LEMON LAW, SUATU UPAYA HUKUM BAGI PEMILIK KENDARAAN DI AMERIKA (STUDI PERBANDINGAN HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN DI INDONESIA)

dokumen-dokumen yang mirip
UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN [LN 1999/42, TLN 3821]

HAK DAN KEWAJIBAN KONSUMEN DAN PELAKU USAHA

TANGGUNG JAWAB HUKUM PELAKU USAHA TERHADAP KONSUMEN Oleh : Sri Murtini Dosen Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi Surakarta.

PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI KOTA

BAB III TANGGUNG JAWAB PENYELENGGARAAN JASA MULTIMEDIA TERHADAP KONSUMEN. A. Tinjauan Umum Penyelenggaraan Jasa Multimedia

UU PERLINDUNGAN KONSUMEN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

BUKU SEDERHANA MEMAHAMI PRINSIP-PRINSIP PERLINDUNGAN KONSUMEN

PEMERINTAH KABUPATEN PELALAWAN

WALIKOTA JAMBI PROVINSI JAMBI

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERLINDUNGAN KONSUMEN ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI, ANISAH SE.,MM.

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi sangat memerlukan tersedianya dana. Oleh karena itu, keberadaan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : Mengingat :

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

5 Mei (Muhammad, 2010) Ini merujuk pada ketentuan yang diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata yang berbunyi: Pembelajaran

STIE DEWANTARA Perlindungan Konsumen Bisnis

BAB III TINJAUAN TEORITIS. A. Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Konsumen

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERILAKU KONSUMEN. Maya Dewi Savitri, MSi.

KEBIJAKAN PEMERINTAH DI BIDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN. memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur dan mengandung sifat

UU PERLINDUNGAN KONSUMEN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

BAB III TINJAUAN UMUM. Pada era globalisasi dan perdagangan bebas saat ini, banyak bermunculan berbagai macam

UU PERLINDUNGAN KONSUMEN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

A. Perlindungan Hukum yang dapat Diperoleh Konsumen Terhadap Cacat. Tersembunyi yang Terdapat Pada Mobil Bergaransi yang Diketahui Pada

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PELAKU USAHA Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENCANTUMAN KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN JUAL BELI DIHUBUNGKAN DENGAN BUKU III BURGERLIJK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lex Privatum, Vol. IV/No. 1/Jan/2016

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB V PENUTUP. Berdasarkan analisis di atas penulis akan memberikan kesimpulan dari

BAB I PENDAHULUAN. setelah dikirim barang tersebut mengalami kerusakan. Kalimat yang biasanya

BAB I PENDAHULUAN Meski belum terlalu populer, pada tahun 1996 mulai bermunculan

BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG Match Day 11 PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini perkembangan era globalisasi yang semakin pesat berpengaruh

The First Food Technology Undergraduate Program Outside of North America Approved by the Institute of Food Technologists (IFT)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Konsumen Dan Pelaku Usaha Menurut Undang undang

BAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

Makan Kamang Jaya. : KESIMPULAN DAN SARAN. permasalahan tersebut. BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai variasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan dan perkembangan perekonomian pada umumnya dan

PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN KONSUMEN

BAB III. A. Jual Beli Fashion Hijab Secara Online di Instagram #tashaproject Jual beli telah dipraktekkan oleh masyarakat primitif ketika uang

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Konsumen berasal dari kata consumer (Inggris-Amerika), atau

BAB II PERLINDUNGAN KONSUMEN ATAS PEMAKAIAN JASA DARI PELAKU USAHA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

BAB III KLAUSULA BAKU PADA PERJANJIAN KREDIT BANK. A. Klausula baku yang memberatkan nasabah pada perjanjian kredit

BAB 2 TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Undang-Undang No 9 Tahun 1999 berjudul Undang-Undang tentang Perlindungan

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 51. Grafindo Persada, 2004), hal. 18. Tahun TLN No. 3790, Pasal 1 angka 2.

BAB III KERANGKA TEORITIS. orang yang memiliki hubungan langsung antara pelaku usaha dan konsumen.

BAB II PERLINDUNGAN KONSUMEN MELALUI KONTEN LABEL PRODUK ROKOK MENURUT PERATURAN PEMERINTAH NO. 109 TAHUN 2012

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONSUMEN DAN PELAKU USAHA DALAM KONTEKS PERLINDUNGAN KONSUMEN. iklan, dan pemakai jasa (pelanggan dsb).

Pedoman Klausula Baku Bagi Perlindungan Konsumen

BAB 1 PENDAHULUAN. barang dan jasa, serta fasilitas pendukung lainnya sebagai pelengkap yang dibutuhkan

Regulasi Pangan di Indonesia

TINJAUAN YURIDIS TANGGUNGJAWAB PRODUK TERHADAP UNDANG- UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

BAB V PENUTUP. terhadap turis asing sebagai konsumen, sehingga perjanjian sewamenyewa. sepeda motor, kepada turis asing sebagai penyewa.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 58 TAHUN 2001 (58/2001) TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN KONSUMEN

Jl. Jend. Ahmad Yani No.30 KARAWANG Telp. (0267) Fax. (0267) P U T U S A N

ANALISIS HUKUM TENTANG UNDANG-UNDANG RAHASIA DAGANG DAN KETENTUAN KETERBUKAAN INFORMASI DALAM UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

BAB IV ANALISIS HAK KEAMANAN PENGGUNA JALAN TOL DARI KABUT ASAP KEBAKARAN LAHAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PP NO 15 TAHUN

BAB 4 ANALISIS PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KREDIT YANG DIBAKUKAN OLEH PT. BANK X

BAB I PENDAHULUAN. dikonsumsi dapat memperluas ruang gerak transaksi barang dan/atau jasa. Kondisi

BAB V PENUTUP. 1. Hubungan hukum antara pihak maskapai penerbangan dengan konsumen. berdasarkan pada Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUHPerdata.

BAB I PENDAHULUAN. macam variasi barang maupun jasa. Banyaknya variasi barang maupun jasa

UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN DITINJAU DARI UNDANG UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

BAB II BEBERAPA ASPEK HUKUM TERKAIT DENGAN UNDANG UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN. 1. Pengertian Dasar Dalam Hukum Perlindungan Konsumen

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 58 TAHUN 2001 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN KONSUMEN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 58 TAHUN 2001 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN KONSUMEN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Perlindungan Konsumen, Konsumen, dan Pelaku Usaha

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

Majelis Perlindungan Hukum (MPH) Ikatan Laboratorium Kesehatan Indonesia (ILKI) BAB I KETENTUAN UMUM

Penerapan Klausula Baku Dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

Oleh: IRDANURAPRIDA IDRIS Dosen Fakultas Hukum UIEU

BAB V PENUTUP. 1. Keabsahan dari transaksi perbankan secara elektronik adalah. Mendasarkan pada ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum

POTENSI KEJAHATAN KORPORASI OLEH LEMBAGA PEMBIAYAAN DALAM JUAL BELI KENDARAAN SECARA KREDIT Oleh I Nyoman Gede Remaja 1

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen atau biasa disingkat dengan UUPK dan mulai diberlakukan pada tanggal 20 April UUP

Lex Privatum Vol. V/No. 9/Nov/2017

PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP MIRAS TIDAK BERLABEL DI LIHAT DARI UNDANG UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

BAB III PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA TRANSAKSI ONLINE DENGAN SISTEM PRE ORDER USAHA CLOTHING

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. 1. Klausula baku yang dipergunakan dalam praktek bisnis di masyarakat,

vii DAFTAR WAWANCARA

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS. A. Pelaksanaan Pengawasan Pencantuman Klausula Baku oleh BPSK Yogyakarta

BAB I PENDAHULUAN. memudahkan transportasi. Setelah sampai pada tujuan, kendaraan harus diparkir.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN DALAM TRANSAKSI JUAL BELI MELALUI BLACKBERRY MESSENGER (BBM) Oleh. Ardhita Dwiyana NIM.

KONSEP Etika PRODUKSI DAN Lingkungan HIDUP ANDRI HELMI M, SE., MM.

BAB V PENUTUP. 1. Persyaratan Pembangunan Rumah Susun dalam Tindakan. Hukum Pemesanan Rumah Susun

BAB II. A. Hubungan Hukum antara Pelaku Usaha dan Konsumen. kemungkinan penerapan product liability dalam doktrin perbuatan melawan

BAB II PENGATURAN LAYANAN PURNA JUAL DI INDONESIA. yaitu tahap pra transaksi, tahap transaksi konsumen, tahap purna transaksi.

I. PENDAHULUAN. Transportasi adalah suatu alat yang terus berlangsung dalam kehidupan manusia. 1

BAB II ASPEK HUKUM MENGENAI PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PERJANJIAN PADA PROGRAM INVESTASI

BAB IV PERBANDINGAN PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN DALAM TRANSAKSI JUAL BELI ONLINE MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 8

Transkripsi:

LEMON LAW, SUATU UPAYA HUKUM BAGI PEMILIK KENDARAAN DI AMERIKA (STUDI PERBANDINGAN HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN DI INDONESIA) Oleh: Dhoni Yusra Dosen FH - UIEU dhoni.yusra@indonusa.ac.id ABSTRAK Perlindungan konsumen di bidang otomotif di Indonesia, belum se-maju di Amerika Serikat yang sudah memiliki badan administrasi di bawah otoritas kejaksaan agung (Lemon Law Administration), namun demikian di Indonesia dengan lahirnya UU No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, telah melahirkan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), meskipun badan tersebut tidak secara spesifik perlindungan di bidang otomotif, melainkan perlindungan konsumen secara keseluruhan. Kondisi ini terjadi karena Indonesia dalam upayanya untuk membangun negara, berusaha melewati fase unifikasi, industrialisasi, dan kesejahteraan secara bersamaan. Kata kunci: Konsumen, BPSK, Perlindungan, Perjanjian Baku, Klaim Pendahuluan Mendengar kata lemon, orang akan berkonotasi buah jeruk yang menguning, dan mengundang selera (juicy). Namun apabila ditambah kata law sehingga menjadi Lemon Law, orang pun akan bingung, dan mungkin akan menyangka bahwa itu merupakan studi hukum tentang jeruk??, ternyata bukan!. Lemon Law adalah suatu aturan yang memungkinkan pemilik kendaraan yang baru di beli, di Amerika Serikat untuk memohon dengar-pendapat dalam forum arbitrase berkenaan dengan masalah sparepart / suku cadang yang bermasalah, termasuk pengembalian kendaraan serta pembelian ulang kendaraan. Mengapa ada lemon law? Hal ini disebabkan oleh karena Amerika dikenal sebagai negara industri otomotif terbesar di dunia. Selain itu hampir kebanyakan penduduk amerika menggunakan mobil/kendaraan bermotor sebagai alat transportasi. Sehingga produksi kendaraan bermotor di Amerika Serikat sangat besar dan akibatnya memungkinkan adanya produk kendaraan bermotor yang cacat produksi sehingga konsumen tidak puas dalam menggunakan produk tersebut. Faktor lain adalah Industri otomotif di Amerika Serikat sedemikian kuatnya, sehingga klaim mengenai cacatnya produk dari sebuah kendaraan bermotor, sering kali tidak dihiraukan. Oleh karenanya Attorney General (Kejaksaan di Amerika Serikat) membuatkan aturan tersebut, sehingga konsumen kendaraan bermotor di Amerika Serikat dapat memohon haknyadalam forum arbitrase. Kendaraan yang memenuhi Syarat Lemon Law mengatur hampir semua jenis kendaraan bermotor, yang dibeli atau di jual di Washington, dan terdaftar di Negara Bagian. Adapun bagi kendaraan militer berlaku kondisi dan syarat tertentu. Seorang pemilik kendaraan dapat memohon proses arbitrase dengan tanpa biaya selama kapan saja dalam 30 bulan sejak tanggal faktur asli pembelian atau sebelum menempuh FORUM ILMIAH INDONUSA VOL 3 NO 2 MEI 2006 39

24.000 miles, meskipun bukan pembeli orisinil. Namun demikian kendaraan tersebut harus memenuhi persyaratan tertentu. Adapun permohonan tersebut diajukan dan diterima oleh Bagian Administrasi Lemon Law dalam jangka waktu 30 bulan dari tanggal pembelian yang tertera dalam faktur pembelian. Putusan Arbitrase Dewan arbitrase harus menerbitkan putusan dalam jangka waktu 60 hari sejak tanggal penerimaan permohonan. Pemohon juga akan menerima salinan putusan, serta formulir yang berisi penerimaan atau penolakan pemohon atas putusan arbitrase. Selanjutnya pemohon memiliki waktu selama 60 hari sejak penerimaan putusan untuk memutuskan apakah menerima atau menolak putusan. Apabila pemohon menerima putusan, maka fabrikan yang memproduksi kendaraan bermotor harus: melaksanakan putusan dalam jangka waktu 40 hari sejak tanggal penerimaan putusan, atau kasasi ke Mahkamah Agung dalam jangka waktu 30 hari sejak menerima putusan. Apabila pemohon tidak setuju terhadap putusan, pemohon dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (dengan biaya sendiri), dimana pada persidangan tersebut pemohon dimungkinkan untuk mengajukan dengar pendapat baru. Namun demikian apabila pemohon berkeinginan untuk kasasi, maka waktu yang dimungkinkan adalah selama 120 hari sejak penolakan atas putusan arbitrase. Syarat Pengembalian Kendaraan yang Harus ditaati Konsumen Kantor kejaksaan akan menghubungi pemohon, apabila fabrikan bersedia memenuhi tuntutan pemohon. Apabila fabrikan tidak mau melaksanakan atau mengajukan kasasi ke mahkamah agung, maka kantor kejaksaaan tetap akan mendenda fabrikan. Apabila putusan arbitrase memutuskan untuk pembelian ulang atau penggatian suku cadang kendaraan yang rusak, maka pemenuhan/ pelaksanaan putusan dilaksanakan pada waktu dan tempat yang disepakati antara pemohon dengan fabrikan. Selain itu Pemohon wajib mengembalikan kendaraan bebas dari kerusakan (yang disebabkan oleh konsumen itu sendiri). Kondisi di Indonesia Sejauh ini belum ada otorisasi pemerintah yang khusus didirikan untuk melindungi konsumen yang membeli kendaraan bermotor (Seperti Lemon Law Administration). Yang ada saat ini lembaga swadaya masyarakat, yaitu Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), yang memberikan advokasi bagi para konsumen secara umum yang dirugikan oleh produsen secara umum, dan Badan Perlindungan Konsumen Nasional yang didirikan oleh pemerintah. Adapun organisasi masyarakat seperti Ikatan Mobil/Motor Indonesia (IMMI), Ikatan Motor Besar Indonesia (IMBI), atau group-group motor atau mobil, lebih cenderung membentuk komunitas berdasarkan kekhususan kendaraan/ keunikan kendaraan yang dimiliki. Mereka cenderung mengatasi cacat produksi dengan menggandeng beberapa bengkel langganan untuk mengatasi cacat produksi. Hal ini pernah penulis alami, ketika Motor Tiger- Honda produksi awal, yaitu Tahun 1993 milik penulis, memiliki cacat design di penahan cipratan ban belakang yang miring, serta packing seal mesin yang tidak berfungsi optimal sehingga oli mesin tetap rembes. Tindakan yang dilakukan penulis pada saat itu, adalah mengunjungi salah satu counter/ bengkel rujukan sesuai dengan buku petunjuk 40 FORUM ILMIAH INDONUSA VOL 3 NO 2 MEI 2006

pembelian, namun klaim tidak dapat diajukan karena penulis ketika membeli motor tersebut dari pihak pembeli pertama, sehingga klaim tidak dapat diajukan. Hal ini berbeda dengan aturan Lemon Law, yang memungkinkan bukan pembeli orisinil (pembeli 2nd) dapat mengklaim atas cacat produksi dari suatu kendaraan bermotor. Selanjutnya penulis melakukan perbaikan atas cacat design serta packing seal tersebut di bengkel yang menjadi rujukan dimana penulis bergabung menjadi anggota sebuah grup pemilik Honda-Tiger di Bandung. Hukum yang Mengatur Kondisi umum yang berlaku di Indonesia berkenaan dengan jual-beli kendaraan bermotor, berlaku ketentuan Hukum Jual-Beli seperti yang diatur dalam Bab V, Buku III KUHPerdata. Dimana diatur dalam Pasal 1491 KUHPerdata, bahwa penjual bertanggung jawab atas cacat-cacat tersembunyi, namun dalam 1493 KUHPerdata dimungkinkan adanya pengurangan kewajiban, bahkan menghilangkan sama sekali kewajiban melalui persetujuan khusus. Persetujuan Khusus yang dimaksud adalah pihak penjual umumnya membuat perjanjian jual-beli yang bersifat baku (Kontrak Standar), dimana pihak pembeli tidak memiliki hak untuk menawar tentang syarat dan kondisi dalam perjanjian, (Kondisi Take it or Leave it). Kondisi ini terakomodir dalam Pasal 1338 KUHPerdata, dimana perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pembuatnya. Adapun yang dimaksud dengan perjanjian yang dibuat secara sah adalah perjanjian yang mengikuti kaidah seperti yang diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata. Oleh karenanya berbekal kedua pasal tersebut, maka penjual/ fabrikan kendaraan bermotor dapat membuat Perjanjian Jual-Beli dengan konsumen yang memiliki klausula yang membatasi penjual untuk bertanggung-jawab atas cacat atau kesalahan fabrikasi kendaraan bermotor, dengan membatasi masa klaim hanya sampai dengan kilometer penggunaan tertentu, atau beberapa bulan saja. Namun dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, pada : Pasal 18 1. Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila: a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha; b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen; c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen; d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran; e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen; f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa; g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan FORUM ILMIAH INDONUSA VOL 3 NO 2 MEI 2006 41

lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya; h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran. 2. Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. 3. Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum. 4. Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan undang-undang ini. Pasal 19 1. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. 2. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 3. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi. 4. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan. 5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen. Sehingga adalah sangat jelas, pengaturan dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, kini melindungi konsumen pada umumnya dan khususnya pengguna kendaraan bermotor dari tindakan penjual/fabrikan yang memberikan perjanjian baku kepada konsumen yang isi perjanjian tersebut memiliki klausula untuk menghindari tanggung jawab penjual/ fabrikan dari cacat produksi ketika memproduksi kendaraan bermotor. Hal tersebut diatas, didasari suatu pemikiran bahwa pembangunan perekonomian nasional pada era globalisasi harus dapat mendukung tumbuhnya dunia usaha sehingga mampu menghasilkan beraneka barang dan/atau jasa yang memiliki kandungan teknologi yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak dan sekaligus mendapatkan kepastian atas barang dan/atau jasa yang diperoleh dari perdagangan tanpa mengakibatkan kerugian konsumen. Adapun konsep perlindungan konsumen yang diejawantahkan dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen terlihat dalam beberapa pasal berikut : Pasal 1 Angka 1 : Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen Pasal 4 Hak Konsumen adalah : a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan / atau jasa; 42 FORUM ILMIAH INDONUSA VOL 3 NO 2 MEI 2006

b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengani kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Pasal 6 Kewajiban pelaku usaha adalah : a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan; c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan; f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. Oleh karenanya ketentuan UU No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen mengatur ketentuan umum hak konsumen dan kewajiban produsen secara umum, meskipun tidak spesifik untuk industri otomotif dan pengguna industri otomotif (konsumen) seperti dalam Lemon Law. Dengan demikian tuntutan atas klaim cacat produksi, seperti yang pernah dialami penulis tentang kesalahan design dan tidak berfungsinya packing seal pada Motor Honda-Tiger, dapat diajukan berdasarkan Undang- Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. Hal lain yang patut diperhatikan karena adanya larangan bagi pelaku usaha seperti yang diatur dalam : Pasal 8 1. Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang: a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan; b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut; c. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah FORUM ILMIAH INDONUSA VOL 3 NO 2 MEI 2006 43

dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya; d. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut; e. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut; f. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut; g. tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/ pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu; h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label; i. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat; j. tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. 2. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud. 3. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.huumonline.com 4. Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran. Tempat pengajuan Klaim berdasarkan Hukum Indonesia Dalam Lemon Law, diatur adanya suatu badan administrasi di Kejaksaan Kota Washington yang mengurus tuntutan/ klaim tentang ketidakpuasan konsumen pengguna kendaraan bermotor. Bahkan dimungkinkan adanya pelaksanaan/ eksekusi tersebut sesuai dengan kesepakatan konsumen dan fabrikan. Adapun pada kondisi tersebut di Indonesia, aturan tentang tanggung jawab fabrikan/pelaku usaha diatur dalam: Pasal 19 1. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. 2. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 3. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi. 4. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan 44 FORUM ILMIAH INDONUSA VOL 3 NO 2 MEI 2006

adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan. 5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen. Dan apabila fabrikan tidak mau melaksanakan permohonan konsumen, maka ketentuan yang berlaku adalah: Pasal 23 Pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen (BPSK) atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen. Kondisi di Indonesia, menjadikan tuntutan atau klaim dari pengguna kendaraan bermotor yang kecewa dari hasil produksi kendaraan fabrikan, hanya dapat mengajukan ke BPSK, atau mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri di tempat tinggal fabrikan, sesuai dengan Pasal 118 HIR (asas Actor Sequitur forum rei). Selanjutnya penyelesaian sengketa antara konsumen dan fabrikan diatur lebih lanjut dalam: Pasal 45 1. Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. 2. Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. 3. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang. 4. Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa. Dalam pasal tersebut dimungkinkan pilihan tentang penyelesaian sengketa konsumen berdasarkan pilihan para pihak yaitu, melalui pengadilan atau di luar pengadilan. Namun umumnya penyelesaian sengketa antara fabrikan dengan konsumen banyak diselesaikan di luar pengadilan dengan menggunakan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang berkedudukan di Daerah Tingkat II (Kotamadya/ Kabupaten). Kesimpulan Di Amerika Serikat, kepentingan konsumen benar-benar terperhatikan. Hal ini dapat dijelaskan bahwa Amerika Serikat telah mencapai tahap welfare state, sehingga wajar apabila keberpihakan pemerintah terhadap pihak yang lemah sangat kuat. Perlindungan Konsumen merupakan konsekuensi dari kemajuaan teknologi dan industri. Adapun Indonesia melalui UU No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan Konsumen dalam LN No. 42 Tahun 1999, berupaya memberikan perlindungan konsumen, karena Indonesia sebagai Negara Berkembang sedang berupaya melewati tahapan perkembangan negara dari Unifikasi, Industrialisasi, dan Welfare State, pada saat yang bersamaan. Upaya tersebut membuahkan suatu lembaga penyelesaian sengketa yang selanjutnya disebut Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) untuk mengatasi FORUM ILMIAH INDONUSA VOL 3 NO 2 MEI 2006 45

sengketa konsumen dengan produsen/ pelaku usaha. Adapun tempat BPSK itu sendiri berkedudukan di Daerah Tk II. Sedangkan jenis sengketa yang merupakan kompetensi BPSK adalah seluruh sengketa konsumen dengan produsen/ pelaku usaha tanpa melihat jenis industri. Hal ini berbeda dengan praktek di Amerika Serikat, yang mengatur secara spesifik setiap jenis sengketa dengan lembaga tertentu, dan pengaturan spesifik serta berbeda di antara negara bagian yang ada di Amerika Serikat. Daftar Pustaka Frank, Thomas M., The New Development : Can American Law and Legal Institution help developing countries Diktat Hukum dan Pembangunan, Editor :Erman Rajagukguk, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2005. Indonesia. Undang-undang Tentang Perlindungan Konsumen, No. 8 Tahun 199, LN No. 42, 1999. Mendelson, Wallace, Law and Development of Nations (Kumpulan Bahan Kuliah Hukum dan Pembangunan) Editor :Erman Rajagukguk. Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2005. Samsul, Inosentius, Perlindungan Konsumen (Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak, Cet 1, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2004. Subekti, R, Aneka Perjanjian, Cet X. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996. 46 FORUM ILMIAH INDONUSA VOL 3 NO 2 MEI 2006