BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
Anatomi Sinus Paranasal Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. (simptoms kurang dari 3 minggu), subakut (simptoms 3 minggu sampai

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. tulang kepala yang terbentuk dari hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala. 7 Sinus

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sinusitis Maksilaris Odontogen

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. pakar yang dipublikasikan di European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal

Laporan Kasus SINUSITIS MAKSILARIS

GAMBARAN KUALITAS HIDUP PENDERITA SINUSITIS DI POLIKLINIK TELINGA HIDUNG DAN TENGGOROKAN RSUP SANGLAH PERIODE JANUARI-DESEMBER 2014

BAB 3 KERANGKA PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Secara fisiologis hidung berfungsi sebagai alat respirasi untuk mengatur

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem

12/3/2010. Nasal asessory sinuses Rongga dalam tulang kepala berisi udara. Sinus maksila Sinus frontal Sinus etmoid Sinus sfenoid

ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Rhinosinusitis. Bey Putra Binekas

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang muncul membingungkan (Axelsson et al., 1978). Kebingungan ini tampaknya

Author : Edi Susanto, S.Ked. Faculty of Medicine University of Riau. Pekanbaru, Riau. 0 Files of DrsMed FK UNRI (

RINOSINUSITIS KRONIS

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hidung luar dan hidung dalam. Struktur hidung luar ada 3 bagian yang dapat

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. yang dapat ditegakkan berdasarkan riwayat gejala yang diderita sudah lebih dari

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik dua atau lebih gejala berupa nasal. nasal drip) disertai facial pain/pressure and reduction or loss of

BAB II. Landasan Teori. keberhasilan individu untuk menyesuaikan diri terhadap orang lain pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. endoskopis berupa polip atau sekret mukopurulen yang berasal dari meatus

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODE DAN PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik Ilmu Kesehatan THT-KL RSUD

BAB I PENDAHULUAN. organisme berbahaya dan bahan-bahan berbahaya lainnya yang terkandung di

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di Indonesia, termasuk dalam daftar jenis 10 penyakit. Departemen Kesehatan pada tahun 2005, penyakit sistem nafas

REFERAT SINUSITIS. Oleh : KELOMPOK VI. Eka Evia R.A Mustika Anggane Putri

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dasar diagnosis rinosinusitis kronik sesuai kriteria EPOS (European

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kompleksitas dari anatomi sinus paranasalis dan fungsinya menjadi topik

Prof.dr.Abd. Rachman S, SpTHT-KL(K)

BAB II KONSEP DASAR. Sinusitis adalah peradangan pada sinus paranasal (Smeltzer, 2001). Sedangkan

TRAUMA MUKA DAN DEPT. THT FK USU / RSHAM

Bronkitis pada Anak Pengertian Review Anatomi Fisiologi Sistem Pernapasan

I.2. Rumusan Masalah I.3. Tujuan Penelitian I.3.1 Tujuan umum I.3.2 Tujuan khusus

BAB III METODE DAN PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Poliklinik THT-KL RSUD Dr. Moewardi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

ABSTRAK KARAKTERISTIK PASIEN SINUSITIS DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT SANGLAH DENPASAR PADA APRIL 2015 SAMPAI APRIL 2016 Sinusitis yang merupakan salah

OROANTRAL FISTULA SEBAGAI SALAH SATU KOMPLIKASI PENCABUTAN DAN PERAWATANNYA

BAB II LANDASAN TEORI

SINUSISTIS MAKSILARIS EC HEMATOSINUS EC FRAKTUR LE FORT I. Lukluk Purbaningrum FKIK Universitas Muhammadiyah Yogyakarta RSUD Salatiga

Diagnosis Dan Penatalaksanaan Rinosinusitis Dengan Polip Nasi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Diagnosis Penyakit Pulpa dan Kelainan Periapikal

Gambar 1. Anatomi Palatum 12

Kaviti hidung membuka di anterior melalui lubang hidung. Posterior, kaviti ini berhubung dengan farinks melalui pembukaan hidung internal.

memfasilitasi sampel dari bagian tengah telinga, sebuah otoscope, jarum tulang belakang, dan jarum suntik yang sama-sama membantu. 4.

BAB 1 PENDAHULUAN. muka sekitar 40%. Lokasi hidung di tengah dan kedudukan di bagian anterior

Profil Pasien Rinosinusitis Kronik di Poliklinik THT-KL RSUP DR.M.Djamil Padang

OSTEOSARCOMA PADA RAHANG

LAPORAN KASUS (CASE REPORT)

Diagnosis dan Penanganan Rinosinusitis

BAB 2 ANATOMI SEPERTIGA TENGAH WAJAH. berhubungan antara tulang yang satu dengan tulang yang lainnya. 7

Hubungan gejala dan tanda rinosinusitis kronik dengan gambaran CT scan berdasarkan skor Lund-Mackay

BAB 2 OSTEOMIELITIS KRONIS PADA RAHANG. infeksi yang terjadi dapat disebabkan oleh infeksi odontogenik. Osteomielitis dibagi

PENGERTIAN Peradangan mukosa hidung yang disebabkan oleh reaksi alergi / ransangan antigen

LAPORAN PENDAHULUAN SINUSITIS

Gambaran Rinosinusitis Kronis Di RSUP Haji Adam Malik pada Tahun The Picture Of Chronic Rhinosinusitis in RSUP Haji Adam Malik in Year 2011.

REFERAT DEVIASI SEPTUM NASI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Saluran pernafasan merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa

BAB 2 KANINUS IMPAKSI. individu gigi permanen dapat gagal erupsi dan menjadi impaksi di dalam alveolus.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 SINDROMA WAJAH ADENOID. Sindroma wajah adenoid pertama kali diperkenalkan oleh Wilhelm Meyer (1868) di

BAB I PENDAHULUAN. hidung dan sinus paranasal ditandai dengan dua gejala atau lebih, salah

BAB I PENDAHULUAN. WHO menunjukkan jumlah perokok di Indonesia menduduki peringkat ketiga

Laporan Kasus Besar. Observasi Limfadenopati Colli Multipel, Dekstra & Sinistra SHERLINE

PENUNTUN KETERAMPILAN KLINIS. PEMERIKSAAN HIDUNG Dan PEMASANGAN TAMPON BLOK 2.6 GANGUAN RESPIRASI

Organ yang Berperan dalam Sistem Pernapasan Manusia. Hidung. Faring. Laring. Trakea. Bronkus. Bronkiolus. Alveolus. Paru-paru

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN. Untuk mengetahui penyakit dan kelainan hidung, perlu diingat kembali

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis. pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung

BAB I PENDAHULUAN. paranasal dengan jangka waktu gejala 12 minggu, ditandai oleh dua atau lebih

HUBUNGAN ANTARA SINUSITIS MAKSILARIS KRONIK TERHADAP KUALITAS HIDUP DI RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA SKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan

ANALISIS PERUBAHAN WAKTU TRANSPORTASI MUKOSILIA HIDUNG PENDERITA SINUSITIS KRONIS PADA PENGOBATAN GURAH LAPORAN AKHIR HASIL PENELITIAN

Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab lokal dan sistemik.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

DIAGNOSIS CEPAT (RAPID DIAGNOSIS) DENGAN MENGGUNAKAN TES SEDERHANA DARI SEKRET HIDUNG PADA PENDERITA RINOSINUSITIS

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. nasi, kolumela dan lubang hidung (nares anterior). 1

KORELASI VARIASI ANATOMI HIDUNG DAN SINUS PARANASALIS BERDASARKAN GAMBARAN CT SCAN TERHADAP KEJADIAN RINOSINUSITIS KRONIK

BAB I KONSEP DASAR. Selulitis adalah infeksi streptokokus, stapilokokus akut dari kulit dan

Gambar klasifikasi Le Fort secara sistematis

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Famili : Picornaviridae Genus : Rhinovirus Spesies: Human Rhinovirus A Human Rhinovirus B

BENDA ASING HIDUNG. Ramlan Sitompul DEPARTEMEN TELINGA HIDUNG TENGGOROK BEDAH KEPALA LEHER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016

SKRIPSI. Oleh: EKA SAFITRI NIM

OSTEOMIELITIS. Rachmanissa

BATUK. Ebta Narasukma Anggraeny. etha's doc 1

Transkripsi:

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Sinus Paranasal Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit dideskripsi karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Ada empat pasang sinus paranasal, mulai dari yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri (Mehra dan Murad, 2004). Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang. Semua sinus mempunyai muara (ostium) ke dalam rongga hidung (Soetjipto dan Mangunkusomo,2007). Semua sinus dilapisi oleh epitel saluran pernafasan bersilia yang mengalami modifikasi dan mampu menghasilkan mukus serta sekret yang disalurkan ke dalam rongga hidung. Pada orang sehat, sinus terutamanya berisi udara (Hilger,1997). Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus media, ada muara-muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal, dan sinus etmoid anterior. Daerah ini rumit dan sempit, dan dinamakan kompleks ostio-meatal (KOM), terdiri dari infundibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus unsinatus, resesus frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium sinus maksila (Drake,1997). Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus frontal dan sinus sfenoid. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat bayi lahir, sedangkan sinus frontal berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih delapan tahun. Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari bagian posterosuperior rongga hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara 15-18 tahun (Soetjipto dan Mangunkusomo, 2007; Lee, 2008).

2.1.1. Sinus Maksila Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Sinus maksila disebut juga antrum Highmore (Tucker dan Schow, 2008). Saat lahir, sinus maksila bervolume 6-8 ml. Sinus ini kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa (Mehra dan Murad, 2004). Sinus maksila berbentuk piramid. Dinding anterior sinus adalah permukaan fasial os maksila yang disebut fossa canina, dinding posteriornya adalah permukaan infratemporal maksila, dinding medialnya adalah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya adalah dasar orbita, dan dinding inferiornya adalah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid ( Tucker dan Schow, 2008) Menurut Soetjipto dan Mangunkusomo (2007) dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah: a. Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas yaitu premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), dan kadang-kadang juga gigi taring dan gigi M3, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus sehingga infeksi gigi rahang atas mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis. b. Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita. c. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase hanya tergantung dari gerak silia, lagipula drainase juga harus melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat menghalangi drainase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitis.

Dikutip dari: Paranasal Sinuses: Atlas of Human Anatomy (Netter, F.H., 2006) Gambar 2.1 : Anatomi Sinus Maksila 2.1.2. Sinus Frontal Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan keempat fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun (Ramalinggam, 1990). Sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak simetris, satu lebih besar daripada lainya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis tengah. Kurang lebih 15% orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih lima persen sinus frontalnya tidak berkembang (Lee, 2008). Ukuran sinus frontal adalah mempunyai tinggi 2.8 cm, lebarnya 2.4 cm dan dalamnya 2 cm. Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk (Netter, 2006; Soetjipto dan Mangunkusomo,2007). Tidak adanya gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto Rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus (Rachman,2005).

Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini (Lund, 1997; Soetjipto dan Mangunkusomo,2007). Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal, yang berhubungan dengan infundibulum etmoid (Lee, 2008). 2.1.3. Sinus Etmoid Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling penting karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinus-sinus lainnya. Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2.4 cm dan lebarnya 0.5 cm di bagian anterior dan 1.5 cm di bagian posterior (Netter, 2006; Mangunkusomo, 2007). Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di antara konka media dan dinding medial orbita. Sel-sel ini jumlahnya bervariasi. Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara ke meatus media dan sinus etmoid posterior bermuara ke di meatus superior. Sel-sel etmoid anterior biasanya kecil-kecil dan banyak, letaknya di depan lempeng yang menghubungkan bagian posterior konka media dengan dinding lateral (lamina basalis), sedangkan sel-sel sinus etmoid posterior biasanya lebih besar dan sedikit jumlahnya dan terletak di posterior dari lamina basalis (Hilger, 1997; Ballenger, 2009). Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila (Mehra dan Murad, 2004). Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita (Soetjipto dan

Mangunkusomo,2007 ; Ballenger, 2009). Di bagian belakang sinus etmoid posterior berbatasan dengan sinus sfenoid (Hilger,1997). 2.1.4. Sinus Sfenoid Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior. Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya adalah 2 cm tingginya, dalamnya 2.3 cm dan lebarnya 1.7 cm. Volumenya bervariasi dari 5-7.5 ml. Saat sinus berkembang, pembuluh darah dan nervus di bagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus (Hilger, 1997; Netter, 2006). Batas-batasnya ialah, sebelah superior terdapat fosa superior serebri media dan kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan arteri karotis interna dan di sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons (Ramalinggam, 1990). 2.2. Fisiologi Sinus Paranasal Menurut Drake (1997) dan Soetjipto dan Mangunkusomo (2007) sampai saat ini belum ada persesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus paranasal. Ada yang berpendapat bahwa sinus paranasal ini tidak mempunyai fungsi apa-apa, karena terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan tulang muka. Menurut Lund (1997) beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain adalah: a. Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning) Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur kelembaban udara inspirasi. Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume sinus pada tipa kali bernapas, sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk pertukaran udara total dalam sinus. b. Sebagai penahan suhu (thermal insulator) Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi orbita dan fosa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Akan

tetapi kenyataannya sinus-sinus yang besar tidak terletak di antara hidung dan organ-organ yang dilindungi. c. Membantu keseimbangan kepala Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka, akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan memberikan pertambahan berat sebesar satu persen dari berat kepala, sehingga teori ini dianggap tidak bermakna. d. Membantu resonansi suara Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk resonansi suara dan mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonansi yang efektif. Lagi pula tidak ada korelasi antara resonansi suara dan besarnya sinus pada hewan-hewan tingkat rendah. e. Sebagai perendam perubahan tekanan udara Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan besar dan mendadak, misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus. f. Membantu produksi mukus Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi kerana mukus ini keluar dari meatus media, tempat yang paling strategis. Seperti pada mukosa hidung, di dalam sinus juga terdapat mukosa bersilia dan palut lendir di atasnya (Hilger,1997). Di dalam sinus silia bergerak secara teratur untuk mengalirkan lendir menuju ostium alamiahnya mengikuti jalur-jalur yang sudah tertentu polanya. Pada dinding lateral hidung terdapat dua aliran transport mukosiliar dari sinus. Lendir yang berasal dari kelompok sinus anterior yang bergabung di infundibulum etmoid dialirkan ke nasofaring di depan muara tuba Eustachius. Lendir yang berasal dari kelompok sinus posterior bergabung dengan resesus sfenoetmoidalis, dialirkan ke nasofaring di postero-superior muara tuba. Inilah sebabnya pada sinusitis didapati sekret pasca-nasal (post nasal drip), tetapi belum tentu ada sekret di rongga hidung (Ramalinggam, 1990; Adam, 1997).

2.3. Klasifikasi Sinusitis Konsensus internasional tahun 1995 membagi rinosinusitis hanya akut dengan batas sampai delapan minggu dan kronik jika lebih dari delapan minggu (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007). Konsensus tahun 2004 membagi rinosinusitis menjadi akut dengan batas sampai empat minggu, subakut antara empat minggu sampai tiga bulan dan kronik jika lebih dari tiga bulan atau berdasarkan jenis atau tipe inflamasinya yaitu infectious atau non-infectious (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007; Sobol, 2011). Klasifikasi secara klinis untuk sinusitis dibagi atas sinusitis akut, subakut dan kronis (Hilger, 1997). Sedangkan berdasarkan penyebabnya sinusitis dibagi kepada sinusitis tipe rinogen dan sinusitis tipe dentogen. Sinusitis tipe rinogen terjadi disebabkan kelainan atau masalah di hidung dimana segala sesuatu yang menyebabkan sumbatan pada hidung dapat menyebabkan sinusitis. Sinusitis tipe dentogen pula terjadi disebabkan kelainan gigi serta yang sering menyebabkan sinusitis adalah infeksi pada gigi geraham atas yaitu gigi pre molar dan molar (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007). 2.4. Sinusitis Tipe Dentogen 2.4.1. Definisi Sinusitis didefinikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal. Umumnya disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut rinosinusitis (Kumar dan Clark, 2005). Lapisan mukosa dari sinus paranasal merupakan lanjutan dari mukosa hidung. Hidung dan sinus paranasal merupakan bagian dari sistem pernapasan. Penyakit yang menyerang bronkus dan paruparu juga dapat menyerang hidung dan sinus paranasal. Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan proses infeksi, seluruh saluran nafas dengan perluasan-perluasan anatomik harus dianggap sebagai satu kesatuan (Hueston,2002).

2.4.2. Insidens dan Epidemiologi Menurut Wald (1990) di Amerika menjumpai insiden pada orang dewasa antara 10-15% dari seluruh kasus sinusitis yang berasal dari infeksi gigi. Ramalinggam (1990) di Madras, India mendapatkan bahwa rinosinusitis maksila tipe dentogen sebanyak sepuluh persen kasus yang disebabkan oleh abses gigi dan abses apikal. Menurut Becker et al. (1994) dari Bonn, Jerman menyatakan sepuluh persen infeksi pada sinus paranasal disebabkan oleh penyakit pada akar gigi. Granuloma dental, khususnya pada premolar kedua dan molar pertama sebagai penyebab rinosinusitis maksila dentogen. Hilger (1994) dari Minnesota, Amerika Serikat menyatakan terdapat sepuluh persen kasus rinosinusitis maksila yang terjadi setelah gangguan pada gigi. Menurut Farhat (2004) di Medan mendapatkan insiden rinosinusitis dentogen di Departemen THT-KL/RSUP Haji Adam Malik sebesar 13.67% dan yang terbanyak disebabkan oleh abses apikal (71.43%). 2.4.3. Etiologi dan Faktor Predisposisi Etiologi sinusitis tipe dentogen ini adalah : a. Penjalanan infeksi gigi seperti infeksi periapikal atau abses apikal gigi dari gigi kaninus sampai gigi molar tiga atas. Biasanya infeksi lebih sering terjadi pada kasus-kasus akar gigi yang hanya terpisah dari sinus oleh tulang yang tipis, walaupun kadang-kadang ada juga infeksi mengenai sinus yang dipisahkan oleh tulang yang tebal (Ross, 1999). b. Prosedur ekstraksi gigi. Pencabutan gigi ini dapat menyebabkan terbukanya dasar sinus sehingga lebih mudah bagi penjalanan infeksi (Saragih, 2007). c. Penjalaran penyakit periodontal yaitu dijumpai adanya penjalaran infeksi dari membran periodontal melalui tulang spongiosa ke mukosa sinus (Prabhu; Padwa; Robsen; Rahbar, 2009). d. Trauma, terutama fraktur maksila yang mengenai prosesus alveolaris dan sinus maksila (Ross, 1999). e. Adanya benda asing dalam sinus berupa fragmen akar gigi dan bahan tambahan akibat pengisian saluran akar yang berlebihan (Saragih, 2007). f. Osteomielitis pada maksila yang akut dan kronis (Mangunkusomo; Rifki, 2001).

g. Kista dentogen yang seringkali meluas ke sinus maksila, seperti kista radikuler dan folikuler (Prabhu; Padwa; Robsen; Rahbar, 2009). h. Deviasi septum kavum nasi, polip, serta neoplasma atau tumor dapat menyebabkan obstruksi ostium yang memicu sinusitis (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007). 2.4.4. Patofisiologi Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya klirens mukosiliar (mucociliary clearance) di dalam kompleks osteomeatal. Sinus dilapisi oleh sel epitel respiratorius. Lapisan mukosa yang melapisi sinus dapat dibagi menjadi dua yaitu lapisan viscous superficial dan lapisan serous profunda. Cairan mukus dilepaskan oleh sel epitel untuk membunuh bakteri maka bersifat sebagai antimikroba serta mengandungi zatzat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara pernafasan. Cairan mukus secara alami menuju ke ostium untuk dikeluarkan jika jumlahnya berlebihan (Ramalinggam, 1990; Mangunkusomo dan Soetjipto,2007). Faktor yang paling penting yang mempengaruhi patogenesis terjadinya sinusitis yaitu apakah terjadi obstruksi dari ostium. Jika terjadi obstruksi ostium sinus akan menyebabkan terjadinya hipooksigenasi, yang menyebabkan fungsi silia berkurang dan epitel sel mensekresikan cairan mukus dengan kualitas yang kurang baik (Kieff dan Busaba, 2004). Disfungsi silia ini akan menyebabkan retensi mukus yang kurang baik pada sinus (Hilger, 1997). Kejadian sinusitis maksila akibat infeksi gigi rahang atas terjadi karena infeksi bakteri (anaerob) menyebabkan terjadinya karies profunda sehingga jaringan lunak gigi dan sekitarnya rusak (Prabhu; Padwa; Robsen; Rahbar, 2009). Pulpa terbuka maka kuman akan masuk dan mengadakan pembusukan pada pulpa sehingga membentuk gangren pulpa. Infeksi ini meluas dan mengenai selaput periodontium menyebabkan periodontitis dan iritasi akan berlangsung lama sehingga terbentuk pus. Abses periodontal ini kemudian dapat meluas dan mencapai tulang alveolar menyebabkan abses alveolar. Tulang alveolar membentuk dasar sinus maksila sehingga memicu inflamasi

mukosa sinus. Disfungsi silia, obstruksi ostium sinus serta abnormalitas sekresi mukus menyebabkan akumulasi cairan dalam sinus sehingga terjadinya sinusitis maksila (Drake, 1997). Dengan ini dapat disimpulkan bahwa patofisiologi sinusitis ini berhubungan dengan tiga faktor, yaitu patensi ostium, fungsi silia, dan kualitas sekresi hidung. Perubahan salah satu dari faktor ini akan merubah sistem fisiologis dan menyebabkan sinusitis. 2.4.5. Gejala Klinis Gejala infeksi sinus maksilaris akut berupa demam, malaise, dan nyeri kepala yang tidak jelas yang biasanya reda dengan pemberian analgetik biasanya seperti aspirin. Wajah terasa bengkak, penuh, dan gigi terasa nyeri pada gerakan kepala mendadak, misalnya sewaktu naik dan turun tangga (Tucker dan Schow, 2008). Seringkali terdapat nyeri pipi khas yang tumpul dan menusuk, serta nyeri di tempat lain karena nyeri alih (referred pain). Sekret mukopurulen dapat keluar dari hidung dan terkadang berbau busuk. Batuk iritatif non-produktif juga seringkali ada (Sobol,2011). Sinusitis maksilaris dari tipe odontogen harus dapat dibedakan dengan rinogen karena terapi dan prognosa keduanya sangat berlainan. Pada sinusitis maksilaris tipe odontogenik ini hanya terjadi pada satu sisi serta pengeluaran pus yang berbau busuk. Di samping itu, adanya kelainan apikal atau periodontal mempredisposisi kepada sinusitis tipe dentogen. Gejala sinusitis dentogen menjadi lebih lambat dari sinusitis tipe rinogen (Mansjoer,2001). 2.4.6. Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan dengan palpasi turut membantu menemukan nyeri tekan pada daerah sinus yang terkena (Saragih, 2007) Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan posterior, nasoendoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007). Rinoskopi anterior memberi gambaran anatomi dan mukosa yang edema, eritema, dan sekret yang mukopurulen. Lokasi sekret dapat menentukan sinus mana yang terkena. Rinoskopi posterior dapat

melihat koana dengan baik, mukosa hipertrofi atau hiperplasia (Mansjoer, 2001). Pemeriksaan penunjang lain adalah transiluminasi. Hanya sinus frontal dan maksila yang dapat dilakukan transiluminasi. Pada sinus yang sakit akan menjadi suram atau gelap (Ross, 1999). Dengan nasal endoskopi dapat diketahui sinus mana yang terkena dan dapat melihat adanya faktor etiologi lokal. Tanda khas ialah adanya pus di meatus media pada sinusitis maksila, etmoidalis anterior dan frontal atau pus di meatus superior pada sinusitis etmoidalis posterior dan sfenoidalis (Mehra dan Murad, 2004; Mangunkusomo dan Soetjipto,2007). Selain itu, nasal endoskopi dilakukan untuk menegakkan diagnosis sinusitis akut dimana pus mengalir ke bawah konka media dan akan jatuh ke posterior membentuk post nasal drip (Ross, 1999). Pemeriksaan pembantu yang penting adalah foto polos posisi atau CTscan. Foto polos posisi Waters, posteroanterior, dan lateral umumnya hanya mampu menilai kondisi sinus-sinus besar seperti sinus maksila dan frontal. Kelainan yang akan terlihat adalah perselubungan, batas udara-cairan (airfluid level) pada sinusitis maksila atau penebalan mukosa (Mehra dan Murad, 2004). CT-scan sinus merupakan gold standard karena mampu menilai anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus secara keseluruhan dan perluasannya. Namun karena mahal hanya dikerjakan sebagai penunjang diagnosis sinusitis kronik yang tidak membaik dengan pengobatan atau pra-operasi sebagai panduan operator saat melakukan operasi sinus (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007). Pemeriksaan mikrobiologik dan tes resistensi dilakukan dengan mengambil sekret dari meatus media atau superior, untuk mendapat antibiotik yang tepat guna. Lebih baik lagi bila diambil sekret yang keluar dari pungsi sinus maksila (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007). Kebanyakan sinusitis disebabkan infeksi oleh Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, Moraxella catarrhalis. Gambaran bakteriologik dari sinusitis yang berasal dari gigi geligi didominasi oleh infeksi gram negatif sehingga menyebabkan pus berbau busuk dan akibatnya timbul bau busuk dari hidung (Ross, 1999). Di samping itu, sinuskopi dilakukan dengan pungsi menembus dinding medial sinus maksila melalui meatus inferior, dengan alat endoskopi dapat

dilihat kondisi sinus maksila yang sebenarnya, selanjutnya dapat dilakukan irigasi sinus untuk terapi (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007). 2.4.7. Terapi Prinsip terapi : a. Atasi masalah gigi b. Konservatif dilakukan dengan memberikan obat-obatan atau irigasi c. Operatif Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis akut bakterial, untuk menghilangkan infeksi dan pembengkakan mukosa serta membuka sumbatan ostium sinus (Tucker dan Schow, 2008). Antibiotik pilihan berupa golongan penisilin seperti Amoksisilin. Jika diperkirakan kuman telah resisten atau memproduksi beta-laktamase, maka dapat diberikan Amoksisilin-Klavulanat atau jenis Cephalosporin generasi kedua (Chambers dan Deck, 2009). Terapi lain dapat diberikan jika diperlukan seperti mukolitik, analgetik, steroid oral dan topikal, pencucian rongga hidung dengan natrium klorida atau pemanasan. Selain itu, dapat dilakukan irigasi sinus maksilaris atau koreksi gangguan gigi (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007). Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF) adalah operasi pada hidung dan sinus yang menggunakan endoskopi dengan tujuan menormalkan kembali ventilasi sinus dan klirens mukosiliar (Longhini; Bransletter; Ferguson, 2010). Prinsip BSEF ialah membuka dan membersihkan kompleks osteomeatal sehingga drainase dan ventilasi sinus lancar secara alami. Selain itu, operasi Caldwell Luc dapat juga dilakukan untuk memulihkan sumbatan sinus atau infeksi sinus maksila. Tindakan ini dilakukan dengan mengadakan suatu rute untuk mengkoneksi sinus maksila dengan hidung sehingga memulihkan drainase (Cho dan Hwang, 2008). 2.4.8. Komplikasi Komplikasi sinusitis adalah kelainan orbital disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan mata. Yang paling sering ialah sinusitis etmoid, kemudian sinusitis frontal dan maksila. Penyebaran infeksi terjadi melalui tromboflebitis dan perkontinuitatum. Kelainan yang dapat timbul ialah

edema palpebra, selulitis orbita, abses subperiostal, abses orbita dan selanjutnya dapat terjadi thrombosis sinus kavernosus (Mangunkusomo dan Soetjipto,2007). Komplikasi lain adalah infeksi orbital menyebabkan mata tidak dapat digerakkan serta kebutaan karena tekanan pada nervus optikus (Hilger, 1997). Osteomielitis dan abses subperiosteal paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada anak-anak. Pada osteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula oroantral atau fistula pada pipi (Tucker dan Schow, 2008) Infeksi otak yang paling berbahaya karena penyebaran bakteri ke otak melalui tulang atau pembuluh darah. Ini dapat juga mengakibatkan meningitis, abses otak dan abses ekstradural atau subdural (Hilger, 1997). Komplikasi sinusitis yang lain adalah kelainan paru seperti bronkitis kronis dan bronkiektasi. Adanya kelainan sinus paranasal disertai dengan kelainan paru ini disebut sinobronkitis. Selain itu, dapat juga menyebabkan kambuhnya asma bronchial yang sukar dihilangkan sebelum sinusitisnya disembuhkan (Ballenger, 2009). 2.4.9. Prognosis Prognosis sinusitis tipe dentogen sangat tergantung kepada tindakan pengobatan yang dilakukan dan komplikasi penyakitnya. Jika, drainase sinus membaik dengan terapi antibiotik atau terapi operatif maka pasien mempunyai prognosis yang baik (Mehra dan Murad, 2004).