An Orphaned Boy Segala peristiwa yang terjadi di dunia ini, adalah fakta-fakta yang tak dapat diubah lagi oleh apa dan siapapun juga. Peristiwa yang terjadi adalah suatu hal yang sudah nyata, wajar, dan tidak baik maupun buruk. Yang terjadi pun terjadilah! Kota kecil yang biasanya amat ramai dengan kehidupan malamnya itu kini nampak sunyi sepi seperti kota mati. Hujan turun sejak sore tadi dan malam ini hujan masih turun rintik-rintik. Walaupun tidak sederas sore tadi, namun hujan itu masih membuat orang enggan keluar rumah. Apalagi malam itu dingin sekali. Lebih enak berada di dalam rumah, menghangatkan diri dengan secangkir teh panas atau di atas pembaringan menyusup ke bawah selimut daripada di luar rumah. Hanya satu dua orang saja nampak melangkah di atas jalan raya yang basah dan sunyi lagi gelap itu, orang-orang yang mempunyai urusan penting sekali. Mereka itu melindungi tubuh dengan jubah dan mantel, juga memegang payung. Kendaraan pun tidak banyak yang melintas, hanya satu dua sepeda motor yang Nampak lalu lalang. Di sebuah rumah besar yang terletak di pinggir sebuah jalan raya, suasananya juga amat sunyi. Rumah itu milik keluarga Hermanto Wijaya yang dihormati orang karena mereka itu berdagang obat-obatan dan terkenal pula pandai mengobati orang sakit. Karena pandai mengobati orang, maka Hermanto Wijaya sendiri oleh penduduk disebut sebagai ahli pengobatan alternatif yang pandai mengobati orang dengan tusuk jarum. Perdagangan obatnya laris dan keluarga itu memiliki penghasilan cukup besar. Akan tetapi keluarga ini pun, yang terdiri dari ayah ibu dan seorang anak,dibantu oleh empat orang pelayan, sejak sore sudah berada di kamar masing-masing, segan keluar kamar di malam yang sunyi dan dingin itu. Hermanto Wijaya dan isterinya adalah sepasang suami isteri yang amar baik. Namun tiada seorang pun di kota itu yang pernah mengira, apalagi mengetahui, bahwa suami isteri itu, sebelum tinggal di dikota itu tujuh tahun yang lalu, adalah sepasang penjahat besar di sepanjang pantai selatan! Selama belasan tahun mereka merajalela di daerah selatan, merampok, menipu, mencuri dan tidak ada kejahatan yang mereka pantang. Akan tetapi ketika isteri Hermanto Wijaya yang bernama Sulastri mengandung dalam usia hampir empat puluh tahun, peristiwa ini seperti menyadarkan mereka dan mereka berdua mengambil keputusan untuk memulai hidup baru dengan anak yang akan dilahirkan. Mereka lalu merantau ke utara dan akhirnya menetap di kota itu meninggalkan pekerjaan jahat dan mencari uang secara halal. Mereka telah tinggal di situ selama tujuh tahun dan anak yang terlahir laki-laki mereka beri nama Pandu Wijaya dan kini telah berusia tujuh tahun. Sejak anak ini masih kecil, suami isteri itu telah menggembleng tubuh anak mereka dengan ramuan obat-obatan dan mendidiknya dengan baik. Sebagai orang-orang yang pernah malang melintang didunia kejahatan, tentu saja Hermanto Wijaya dan Sulastri telah menanam bibit permusuhan dengan banyak golongan atau perorangan. Ketika mereka menjadi penjahat, mereka selalu hidup dalam keadaan siap siaga karena setiap waktu bisa saja ada musuh datang menyerang karena setiap saat ada saja yang mengintai untuk mencelakai mereka sebagai pembalasan dendam. Karena cara hidup yang tidak aman inilah maka suami isteri itu mengambil keputusan melarikan diri dan meninggalkan dunia hitam. Mereka tidak ingin anak mereka terlahir dalam keluarga yang selalu terancam keselamatannya. Dan sejak tinggal di kota itu, mereka hidup dengan tenang
dan tenteram, tidak pernah lagi merasa khawatir karena tidak ada yang mengenal mereka dan mereka merasa tidak punya musuh. Hanya sesekali ayah dari Hermanto Wijaya yang tinggal di sebuah desa mengunjungi mereka. Bahkan rencananya, besok pagi lelaki itu akan datang mengunjungi anaknya setelah lama tidak bertemu. Empat orang pelayan, dua laki-laki dan dua wanita, yang tidur di kamar-kamar belakang sejak tadi sudah tidur keenakan dalam udara dingin yang menerobos masuk ke dalam kamar mereka.tak seorang pun dari tujuh penghuni rumah besar itu yang tahu bahwa ada dua sosok tubuh orang yang berjalan sambil berlindung di bawah sebatang payung, berhimpitan dan keduanya mengenakan mantel yang lebar, kini berhenti di depan rumah, menoleh ke kanan kiri. Sepi di sekitar tempat itu dan dua orang itu lalu memasuki pekarangan rumah. Di bawah sinar lampu yang ada di luar, di pojok rumah, nampak sekelebatan wajah dua orang laki-laki, yang pertama bertubuh jangkung kurus dan yang kedua bertubuh sedang. Hanya sekelebatan saja wajah mereka nampak karena keduanya segera menyelinap ke dalam bayangan gelap dan hanya dua pasang mata mereka yang terlihat dalam kegelapan malam. Dengan tenang mereka lalu menutup payung, membuka mantel, membungkus payung dalam mantel dan mengikat mantel-mantel itu di atas punggung. Kini mereka berpakaian ringkas, pakaian berwarna hitam yang membuat bayangan mereka sukar dapat dilihat. Dengan gerakan yang amat cekatan, setelah saling berbisik, keduanya lalu meloncat ke atas tembok pagar dan terus berloncatan ke atas genteng rumah besar itu. Gerakan mereka demikian ringan dan cepat, seperti dua ekor kucing saja ketika kaki mereka menginjak genteng tanpa menimbulkan suara sama sekali, dan bagaikan dua ekor burung saja ketika mereka meloncat. Di ruangan belakang rumah itu, dua orang itu berloncatan turun. Dengan tenang mereka lalu menghampiri dua buah kamar di mana empat orang pelayan itu tidur. Masingmasing menghampiri sebuah kamar, lelaki pertama menghampiri pintu kamar pertama dan yang kedua menghampiri pintu kamar ke dua. "Krekkk!" Daun pintu yang terkunci dari dalam itu jebol dan terbuka. Di dalam kamar pertama itu dua orang pelayan pria terbangun kaget dan laki-laki jangkung itu lalu mengeluarkan sebuah senjata, menodongkan kearah mereka sambil menaruh telunjuknya diatas bibir, menyuruh kedua pelayan itu untuk diam. Dengan penuh ketakutan dan tubuh menggigil kedua pelayan itu tidak berani mengeluarkan suara. Hal yang sama dilakukan oleh lelaki kedua ketika dia memasuki kamar pelayan wanita. "Suara apa itu?" Sulastri bertanya, sadar dari tidurnya. Suaminya juga sudah membuka mata dan memandangnya, menggeleng kepala. Akan tetapi karena tidak terdengar suara apa-apa lagi yang mencurigakan, mereka pun merasa lega. "Mungkin suara angin," kata Hermanto Wijaya, sama sekali tidak menduga buruk karena selama bertahun-tahun ini tidak pernah terjadi sesuatu menimpa keluarganya. Akan tetapi kelegaan hati mereka itu tidak berlangsung lama. Kecurigaan hati mereka kembali diusik ketika terdengar gonggong kedua ekor anjing peliharaan mereka, apalagi
ketika suara menggonggong kedua ekor anjing itu tiba-tiba saja terhenti. Hal ini tidak wajar, pikir mereka. Dari pandang mata saja kedua suami isteri itu sudah saling sepakat untuk melakukan penyelidikan. Berbareng mereka meloncat turun dari pembaringan, mengenakan alas kaki dan keluar dari dalam kamar. Pertama-tama.mereka membuka daun pintu putera mereka dan melihat betapa putera mereka pun terjaga dan duduk bersila, agaknya juga terganggu oleh suara gonggongan anjing-anjing itu. "Anjing-anjing itu kenapa, Ibu?" Panya Pandu. "Kau di sinilah, kami akan melihat ke belakang." kata ibunya. Mereka lalu keluar dari kamar itu, menutupkan kembali daun pintunya dan dengan langkah ringan namun cepat, suami isteri itu lalu berlari ke belakang. Dan apa yang dilihatnya pertama-tama membuat mereka terbelalak dan wajah mereka berubah. Dua ekor anjing peliharaan mereka yang setia itu telah menggeletak mati! Mereka saling pandang dengan mata terbelalak. "Perbuatan siapa ini.?" Bisik isterinya. Suaminya menggeleng kepala, akan tetapi kelihatan marah. "Mari kita mencarinya!" Mereka berlompatan ke belakang. "Cepat, anak kita.! Sulastri setengah menjerit ketika teringat anaknya dan seperti berlumba saja kedua orang suami isteri itu berlari kembali ke dalam ruangan besar dan segera menuju ke kamar anak mereka. Daun pintu masih tertutup dan dengan hati penuh ketegangan Sulastri yang datang lebih dulu dari suaminya itu cepat mendorong daun pintu. Legalah hatinya melihat betapa puteranya masih duduk bersila seperti tadi! "Eh, ada apakah Ibu? Yanya Pandu, terkejut melihat cara masuknya ibu dan ayahnya itu dan melihat wajah mereka pucat, dibayangi ketegangan dan kegelisahan. Tanpa mengeluarkan kata-kata Sulastri merangkul puteranya. "Tidak ada apa-apa, hanya ada orang jahat memasuki rumah kita," bisiknya. "Wah, kalau begitu mari kita tangkap dan hajar dia, Ibu!" Pandu berkata penuh semangat dan dia sudah meloncat turun dan tentu akan berlari keluar kalau tidak dipegang ibunya. "Ssttt..." kata ibunya. Pada saat itu terdengar suara dari luar. "kami datang untuk menangkap suami isteri Hermanto Wijaya!" Hermanto Wijaya berlari keluar pintu depan sedangkan isterinya sudah melompat keluar melalui pintu samping setelah memesan agar puteranya tinggal saja dalam kamar. Suami isteri itu muncul di pekarangan depan rumah mereka dari dua jurusan pada waktu yang sama dan di tengah pekarangan itu, di bawah sinar lampu yang suram karena walaupun hujan tinggal sedikit sekali namun cuaca masih amat gelap, berdiri dua orang yang berpakaian serba hitam.
Hermanto Wijaya dan istrinya mendekati dua orang itu dengan hati-hati dan memandang penuh perhatian. Setelah berpikir sejenak akhirnya mereka mengenal wajah dua orang itu. Kiranya kalian... Gumam Hermanto Wijaya. Laki-laki jangkung kurus berusia kurang lebih lima puluh tahun itu tersenyum kecut dan temannya yang hanya beberapa tahun lebih muda, menyeringai, tarikan bibir keduanya mengandung ejekan. Sekilas terbayanglah pengalaman kurang lebih sepuluh tahun yang lalu ketika Hermanto Wijaya dan isterinya masih merajalela sebagai penjahat. Dua orang yang sekarang berdiri dihadapan mereka itu adalah sepasang polisi yang terus memburu mereka. Beberapa kali keduanya mencoba menangkap sepasang suami isteri ini, akan tetapi Hermanto Wijaya dan istrinya selalu berhasil melarikan. "Kami datang untuk membawa kalian ke penjara." Berkerut dahi Hermanto Wijaya. Apakah kalian tidak lihat keadaan kami yang sekarang? Kami bukanlah seperti kami yang dahulu lagi, mohon dipertimbangkan "Hermanto Wijaya, kami tidak ingin membahas keadaan kalian sekarang. Kami datang untuk menegakkan hukum!" Sepasang suami itu tertegun. Semenjak mereka pindah ke kota itu, mereka "mencuci tangan" dan tidak pernah melakukan kejahatan lagi, memelihara dan mendidik anak tunggal mereka dan bekerja dengan halal. Mereka tidak tahu bahwa semua perbuatan mereka yang lalu itu tidak habis begitu saja, mengandung akibat-akibat yang agaknya baru sekarang timbul dan mengganggu kehidupan mereka yang tadinya tenteram. Ijinkan kami melihat putra kami dahulu. Berkata Hermanto Wijaya. Tanpa menunggu jawaban, Sulastri cepat lari memasuki rumah lagi, diikuti oleh suaminya yang juga merasa khawatir sekali. Ketika mereka membuka daun pintu, dapat dibayangkan betapa kaget dan gelisah rasa hati mereka melihat bahwa kamar putera mereka itu telah kosong dan tidak nampak bayangan Pandu! "Pandu!" Sulastri menjerit dan cepat keluar lagi, berlari ke sana-sini mencari-cari puteranya. Juga Hermanto Wijaya mencari-cari dan memanggil-manggil nama anaknya. Akan tetapi mereka tidak dapat menemukan Pandu yang seolah- olah lenyap ditelan bumi, tidak meninggalkan bekas! Wajah Sulastri menjadi amat pucat. Juga wajah Hermanto Wijaya pucat. "Apa yang harus kita lakukan sekarang?" berkali-kali Sulastri bertanya kepada suaminya dan kepada diri sendiri karena ia merasa bingung sekali. "Kita menghadapi dua hal yang amat gawat," kata suaminya. "Pertama, dua orang polisi itu tentu tidak mau melepaskan kita begitu saja. Ke dua, kita pun harus cepat-cepat
mencari anak kita. Mencari anak kita dalam keadaan kita selalu dibayangi, sungguh akan tidak leluasa sekali!" "Habis, bagaimana?" tanya isterinya yang diam-diam merasa putus asa walaupun ia tidak menyatakan dengan mulut. "Yang terpenting kita harus dapat meloloskan diri dari pengamatan mereka. "Bagaimana caranya?" isterinya bertanya khawatir. Satu-satunya cara adalah. Kita harus berpencar. Aku akan mencoba mengalihkan perhatian mereka, dan kau larilah dari pintu belakang. Tidak! Sulastri membantah suaminya. Belum sempat Hermanto Wijaya mengeluarkan suara, terdengar suara dua orang polisi itu dari luar. Menyerahlah! Kalian sudah kami kepung! Pergilah! Perintah lelaki itu kepada istri dengan sorot mata memaksa. Dengan berat Sulastri berlari menuju pintu belakang. Sementara Hermanto Wijaya langsung berjalan keluar setelah mengambil sesuatu dari dalam laci meja. Sesampainya diluar dia melihat dua orang polisi yang tadi ia temui bersama dengan enam orang polisi lain bersenjata lengkap. Hermanto Wijaya tersenyum kecut, Inilah buah dari perbuatanku dahulu.. katanya setengah mengeluh. Mana istrimu? Cepat suruh dia kesini! Hermanto Wijaya tidak menjawab, tiba-tiba dia mengeluarkan sesuatu dari balik bajunya dan langsung mengarahkannya kepada para polisi didepannya. Bukan main terkejutnya para polisi itu melihat lelaki didepan mereka itu mengeluarkan sepucuk senjata! Tanpa menunggu komando, enam perwira polisi bersenjata itu langsung melepaskan tembakan kearah Hermanto Wijaya, dan laki-laki itu pun jatuh tersungkur mandi darah. Tak lama kemudian seorang wanita berlari datang dan menubruk tubuh Hermanto Wijaya yang sudah tidak bernyawa itu. Wanita itu adalah Sulastri, dia tidak tega meninggalkan suaminya sendirian, dibatalkan niatnya untuk lari dari pintu belakang, dia tiba disitu berbarengan dengan suara letusan senjata yang dilepaskan para polisi itu. Keparat, kalian telah membunuh suamiku! jerit wanita, matanya memandang nanar. Tiba-tiba dia mengeluarkan suara tawa dan tangannya mengambil senjata yang ada ditangan suaminya. Seperti yang dilakukan Hermanto Wijaya, dia pun mengarahkan senjata api itu kearah para polisi tersebut. Kembali terdengar suara letusan senjata, dan Sulastri, istri Hermanto Wijaya itu pun terguling roboh. Dua orang polisi yang berpakain serba hitam itu menghampiri ke dua tubuh yang tergelak diatas tanah. Setelah memeriksa, keduanya memandang jenazah suami istri itu
dengan duka mendalam. Ternyata senjata yang dibawa oleh Hermanto Wijaya hanyalah sebuah mainan anak-anak! Bukan pistol sungguhan. pelayan-pelayan yang empat orang itu mengurus jenazah Hermawan Wijaya dan isterinya, mereka merasa ketakutan. Malam tadi telah terjadi keanehan di dalam gedung yang menimbulkan rasa takut hebat pada empat orang pelayan itu. Matahari memandikan cahaya yang keemasan. Masih nampak sisa-sisa embun pada ujung-ujung daun, pada kelopak-kelopak bunga, pada puncak-puncak rumput, dan masih terasa kesejukan pagi yang amat menyegarkan. Bau rumput bermandikan embun bercampur dengan bau daun-daun kering membusuk, mendatangkan bau khas. Suara desir angin pagi di antara daun-daun pohon, diseling kicau burung. Matahari sudah naik agak tinggi, namun kesegaran pagi masih belum terbakar siang, sinar matahari masih lembut hangat dan ramah. Pohon-pohon dan tumbuh-tumbuhan sudah bangun dari tidur semalam, bergoyang-goyang dan melambai-lambai tertiup angin pagi. Di angkasa hampak awan yang tenang dalam segala macam bentuk yang aneh-aneh, dilatarbelakangi langit biru yang makin lama semakin menjadi muda warnanya menuju keputihan. Akan tetapi keindahan pagi itu tidak dapat menghilangkan kegemparan penduduk dikota kecil itu ketika berita kematian Hermawan Wijaya sampai ketelinga mereka. Banyak sekali orang datang untuk melayat. Suami isteri itu dikenal sebagai pedagang obat yang pandai mengobati orang sakit dan sudah banyak orang sakit sembuh oleh pengobatan mereka. Keadaan menjadi gempar dan mengharukan ketika anak tunggal suami isteri yang mati itu, tiba-tiba saja muncul, dan berlari-lari sambil menangis dan memanggil ayah ibunya! "Ayah..., Ibu... kenapa kalian mati? Kenapa...? Apa yang telah terjadi.?" Dia menangis dan bertanya, akan tetapi tak seorang pun mampu menjawabnya. Kemana sebenarnya anak itu ketika malam tadi tidak ada dikamarnya? Sebagai seorang anak laki-laki yang lincah dan suka berkeliaran. Pandu mengenal tempat-tempat yang amat tersembunyi dan malam tadi dia pun bersembunyi di bawah jembatan kecil. Dia seringkali datang ke sini untuk memancing ikan dan mencari belut. Tempatnya amat tersembunyi dan kalau tidak merangkak ke tepi sungai kecil itu, orang takkan dapat memasukinya, bahkan tidak nampak sama sekali dari luar karena tertutup oleh semak-semak. Siapa yang menyangka anak itu akan bersembunyi di bawah jembatan itu, yang pantasnya hanya ditempati katak dan belut-belut? Dari luar terdengar suara Cucuku berhentilah menangis. Semua tamu menjadi terkejut dan menengok dan pandang mata tertuju kepada seorang lelaki tua yang baru saja datang. Tidak ada seorang pun di antara para tamu itu yang mengenalnya. Lelaki tua itu memandang ke arah anak laki-laki yang menangis di antara dua buah peti mati. Dia menghampiri anak ini. Masih ingatkah kau kepadaku, Pandu? Anak itu sambil mengusap air matanya, kini memandang kepada orang itu. Awalnya dia tidak mengenal orang tua itu, akan tetapi tiba-tiba dia menubruk lelaki tua tersebut.