dan tenteram, tidak pernah lagi merasa khawatir karena tidak ada yang mengenal mereka dan mereka merasa tidak punya musuh.

dokumen-dokumen yang mirip
Perlu waktu bagi anak anak itu untuk menjadi bagian dari kegelapan sebelum pohon pohon terlihat lebih jelas. Sebelum semak semak tinggi terlihat


Pertama Kali Aku Mengenalnya

Peter Swanborn, The Netherlands, Lima Portret Five Portraits

Kalau kau mendengar sesuatu, itu akan hanya memudar dan menjadi bagian dari latar belakang.

"Jika saya begitu takut maka biarlah saya mati malam ini". Saya takut, tetapi saya tertantang. Bagaimanapun juga toh akhirnya kita harus mati.

SATU. Plak Srek.. Srek

Dan ia baru menyadari betapa salahnya dirinya. Disana, muncul dari sebelah kirinya, ia merasakan gerakan udara yang cepat. Angin yang berhembus

Mata Tomi terbelalak, ketika menyadari dia berada

Matahari dan Kehidupan Kita

Aku menoleh. Disana berdiri seorang pemuda berbadan tinggi yang sedang menenteng kantong belanjaan di tangan kirinya. Wajahnya cukup tampan.

Sayang berhenti menangis, masuk ke rumah. Tapi...tapi kenapa mama pergi, Pa? Masuk Sayang suatu saat nanti pasti kamu akan tahu kenapa mama harus

1 Curahan Hati Sebatang Pohon Jati

Anak laki-laki itu segera mengangkat kakinya. Maaf, ujarnya, sementara si anak

Yui keluar dari gedung Takamasa Group dengan senyum lebar di wajahnya. Usaha kerasnya ternyata tak sia-sia. Dia diterima berkerja di perusahaan itu

Pantang Menyerah. Nasution 1. Zahra Kalilla Nasution Rigen Pratitisari Bahasa Indonesia 13 September 2011

2. Gadis yang Dijodohkan

Fiction. John! Waktunya untuk bangun!

TEKNIK EDITING DALAM FILM BELENGGU

LUCKY_PP UNTUKMU. Yang Bukan Siapa-Siapa. Diterbitkan secara mandiri. melalui Nulisbuku.com

Di Pantai Pasir Putih

yang paling tidak pernah luput dari kematian adalah cairan ini. Wanita itu meringis ngilu. Semua yang menimpanya kini sudah jelas bagian dari

Bayangan Merah di Laut dan Tempat Untuk Kembali:

SINOPSIS FILM PREMONITION

PAGI itu Tahir dengan terburu-buru menuju

TUGAS PERANCANGAN FILM KARTUN. Naskah Film Dan Sinopsis. Ber Ibu Seekor KUCING

Berlatih Membuat dan Mengetahui Sesuatu

Raja Langit, Raja Bumi, dan Putri Bulan Kisah dari Sulawesi Selatan

Saya tidak peduli siapa kalian, tapi perbuatan kalian itu sangatlah kejam dan tidak berperi kemanusiaan!, jawab si Pitung.

SMP kelas 8 - BAHASA INDONESIA BAB 1. TEKS CERITA MORAL/FABELLatihan Soal 1.7

Seperti api membakar hati Irfan. Dia menekan dadanya, menangis sekuatnya. Padahal hidup belum berakhir. Aisyah datang menampakkan diri.

Alkitab untuk Anak-anak memperkenalkan. Manusia Api

Alkitab untuk Anak-anak memperkenalkan. Manusia Api

Siang itu terasa sangat terik, kami merasa lelah

Perempuan dan Seekor Penyu dalam Senja

Keberanian. Dekat tempat peristirahatan Belanda pada zaman penjajahan, dimulailah perjuangan nya.

Entahlah, suamiku. Aku juga tidak pernah berbuat jahat dan bahkan selalu rajin beribadah, jawab sang isteri sambil menahan air mata.

Yang Mencinta dalam Diam

SINOPSIS. Universitas Darma Persada

Satu hal lagi, mereka tahu apa yang terjadi pada keluarga pemilik rumah ini.

Kilat masih terus menyambar dan menyilaukan mata. Cahaya terangnya masuk melalui celah-celah jendela dan ventilasi udara. Suara petir terus menderu

Lucu memang.. Aku masih bisa tersenyum manis, melihatmu disana tertawa lepas bersamanya.

Tubuh-tubuh tanpa bayangan

*Satu Jam Saja* -satu-

Ruang Rinduku. Part 1: 1

Surat Paulus yang pertama kepada jemaat Tesalonika

Puisi PUISI. wie0689 Puisi Copyright Darwisyah Nasution

Lalu Yesus bertanya kepada mereka: Tetapi apa katamu, siapakah Aku ini? 16. Maka jawab Simon Petrus: Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!

CINTA 2 HATI. Haii...! Tiara terkejut, dan menatap pada pria itu. Pada saat itu, ternyata pria itu juga menatap kearah Tiara. Mereka saling menatap.

(Aku Melihatnya & Dia Melihatku)

Suatu hari, saat liburan semester pertama mereka pergi ke sebuah pantai. Disana mereka menghabiskan waktu hanya bertiga saja. ``Aku mau menuliskan

1. Aku Ingin ke Bandung

BAB I MANUSIA BISA TUMBUH SAYAP

Belajar Memahami Drama

TUGAS PERANCANGAN FILM KARTUN

Alkitab untuk Anak-anak memperkenalkan. Elisa, Manusia Mujizat

Siapakah Yesus Kristus? (5/6)

Prosa Tradisional (Hikayat Indera Nata)

SYAIR KERINDUAN. Genre: Puisi-puisi cinta, sahabat, keluarga semuanya tentang CINTA dan CITA-CITA.

BAB II RINGKASAN CERITA. sakit dan mengantarkan adik-adiknya ke sekolah. Karena sejak kecil Lina

berada dan segera sadar kalau dia tanpa sengaja tertidur di lantai dua. Semua masih sama pada posisinya, sofa-sofa itu masih ada di sana,

Marwan. Ditulis oleh Peter Purwanegara Rabu, 01 Juni :25

dengan mudah, mereka melukaimu? Mengancammu?, aku membuka mataku. Menatap

Sahabat Terbaik. Semoga lekas sembuh ya, Femii, Aldi memberi salam ramah. Kemarin di kelas sepi nggak ada kamu.

MORIENDO. Terlihat uluran tangan yang melepaskan butiran-butiran yang begitu cemerlang bagaikan kristal ke angkasa

Angin senja terasa kencang berembus di antara

TEMAN KESUNYIAN BUKU PUISI BAGUS EKO SAPUTRO

Seorang pria menyelinap keluar dari balik pohon, dan Endra mengenalinya sebagai pemandunya, Lole.

PENJAGAL ANGIN. Tri Setyorini

tugasnya masing-masing, wartawan-wartawan dilarang keras mendekat, memotret maupun masuk kedalam apartemen. Korban tewas kira-kira pukul sebelas

Satu Hari Bersama Ayah

SD kelas 6 - BAHASA INDONESIA BAB 7. MEMBACA SASTRALatihan Soal 7.9

Alkitab untuk Anak-anak. memperkenalkan. Manusia Api

Sebuah kata teman dan sahabat. Kata yang terasa sulit untuk memasuki kehidupanku. Kata yang mungkin suatu saat bisa saja meninggalkan bekas yang

Elisa, Manusia Mujizat

YUNUS. 1 7/15/15 Yunus 1. Yunus menolak perintah Allah untuk pergi memperingatkan penduduk kota Niniwe

Bab 1 : Lerodia, Desa Penambang Pharite

Senja, Sebuah Kisah Sebuah Cerita

Segera jemput dia di bandara! Dan bawa kemari! Awas, jika dia melarikan diri! Siap, Pak! ~1~ Bandara Soekarno Hatta, am. Pesawat dari Singapura

Elisa, Manusia Mujizat

BAGIAN PERTAMA. Kumpulan Kisah-Kisah Hikmah

P A D A M U E M B U N

Wonderheart ditinggali oleh manusia-manusia yang memiliki kepribadian baik. Tidak hanya itu, hampir semua dari mereka nampak cantik dan

Loyalitas Tak Terbatas

berjalan, mungkin karena posisi memboncengnya atau bagaimana. Motor yang dikendarai mengalami kecelakaan setelah menabrak sebuah mobil di tengah

ONIMUSHA Written by REZA FAHLEVI ( )

Jadi aku harus minta izin Ayah supaya bisa masuk ke sana? tanya Putri Ahanni pada gurunya.

JUDUL FILM: Aku Belum Mati tapi Tidak Hidup

PRAJURIT YANG HILANG. Bulan Merkurius, dalam sistem kalender Teffloo

Oleh: Yasser A. Amiruddin

Lampiran. Ringkasan Novel KoKoro. Pertemuan seorang mahasiswa dengan seorang laki-laki separuh baya di pantai

Dengan berhati-hati dan waspada Kyai Singoprono mengelilingi sawahnya, dan Kyai Singoprono merasa tentram, sebab tanamannya tak satupun yang rusak.

Kesengsaraan adalah aku! Apakah ia kan mencampur kesedihannya atas jalinan persahabatan dengan sahabat lainnya yang serupa? Apakah ia tidak kesepian

Kisah Ashabul Kahfi. Adapun lokasi gua Ashabul Kahfi tersebut ada 3 pendapat yaitu:

KUMPULAN PUISI KAHLIL GIBRAN

Semangat ya kerja kelompok nya. J

TUGAS PENYUNTINGAN DIGITAL II BREAKDOWN NASKAH : BELENGGU Dosen Pengampu : Ranang Agung S., S.Pd., M.S.n

Trainers Club Indonesia Surabaya Learning Forum episode 28. Rabu 29 Juli 2009 WILLEM ISKANDAR

Hari Raya Korban? (Idul Adha)

TILL DEATH DO US PART

Transkripsi:

An Orphaned Boy Segala peristiwa yang terjadi di dunia ini, adalah fakta-fakta yang tak dapat diubah lagi oleh apa dan siapapun juga. Peristiwa yang terjadi adalah suatu hal yang sudah nyata, wajar, dan tidak baik maupun buruk. Yang terjadi pun terjadilah! Kota kecil yang biasanya amat ramai dengan kehidupan malamnya itu kini nampak sunyi sepi seperti kota mati. Hujan turun sejak sore tadi dan malam ini hujan masih turun rintik-rintik. Walaupun tidak sederas sore tadi, namun hujan itu masih membuat orang enggan keluar rumah. Apalagi malam itu dingin sekali. Lebih enak berada di dalam rumah, menghangatkan diri dengan secangkir teh panas atau di atas pembaringan menyusup ke bawah selimut daripada di luar rumah. Hanya satu dua orang saja nampak melangkah di atas jalan raya yang basah dan sunyi lagi gelap itu, orang-orang yang mempunyai urusan penting sekali. Mereka itu melindungi tubuh dengan jubah dan mantel, juga memegang payung. Kendaraan pun tidak banyak yang melintas, hanya satu dua sepeda motor yang Nampak lalu lalang. Di sebuah rumah besar yang terletak di pinggir sebuah jalan raya, suasananya juga amat sunyi. Rumah itu milik keluarga Hermanto Wijaya yang dihormati orang karena mereka itu berdagang obat-obatan dan terkenal pula pandai mengobati orang sakit. Karena pandai mengobati orang, maka Hermanto Wijaya sendiri oleh penduduk disebut sebagai ahli pengobatan alternatif yang pandai mengobati orang dengan tusuk jarum. Perdagangan obatnya laris dan keluarga itu memiliki penghasilan cukup besar. Akan tetapi keluarga ini pun, yang terdiri dari ayah ibu dan seorang anak,dibantu oleh empat orang pelayan, sejak sore sudah berada di kamar masing-masing, segan keluar kamar di malam yang sunyi dan dingin itu. Hermanto Wijaya dan isterinya adalah sepasang suami isteri yang amar baik. Namun tiada seorang pun di kota itu yang pernah mengira, apalagi mengetahui, bahwa suami isteri itu, sebelum tinggal di dikota itu tujuh tahun yang lalu, adalah sepasang penjahat besar di sepanjang pantai selatan! Selama belasan tahun mereka merajalela di daerah selatan, merampok, menipu, mencuri dan tidak ada kejahatan yang mereka pantang. Akan tetapi ketika isteri Hermanto Wijaya yang bernama Sulastri mengandung dalam usia hampir empat puluh tahun, peristiwa ini seperti menyadarkan mereka dan mereka berdua mengambil keputusan untuk memulai hidup baru dengan anak yang akan dilahirkan. Mereka lalu merantau ke utara dan akhirnya menetap di kota itu meninggalkan pekerjaan jahat dan mencari uang secara halal. Mereka telah tinggal di situ selama tujuh tahun dan anak yang terlahir laki-laki mereka beri nama Pandu Wijaya dan kini telah berusia tujuh tahun. Sejak anak ini masih kecil, suami isteri itu telah menggembleng tubuh anak mereka dengan ramuan obat-obatan dan mendidiknya dengan baik. Sebagai orang-orang yang pernah malang melintang didunia kejahatan, tentu saja Hermanto Wijaya dan Sulastri telah menanam bibit permusuhan dengan banyak golongan atau perorangan. Ketika mereka menjadi penjahat, mereka selalu hidup dalam keadaan siap siaga karena setiap waktu bisa saja ada musuh datang menyerang karena setiap saat ada saja yang mengintai untuk mencelakai mereka sebagai pembalasan dendam. Karena cara hidup yang tidak aman inilah maka suami isteri itu mengambil keputusan melarikan diri dan meninggalkan dunia hitam. Mereka tidak ingin anak mereka terlahir dalam keluarga yang selalu terancam keselamatannya. Dan sejak tinggal di kota itu, mereka hidup dengan tenang

dan tenteram, tidak pernah lagi merasa khawatir karena tidak ada yang mengenal mereka dan mereka merasa tidak punya musuh. Hanya sesekali ayah dari Hermanto Wijaya yang tinggal di sebuah desa mengunjungi mereka. Bahkan rencananya, besok pagi lelaki itu akan datang mengunjungi anaknya setelah lama tidak bertemu. Empat orang pelayan, dua laki-laki dan dua wanita, yang tidur di kamar-kamar belakang sejak tadi sudah tidur keenakan dalam udara dingin yang menerobos masuk ke dalam kamar mereka.tak seorang pun dari tujuh penghuni rumah besar itu yang tahu bahwa ada dua sosok tubuh orang yang berjalan sambil berlindung di bawah sebatang payung, berhimpitan dan keduanya mengenakan mantel yang lebar, kini berhenti di depan rumah, menoleh ke kanan kiri. Sepi di sekitar tempat itu dan dua orang itu lalu memasuki pekarangan rumah. Di bawah sinar lampu yang ada di luar, di pojok rumah, nampak sekelebatan wajah dua orang laki-laki, yang pertama bertubuh jangkung kurus dan yang kedua bertubuh sedang. Hanya sekelebatan saja wajah mereka nampak karena keduanya segera menyelinap ke dalam bayangan gelap dan hanya dua pasang mata mereka yang terlihat dalam kegelapan malam. Dengan tenang mereka lalu menutup payung, membuka mantel, membungkus payung dalam mantel dan mengikat mantel-mantel itu di atas punggung. Kini mereka berpakaian ringkas, pakaian berwarna hitam yang membuat bayangan mereka sukar dapat dilihat. Dengan gerakan yang amat cekatan, setelah saling berbisik, keduanya lalu meloncat ke atas tembok pagar dan terus berloncatan ke atas genteng rumah besar itu. Gerakan mereka demikian ringan dan cepat, seperti dua ekor kucing saja ketika kaki mereka menginjak genteng tanpa menimbulkan suara sama sekali, dan bagaikan dua ekor burung saja ketika mereka meloncat. Di ruangan belakang rumah itu, dua orang itu berloncatan turun. Dengan tenang mereka lalu menghampiri dua buah kamar di mana empat orang pelayan itu tidur. Masingmasing menghampiri sebuah kamar, lelaki pertama menghampiri pintu kamar pertama dan yang kedua menghampiri pintu kamar ke dua. "Krekkk!" Daun pintu yang terkunci dari dalam itu jebol dan terbuka. Di dalam kamar pertama itu dua orang pelayan pria terbangun kaget dan laki-laki jangkung itu lalu mengeluarkan sebuah senjata, menodongkan kearah mereka sambil menaruh telunjuknya diatas bibir, menyuruh kedua pelayan itu untuk diam. Dengan penuh ketakutan dan tubuh menggigil kedua pelayan itu tidak berani mengeluarkan suara. Hal yang sama dilakukan oleh lelaki kedua ketika dia memasuki kamar pelayan wanita. "Suara apa itu?" Sulastri bertanya, sadar dari tidurnya. Suaminya juga sudah membuka mata dan memandangnya, menggeleng kepala. Akan tetapi karena tidak terdengar suara apa-apa lagi yang mencurigakan, mereka pun merasa lega. "Mungkin suara angin," kata Hermanto Wijaya, sama sekali tidak menduga buruk karena selama bertahun-tahun ini tidak pernah terjadi sesuatu menimpa keluarganya. Akan tetapi kelegaan hati mereka itu tidak berlangsung lama. Kecurigaan hati mereka kembali diusik ketika terdengar gonggong kedua ekor anjing peliharaan mereka, apalagi

ketika suara menggonggong kedua ekor anjing itu tiba-tiba saja terhenti. Hal ini tidak wajar, pikir mereka. Dari pandang mata saja kedua suami isteri itu sudah saling sepakat untuk melakukan penyelidikan. Berbareng mereka meloncat turun dari pembaringan, mengenakan alas kaki dan keluar dari dalam kamar. Pertama-tama.mereka membuka daun pintu putera mereka dan melihat betapa putera mereka pun terjaga dan duduk bersila, agaknya juga terganggu oleh suara gonggongan anjing-anjing itu. "Anjing-anjing itu kenapa, Ibu?" Panya Pandu. "Kau di sinilah, kami akan melihat ke belakang." kata ibunya. Mereka lalu keluar dari kamar itu, menutupkan kembali daun pintunya dan dengan langkah ringan namun cepat, suami isteri itu lalu berlari ke belakang. Dan apa yang dilihatnya pertama-tama membuat mereka terbelalak dan wajah mereka berubah. Dua ekor anjing peliharaan mereka yang setia itu telah menggeletak mati! Mereka saling pandang dengan mata terbelalak. "Perbuatan siapa ini.?" Bisik isterinya. Suaminya menggeleng kepala, akan tetapi kelihatan marah. "Mari kita mencarinya!" Mereka berlompatan ke belakang. "Cepat, anak kita.! Sulastri setengah menjerit ketika teringat anaknya dan seperti berlumba saja kedua orang suami isteri itu berlari kembali ke dalam ruangan besar dan segera menuju ke kamar anak mereka. Daun pintu masih tertutup dan dengan hati penuh ketegangan Sulastri yang datang lebih dulu dari suaminya itu cepat mendorong daun pintu. Legalah hatinya melihat betapa puteranya masih duduk bersila seperti tadi! "Eh, ada apakah Ibu? Yanya Pandu, terkejut melihat cara masuknya ibu dan ayahnya itu dan melihat wajah mereka pucat, dibayangi ketegangan dan kegelisahan. Tanpa mengeluarkan kata-kata Sulastri merangkul puteranya. "Tidak ada apa-apa, hanya ada orang jahat memasuki rumah kita," bisiknya. "Wah, kalau begitu mari kita tangkap dan hajar dia, Ibu!" Pandu berkata penuh semangat dan dia sudah meloncat turun dan tentu akan berlari keluar kalau tidak dipegang ibunya. "Ssttt..." kata ibunya. Pada saat itu terdengar suara dari luar. "kami datang untuk menangkap suami isteri Hermanto Wijaya!" Hermanto Wijaya berlari keluar pintu depan sedangkan isterinya sudah melompat keluar melalui pintu samping setelah memesan agar puteranya tinggal saja dalam kamar. Suami isteri itu muncul di pekarangan depan rumah mereka dari dua jurusan pada waktu yang sama dan di tengah pekarangan itu, di bawah sinar lampu yang suram karena walaupun hujan tinggal sedikit sekali namun cuaca masih amat gelap, berdiri dua orang yang berpakaian serba hitam.

Hermanto Wijaya dan istrinya mendekati dua orang itu dengan hati-hati dan memandang penuh perhatian. Setelah berpikir sejenak akhirnya mereka mengenal wajah dua orang itu. Kiranya kalian... Gumam Hermanto Wijaya. Laki-laki jangkung kurus berusia kurang lebih lima puluh tahun itu tersenyum kecut dan temannya yang hanya beberapa tahun lebih muda, menyeringai, tarikan bibir keduanya mengandung ejekan. Sekilas terbayanglah pengalaman kurang lebih sepuluh tahun yang lalu ketika Hermanto Wijaya dan isterinya masih merajalela sebagai penjahat. Dua orang yang sekarang berdiri dihadapan mereka itu adalah sepasang polisi yang terus memburu mereka. Beberapa kali keduanya mencoba menangkap sepasang suami isteri ini, akan tetapi Hermanto Wijaya dan istrinya selalu berhasil melarikan. "Kami datang untuk membawa kalian ke penjara." Berkerut dahi Hermanto Wijaya. Apakah kalian tidak lihat keadaan kami yang sekarang? Kami bukanlah seperti kami yang dahulu lagi, mohon dipertimbangkan "Hermanto Wijaya, kami tidak ingin membahas keadaan kalian sekarang. Kami datang untuk menegakkan hukum!" Sepasang suami itu tertegun. Semenjak mereka pindah ke kota itu, mereka "mencuci tangan" dan tidak pernah melakukan kejahatan lagi, memelihara dan mendidik anak tunggal mereka dan bekerja dengan halal. Mereka tidak tahu bahwa semua perbuatan mereka yang lalu itu tidak habis begitu saja, mengandung akibat-akibat yang agaknya baru sekarang timbul dan mengganggu kehidupan mereka yang tadinya tenteram. Ijinkan kami melihat putra kami dahulu. Berkata Hermanto Wijaya. Tanpa menunggu jawaban, Sulastri cepat lari memasuki rumah lagi, diikuti oleh suaminya yang juga merasa khawatir sekali. Ketika mereka membuka daun pintu, dapat dibayangkan betapa kaget dan gelisah rasa hati mereka melihat bahwa kamar putera mereka itu telah kosong dan tidak nampak bayangan Pandu! "Pandu!" Sulastri menjerit dan cepat keluar lagi, berlari ke sana-sini mencari-cari puteranya. Juga Hermanto Wijaya mencari-cari dan memanggil-manggil nama anaknya. Akan tetapi mereka tidak dapat menemukan Pandu yang seolah- olah lenyap ditelan bumi, tidak meninggalkan bekas! Wajah Sulastri menjadi amat pucat. Juga wajah Hermanto Wijaya pucat. "Apa yang harus kita lakukan sekarang?" berkali-kali Sulastri bertanya kepada suaminya dan kepada diri sendiri karena ia merasa bingung sekali. "Kita menghadapi dua hal yang amat gawat," kata suaminya. "Pertama, dua orang polisi itu tentu tidak mau melepaskan kita begitu saja. Ke dua, kita pun harus cepat-cepat

mencari anak kita. Mencari anak kita dalam keadaan kita selalu dibayangi, sungguh akan tidak leluasa sekali!" "Habis, bagaimana?" tanya isterinya yang diam-diam merasa putus asa walaupun ia tidak menyatakan dengan mulut. "Yang terpenting kita harus dapat meloloskan diri dari pengamatan mereka. "Bagaimana caranya?" isterinya bertanya khawatir. Satu-satunya cara adalah. Kita harus berpencar. Aku akan mencoba mengalihkan perhatian mereka, dan kau larilah dari pintu belakang. Tidak! Sulastri membantah suaminya. Belum sempat Hermanto Wijaya mengeluarkan suara, terdengar suara dua orang polisi itu dari luar. Menyerahlah! Kalian sudah kami kepung! Pergilah! Perintah lelaki itu kepada istri dengan sorot mata memaksa. Dengan berat Sulastri berlari menuju pintu belakang. Sementara Hermanto Wijaya langsung berjalan keluar setelah mengambil sesuatu dari dalam laci meja. Sesampainya diluar dia melihat dua orang polisi yang tadi ia temui bersama dengan enam orang polisi lain bersenjata lengkap. Hermanto Wijaya tersenyum kecut, Inilah buah dari perbuatanku dahulu.. katanya setengah mengeluh. Mana istrimu? Cepat suruh dia kesini! Hermanto Wijaya tidak menjawab, tiba-tiba dia mengeluarkan sesuatu dari balik bajunya dan langsung mengarahkannya kepada para polisi didepannya. Bukan main terkejutnya para polisi itu melihat lelaki didepan mereka itu mengeluarkan sepucuk senjata! Tanpa menunggu komando, enam perwira polisi bersenjata itu langsung melepaskan tembakan kearah Hermanto Wijaya, dan laki-laki itu pun jatuh tersungkur mandi darah. Tak lama kemudian seorang wanita berlari datang dan menubruk tubuh Hermanto Wijaya yang sudah tidak bernyawa itu. Wanita itu adalah Sulastri, dia tidak tega meninggalkan suaminya sendirian, dibatalkan niatnya untuk lari dari pintu belakang, dia tiba disitu berbarengan dengan suara letusan senjata yang dilepaskan para polisi itu. Keparat, kalian telah membunuh suamiku! jerit wanita, matanya memandang nanar. Tiba-tiba dia mengeluarkan suara tawa dan tangannya mengambil senjata yang ada ditangan suaminya. Seperti yang dilakukan Hermanto Wijaya, dia pun mengarahkan senjata api itu kearah para polisi tersebut. Kembali terdengar suara letusan senjata, dan Sulastri, istri Hermanto Wijaya itu pun terguling roboh. Dua orang polisi yang berpakain serba hitam itu menghampiri ke dua tubuh yang tergelak diatas tanah. Setelah memeriksa, keduanya memandang jenazah suami istri itu

dengan duka mendalam. Ternyata senjata yang dibawa oleh Hermanto Wijaya hanyalah sebuah mainan anak-anak! Bukan pistol sungguhan. pelayan-pelayan yang empat orang itu mengurus jenazah Hermawan Wijaya dan isterinya, mereka merasa ketakutan. Malam tadi telah terjadi keanehan di dalam gedung yang menimbulkan rasa takut hebat pada empat orang pelayan itu. Matahari memandikan cahaya yang keemasan. Masih nampak sisa-sisa embun pada ujung-ujung daun, pada kelopak-kelopak bunga, pada puncak-puncak rumput, dan masih terasa kesejukan pagi yang amat menyegarkan. Bau rumput bermandikan embun bercampur dengan bau daun-daun kering membusuk, mendatangkan bau khas. Suara desir angin pagi di antara daun-daun pohon, diseling kicau burung. Matahari sudah naik agak tinggi, namun kesegaran pagi masih belum terbakar siang, sinar matahari masih lembut hangat dan ramah. Pohon-pohon dan tumbuh-tumbuhan sudah bangun dari tidur semalam, bergoyang-goyang dan melambai-lambai tertiup angin pagi. Di angkasa hampak awan yang tenang dalam segala macam bentuk yang aneh-aneh, dilatarbelakangi langit biru yang makin lama semakin menjadi muda warnanya menuju keputihan. Akan tetapi keindahan pagi itu tidak dapat menghilangkan kegemparan penduduk dikota kecil itu ketika berita kematian Hermawan Wijaya sampai ketelinga mereka. Banyak sekali orang datang untuk melayat. Suami isteri itu dikenal sebagai pedagang obat yang pandai mengobati orang sakit dan sudah banyak orang sakit sembuh oleh pengobatan mereka. Keadaan menjadi gempar dan mengharukan ketika anak tunggal suami isteri yang mati itu, tiba-tiba saja muncul, dan berlari-lari sambil menangis dan memanggil ayah ibunya! "Ayah..., Ibu... kenapa kalian mati? Kenapa...? Apa yang telah terjadi.?" Dia menangis dan bertanya, akan tetapi tak seorang pun mampu menjawabnya. Kemana sebenarnya anak itu ketika malam tadi tidak ada dikamarnya? Sebagai seorang anak laki-laki yang lincah dan suka berkeliaran. Pandu mengenal tempat-tempat yang amat tersembunyi dan malam tadi dia pun bersembunyi di bawah jembatan kecil. Dia seringkali datang ke sini untuk memancing ikan dan mencari belut. Tempatnya amat tersembunyi dan kalau tidak merangkak ke tepi sungai kecil itu, orang takkan dapat memasukinya, bahkan tidak nampak sama sekali dari luar karena tertutup oleh semak-semak. Siapa yang menyangka anak itu akan bersembunyi di bawah jembatan itu, yang pantasnya hanya ditempati katak dan belut-belut? Dari luar terdengar suara Cucuku berhentilah menangis. Semua tamu menjadi terkejut dan menengok dan pandang mata tertuju kepada seorang lelaki tua yang baru saja datang. Tidak ada seorang pun di antara para tamu itu yang mengenalnya. Lelaki tua itu memandang ke arah anak laki-laki yang menangis di antara dua buah peti mati. Dia menghampiri anak ini. Masih ingatkah kau kepadaku, Pandu? Anak itu sambil mengusap air matanya, kini memandang kepada orang itu. Awalnya dia tidak mengenal orang tua itu, akan tetapi tiba-tiba dia menubruk lelaki tua tersebut.