disebut UU No. 3 Tahun 2009). Pengaturan dan persyaratan mengenai hakim agung dari nonkarier terdapat dalam ketentuan Pasal 7 UU No. 3 Tahun 2009. Dasar hukum pengaturan mengenai hakim nonkarier sebagaimana dijabarkan dalam UU No. 14 Tahun 1985 dengan perubahannya yakni UU No. 5 Tahun 2004 dan terakhir diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 diatas sejatinya adalah merupakan pelaksanaan dari delegasi kewenangan yang diperintahkan Pasal 24A ayat (5) UUD NRI Tahun 1945 kepada pembentuk undang-undang yakni DPR dan Presiden pada frase...diatur dengan undang-undang. Hal ini juga merupakan open legal policy yang dijamin oleh konstitusi karena hal ini menunjukkan bahwa perintah kepada pembentuk undang-undang ini didapatkan secara atributif dari UUD NRI Tahun 1945 kepada DPR dan Presiden. Sejarah Munculnya Hakim Agung dari Nonkarier Berdasarkan ketentuan Pasal 6B ayat (1) UU No. 3 Tahun 2009, calon hakim agung berasal dari hakim karier. Kemudian dalam ayat (2) dinyatakan selain calon hakim agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1), calon hakim agung juga berasal dari nonkarier. 2

Adapun yang dimaksud dengan calon hakim agung dari hakim karier dan nonkarier dijelaskan dalam penjelasan Pasal 6B ayat (1) dan ayat (2) UU No. 3 Tahun 2009. Penjelasan Pasal 6B ayat (1) menyatakan: Yang dimaksud dengan calon hakim agung yang berasal dari hakim karier adalah calon hakim agung yang berstatus aktif sebagai hakim pada badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yang dicalonkan oleh Mahkamah Agung. Penjelasan Pasal 6B ayat (2) menyatakan Yang dimaksud dengan calon hakim agung yang juga berasal dari nonkarier adalah calon hakim agung yang berasal dari luar lingkungan badan peradilan. Jika melihat Pasal 7 UU 5 Tahun 2004, dapat diketahui bahwa sistem rekrutmen Hakim Agung adalah sistem karir dengan pengecualian, maksudnya adalah pada prinsipnya calon hakim agung harus berasal dari hakim karir yang telah memenuhi syarat, namun dalam kondisi tertentu dapat juga direkrut yang bukan dari kalangan hakim yakni nonkarir. Hal tersebut terlihat dari rumusan Pasal 7 ayat (2) UU 5/2004 yang menyatakan bahwa apabila dibutuhkan, hakim agung dapat diangkat tidak berdasarkan sistem karier. Namun dari ketentuan Pasal 7 ayat (2) UU 5 Tahun 2004 tersebut terdapat 2 (dua) pertanyaan yang belum terjawab yakni jika dikatakan hakim nonkarir dapat direkrut apabila dibutuhkan lalu apakah ukuran kebutuhan tersebut? serta yang lebih penting lagi adalah siapa atau lembaga mana yang berwenang untuk menentukan ukuran kebutuhan tersebut? apakah dalam hal ini Mahkamah Agung, Komisi Yudisial atau DPR? Adapun selanjutnya ketentuan Pasal 7 UU 5 Tahun 2004 ini pun telah direvisi menjadi Pasal 7 UU 3 Tahun 2009, dan telah hilang kalimat apabila dibutuhkan sehingga sistem rekrutmen Hakim Agung yang tadinya bermakna yakni sistem karir dengan pengecualian bilamana dbutuhkan telah berubah yakni dengan secara tegas dalam Pasal ayat (2) 6B UU 3 Tahun 2009 menyatakan bahwa selain calon hakim agung sebagaimana yang berasal dari hakim karir, calon hakim agung juga berasal dari nonkarier. Selanjutnya bila kita melihat dari sisi sejarahnya, sebenarnya sistem rekrutmen berdasarkan sistem karir dengan pengecualian ini pun bukanlah hal yang 3

baru diterapkan dalam UU 5 Tahun 2004. Adanya jalur pengecualian dari hakim karir ini telah muncul dalam UU 14 Tahun 1985. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 7 UU 14 Tahun 1985, khususnya pada ayat (2) yang menyatakan bahwa Dalam hal-hal tertentu dapat dibuka kemungkinan untuk mengangkat Hakim Agung yang tidak didasarkan atas sistem karier dengan syarat bahwa yang bersangkutan berpengalaman sekurang-kurangnya 15 (lima belas) tahun di bidang hukum. Lebih lanjut lagi, sebelum keberlakuan dari UU 14 Tahun 1985, sebetulnya sistem rekrutmen yang berlaku di Indonesia pada dasarnya adalah sistem terbuka. Hal ini dapat dilihat dari dua perundangundangan yang mengatur mengenai Mahkamah Agung sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 tentang Susunan, Kekuasaan dan Jalan Pengadilan Mahkamah Agung Indonesia (selanjutnya disebut UU 1 Tahun 1950) dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1965 tentang Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung (selanjutnya disebut UU 13 Tahun 1965). Dalam UU 1 Tahun 1950, terkait dengan persyaratan calon hakim agung diatur dalam Pasal 4 yang menyatakan Untuk dapat menjadi Hakim Mahkamah Agung, Panitera Mahkamah Agung dan Jaksa Agung orang harus mempunyai ijazah penghabisan dari Perguruan Tinggi bagian hukum, kecuali jika Presiden memberi dispensasi. Hal ini juga tidak jauh berbeda dengan persyaratan calon hakim agung diatur dalam Pasal 41 ayat (3) UU 13 Tahun 1965 yang menyebutkan syarat-syarat untuk dapat diangkat sebagai pejabat-pejabat sebagaimana disebutkan dalam ayat (1). Dalam Pasal 41 ayat (3) UU 13 Tahun 1965 diatas sama sekali ada dinyatakan bahwa untuk diangkat sebagai hakim agung haruslah seseorang yang telah memiliki pengalaman sebagai hakim, hal ini berbeda dengan Pasal 7 baik itu dalam undang-undang aslinya yakni UU 14 Tahun 1985 maupun undang-undang perbaikannya yakni UU 5 Tahun 2004 dan UU 3 Tahun 2009. Dengan demikian, pengaturan dalam Pasal 41 ayat (3) UU 13 tahun 1965 maupun Pasal 4 UU 1 Tahun 1950 telah menunjukkan bahwa dahulu sejatinya calon hakim agung awalnya tidak dipersyaratkan apakah harus berasal dari kalangan hakim atau tidak, atau dengan kata lain tidak membedakan 4

calon hakim agung berdasarkan jalur apakah karir atau non karir. Apakah Jalur NonKarier Merupakan Jalur Yang Konstitusional? Terkait jalur perekrutan hakim nonkarir yang sedang diajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi oleh Binsar M Gultom dan Lilik Mulyadi selaku Pemohon dalam perkara nomor 53/PUU- XIV/2016, perlu dipahami bahwa jalur perekrutan hakim nonkarir bukanlah jalur yang inkonstitusional, hal ini dikarenakan jalur ini lahir sebagai wujud sistem yang merupakan delegasi kewenangan yang dimandatkan UUD NRI Tahun 1945 kepada pembentuk undang-undang yakni dalam Pasal 24A ayat (5) UUD NRI Tahun 1945. Kalimat diatur dengan undangundang ini berarti konstitusi telah mendelegasikan kepada pembentuk undang-undang baik itu DPR maupun Presiden untuk membuat suatu sistem pengaturan sehingga hal ini sejatinya merupakan Open Legal Policy dari pembentuk undang-undang. Hal lainnya yang juga menguatkan alasan bahwa MK tidak pernah membatalkan Undang-Undang atau sebagian isinya, jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk Undang-Undang terdapat dalam Pendapat Mahkamah pada point [3.17] Putusan MK No 51-52-59/PUU- VI/2008 terkait dengan perkara permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan sebagai berikut: Menimbang bahwa Mahkamah dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi tidak mungkin untuk membatalkan Undang-Undang atau sebagian isinya, jikalau norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk Undang-Undang. Meskipun seandainya isi suatu Undang- Undang dinilai buruk, seperti halnya ketentuan presidential threshold dan pemisahan jadwal Pemilu dalam perkara a quo, Mahkamah tetap tidak dapat membatalkannya, sebab yang dinilai buruk tidak selalu berarti inkonstitusional, kecuali kalau produk legal policy tersebut jelas-jelas melanggar moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan yang 5

intolerable. Pandangan hukum yang demikian sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 010/PUU- III/2005 bertanggal 31 Mei 2005 yang menyatakan sepanjang pilihan kebijakan tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan pembentuk Undang- Undang, tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945, maka pilihan kebijakan demikian tidak dapat dibatalkan oleh Mahkamah. Dengan demikian terkait dengan jalur hakim nonkarir dalam perekrutan hakim agung sebagimana dipermasalahkan oleh pemohon dalam judicial review ke Mahkamah Konstitusi, hal ini bukanlah jalur yang inkonstitusional karena hal ini merupakan Open Legal Policy dari pembentuk undang-undang sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 24A ayat (5) UUD NRI Tahun 1945. Dalam hal ini, konstitusi dalam Pasal 24A ayat (5) UUD NRI Tahun 1945 telah mendelegasikan kewenangan kepada pembentuk undang-undang dan secara atributif DPR dan Presiden selaku pembentuk undang-undang telah mendapatkan kewenangan yang dilekatkan kepadanya untuk mengatur lebih lanjut terkait dengan Mahkamah Agung dengan undang-undang. Sehingga, pilihan kebijakan membuka jalur nonkarir selain jalur karir sebagaimana umumnya dalam perekrutan hakim adalah konstitusional karena hal ini semata adalah tindaklanjut dan penjabaran dari Pasal 24A ayat (5) UUD NRI Tahun 1945. * Penulis adalah Tenaga Fungsional Perancang Undang-Undang dengan pembidangan Politik, Hukum, dan HAM di Pusat Perancangan Undang-Undang pada Badan Keahlian Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. 6