LATAR BELAKANG MASALAH

dokumen-dokumen yang mirip
Presiden, DPR, dan BPK.

I. PENDAHULUAN. Hak asasi manusia merupakan dasar dari kebebasan manusia yang mengandung

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan

BAB III PENGATURAN TERHADAP HAK-HAK TERSANGKA YANG TIDAK MAMPU DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

BAB I PENDAHULUAN. sendiri dan salah satunya lembaga tersebut adalah Pengadilan Negeri. Saat

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

BAB I PENDAHULUAN. pidana, oleh karena itu, hukum acara pidana merupakan suatu rangkaian

BAB IV. A. Bantuan Hukum Terhadap Tersangka Penyalahgunaan Narkotika. Dalam Proses Penyidikan Dihubungkan Dengan Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

BAB I PENDAHULUAN. tepatnya pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang

JAMINAN PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA DAN TERDAKWA DALAM KUHAP DAN RUU KUHAP. Oleh : LBH Jakarta

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

9/13/2012 8:29 AM Ngurah Suwarnatha 1

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai

1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

Pernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI

BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme adalah perbuatan melawan hukum. secara sistematis dengan maksud untuk menghancurkan kedaulatan bangsa dan

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan

PRAPERADILAN SEBAGAI UPAYA KONTROL BAGI PENYIDIK DALAM PERKARA PIDANA

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 102/PUU-XIII/2015 Pemaknaan Permohonan Pra Peradilan

BAB I PENDAHULUAN. Acara Pidana (KUHAP) menjunjung tinggi harkat martabat manusia, dimana

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum

Hukum Acara Pidana. Pertemuan XXVIII & XXIX Malahayati, S.H., LL.M. (c) 2014 Malahayati 1

BAB I PENDAHULUAN. melindungi individu terhadap pemerintah yang sewenang-wenang dan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan

BAB II HAK-HAK TERSANGKA DALAM HUKUM ACARA PIDANA. seseorang yang menjalani pemeriksaan permulaan, dimana salah atau tidaknya

BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

V. PENUTUP. 1. Alasan yang menjadi dasar adanya kebijakan formulasi Hakim Komisaris. dalam RUU KUHAP Tahun 2009 atau hal utama digantinya lembaga pra

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 018/PUU-IV/2006 Perbaikan Permohonan Secara on the Spot Tanggal 09 Oktober 2006

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan tersebut selain melanggar dan menyimpang dari hukum juga

BANTUAN HUKUM DAN UPAYA PERLINDUNGAN HAK ASASI TERDAKWA DALAM PROSES PERADILAN PIDANA

1. PELAPORAN Proses pertama bisa diawali dengan laporan atau pengaduan ke kepolisian.

BAB I PENDAHULUAN. melekat pada diri masing-masing individu. Hal itu cukup beralasan, betapa tidak,

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat

BAB I PENDAHULUAN. berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan

SKRIPSI. Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum. Universitas Kristen Satya Wacana DEVINTA RAMADANI SUTRISNA NIM :

II. TINJAUAN PUSTAKA. penegakan hukum berdasarkan ketentuan hukum, maka hilanglah sifat melanggar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

(Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1999)

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 42/PUU-XV/2017 Tafsir Frasa Tidak dapat Dimintakan Banding atas Putusan Praperadilan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. menyatu dengan penyelenggarakan pemerintahan Negara 2. Tidak hanya di

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat) dan bukan

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. adalah keseluruhan kumpulan peraturan-peraturan atau kaidah-kaidah dalam suatu

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

NOMOR : M.HH-11.HM th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

PERLINDUNGAN HUKUM DALAM PENANGKAPAN TERDUGA TERORIS ( STUDI KASUS SIYONO )

PERAN BANTUAN HUKUM TERHADAP PERLINDUNGAN HAK-HAK TERSANGKA DAN TERDAKWA YANG TIDAK MAMPU

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

RANCANGAN PENJELASAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA TERHADAP PENANGKAPAN PELAKU TINDAK PIDANA PENCURIAN (Studi Kasus Di Polresta Palu)

BAB I PENDAHULUAN. perundang-undangan yang berlaku. Salah satu upaya untuk menjamin. dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ).

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.155, 2009 (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5074)

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara republik Indonesia adalah negara hukum, berdasarkan pancasila

BAB III DASAR HUKUM PEMBERHENTIAN TIDAK TERHORMAT ANGGOTA KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA MENURUT PERPRES NO 18 TAHUN 2011

I. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Asas-Asas Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Undang-Undang Republik Indonesia. Nomor 26 Tahun Tentang. Pengadilan Hak Asasi Manusia BAB I KETENTUAN UMUM

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURWOREJO,

Transkripsi:

LATAR BELAKANG MASALAH Tindak pidana korupsi di Indonesia saat ini tidak semakin berkurang, walaupun usaha untuk mengurangi sudah dilakukan dengan usaha-usaha pemerintah untuk menekan tindak pidana korupsi tersebut, yaitu diantaranya dengan dibentuknya lembaga peradilan ad hoc yang disebut dengan Komisi Pemberantasan Korupsi yang disingkat dengan KPK. Latar belakang dibentuknya KPK sebagai lembaga penegak hukum yang bisa melakukan tindakan penegakan hukum yang luar biasa terhadap tindak pidana korupsi dikarenakan adanya anggapan bahwa tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana yang dikategorikan luar biasa atau Extra Ordinary Crime, sehingga penanganannya juga harus dilakukan secara luar biasa pula. Ketika di Indonesia telah dibentuk lembaga Extra Ordinary untuk menangani tindak pidana korupsi yaitu KPK, ternyata lembaga ini juga diberi kewenangan yang berbeda dengan lembaga penegak hukum yang lain, dengan harapan apa yang dilakukan oleh KPK dapat mempercepat upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia, sehingga dapat mendukung upaya Pemerintah Indonesia untuk mempercepat mensejahterakan masyarakat. Karena KPK diberi kewenangan yang berbeda dengan lembaga penegak hukum yang, lain, maka hasil penyidikan oleh penyidik KPK seolah-olah sudah merupakan hasil final untuk proses penegakan hukum, sehingga hal ini berdampak pada Penuntut Umum yang selalu akan menuntut agar terdakwa dalam tindak pidana korupsi dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana dengan kata lain tidak memungkinan adanya tunutan bebas dari Penuntut Umum. Namun bersamaan dengan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia tersebut, jika diperhatikan putusan pengadilan Tipikor sering mendapatkan tanggapan negatif oleh masyarakat, baik itu putusan yang menyatakan terdakwa terbukti bersalah dan dihukum, lebih-lebih putusan yang menyatakan terdakwa tidak terbukti bersalah dan dibebaskan, padahal sesuai dengan asas persamaan perlakuan di depan hukum (Equality before the law) dan asas praduga tak bersalah (presumtion of innocence) dalam Hukum Acara Pidana alternatif putusan yang dapat dijatuhkan oleh Hakim adalah bebas, lepas dari segala tuntutan hukum dan pemidanaan. Dari uraian di atas lalu menimbulkan pertanyaan yang menarik yaitu : Apakah dalam tindak pidana korupsi, seorang terdakwa sudah 144

kehilangan haknya (yang pada dasarnya merupakan hak asasi) sama sekali, atau dengan memperhatikan asas praduga tak bersalah apakah seorang seorang terdakwa dalam tindak pidana korupsi berhak mendapatkan Hak Asasinya yang berupa tuntutan bebas dan putusan bebas? PEMBAHASAN Untuk memberikan jawaban atas pertanyaan di atas, penulis akan mencoba membahas seperti yang diauraikan di bawah ini. Pengertian Hak : Dalam konteks Hukum Acara Pidana, Darwan Prints,S.H. memberikan pengertian Hak adalah sesuatu yang diberikan kepada seorang tersangka atau terdakwa. Apabila Hak tersebut dilanggar, maka hak asasi dari tersangka atau terdakwa telah dilanggar atau tidak dihormati. 2 Pengertian Hak Asasi Pengertian hak asasi secara yuridis telah dirumuskan dalam Pasal 1 butir 1 Undang-Undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yaitu sebagai berikut : Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Berdasarkan uraian tentang hak dan Hak Asasi Manusia diatas, penulis mencoba untuk menguraikan tentang hak-hak tersangka atau terdakwa yang telah diatur dalam KUHAP, yang menurut Darwan Prints,S.H. dalam bukunya Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, halaman 15 sampai dengan 20 ada 23 hak. Tetapi dari 23 hak tersebut yang secara langsung atau tidak langsung terkait dengan tuntutan atau putusan bebas adalah : 1. Hak segera diadili oleh Pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 50 ayat (3) KUHAP; 2. Hak untuk diadili di sidang terbuka untuk umum sebagaimana diatur dalam Pasal 64 KUHAP; 2 Darwan Prints, 1989, Hukum Acara Pidana Suatu pengantar, Jambatan, Jakarta, hal. 15. 145

3. Hak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi ahli atau saksi A De Charge sebagaimana diatur dalam Pasal 65 KUHAP; dan 4. Hak mendapat ganti kerugi dan rehabilitasi, sebagaimana diatur dalam pasal 68 KUHAP. 3 Pertanyaan lebih lanjut yang muncul adalah : Apakah hak-hak terdakwa tersebut merupakan Hak Asasi Manusia? Untuk dapat menjawab pertanyaan itu, maka perlu ditelusuri tentang pengaturan Hak Asasi Manusia dalam Dokumen tentang Deklarasi Universal Tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam Pasal 11 ayat (1) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dikatakan sebagai berikut : Setiap orang yang dituduh melakukan tindakan pidana berhak untuk dianggap tidak bersalah sampai ia dibuktikan bersalah menurut hukum dalam suatu peradilan umum dimana ia telah mendapatkan segala jaminan yang perlu bagi pembelaannya. 4 Sementara dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 dikatakan sebagai berikut : Setiap orang tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang obyektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar. Memperhatikan bunyi Pasal 11 ayat (1) Deklarasi Universal Hak asasi Manusia, substansinya pada dasarnya sama dengan asas praduga tak bersalah dalam Hukum Acara Pidana atau Presumption of Innocence, yaitu asas yang menjamin kepada terdakwa dianggap tidak bersalah sampai ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya, seperti dikatakan oleh M. Haryanto sebagai berikut : Asas ini menjamin bagi setiap orang yang dikenakan tindakan penggeledahan, penyitaan, penangkapan, panahanan dan pemeriksaan di depan siding pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sampai ada putusan pengadilan yang menyatakan 3 Ibid, hal. 16 20. 4 Koenarto, Jend. Pol. (Purn), 1996, Ikhtisar Implementasi Hak Asasi Manusia Dalam Penegakkan Hukum, Jakarta, hal. 67 68. 146

kesalahannya dan putusan tersebut mempunyai kekuatan hokum tetap. 5 Demikian juga jika diperhatikan bunyi Pasal 17 Undang- Undang Nomor 39 Tahun 1999, dimana berdasarkan bunyi anak kalimat bagian akhir Pasal tersebut : Untuk memperoleh putusan yang adil dan benar. Dari bunyi anak kalimat Pasal 17 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tersebut yang dimaksudkan putusan yang adil dan benar adalah putusan hakim yang diambil secara obyektif berdasarkan fakta yang terungkap dalam persidangan, sehingga bisa saja putusan tersebut berupa putusan bebas, putusan lepas dari segala tuntutan hukum maupun putusan pemidaan. Terkait dengan 4 (empat) hak terdakwa yang secara langsung atau tidak langsung dapat diakitkan dengan tuntutan bebas atau putusan bebas merupakan hak asasi manusia dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Hak segera diadili oleh Pengadilan Diadili berasal dari kata adil, yang berarti tidak berat sebelah; tidak memihak; berpihak kepada yang benar; berpegang pada kebenaran; sepatutnya; tidak sewenang-wenang; mengadili memeriksa; menimbang, dan memutuskan (perkara, sengketa); menentukan mana yang benar (baik) dan mana yang salah (jahat). 6 Hak segera diadili berarti hak untuk segera dilakukan proses pemeriksaan oleh pengadilan untuk mendapatkan putusan yang tidak berat sebelah, tidak memihak, berpihak kepada yang benar, berpegang pada kebenaran, tidak sewenang-wenang dan sebagainya. Dari sini bisa diketahui bahwa dalam proses pembuktian semua pihak tidak boleh bersikap apriori terhadap terdakwa, sehingga dengan demikian nantinya akan didapatkan tuntutan ataupun putusan terhadap terdakwa yang obyektif, termasuk untuyk mendapatkan tuntutan bebas dan putusan bebas. 2. Hak untuk diadili di sidang terbuka untuk umum Berkaitan dengan hal ini Haryanto mengatakan sebagai berikut : Dengan sidang terbuka untuk umum, maka proses persidangan 5 M. Haryanto, 2007, Hukum Acara Pidana,Fakultas Hukum Universitas Kristen satya Wacana, Salatiga, hal. 4. 6 Sudarsono, 1999, Kamus Hukum Edisi Baru, Jakarta, hal. 17. 147

dapat disaksikan oleh setiap orang, sehingga proses pemeriksaan dapat berjalan dengan obyektif. 7 Dengan proses persidangan dapat disaksikan oleh setiap orang, maka alat bukti dan barang yang diajukan ke depan persidangan akan dapat dilihat dan dinilai oleh setiap orang, termasuk oleh Penuntut Umum, Penasehat hokum dan Hakim, sehingga diharapkan penuntut umum maupun Hakim tidak gegabah didalam menilai kekuatan pembuktian dari alat bukti dan barang bukti tersebut, sehingga nantinya akan di dapat tuntutan yang benar dan putusan yang benar, entah itu pembebasan, pelepasan dari segala tuntutan hukum ataupun pemidanaan. 3. Hak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi ahli atau saksi A De Charge Saksi ahli yang dihadirkan oleh Penuntut Umum pasti akan dimanfaatkan oleh penuntut umum untuk membuktikan bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa dapat dibuktikan secara sah dan meyakinkan. Sebaliknya saksi ahli dan atau saksi A De Charge yang diajukan oleh terdakwa adan dimanfaatkan oleh terdakwa dan atau penasehat hukumnya untuk berupaya menepis atau membantah dakwaan Penuntut umum dengan tujuan agar dakwaan penuntut umum tidak dapat dibuktikan secara sah dan meyakinkan. Tetapi terlepas dilihat dari kepentingan Penuntut umum atau terdakwa, Hakim dalam hal ini harus menilai secara obyektif tentang saksi ahli dan saksi A De Charge ini dikorelasikan dengan fakta yang terungkap dalam persidangan, yang berupa alat bukti dan barang bukti, sehingga Hakim dapat mengambil keputusan yang benar, sesuai dengan alternative putusan yang diperkenankan menurut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. 4. Hak mendapat ganti kerugian dan rehabilitasi Berkaitan dengan Hak mendapat ganti kerugian dan rehabilitasi ini ternyata tidak dapat diberikan kepada setiap terdakwa, dan Pasal 95 ayat (1) KUHAP telah menentukan sebagai berikut : Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tenpa alasan yang berdasarkan undang- 7 M. Haryanto, 2007, Hukum Acara Pidana, Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, hal. 6. 148

undang atau kekliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan. Sedangkan Pasal 95 ayat (2) KUHAP menentukan sebagai berikut : Tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri diputus disidang praperadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77. Mengacu pada rumusan Pasal 95 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP tersebut di atas, maka apabila proses penyidikan dihentikan oleh penyidik atau proses penuntutan dihentikan oleh penuntut umum, jika tersangka atau ahli warisnya tidak terima dan akan menuntut ganti kerugian harus melalui jalur praperadilan, sedangkan jika terdakwa diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, maka jika terdakwa atau ahli warisnya akan menuntut ganti kerugian harus melalui jalur gugatan perdata, walaupun yang akan melakukan pemeriksaan adalah hakim yang semula memeriksa perkara pidananya. Dari bunyi Pasal 95 ayat (1) KUHAP tersebut dapat diketahui bahwa Pasal tersebut memberikan ruang bagi terdakwa yang atas perkaranya diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum untuk dapat menuntut ganti kerugian. Itu berarti kepada setiap terdakwa dalam kasus apapun, termasuk dalam kasus tindak pidana korupsi mempunyai hak untuk mendapatkan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, jika apa yang didakwakan oleh penuntut umum memang tidak dapat dibuktikan secara sah dan meyakinkan, atau dapat dibuktikan tetapi ternyata bukan perkara pidana. Bahkan jika diperhatikan lebih lanjut ketentuan Pasal 97 ayat (1) KUHAP, maka kepada seorang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang keputusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dimana sesuai dengan Pasal 97 ayat (2) pemberian rehabilitasi ini diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Berdasarkan uraian penulis terkait dengan hak-hak tersangka atau terdakwa tersebut di atas, jika dikaitkan dengan Pasal 11 ayat (1) Deklarasi Universal Hak Asasi manusia dan Pasal 17 Undang- 149

undang nomor 39 tahun 1999 dapat diketahui bahwa mendapatkan putusan bebas dalam perkara yang didakwakan kepadanya adalah merupakan Hak Asasi Manusia. Bagaimana dengan tuntutan bebas? Apabila diperhatikan asas persamaan di depan hukum dan asas praduga tak bersalah, dimana dengan dua asas tersebut setiap orang yang disangka atau didakwa melakukan tindak pidana harus diperlakukan sama di depan hukum, dan juga selama proses pemeriksaan perkaranya dari tingkat penyidikan sampai tingkat pemeriksaan hakim, wajib dianggap tidak bersalah. Kedua asas tersebut berlaku dalam setiap tahap pemeriksaan perkara pidana, sehingga dengan kedua asas itu pula dalam tahap penyidikan, penyidik diperkenankan untuk melakukan penghentian penyidikan, dalam tahap penuntutan, penuntut umum diperkenankan menghentikan penuntutan dan dalam tahap pemeriksaan oleh hakim diperkenankan untuk membebaskan atau melepaskan dari segala tuntutan hukum. Namun demikian apabila asas praduga tidak bersalah ini diperhadapkan dengan tindakan penuntutan ternyata ada kesan asas ini tidak berlaku atau tidak diakui di instansi kejaksaan. Hal ini Nampak dari adanya Surat Edaran Jaksa Agung nomor : SE-001/JA/4/1995 tentang Pedoman Tuntutan Pidana, dimana dalam Surat Edaran tersebut ternyata substansinya tidak memuat pedoman bagi penuntut untuk menuntut bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. Artinya jika penuntut umum sudah melakukan penuntutan terhadap setiap perkara, maka sesuai dengan surat edaran tersebut penuntut umum haris menuntut terdakwa untuk dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana. Surat Edaran jaksa Agung tentang Pedoman Tuntutan Pidana ini sebenarnya menurut penulis bertentangan dengan asas praduga tak bersalah, itu artinya juga bertentangan dengan bunyi Pasal 11 ayat (1) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Pasal 17 Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, karena pada dasarnya apa yang terdapat dalam Pasal 11 ayat (1) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Pasal 17 Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia tersebut substansinya sama dengan asas praduga tak bersalah. Sehingga menghilangkan tuntutan bebas ataupun lepas dari segala tuntutan hukum adalah merupakan tindakan penuntut umum atau tindakan dari Kejaksaan yang melanggar atau tidfak menghormati Hak Asasi Manusia. 150

KESIMPULAN Berdasarkan uraian penulis dalam pembahasan diatas, maka dapat diterik beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Hak-hak tersangka dan terdakwa dalam tindak pidana korupsi adalah merupakan bagian dari Hak Asasi manusia sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (1) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Pasal 17 Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, oleh karena iutu harus dihormati dalam setiap tahap proses penegakkan hokum. 2. Tuntutan Bebas dan putusan Bebas adalah merupakan Hak Asasi terdakwa dalam tindak pidana korupsi, tetapi hak asasi terdakwa untuk mendapatkan tuntutan bebas telah dilanggar atau tidak dihormati dengan terbitnya Surat Edaran Jaksa Agung nomor : SE-001/JA/4/1995 tentang Pedoman Tuntutan Pidana. SARAN 1. Menghadapi kritikan atau hujatan terhadap putusan bebas dalam tindak pidana korupsi, hendaknya hakim tetap tegar sepanjang putusan yang dibuatnya adalah putusan yang benar dan telah didasarkan alat bukti serta fakta yang terungkap dalam persidangan. 2. Surat Edaran Jaksa Agung nomor : SE-001/JA/4/1995 tentang Pedoman Tuntutan Pidana bertentangan dengan Deklarasi Universal Hak asasi Manusia dan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, serta asas praduga tak bersalah, oleh karena itu harus dicabut. PENUTUP Demikian makalah ini dibuat, dan penulis menyadari penuh bahwa makalah ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu perlu mendapatkan kritik, saran ataupun masukan untuk kersempurnaannya. 151

Daftar Pustaka Darwan Prints, 1989, Hukum Acara Pidana Suatu pengantar, Jambatan, Jakarta. Koenarto, Jend. Pol. (Purn), 1996, Ikhtisar Implementasi Hak Asasi Manusia Dalam Penegakkan Hukum, Jakarta. M. Haryanto, 2007, Hukum Acara Pidana,Fakultas Hukum Universitas Kristen satya Wacana, Salatiga. M. Haryanto, 2007, Hukum Acara Pidana,Fakultas Hukum Universitas Kristen satya Wacana, Salatiga. Sudarsono, 1999, Kamus Hukum Edisi Baru, Jakarta. 152