BAB III TEKNOLOGI LIDAR DALAM PEKERJAAN EKSPLORASI TAMBANG BATUBARA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V TINJAUAN MENGENAI DATA AIRBORNE LIDAR

BAB VII ANALISIS. Airborne LIDAR adalah survey untuk mendapatkan posisi tiga dimensi dari suatu titik

TEKNOLOGI LIDAR DALAM PEKERJAAN EKSPLORASI TAMBANG BATUBARA

Gambar 4.1. Kemampuan sensor LIDAR untuk memisahkan antara permukaan tanah dengan vegetasi di atasanya [Karvak, 2007]

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. bentuk spasial yang diwujudkan dalam simbol-simbol berupa titik, garis, area, dan

BAB VI TINJAUAN MENGENAI APLIKASI AIRBORNE LIDAR

BAB III APLIKASI PEMANFAATAN BAND YANG BERBEDA PADA INSAR

DAFTAR ISI. IV. HASIL PENELITIAN Batas Wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) vii

BAB 2 TEKNOLOGI LIDAR

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB IV PENGOLAHAN DATA

Pengukuran Kekotaan. Lecture Note: by Sri Rezki Artini, ST., M.Eng. Geomatic Engineering Study Program Dept. Of Geodetic Engineering

BAB V PEMBAHASAN. 5.1 Analisis Statistik Univarian

URGENSI PENETAPAN DAN PENEGASAN BATAS LAUT DALAM MENGHADAPI OTONOMI DAERAH DAN GLOBALISASI. Oleh: Nanin Trianawati Sugito*)

BAB III PENGOLAHAN DATA Proses Pengolahan Data LIDAR Proses pengolahan data LIDAR secara umum dapat dilihat pada skema 3.1 di bawah ini.

PRESENTASI TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN. suatu kegiatan yang penting dilakukan oleh suatu perusahaan, karena untuk

BAB V PEMBAHASAN 5.1 ANALISIS STATISTIK UNIVARIAN

ANALISIS KETELITIAN DATA PENGUKURAN MENGGUNAKAN GPS DENGAN METODE DIFERENSIAL STATIK DALAM MODA JARING DAN RADIAL

1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

BAB IV TINJAUAN MENGENAI SENSOR LASER

PEMETAAN BATHYMETRIC LAUT INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

PENYELIDIKAN EKSPLORASI BAHAN GALIAN

PERMODELAN DAN PERHITUNGAN CADANGAN BATUBARA PADA PIT 2 BLOK 31 PT. PQRS SUMBER SUPLAI BATUBARA PLTU ASAM-ASAM KALIMANTAN SELATAN

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang memiliki wilayah yang sangat luas, kekayaan alam yang

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan pertambangan merupakan suatu aktifitas untuk mengambil

KLASIFIKASI PENGUKURAN DAN UNSUR PETA

Tugas 1. Survei Konstruksi. Makalah Pemetaan Topografi Kampus ITB. Krisna Andhika

TEKNOLOGI RIMS (RAPID IMAGING AND MAPPING SYSTEMS)

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA

ANALISIS KETINGGIAN MODEL PERMUKAAN DIGITAL PADA DATA LiDAR (LIGHT DETECTION AND RANGING) (Studi Kasus: Sei Mangkei, Sumatera Utara)

Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Ilustrasi: Proses Produksi

Home : tedyagungc.wordpress.com

BAB I PENDAHULUAN. Tugas Akhir merupakan mata kuliah wajib dalam kurikulum pendidikan

BAB 3 LIDAR DAN PENDETEKSIAN POHON

PEMANFAATAN INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (InSAR) UNTUK PEMODELAN 3D (DSM, DEM, DAN DTM)

KONSEP PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PELAPORAN BAHAN GALIAN LAIN DAN MINERAL IKUTAN. Oleh : Tim Penyusun

STEREOSKOPIS PARALAKS

Penggunaan Egm 2008 Pada Pengukuran Gps Levelling Di Lokasi Deli Serdang- Tebing Tinggi Provinsi Sumatera Utara

Pemetaan dimana seluruh data yg digunakan diperoleh dengan melakukan pengukuran-pengukuran dilapangan disebut : Pemetaan secara terestris Pemetaan yan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

C I N I A. Survei dan Pemetaan Untuk Perencanaan Jaringan Gas Bumi Bagi Rumah Tangga Menggunakan Metode Terrestrial dan Fotogrametri Jarak Dekat

BAB II DASAR TEORI. Gambar 2.1Open Pit Mining dan Batubara [en.wikipedia.org]

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

PETA TOPOGRAFI DAN PEMBACAAN KONTUR

BAB III DATA dan PENGOLAHAN DATA

BAB 4 ANALISIS. 4.1 Analisis Kemampuan Deteksi Objek

Orthometrik dengan GPS Heighting Kawasan Bandara Silvester Sari Sai

Perbandingan Penentuan Volume Suatu Obyek Menggunakan Metode Close Range Photogrammetry Dengan Kamera Non Metrik Terkalibrasi Dan Pemetaan Teristris

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PERAN REMOTE SENSING DALAM KEGIATAN EKSPLORASI GEOLOGI

BAB III METODE PENILITIAN. Lokasi penelitian mengambil daerah studi di Kota Gorontalo. Secara

BAB II DASAR TEORI. Gambar 2.1. Kenaikan permukaan air laut dari waktu ke waktu [Mackinnon, 2004]

Bab I Pendahuluan. I.1. Latar Belakang

BAB 3. Akuisisi dan Pengolahan Data

sensing, GIS (Geographic Information System) dan olahraga rekreasi

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

- Sumber dan Akuisisi Data - Global Positioning System (GPS) - Tahapan Kerja dalam SIG

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

PEMETAAN GEOLOGI. A. Peta Geologi. B. Pemetaan Geologi

Datum Geodetik & Sistem Koordinat Maju terus

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilakukan dengan pengambilan data secara langsung (primer)

Ahli Hidrogeologi Muda. Ahli Hidrogeologi Tingkat Muda. Tenaga ahli yang mempunyai keahlian dalam Hidrogeologi Tingkat Muda

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB II LANDASAN TEORI

II.1. Persiapan II.1.1. Lokasi Penelitian II.1.2. Persiapan Peralatan Penelitian II.1.3. Bahan Penelitian II.1.4.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. masalah yang berhubungan dengan ilmu Geologi. terhadap infrastruktur, morfologi, kesampaian daerah, dan hal hal lainnya yang

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I

Peta Geologi dan Pengertian peta Geologi

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

BAB II DASAR TEORI. 2.1 DEM (Digital elevation Model) Definisi DEM

SURVEYING (CIV-104) PERTEMUAN : PENGUKURAN DENGAN TOTAL STATION

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Geologi Daerah Beruak dan Sekitarnya, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 1 A. PENGERTIAN PENGINDERAAN JAUH B. PENGINDERAAN JAUH FOTOGRAFIK

Perbandingan Penentuan Volume Obyek Menggunakan Metode Close Range Photogrammetry- Syarat Kesegarisan dan Pemetaan Teristris

Sumber Data, Masukan Data, dan Kualitas Data. by: Ahmad Syauqi Ahsan

BAB II DASAR TEORI 2. 1 Fotogrametri

III. METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENGUKURAN BEDA TINGGI / SIPAT DATAR

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

Bab IV ANALISIS. 4.1 Hasil Revisi Analisis hasil revisi Permendagri no 1 tahun 2006 terdiri dari 2 pasal, sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN. bergerak di sektor pertambangan batubara dengan skala menengah - besar.

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 85 TAHUN 2007 TENTANG JARINGAN DATA SPASIAL NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB IV ANALISIS IV.1 Analisis Data

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PEMBUATAN MODEL TIGA DIMENSI (3D) SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) UNTUK VISUALISASI WILAYAH KOTA

Gambar 3. Peta Orientasi Lokasi Studi

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

Transkripsi:

BAB III TEKNOLOGI LIDAR DALAM PEKERJAAN EKSPLORASI TAMBANG BATUBARA 3.1 Kebutuhan Peta dan Informasi Tinggi yang Teliti dalam Pekerjaan Eksplorasi Tambang Batubara Seperti yang telah dijelaskan dalam BAB I Dasar Teori sebelumnya, bahwa dalam kegiatan eksplorasi di kawasan tambang batubara ini meliputi kegiatan pemetaan topografi, pemetaan geologi dan pemboran. Hasil dari kegiatan pemetaan topografi merupakan peta yang memiliki referensi tertentu yang menjadi dasar dalam melakukan kegiatan penambangan selanjutnya. Penentuan lokasi untuk titik pengamatan dan/atau titik pengukuran, seperti lokasi singkapan, lokasi contoh, lokasi sumur uji, lokasi pemboran dan sebagainya sangat bergantung dari tahapan eksplorasi. Pada tahapan eksplorasi detail, lokasi singkapan, sumur uji dan lainnya, ditentukan dengan menggunakan alat ukur (minimal T0) yang diikat pada titik ikat terdekat yang sudah ada dan ditentukan dalam koordinat UTM. Lokasi singkapan pada pemetaan geologi kemudian diplot pada peta dasar dengan skala minimal 1 : 5000 atau lebih besar. Dari kegiatan eksplorasi ini, akan didapatkan hasil akhir berupa : 1) Peta lokasi/situasi skala 1 : 25.000 sampai 1 : 50.000 2) Peta topografi skala 1 : 500 sampai 1 : 2.000 3) Peta kajian eksplorasi skala 1 : 2.000 sampai 1 : 10.000 (meliputi lokasi singkapan, parit uji, pemboran, dan pengambilan contoh) 4) Peta geologi daerah skala 1 : 500 sampai 1 : 2000 5) Peta perhitungan cadangan skala 1 : 500 sampai 1 : 2000 6) Penampang geologi 7) Penampang sumur uji 8) Penampang bor, dll. 48

Peta geologi, singkapan, lokasi titik bor, sumur uji dan lainnya diperoleh dengan melakukan pengeplotan di atas peta topografi (peta dasar) daerah tersebut. Dari skala yang ada, dapat dilihat bahwa peta topografi dengan skala yang besar dan teliti sangat dibutuhkan dalam kegiatan penambangan batubara khususnya dalam kegiatan eksplorasi. Dengan skala yang besar juga berkaitan dengan interval kontur yang digunakan. Adapun hubungan tersebut ditunjukkan sebagai berikut : Interval kontur = 1/2000 x faktor skala peta [ Jawatan Topografi] Untuk mendapatkan interval kontur dengan menggunakan ketentuan di atas, maka untuk pemetaan terestrial akan membutuhkan waktu, tenaga dan biaya yang tidak sedikit jika wilayah yang dipetakan sangat luas. Selain itu, peta topografi dengan ketelitian yang tinggi sangat diperlukan dalam kegiatan eksplorasi tambang batubara ini. Dalam skripsi ini, akan dibahas beberapa contoh kasus yang berkaitan dengan kebutuhan informasi tinggi dalam kegiatan eksplorasi antara lain dalam hal perhitungan cadangan batubara dan perencanaan kedalaman lubang bor untuk kegiatan eksplorasi detil. Namun, dalam praktek kegiatan penambangan batubara sering ditemukan masalah peta topografi yang tidak merepresentasikan kondisi topografi di lapangan. Gambar 3.1 Peta Topografi Tidak Menggambarkan Kondisi Topografi Di Lapangan 49

1) Perhitungan Cadangan Batubara Untuk mengetahui apakah batubara di suatu area layak atau tidak untuk ditambang, maka ada beberapa parameter yang harus diperhitungkan, antara lain yaitu stripping ratio, kualitas dan kuantitas dari batubara tersebut. Seperti yang telah dijelaskan pada bab dasar teori bahwa batubara layak ditambang jika kualitas dan kuantitas dapat memenuhi permintaan, stripping ratio berkisar antara 1:3 hingga 1:20, jika lebih dari itu maka cadangan yang ada tidak layak untuk ditambang. Stripping ratio merupakan perbandingan antara batubara dan overburden (lapisan penutup batubara). Yang sering menjadi permasalah dalam perhitungan cadangan batubara ini adalah perhitungan striping ratio yang tidak tepat. Pada perhitungan ini, digunakan suatu software tertentu, dimana untuk penentuan volume overburden dan seam batubara tersebut menggunakan batas atas (peta topografi yang ada) dan batas bawah (berdasarkan hasil survey geologi). Jika peta topografi yang ada merupakan representasi dari keadaan topografi di lapangan (ilustrasi pada gambar 3.2), maka tidak 50ka nada masalah dalam perhitungan striping ratio ini. Namun, jika peta topografi yang digunakan tidak merepresentasikan kondisi topografi yang sebenarnya di lapangan, maka hal ini akan mengakibatkan masalah dalam perhitungan cadangan batubara. Seperti yang diilustrasikan pada gambar 3.3) dimana peta topografi yang digunakan berada di atas (lebih tinggi) dari keadaan topografi yang sebenarnya di lapangan. Dalam perhitungan di software dikatakan bahwa cadangan tersebut layak untuk ditambang, tapi kenyataannya di lapangan tidak demikian. Dan sebaliknya (ilustrasi pada gambar 3.4). Hal ini akan berkaitan langsung dengan rencana waktu, biaya dan tenaga yang dibutuhkan untuk kegiatan eksplorasi lanjut. Gambar 3.2 Batas Atas yang digunakan dalam Pemodelan Benar 50

Gambar 3.3 Batas Atas yang digunakan dalam Pemodelan Salah(Lebih Tinggi dari Ketinggian Topografi yang Sebenarnya) Gambar 3.4 Batas Atas yang digunakan dalam Pemodelan Salah(Lebih Rendah dari Ketinggian Topografi yang Sebenarnya ) 51

2) Perencanaan Kedalaman Lubang Bor Dalam perencanaan lubang bor, juga sama halnya dengan perhitungan cadangan batubara. Dengan menggunakan software untuk menentukan kedalaman lubang bor rencana, juga memanfaatkan peta topografi sebagai batas atas dari pemodelan tersebut. Jika peta topografi yang ada menggambarkan kondisi topografi dilapangan secara benar, maka tidak akan ada masalah dalam perencanaan kedalaman lubang bor. Akan tetapi, jika yang terjadi adalah seperti gambar 3.5) dimana batas atas yang digunakan berada lebih tinggi dari topografi di lapangan (ilustrasi gambar 3.6), maka kedalaman lubang bor yang direncanakan harus dapat menembus seam batubara. Akan tetapi, yang terjadi setelah diterapkan dilapangan, kedalaman lubang bor yang direncakan menjadi berlebihan (ilustrasi gambar 3.7). Demikian juga sebaliknya, jika batas atas yang digunakan ketinggiannya lebih rendah dibandingkan ketinggian topografi yang sebenarnya di lapangan (ilustrasi gambar 3.8), maka setelah diterapkan di lapangan, lubang bor yang direncanakan tidak menembus lapisan batubara (ilustrasi pada gambar 3.9). Hal ini mengakibatkan informasi geologi yang diperoleh tidak lengkap. Perencanaan kedalaman lubang bor ini menentukan estimasi dalam penentuan alat bor, metode pemboran, biaya, tenaga dan waktu yang diperlukan. Semakin dalam kedalaman dari lubang bor tersebut, maka semakin mahal biaya yang dibutuhkan, selain itu juga memerlukan waktu dan tenaga yang tidak sedikit. Gambar 3.5 Batas Atas yang digunakan dalam Pemodelan Benar 52

Gambar 3.6 Batas Atas yang digunakan dalam Pemodelan Salah(Lebih Tinggi dari Ketinggian Topografi yang Sebenarnya ) Gambar 3.7 Kedalaman Lubang Bor Rencana Menjadi Berlebihan 53

Gambar 3.8 Batas Atas yang digunakan dalam Pemodelan Salah(Lebih Rendah dari Ketinggian Topografi yang Sebenarnya ) Gambar 3.9 Kedalaman Lubang Bor Rencana Tidak Menembus Seam Batubara 54

3.2 Aplikasi Teknologi LIDAR dalam Pekerjaan Eksplorasi Tambang Batubara Dari beberapa uraian di atas, maka dapat dilihat bahwa peta dengan informasi tinggi yang teliti sangat dibutuhkan dalam pekerjaan eksplorasi tambang batubara. Khususnya dalam perhitungan cadangan dan estimasi kedalaman lubang bor rencana. Hal ini sering menjadi permasalahan dalam pekerjaan eksplorasi tambang batubara. Dimana peta topografi yang digunakan memiliki informasi ketinggian yang kurang tepat. Teknologi LIDAR merupakan teknologi yang mampu mengatasi masalah di atas. LIDAR mampu memetakan wilayah yang relatif luas dalam waktu singkat dan biaya yang relatif murah. Selain itu, ketelitian yang tinggi untuk informasi ketinggian juga dapat diperoleh dengan teknologi LIDAR ini. Dalam aplikasi pemetaan, LIDAR diintegrasikan dengan ortofoto. Sehingga dalam skripsi ini juga dilengkapi dengan beberapa penjelasan mengenai ortofoto tersebut. Adapun fungsi dari ortofoto di sini adalah untuk memperoleh informasi planimetrik dan untuk memudahkan dalam penginterpretasian objek-objek yang ada di permukaan bumi. Selain itu juga digunakan untuk proses penurunan peta garis. Berikut ini akan dijelaskan kemampuan LIDAR dalam memperoleh informasi tinggi yang teliti dalam pembuatan peta. Gambar 3.10 Kemampuan LIDAR dalam Pengukuran Multiple Retur [lidar.com, 2009] 55

Gambar di atas menunjukkan kemampuan sensor LIDAR dalam hal pengukuran multiple return. Multiple return digunakan untuk menentukan bentuk dari objek atau vegetasi yang menutupi permukaan tanah. Gelombang yang dipancarkan dan dipantulkan tidak hanya mengenai permukaan tanah tapi juga mengenai objek-objek yang ada di atas permukaan tanah. Masing-masing pantulan yang dihasilkan diukur intensitasnya, sehingga diperoleh gambaran atau bentuk dari objek yang menutupi permukaan tanah tersebut. Pantulan pertama akan mengukur jarak dari objek pertama yang ditemui, contohnya pohon. Pantulan terakhir akan mengukur jarak objek terakhir, contohnya tanah. Dengan memperhatikan data pertama dan terakhir secara simultan, maka akan diperoleh tinggi pohon dan topografi permukaan tanah. Multiple return biasanya diaplikasikan untuk daerah-daerah yang vegetasinya sangat padat. Selain itu, LIDAR juga mampu menghasilkan data dengan interval antar titik yang sangat rapat. Untuk vegetasi yang rapat dan jika model topografi tanah merupakan produk akhir yang diinginkan, maka harus menggunaan sistem yang memiliki kemampuan seperti kecepatan dalam melakukan penyiaman yang tinggi, kecepatan terbang yang rendah, dan sudut pancar yang kecil. Kesemuanya berfungsi untuk menghasilkan spasi titik yang rapat dan memungkinkan pulsa sampai ke tanah. Tabel di bawah ini menunjukkan perbedaan pemetaan topografi wilayah penambangan batubara skala besar (1:1000 sampai 1:2500), dengan luas wilayah ± 10.000 Ha sampai dengan 15.000 Ha. Tabel 3.1 Perbandingan pemetaan Terestrial, Fotogrametri dan LIDAR Terestrial Fotogrametri LIDAR Luas Area Relatif Luas Relatif Luas Relatif kecil (<1000 Ha) Efektif (>1000Ha) (>1000Ha) Ketelitian Relatif Tinggi Relaif Kurang Relatif Tinggi Planimetrik (0.3 x faktor skala peta) (0.2-1 m) Ketelitian Relatif Tinggi Relatif Tinggi Relatif Sedang Tinggi (Faktor skala peta/2000) (10-15 cm) Kecepatan Proses Relatif Lama Relatif Sedang Relatif Cepat Biaya Mahal Murah Relatif Murah 56

Sebanyak yang Sebanyak yang Jumlah Terbatas pada objek yang mampu mampu Informasi diukur diinterpretasikan diinterpretasikan dari foto yang ada dari foto yang ada Berdasarkan tabel di atas, untuk area penambangan batubara dengan luas daerah lebih dari 1000 Ha, maka pemetaan dengan metode terestris sangat efektif. Sehingga metode fotogrametri dan LIDAR merupakan salah satu alternative pemetaan untuk cakupan area yang luas. Akan tetapi, jika produk akhir yang diharapkan berupa peta topografi dengan ketelitian tinggi yang bagus, maka pemetaan dengan metode fotogrametri tidak tepat diterapkan untuk area dengan tutupan lahan berupa hutan. Karena untuk mendapatkan informasi ketinggian dari metode fotogrametri, diperlukan sepasang sinar dari dua foto yang bertampalan (ilustrasi pada gambar di bawah ini). Gambar 3.11 Metode Fotogrametri Efektif Untuk Wilayah yang tidak Tertutup Pepohonan Gambar 3.12 Tinggi yang Diperoleh dari Fotogrametri Bukan Tinggi Topografi yang Sebenarnya 57

Sedangkan dengan teknologi LIDAR sangat tepat jika diterapkan untuk area penambangan yang didominasi pepohonan. Karena LIDAR memiliki kemampuan penetrasi (melewati celah-celah pepohonan) yang sangat baik dan multiple return. Dengan kemampuan sinar laser untuk melakukan pentrasi tersebut, maka informasi topografi permukaan tanah akan dapat diperoleh. Seperti ilustrasi pada gambar 3.13) berikut ini. Gambar 3.13 Metode LIDAR Sangat Efektif Untuk Wilayah yang Tertutup Pepohonan Berikut ini akan dijelaskan mengenai perolehan informasi planimetrik dari pemetaan dengan menggunakan metode fotogrametri dan tinggi dengan menggunakan LIDAR. 3.2.1 DTM LIDAR dan fotoudara Ada beberapa definisi DTM yang dapat diperoleh dari literatur-literatur yang ada. Salah satu diantaranya LINKWITZ (1970), dikutip dari Budiana, 1982 memberikan definisi sebagai berikut : Digital Terrain Model adalah suatu sistem pembentukan model permukaan tanah yang terdiri dari dua bagian, yaitu : 1) Pengambilan data terhadap titik yang dapat mewakili keseluruhan bentuk terrain, kemudian data tersebut disimpan pada memori Komputer, dan 2) Rangkaian pekerjaan interpolasi titik-titik yang baru dari hasil pengumpulan data tadi. Dari definisi tersebut dapat dilihat bahwa teknik DTM terdiri dari dua tahapan, yaitu : 1) Pengumpulan parameter-parameter posisi (X,Y,Z) dari titik-titik yang dapat dianggap mewakili keseluruhan terrain ke dalam suatu komputer. 58

2) Pekerjaan komputer untuk menghasilkan informasi dari hasil pengumpulan data-data tadi. Untuk wilayah yang ditutupi oleh vegetasi yang sangat lebat, akan sangat sulit untuk mendapatkan DTM dengan ketelitian yang tinggi pada daerah yang dilingkupi oleh hutan jika menggunakan metode fotogrametri. Karena, suatu titik akan dapat diketahui ketinggiann dengan menggunakan metode fotogrametri jika titik tersebut berada pada minimal dua foto yang saling bertampalan. Sedang jika kondisi liputannya berupa hutan, akan sangat sedikit titik ketinggian yang diperoleh pada satu model yang ada, bahkan biasanya ketinggian yang diperoleh dengan metode fotogrametri ini untuk wilayah hutan merupakan ketinggian dari pepohonan. Oleh karena itu, untuk mendapatkan interval kontur yang rapat dengan metode fotogrametri, perlu dilakukan interpolasi antar titik ketinggian yang diperoleh dari digitasi ketinggian pada pengolahan foto udara. Akan tetapi, interval ketinggian yang diperoleh dari hasil digitasi tersebut sangat besar, sehingga hasil interpolasi antar titik yang dihasilkan kurang teliti. Dengan berbagai kendala yang ada pada metode terrestrial, satelit, dan fotogrametri tersebut, untuk wilayah tambang batubara yang membutuhkan peta topografi dengan interval kontur yang rapat dan teliti, maka teknologi LIDAR merupakan salah satu alternatif yang tepat untuk digunakan di wilayah pertambangan batubara. Ketelitian tinggi suatu titik di permukaan bumi dapat diperoleh dengan teknologi ini dalam waktu yang singkat dan biaya yang relatif lebih murah. Berikut ini diperlihatkan DTM yang diperoleh dengan menggunakan metode fotogrametri dan LIDAR. DTM yang diperoleh dengan fotogrametri tidak dapat memperlihatkan bentuk-bentuk relief permukaan topografi secara menyeluruh. Akan tetapi, dengan menggunakan teknologi LIDAR, bentuk representasi permukaan bumi, seperti lereng, patahan, cekungan dan sebagainya.dapat diperlihatkan dengan jelas. 59

DTM Fotogrametri DTM LIDAR Gambar 3.14 DTM LIDAR dan Fotogrametri 3.2.2 Planimetrik LIDAR dan Ortofoto Untuk informasi planimetrik dan untuk keperluan pembuatan peta garis, maka yang baik digunakan yaitu ortofoto. Karena dalam hal ini ada beberapa pertimbangan antara lain : 1) Ortofoto menggunakan proyeksi orthogonal, dimana efek kemiringan dan pergeseran relief sudah dikoreksi (efek beda tinggi objek tidak dikoreksi). Sedangkan dalam LIDAR, untuk koordinat planimetrik kurang teliti karena setiap titik data LIDAR memiliki 7 parameter (ϕ,ω,κ,x,y,z,dan jarak). Hal ini akan mengakibatkan semakin besarnya akumulasi kesalahan yang diakibatkan oleh IMU dan GPS. Sedangkan pada ortofoto, dalam satu foto (terdapat mencapai ribuan titik planimetrik) hanya ada 7 parameter (ϕ,ω,κ,x,y,z,dan skala). Sehingga akumulasi kesalahan akibat kesalahan alat IMU maupun GPS lebih sedikit dibandingkan dengan LIDAR. 2) Ortofoto yang didapat dari foto udara berwarna asli (contoh : foto pankromatik berwarna), dalam hal ini menggunakan spektrum gelombang elektromagnetik cahaya tampak, sehingga foto udara yang dihasilkan menunjukkan warna yang sebenarnya dari objek tersebut. Hal ini akan mempermudah dalam hal penginterpretasian objek yang ada dipermukaan bumi. Jika dibandingkan dengan LIDAR dimana hasil ploting titiktitik yang diperoleh bersifat monokromatik, sehingga lebih sulit dalam penginterpretasian suatu objek. 60

Gambar 3.15 Ploting LIDAR dan Ortofoto[Karvak, 2009] 3.2 Perencanaan Pengambilan Data LIDAR dan Foto Udara Pengambilan data LIDAR dan foto udara dilakukan secara bersamaan dengan menggunakan wahana yang sama (misal : pesawat). Oleh karena itu, dalam perencanaan harus memperhitungkan mengenai teknis pengambilan data LIDAR maupun foto udara. Untuk perencanaan sebaran base station sebaiknya antara satu dengan yang lainnya berada pada radius 20 km. Hal ini berkaitan dengan tingkat ketelitian data yang dihasilkan, semakin jauh radius base stasion yang satu dengan yang lainnya maka semakin tidak teliti data yang dihasilkan. Adapun untuk perencanaan tinggi terbang dilakukan pada ketinggian yang memungkinkan pesawat tidak berada di atas awan atau kabut tebal. Karena sensor LIDAR tidak dapat menembus awan maupun kabut tebal tersebut. Selain itu, harus dilakukan pada kondisi cuaca yang bagus (tidak ekstrim). LIDAR memiliki angle field of view(afov) yaitu sudut pancar sensor dan kamera pada metode fotogrametri juga memiliki angle field of view yang berbeda. Akan tetapi, untuk besarnya angle field of view yang dimiliki oleh kamera sebaiknya sama besar atau lebih besar dari angle field of view sensor LIDAR (gambar 3.16). Hal ini karena dalam 61

perencanaan jalur penerbangan mengikuti jalur penerbangan LIDAR, sehingga jika AFOV dari kamera lebih kecil dibandingkan dengan LIDAR maka aka nada area yang tidak terpotret (ilustrasi pada gambar 3.17). Hal ini mengakibatkan informasi yang didapat kurang. Gambar 3.16 Angle Field of View dari Kamera Sama Besar atau Lebih Besar dari Angle Field of View sensor LIDAR Gambar 3.17 Jalur Penerbangan untuk Pengambilan Data LIDAR dan Foto Udara 3.3 Integrasi LIDAR dan Fotogrametri untuk Kebutuhan Kegiatan Eksplorasi Tambang Batubara Dengan memanfaatkan informasi planimetrik yang diperoleh dengan menggunakan fotogrametri dan informasi ketinggian dengan menggunakan LIDAR, maka peta topografi dengan ketelitian planimetrik dan tinggi yang baik akan dapat diperoleh. Informasi 62

planimetrik dari fotogrametri diperoleh dari orto foto yang telah dikoreksi dengan melakukan orthorectifikasi. Dibawah ini adalah diagram pengolahan data untuk melakukan integrasi antara LIDAR dan foto udara. Pada pengolahan data fotogrametri, biasanya untuk mendapatkan kontur ketinggian peta garis maupun foto, maka perlu dilakukan pendigitasian terhadap model yang ada. Akan tetapi, kali ini, kontur didapat dari turunan data LIDAR (dengan menurunkannya dari DTM LIDAR) dan untuk planimetrik didapat dari foto udara. Diagram 3.1 Pengintegrasian Data LIDAR dan Foto Udara Adapun flow chart pengolahan data dan pengintegrasian/penggabungan data LIDAR dan foto udara dapat dilihat pada diagram di atas. Hasil akhir yang didapat dari sini yaitu berupa peta garis (X,Y,Z) dan/atau peta foto yang berkontur. 3.4 Sistem Referensi LIDAR dan Fotogrametri Dalam kegiatan penambangan batubara, peta topografi yang digunakan merupakan peta yang memiliki arti fisik dipermukaan bumi, khususnya untuk tinggi yang digunakan yaitu 63

tinggi orthometrik dimana bidang acuannya adalah geoid atau MSL (Mean Sea Level). Pemetaan topografi dengan menggunakan LIDAR dan foto udara, tinggi yang diperoleh merupakan tinggi terhadap ellipsoid WGS 1984 (koordinat titik kontrol berdasarkan pengukuran GPS diferensial). Sehingga untuk memperoleh tinggi terhadap geoid (dalam praktis didekati dengan Mean Sea Level (MSL), diperlukan model datum global (EGM 96) atau dengan melakukan pengamatan pasut untuk memperoleh tinggi muka air laut rata-rata (MSL). Gambar 3.18 Hubungan antara Permukaan Bumi, Geoid (MSL), dan Ellipsoid H = h - N Dimana : H = tinggi orthometrik, h = tinggi geodetik, N = Undulasi geoid Geoid memiliki peran yang penting dalam berbagai hal seperti untuk keperluan aplikasi geodesi, oseanografi, dan geofisika. Contoh untuk bidang ilmu geodesi yaitu penggunaan teknologi GPS dalam penentuan tinggi orthometrik untuk berbagai keperluan praktis seperti rekayasa, survei, dan pemetaan membutuhkan infomasi geoid teliti. Hal Ini disebabkan karena tinggi GPS bersifat geometrik. 64