PDRB HIJAU SEKTOR KEHUTANAN MELALUI PENDEKATAN NILAI EKONOMI JASA LINGKUNGAN. Emi Roslinda

dokumen-dokumen yang mirip
Pengertian Produk Domestik Bruto

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Model Perhitungan Besaran PDRB Hijau Sektor Kehutanan di Kalimantan Barat melalui Pendekatan Jasa Lingkungan

BAB I. PENDAHULUAN I. 1. Perumusan Masalah

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH TRIWULAN II TAHUN 2014

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

PERTUMBUHAN EKONOMI PADANG LAWAS TAHUN 2012

Perkembangan Indikator Makro Usaha Kecil Menengah di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional merupakan cerminan keberhasilan pembangunan. perlu dilaksanakan demi kehidupan manusia yang layak.

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH TRIWULAN II 2013

PERKEMBANGAN EKONOMI RIAU

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH

ABSTRAK. Kata kunci: Neraca pernbangunan, PDB Hijau, fimgsi hidrologis hutan, penyerap karbon. ABSTRACT

PERTUMBUHAN EKONOMI PADANG LAWAS TAHUN 2011

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH TRIWULAN I TAHUN 2014

BAB I PENDAHULUAN. suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN III TAHUN 2008

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

PERKEMBANGAN EKONOMI RIAU

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2008

PERKEMBANGAN EKONOMI RIAU

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH

PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN SIMALUNGUN TAHUN 2012

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN II-2008

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2008

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN III TAHUN 2014

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN II TAHUN 2011

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN I-2010

Analisis Pertumbuhan Ekonomi Kab. Lamandau Tahun 2013 /

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN II TAHUN 2014

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 menyatakan bahwa hutan adalah

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI SELATAN TRIWULAN I-2014

BPS PROVINSI MALUKU PERTUMBUHAN EKONOMI MALUKU PDRB MALUKU TRIWULAN IV TAHUN 2013 TUMBUH POSITIF SEBESAR 5,97 PERSEN

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN IV TAHUN 2013

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN IV TAHUN 2008

PERTUMBUHAN EKONOMI GORONTALO. PDRB Gorontalo Triwulan III-2013 Naik 2,91 Persen

Tabel PDRB Atas Dasar Harga Berlaku dan Atas Dasar Harga Konstan 2000 di Kecamatan Ngadirejo Tahun (Juta Rupiah)

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH TRIWULAN III/2012

BAB I PENDAHULUAN. bawah tanah. Definisi hutan menurut Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang

BPS KABUPATEN TAPANULI TENGAH PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN TAPANULI TENGAH TAHUN 2013

BPS KABUPATEN TAPANULI TENGAH PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN TAPANULI TENGAH TAHUN 2012

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH

PERKEMBANGAN EKONOMI RIAU

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH

No. 64/11/13/Th.XVII, 5 November 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI SUMATERA BARAT TRIWULAN III 2014

PERTUMBUHAN EKONOMI JAWA TENGAH TRIWULAN III-2009

I. PENDAHULUAN. Tingkat perekonomian suatu wilayah didukung dengan adanya. bertahap. Pembangunan adalah suatu proses multidimensional yang meliputi

BADAN PUSAT STATISTIK

BPS PROVINSI JAWA TENGAH

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses kenaikan pendapatan

PERTUMBUHAN EKONOMI PAPUA BARAT TRIWULAN II-2013

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

PERTUMBUHAN EKONOMI GORONTALO TAHUN ,71 PERSEN

PERTUMBUHAN EKONOMI PAPUA BARAT TAHUN 2013

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TAHUN 20

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2007

PERTUMBUHAN EKONOMI KEPULAUAN RIAU TRIWULAN III TAHUN 2013

PERKEMBANGAN EKONOMI RIAU

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI UTARA TRIWULAN I/2014

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang tinggi. Apabila dimanfaatkan secara bijaksana akan

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN II-2013

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH TRIWULAN III/2014

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2007

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH TRIWULAN I TAHUN 2012

Pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Berau selama dua tahun ini seiring dan. sejalan dengan perkembangan ekonomi nasional yaitu mengalami pertumbuhan yang

PERTUMBUHAN EKONOMI KEPULAUAN RIAU TRIWULAN III TAHUN 2009

PERTUMBUHAN EKONOMI ASAHAN TAHUN 2013

PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN LABUHANBATU TAHUN 2013

DAMPAK RESTRUKTURISASI INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN JAWA BARAT (ANALISIS INPUT-OUTPUT)

PERTUMBUHAN EKONOMI PAKPAK BHARAT TAHUN 2013

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi

PERTUMBUHAN EKONOMI KEPULAUAN RIAU TRIWULAN III 2014

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2013

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN I TAHUN 2013

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI ACEH

PERKEMBANGAN PDRB Triw I-2009 KALSEL

PENDAHULUAN Latar Belakang

PERTUMBUHAN EKONOMI JAKARTA UTARA TAHUN 2013

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA TRIWULAN I-2011

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERTUMBUHAN EKONOMI KEPULAUAN RIAU TRIWULAN I TAHUN 2012

PDRB HIJAU (KONSEP DAN METODOLOGI )

ESI TENGAH. sedangkan PDRB triliun. konstruksi minus. dan. relatif kecil yaitu. konsumsi rumah modal tetap. minus 5,62 persen.

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

Pendapatan Regional / Product Domestic Regional Bruto

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional, terlebih dahulu kita harus menganalisa potensi pada

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN SELATAN TRIWULAN II-2011

Transkripsi:

PDRB HIJAU SEKTOR KEHUTANAN MELALUI PENDEKATAN NILAI EKONOMI JASA LINGKUNGAN Emi Roslinda Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura Pontianak Email : eroslinda71@gmail.com ABSTRAK Secara konvensional PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) selama ini dipergunakan untuk mengukur keberhasilan kinerja pembangunan suatu daerah (Kabupaten/Provinsi) yaitu jumlah nilai rupiah barang dan jasa akhir yang dihasilkan suatu perekonomian daerah untuk waktu satu tahun. PDRB Hijau yang telah dipergunakan ternyata memiliki kelemahan yaitu hanya berisikan unsur disinsentif berupa deplesi dan degradasi sumberdaya alam, sehingga nilai PDRB Hijau akan selalu dibawah nilai PDRB konvensional. Kelemahan tersebut ketika dikoreksi dengan memasukkan unsur insentif jasa lingkungan dengan syarat kabupaten/provinsi mengelola sumberdaya alam/hutannya dengan baik maka akan diperoleh nilai PDRB Hijau yang lebih tinggi daripada PDRB konvensionalnya. Nilai PDRB Hijau sektor kehutanan di Kalimantan Barat ternyata meningkat sangat signifikan ketika memperhitungkan nilai guna tak langsung jasa lingkungan hutan. Penerapan PDRB Hijau ini diharapkan dapat digunakan sebagai neraca pendamping bagi PDRB konvensional yang sudah umum dipergunakan untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan. Kata kunci: PDRB Hijau, jasa lingkungan, pembangunan berkelanjutan. PENDAHULUAN Hutan mempunyai bermacam fungsi dan manfaat, dikarenakan hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan (UU 41 1999 tentang Kehutanan). Kondisi tersebut menyebabkan hutan mempunyai fungsi dan manfaat yang beraneka ragam (multiple benefits). Fungsi dan manfaat yang beraneka ragam, sumber daya hutan dapat menyediakan berbagai kebutuhan dan keinginan manusia, mulai dari fungsi produksi barang dan jasa untuk kepentingan konsumsi langsung maupun tidak langsung, berbagai jasa pengaturan mekanisme dalam alam seperti pengaturan tata air, siklus hara, penyerapan CO 2, bahkan berbagai fungsi lain yang sampai saat ini belum diketahui atau terpikirkan oleh manusia (Fakultas Kehutanan IPB, 1999). Hutan tidak hanya berfungsi produksi, melainkan juga berfungsi konservasi dan fungsi lindung. Namun, hingga saat ini hanya hutan berfungsi produksi (terutama kayu) yang dianggap dapat memberikan manfaat langsung kepada perekonomian karena produk hutan yang dihasilkan. Sesungguhnya nilai hutan tidak hanya berupa nilai kayu melainkan juga fungsi lingkungan seperti kemampuan mencegah erosi, sedimentasi, tata air, keanekaragaman hayati, dan kemampuan menyerap karbon. Hasil penelitian Roslinda (2002) menunjukkan nilai tangible dari Hutan Pendidikan Gunung Walat di Kabupaten Sukabumi sebesar 29,01% dari nilai ekonomi totalnya dimana nilai dari kayu

hanya 15,28%, sementara selebihnya sebesar 70,99% adalah nilai intangible berupa jasa-jasa lingkungan hutan. Selanjutnya Roslinda (2013) juga menunjukkan bahwa nilai intangible Taman Nasional Danau Sentarum (TNDS) di Kalimantan Barat jauh lebih tinggi daripada nilai tangible, yaitu 87% nilai ekonomi total TNDS adalah nilai intangible berupa jasa-jasa lingkungan. Secara teoritis diyakini bahwa hutan memiliki nilai ekonomi yang sangat besar, tetapi hanya sebagian kecil dari sumber daya hutan yang berkontribusi secara riil terhadap penerimaan negara dan masyarakat. Penerimaan negara ataupun kontribusi suatu sektor seringkali hanya dilihat dari Produksi Domestik Regional Bruto (PDRB) sektor, dan PDRB sektor Kehutanan semakin tahun semakin kecil karena kayu sudah semakin habis. Berdasarkan hal tersebut, diperlukan suatu pendekatan pembangunan yang melihat nilai ekonomi sumber daya hutan secara menyeluruh dan dapat dimanfaatkan secara nyata dalam pembangunan. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan alternatif dalam penghitungan PDRB sektor kehutanan dimana nilai ekonomi potensial jasa lingkungan hutan dapat diperhitungkan dan dapat memberikan kontribusi ekonomi yang nyata bagi kesejahteraan masyarakat. METODE Metode yang digunakan dalam perhitungan PDRB Hijau sektor Kehutanan di Kalimantan Barat ini mengacu pada Nurrochmat et al (2009), dengan tahapan sebagai berikut: 1. Membagi sektor perekonomian menjadi 9 sektor (Pembagian sektor perekonomian ini disesuaikan dengan pembagian sektor perekonomian menurut Sistem Neraca Nasional yang diterbitkan oleh BPS) yaitu: 1) Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan, 2) Pertambangan dan penggalian, 3) Perindustrian Pengolahan, 4) Listrik, Gas, dan Air Bersih, 5) Bangunan (konstruksi), 6) Perdagangan, Hotel dan Restoran, 7) Angkutan dan Komunikasi, 8) Keuangan, Persewaan dan jasa Perusahaan, dan 9) Jasa-jasa 2. Menghitung nilai tambah dalam satu tahun. Nilai tambah ini disebut juga sebagai sumbangan masing-masing sektor usaha kepada PDRB konvensional. 3. Mengidentifikasi jenis dan volume sumberdaya alam yang diambil untuk setiap sektor kegiatan ekonomi. 4. Menghitung nilai ekonomi dari pengurangan sumberdaya alam akibat adanya suatu aktivitas ekonomi (deplesi). 5. Mengurangi nilai PDRB konvensional dengan nilai deplesi sehingga diperoleh nilai PDRB Semi Hijau. 6. Mengidentifikasi, menghitung, dan menentukan nilai ekonomi dari kerusakan atau degradasi lingkungan yang terjadi akibat pengambilan sumberdaya hutan. 7. Mengurangkan nilai degradasi dan menambahkan nilai manfaat jasa lingkungan terhadap PDRB Semi Hijau sehingga diperoleh nilai PDRB Hijau.

HASIL DAN PEMBAHASAN Pendekatan perhitungan PDRB yang biasa digunakan di indonesia adalah pendekatan nilai tambah, dengan membagi sektor perekonomian menjadi sembilan sektor. Nilai PDRB Kalimantan Barat per-sektor perekonomian tahun 2008-2011 disajikan pada Tabel berikut: Tabel 1. PDRB Kalimantan Barat Menurut Lapangan Usaha 2008-2011 No Lapangan Usaha Tahun (Rp juta) 1 Pertanian 12,834 13,955 15,166 16,812 Tanaman bahan makanan 4,052 4,830 5,233 5,754 Tanaman perkebunan 4,313 4,793 5,304 6,200 Peternakan dan hasil-hasilnya 1,261 1,392 1,497 1,561 Kehutanan 1,469 1,532 1,584 1,644 Perikanan 1,287 1,406 1,557 1,651 2 Pertambangan dan penggalian 0,919 1,048 1,205 1,355 3 Industri Pengolahan 9,578 10,291 11,138 12,005 Industri Migas 0,00 0,0 0,0 0,0 Industri Non Migas 9,578 10,291 11,138 12,005 4 Listrik, Gas dan Air Bersih 0,267 0,284 0,315 0,332 5 Konstruksi 4,180 4,809 5,586 6,650 6 Perdagangan, Hotel dan Restoran 11,018 12,125 13,766 15,074 7 Pengangkutan dan Komunikasi 3,323 3,867 4,437 4,946 8 Keuangan 2,380 2,619 2,907 3,253 9 Jasa-jasa 4,630 5,280 6,018 6,482 PDRB 49,132 54,281 60,541 66,913 Sumber: BPS Provinsi Kalbar 2013 Dari Tabel di atas dapat dilihat bahwa secara nominal PDRB Kehutanan mengalami peningkatan walau dalam jumlah yang kecil. Pada Tahun 2008 PDRB Kehutanan mencapai sekitar Rp 1,4 milyar dan terus meningkat berturut-turut menjadi Rp 1,5 miliar pada tahun 2009 dan 2010 dan mencapai Rp 1, 6 miliar pada tahun 2011. Walaupun secara nominal nilai PDRB subsektor Kehutanan mengalami kenaikan, namun kontribusi nilai PDRB subsektor Kehutanan sangat rendah dibandingkan nilai PDRB Kalimantan Barat (Gambar 1). 2011 1,644 66,913 2010 1,584 60,541 2009 2008 1,532 1,469 49,132 54,281 0 10 20 30 40 50 60 70 80 Kalbar Kehutanan Gambar 1. Perbandingan Nilai PDRB Kehutanan dan PDRB Kalimantan Barat 2008-2012

Kecilnya penilaian sumbangan sub sektor kehutanan terhadap PDRB Provinsi Kalimantan Barat ini sejalan dengan penilaian kontribusi sub sektor kehutanan terhadap PDB Nasional dimana sejak tahun 2005 sub sektor kehutanan hanya menyumbang sekitar 1% terhadap PDB, dan bahkan tahun 2009 menurun, hanya sebesar 0,8%. Kecilnya kontribusi sub sektor kehutanan terhadap PDRB/PDB ini disebabkan karena hanya dihitung dari komoditi primer, yaitu kayu log, rotan, dan jasa kehutanan lainnya, sedangkan nilai tambah yang dihasilkan dari pengolahan hasil hutan dihitung sebagai kontribusi dari sektor lain, sehingga kontribusi sub sektor kehutanan terlihat sangat kecil jika dibandingkan dengan luas kawasan dan sumberdaya hutan yang ada. Rendahnya kontribusi relatif subsektor kehutanan terhadap PDRB Kalimantan Barat, sebenarnya tidak relevan dan tidak dapat digunakan sebagai standar ukuran semakin melemahnya peran sektor kehutanan terhadap pembangunan daerah. Perlu digarisbawahi bahwa PDRB hanyalah salah satu parameter pembangunan. Selain PDRB masih ada beberapa parameter pembangunan lain yang dapat dipergunakan sebagai standar pengukuran kontribusi suatu sektor perekonomian terhadap pembangunan daerah, misalnya keterkaitan (linkages) dan efek pengganda (multiplier effect). Oleh karena itu, diperlukan metode pendekatan penghitungan PDRB secara lebih komprehensif sehingga nilai PDRB semakin dapat menggambarkan situasi yang sebenarnya. Salah satu konsep yang diharapkan dapat meminimalisir gap perhitungan nilai PDRB dengan realitas adalah PDRB Hijau, yang mengintegrasikan nilai deplesi, degradasi, dan jasa lingkungan. Estimasi nilai deplesi sumber daya hutan Setiap produksi atau kegiatan penciptaan nilai tambah yang mengurangi sediaan seharusnya dihitung sebagai beban atau biaya. Hal ini tidak dilakukan dalam PDRB konvensional. Dalam pengelolaan sumberdaya hutan, deplesi terjadi apabila jumlah pengambilan sumberdaya hutan melebihi kemampuan regenerasi. Dalam ekonomi kehutanan, deplesi terjadi jika total volume kayu yang ditebang setiap tahunnya melampaui batas penebangan lestari yang diijinkan atau yang dikenal dengan AAC (Annual Allowable Cut). Maka secara ringkas nilai deplesi hasil hutan kayu dapat dihitung dengan total volume kayu yang ditebang dikurangi AAC, dan untuk mengetahui nominalnya, hasil pengurangan tersebut dikalikan dengan harga kayu (unit rent) dari kayu yang ditebang. Pada kondisi ideal, nilai unit rent ini seharusnya setara dengan rente ekonomi yang diterima negara dari pemanfaatan kayu, yakni Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR). Maka dalam kajian ini nilai deplesi dihitung berdasarkan besarnya nilai rente ekonomi negara (PSDH dan DR) dari data kayu resmi yang ditebang per tahun. Asumsi yang digunakan adalah deplesi terjadi karena secara umum kegiatan logging saat ini tidak dapat menjamin kelestarian sumberdaya hutan. Tabel 2 Estimasi nilai deplesi berdasarkan pembayaran PSDH dan DR 2008-2011 No Tahun (Rp Juta) Realisasi 1 PSDH 15,237 16.843 15.536 25.630 2 DR 30,954 45,888 39.641 66.826 Total 46,191 62,731 55.177 92.456 Sumber: Statistik Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Barat 2012

Asumsi perhitungan nilai deplesi dari pendekatan nilai PSDH dan DR akan cenderung lebih rendah (underestimate) dari nilai sebenarnya jika volume kayu ilegal yang beredar lebih besar dibanding kayu legal dan sebaliknya. Nilai deplesi cenderung semakin berkurang besarnya, karena dari tahun ke tahun penebangan kayu yang tercatat juga semakin berkurang jumlahnya. Keaadan ini terjadi kemungkinan dikarenakan kondisi hutan yang semakin rusak dan semakin sedikit kayu yang bernilai ekonomis yang dapat dimanfaatkan. Estimasi nilai degradasi sumber daya hutan Nilai kerugian ekonomi akibat kerusakan sumber daya hutan didekati dari data luas deforestrasi berdasarkan perubahan tutupan lahan hutan yang diperoleh dari citra landsat tahun terakhir (Tabel 3) Tabel 3 Estimasi nilai degradasi sumber daya hutan Kalimantan Barat Deforestasi (ha) *) Total Nilai Ekonomi Jasa Hutan (Rp/ha/thn) **) Nilai Jasa Hutan yang hilang akibat deforestrasi (Rp miliar/thn) 121.446,32 38.399.400 4,663 *) laju deforestasi berdasarkan buku potret hutan Kalimantan Barat 2011 **) estimasi nilai kerusakan berdasarkan laporan NRM (2002) dalam Departemen Kehutanan (2007) Nilai kerugian akibat degradasi sumber daya hutan dihitung dengan menggunakan basis nilai berdasarkan hasil studi penilaian ekonomi sumber daya hutan yang dilakukan sebelumnya. Basis nilai tersebut masih cukup relevan karena dihitung dalam satuan US dolar, sehingga relatif tidak terpengaruh fluktuasi nilai rupiah. Basis perhitungan ini juga digunakan oleh Departemen Kehutanan dalam Buku Pedoman Penyusunan PDRB Hijau Saektor Kehutanan (Departemen Kehutanan 2007). Estimasi nilai PDRB Hijau tanpa memperhitungkan jasa lingkungan hutan Konsep perhitungan PDRB Hijau yang telah diujicobakan di beberapa tempat saat ini, pada umumnya dilakukan dengan cara mengurangkan nilai PDRB konvensional dengan nilai deplesi dan nilai degradasi. Berdasarkan rumus tersebut, nilai PDRB Hijau kehutanan akan menjadi negatif. Ini berarti nilai tambah yang dihasilkan oleh sektor kehutanan selama ini ternyata lebih kecil dibandingkan pengurangan dan kerusakan sumber daya hutan yang terjadi. Tabel 4 Estimasi nilai PDRB Hijau Kehutanan 2008-2011 Nilai PDRB Tahun (Rp Milliar) PDRB Konvensional Kehutanan 1,469 1,532 1,584 1,644 (-) Deplesi Sumber daya Hutan 0,461 0,627 0,551 0,924 PDRB Semi Hijau Kehutanan 1,008 0,905 1,033 0,520 (-) Degradasi Sumber daya Hutan 4,663 4,663 4,663 4,663 PDRB Hijau Kehutanan tanpa Jasa Lingkungan Hutan (3,655) (3,758) (3,630) (4,143) Penurunan PDRB sub sektor kehutanan akan berdampak pula terhadap penurunan PDRB Kalimantan Barat, yang dihitung dengan menggunakan pendekatan PDRB Hijau. Penyempurnaan perhitungan PDRB Hijau dengan memasukkan nilai jasa lingkungan hutan Pada umumnya nilai PDRB Hijau yang dihitung dengan mempergunakan formula yang berlaku sekarang sangat rendah bahkan dalam beberapa kasus nilainya negatif. Ini mengakibatkan terjadinya

resistensi dari para pengambil kebijakan baik para kepala daerah maupun para pemegang otoritas kehutanan terhadap pendekatan perhitungan PDRB Hijau. Ini terjadi karena sampai saat ini tolok ukur keberhasilan pembangunan yang utama adalah besarnya nilai PDRB. Untuk mencegah supaya resistensi tersebut tidak berlanjut, diperlukan adanya formulasi perhitungan PDRB Hijau yang lebih rasional dan dapat mendorong para pengambil kebijakan untuk menerapkan berbagai upaya pengelolaan sumberdaya hutan yang ramah lingkungan (Nurrochmat et al. 2009). Salah satu kelemahan fundamental dari formula perhitungan PDRB Hijau yang berlaku saat ini adalah konsep tersebut hanya memuat sisi disinsentif, yakni berupa pengurangan nilai deplesi dan degradasi terhadap nilai PDRB konvensional untuk memperoleh nilai PDRB Hijau. Dengan metode perhitungan yang demikian, maka nilai PDB Hijau tidak akan pernah lebih tinggi dibandingkan dengan nilai PDRB konvensional (Nurrochmat, 2008). Oleh karena itu, kelemahan formula perhitungan PDRB Hijau hams dikoreksi dengan memasukkan unsur insentif (rewards) jasa lingkungan. Dengan memerhitungkan nilai jasa lingkungan sebagai faktor insentif, maka suatu daerah atau negara yang dapat mengelola sumberdaya alamnya dengan baik memiliki pengharapan memperoleh nilai PDRB Hijau, khususnya PDB Hijau kehutanan, lebih besar dibandingkan dengan PDRB konvensionalnya (Nurrochmat et al. 2009). Nilai ekonomi jasa hutan dibedakan atas nilai penggunaan langsung, misalnya kayu, hasil hutan bukan kayu dan konsumsi air yang berperan atas 52,39% dari total nilai jasa hutan, nilai penggunaan tak langsung seperti konservasi tanah dan air, penyerap karbon, pencegah banjir, transportasi air, dan keanekaragaman hayati yang berperan sekitar 43,03% dari total nilai jasa hutan, dan nilai atas dasar bukan penggunaan (nilai opsi dan nilai keberadaan) yang memiliki nilai 4,94% dari total nilai jasa hutan (NRM 2002 dalam Departemen Kehutanan 2007). Dalam kajian ini estimasi nilai PDRB Hijau kehutanan hanya dihitung dari nilai manfaat penggunaan tidak langsung dari sumberdaya hutan. Nilai penggunaan langsung tidak lagi dihitung karena nilai tersebut telah diperhitungkan dalam PDRB konvensional. Tabel 5 Estimasi nilai PDRB Hijau Kehutanan dengan menghitung nilai manfaat total jasa hutan dari nilai penggunaan tidak langsung Nilai PDRB Tahun (Rp miliar) PDRB Konvensional Kehutanan 1,469 1,532 1,584 1,644 (-) Deplesi Sumberdaya Hutan 0,461 0,627 0,551 0,924 PDRB Semi Hijau Kehutanan 1,008 0,905 1,033 0,520 (-) Degradasi Sumberdaya Hutan 4,663 4,663 4,663 4,663 PDRB Kehutanan Tanpa Jasa Lingkungan (3,655) (3,758) (3,630) (4,143) (+) Nilai Manfaat Total Nilai Penggunaan Tak Langsung Jasa Lingkungan Hutan 146,900 146,900 139,630 139,630 PDRB Hijau Kehutanan + Total Nilai Penggunaan Tak Langsung Jasa Lingkungan Hutan 143,245 143,115 136,000 135,487

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa nilai PDRB Hijau Kehutanan akan jauh lebih tinggi apabila jasa lingkungan hutan diintegrasikan dalam perhitungan. Demikian juga perhitungan untuk seluruh sektor, nilai PDRB Hijau Provinsi Kalimantan Barat akan lebih tinggi daripada nilai PDRB Konvensional apabila jasa lingkungan hutan diintegrasikan dalam perhitungan. Dengan melakukan simulasi perhitungan optimis yang memasukkam semua nilai tak langsung dari jasa lingkungan hutan menunjukkan bahwa kontribusi sektor kehutanan terhadap PDRB Hijau Kalimantan Barat akan meningkat secara signifikan menjadi lebih 66 persen dari PDRB Hijau Kalimantan Barat. Atau jika dibandingkan dengan kontribusi sub sektor kehutanan terhadap PDRB konvensional yang berlaku saat ini terjadi peningkatan setidaknya 66 kali lipat (Tabel 6). Nilai ini lebih besar dari nilai nasional yaitu yang mengalami kenaikan 25 kali lipat (Nurrochmat et al. 2009), hal ini diduga karena hutan di Kalimantan Barat kondisinya masih cukup baik, sehingga memberikan jasa lingkungan yang cukup besar nilainya. Tabel 6 Estimasi Kontribusi Kehutanan terhadap PDRB Hijau dengan memperhitungkan nilai total jasa lingkungan hutan Model Perhitungan PDRB Tahun (Rp Miliar) PDRB Hijau Kehutanan dengan Jasa Lingkungan 143,245 143,115 136,000 135,487 PDRB Hijau KalBar dengan Jasa Lingkungan 192,377 197,396 196,541 202,400 Kontribusi Kehutanan terhadap PDRB Hijau 74,46% 72,50% 69,19% 66,94% Adapun cara yang efektif untuk dapat merealisasikan nilai potensi jasa lingkungan menjadi nilai ekonomi riil adalah dengan menerapkan kebijakan fiskal pro-lingkungan (green fiscal policy). KESIMPULAN Setelah melakukan perhitungan PDRB hijau sektor kehutanan melalui pendekatan pendapatan dari jasa lingkungan dari sektor kehutanan dapat diketahui bahwa nilai PDRB Hijau Kehutanan akan jauh lebih tinggi apabila jasa lingkungan hutan diintegrasikan dalam perhitungan. Demikian juga perhitungan untuk seluruh sektor, nilai PDRB Hijau Provinsi Kalimantan Barat akan lebih tinggi daripada nilai PDRB Konvensional apabila jasa lingkungan hutan diintegrasikan dalam perhitungan. Dengan melakukan simulasi perhitungan optimis yang memasukkam semua nilai tak langsung dari jasa lingkungan hutan menunjukkan bahwa kontribusi sektor kehutanan terhadap PDRB Hijau Kalimantan Barat akan meningkat secara signifikan menjadi lebih 67 persen dari PDRB Hijau Kalimantan Barat. Atau jika dibandingkan dengan kontribusi sub sektor kehutanan terhadap PDRB konvensional yang berlaku saat ini terjadi peningkatan setidaknya 67 kali lipat. DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Barat. 2013. Kalimantan Barat dalam Angka 2013. BPS Kalimantan Barat. Pontianak.

Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah III. 2012. Neraca Sumberdaya Hutan Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2011. Kementerian Kehutanan Dirjen Planologi Kehutanan BPKH III. Pontianak. Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah III. 2011. Potret Hutan Provinsi Kalimantan Barat. Kementerian Kehutanan Dirjen Planologi Kehutanan BPKH III. Pontianak. Departemen Kehutanan, 2007. Pedoman Penyusunan PDRB Hijau Sektor Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta. Fakultas Kehutanan IPB. 1999. Sistem Nilai Hutan Produksi. Kerjasama Departemen Kehutanan dan Fakultas Kehutanan IPB, Bogor. Nurrochmat DR. 2008. Promoting Close to Nature Forestry Trough Green Fiscal Policy. Paper presented at the Symposium on Close to Nature Forestry-Practices for Asia-Pacific towards the Millennium Development Goal Challenges 17-20 December 2008, Kuala Lumpur. Nurrochmat DR, Solihin I, Ekayani M, Hadianto A. 2009. Formulasi Kebijakan Fiskal Hijau: Mengintegrasikan Nilai Ekonomi Jasa Lingkungan Hutan dalam Neraca Pembangunan. Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian IPB 2009. Bogor. Roslinda E. 2002. Nilai Ekonomi Hutan Pendidikan Gunung Walat dan Kontribusinya Terhadap Masyarakat Sekitar. Tesis (Tidak dipublikasikan). Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor.... 2013. Pilihan Kebijakan Pengelolaan Taman Nasional Danau Sentarum Provinsi Kalimantan Barat. Disertasi (Tidak dipublikasikan). Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Suparmoko M dan Nurrochmat DR. 2005. Urgensi Implementasi PDRB Hijau Sektor Kehutanan. Badan Planologi Kehutanan. Jakarta.