BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. ketatanegaraan adalah terjadinya pergeseran paradigma dan sistem. dalam wujud Otonomi Daerah yang luas dan bertanggung jawab untuk

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan kebutuhan manusia yang bersifat universal. Di

BAB 12 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH

BAB 12 REVITALISASI PROSES DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan yang sangat penting dalam peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. suatu bangsa dan merupakan wahana dalam menerjemahkan pesan-pesan

*40931 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 32 TAHUN 2004 (32/2004) TENTANG PEDOMAN SATUAN POLISI PAMONG PRAJA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG

BAB II PROFIL INSTANSI / LEMBAGA A. PROFIL BADAN KEPEGAWAIAN, PENDIDIKAN DAN PELATIHAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 101 TAHUN 2000 TENTANG PENDIDIKAN DAN PELATIHAN JABATAN PEGAWAI NEGERI SIPIL

Syamsuddin Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Palembang Abstrak

I. PENDAHULUAN. Kedudukan pemerintah daerah berkaitan dengan otonomi daerah, bergulirnya otonomi

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEDOMAN SATUAN POLISI PAMONG PRAJA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. di berbagai bidang memerlukan tenaga yang berkualitas, yaitu manusia yang dapat. kualitas sumber daya manusia yang tinggi pula..

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea ke-4 dijelaskan. bahwa tujuan nasional Indonesia diwujudkan melalui pelaksanaan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Di era persaingan global, Indonesia memerlukan sumber daya manusia

BAB I PENDAHULUAN. pekerjaan. Pada Instansi pemerintahan kinerja biasa disebut sebagai sebuah

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEDOMAN SATUAN POLISI PAMONG PRAJA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

(Steers, 1985) FAKTOR-FAKTOR MANAJEMEN KEPEGAWAIAN

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA DALAM MENINGKATKAN KINERJA PEGAWAI (STUDI DINAS INFORMASI DAN KOMUNIKASI KOTA MANADO)

ANALISIS KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN SRAGEN DILIHAT DARI PERSPEKTIF AKUNTABILITAS

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah memberikan perhatian yang sungguh-sungguh dalam memberantas

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LANDAK,

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan organisasi/perusahaan dalam menjawab tantangan bisnis di masa

BAB II. dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Terselenggaranya

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan sistem manajemen pemerintahan dan pembangunan antara lain

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PESAWARAN NOMOR 06 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN ORGANISASI DAN TATA KERJA LEMBAGA TEKNIS DAERAH KABUPATEN PESAWARAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERUYAN NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG

BAHAN PEMBAHASAN KOMISI I FORUM KONSULTASI JABATAN FUNGSIONAL PERANCANG PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN HOTEL ALILA, JAKARTA 2 DESEMBER 2013

BAB I PENDAHULUAN. dasar sekaligus kekayaan suatu bangsa, sedangkan sumber-sumber modal dan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 101 TAHUN 2000 TENTANG PENDIDIKAN DAN PELATIHAN JABATAN PEGAWAI NEGERI SIPIL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. optimalisasi peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disebut

Oleh : S u p a n d i, SE (Kabid Pengembangan BKD Kab. Kolaka) A. Pendahuluan

BAB I PENDAHULUAN. dan teori perlu berimplikasi pada praktik. Oleh karena itu antara teori dan praktik

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan nasional yang diatur secara sistematis. Pendidikan nasional berfungsi

REFORMASI BIROKRASI & TATA KELOLA PEMERINTAHAN DI KTI

BAB I PENDAHULUAN. mempertahankan kelangsungan hidup organisasi. Apabila manusia yang ada

Strategi Pengembangan Sekolah Efektif untuk Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi

BAB I PENDAHULUAN. mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas ekonomi dan tugas

Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah ( Renstra SKPD )

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan yang dianut pemangku kebijakan. Kurikulum memiliki. kedudukan yang sangat sentral dalam keseluruhan proses pendidikan.

BAB I PENDAHULUAN. kompleksnya persoalan yang dihadapi Negara, maka terjadi pula. perkembangan di dalam penyelenggaraan pemerintahan yang ditandai

I. PENDAHULUAN. yang terdapat dalam organisasi tersebut. Keberhasilan untuk mencapai

Pendidikan Vokasi Bercirikan Keunggulan Lokal Oleh: Istanto W. Djatmiko Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta

Kabupaten Tasikmalaya 10 Mei 2011

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan, yang secara umum bertumpu pada dua paradigma baru yaitu

BAB I PENDAHULUAN. munculnya pergeseran dimensi pembangunan yang menitikberatkan pada pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. kompetensi jabatan dalam penyelenggaraan negara dan pembangunan. Untuk

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI. 3.1 Identifikasi Permasalahan Berdasarkan Tugas dan Fungsi Pelayanan

BAB I PENDAHULUAN. sebelumnya kewenangannya dipegang oleh pemerintahan pusat sekarang

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan untuk lebih

PENINGKATAN EFEKTIVITAS SEKOLAH

BAB II PEMBINAAN KARIR PEGAWAI NEGERI SIPIL DI INDONESIA. A. Pengertian Pembinaan dan Konsep Pembinaan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengembangan Sumber Daya Manusia Pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. negara dengan memperbaiki kesejahteraan dan keprofesionalan serta

PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR : 29 TAHUN 2013

BAB I PENDAHULUAN. pelayanan dan pengayoman pada masyarakat serta kemampuan professional dan

BAB IV GAMBARAN UMUM DAN LOKASI PENELITIAN. 4.1 Sejarah Singkat Kedudukan Tugas Pokok Dan Fungsi Badan. Badan Kepegawaian Daerah (BKD) merupakan unsur

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEKADAU NOMOR 07 TAHUN 2007 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian. Peraturan. yang berupa Peraturan Pemerintah (PP) maupun Keputusan Presiden

BAB 1 PENDAHULUAN. upaya-upaya secara maksimal untuk menciptakan rerangka kebijakan yang

BAB I PENDAHULUAN. Efektivitas proses..., Hani Khotijah Susilowati, FISIP UI, Universitas Indonesia

BAB III TUJUAN, SASARAN, PROGRAM DAN KEGIATAN

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana telah tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Setiap perusahaan senantiasa membutuhkan manajemen yang berkaitan

KEPUTUSAN KEPALA LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA NOMOR 193/XIII/10/6/2001 TENTANG PEDOMAN UMUM PENDIDIKAN DAN PELATIHAN JABATAN PEGAWAI NEGERI SIPIL

BAB I PENDAHULUAN. kemampuanya menegakan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

I. PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia adalah negara kesatuan, dalam penyelenggaraan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERATURAN MENTERI PEMUDA DAN OLAHRAGA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 0059 TAHUN 2013 TENTANG PENGEMBANGAN KEPEMIMPINAN PEMUDA

I. PENDAHULUAN. berdasarkan pertimbangan kemampuan daerah. Tujuannya adalah memungkinkan

PERATURAN BUPATI LANDAK NOMOR 24 TAHUN 2008 TENTANG TUGAS POKOK, FUNGSI, STRUKTUR ORGANISASI DAN TATA KERJA INSPEKTORAT KABUPATEN LANDAK

KEKURANGAN DAN KELEBIHAN KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PRAKTEK KEKUASAAN ELIT POLITIK DALAM DEMOKRASI (SUATU STUDI KASUS PENYUSUSUNAN PERATURAN DESA OLEH BPD DESA SUM TAHUN 2015)

PEMERINTAH KABUPATEN SANGGAU

Pembinaan ASN melalui pemberian penghargaan kepada ASN berprestasi di lingkungan (Badan Litbang SDM) memiliki maksud antara lain untuk:

PENILAIAN PRESTASI KINERJA PEGAWAI MAKNANYA BAGI WISYAISWARA Oleh : Sumaryono, SE, M.Si, Widyaiswara Madya pada Badan Diklat Provinsi Papua

BAB I PENDAHULUAN. tantangan yang lebih terbuka, sehingga sangat dibutuhkan kehadiran setiap

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PELALAWAN NOMOR 09 TAHUN 2002 TENTANG

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

BAB III ISU-ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI Identifikasi Permasalahan Berdasar Tugas Dan Fungsi Pelayanan SKPD

Penerapan Manajemen Sumber Daya Manusia dalam Sektor Publik dan Pusat Kesehatan Masyarakat. Dwi Handono Sulistyo PKMK FKKMK UGM

I. PENDAHULUAN. proses pembelajaran. Keberadaan pendidikan yang sangat penting tersebut telah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Era informasi dan globalisasi yang terjadi saat ini, menimbulkan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dalam Bab I Pasal 1 ayat 1 disebutkan Pendidikan adalah usaha sadar dan

SEKRETARIAT JENDERAL

BAB III ISU ISU STRATEGIS BERDASARKAN TUGAS DAN FUNGSI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

POKOK-POKOK PIKIRAN RUU APARATUR SIPIL NEGARA TIM PENYUSUN RUU TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA

RENCANA KERJA UNIT PELAKSANATEKNIS DINAS (UPTD PAUD DAN SD)

BAB I PENDAHULUAN. Tuntutan pembangunan yang semakin meningkat menuntut adanya SDM

BUPATI POLEWALI MANDAR

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1994 TENTANG PENDIDIKAN DAN PELATIHAN JABATAN PEGAWAI NEGERI SIPIL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. organisasi perusahaan. Sumber daya manusia merupakan asset utama bagi

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut Kaho (1991), berhasil tidaknya suatu kegiatan dilaksanakan dalam hal pelaksanaan otonomi daerah tergantung pada manusia pelaksananya. Oleh sebab itu dalam proses rekruitmen tenaga kesehatan, terutama pada jabatan yang bersifat teknis perlu dipertimbangkan kemampuan-kemampuan profesionalisme di samping pertimbangan kepribadian dan integritas kepemimpinan yang dimiliki. Aparat kesehatan merupakan unsur masukan (input) dari sistem pembangunan kesehatan sebagai modal dasar dari pembangunan kesehatan itu sendiri, karena kunci keberhasilan pembangunan kesehatan ditentukan oleh tersedianya sumber daya manusia berupa tenaga kesehatan yang mempunyai kompetisi dan profesional yang tinggi. Kemampuan aparatur pemerintah dalam hal ini aparat kesehatan merupakan faktor yang menentukan apakah suatu daerah mampu menyelenggarakan urusan rumah tangga, khususnya bidang kesehatan dengan baik atau tidak (Kaho, 1991). Langkah seperti ini diperlukan karena di dalam suasana titik berat otonomi yang diletakkan pada daerah kabupaten/kota, maka setiap aparatur, harus 1

terus dipacu secara maksimal mendukung setiap segi dari penyelengaraan tugas dan tanggung jawabnya masingmasing. Untuk mendukung konsep pembinaan aparatur itu diperlukan tenaga-tenaga yang mempunyai potensi kreatif sehingga dapat secara sistematis mengikuti berbagai jenjang pendidikan dan latihan yang dibutuhkan oleh bidang tugasnya pada suatu ketika. Sesuai konsep desentralisasi di daerah kabupaten, dengan kewenangan yang bertambah seharusnya diikuti peningkatan tenaga yang baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Di mana peningkatan SDM ini dapat ditempuh dengan pelatihan, pendidikan, bantuan konsultan, dan tenaga profesional. Selain itu juga diikuti pula dengan pola pengembangan karier yang tertib dan teratur (Buwono, 1999). Salah satu kendala yang melekat pada daerah kabupaten/kota dalam melaksanakan urusan kesehatan yang telah disentralisasikan adalah faktor kemampuan daerah, meliputi kemampuan dan kesiapan daerah kabupaten/kota dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah. Dari penelitian yang dilakukan oleh FISIP UGM bekerja sama dengan badan Litbang Depdagri bahwa kemampuan aparatur dalam penyelenggaraan urusan rumah tangga daerahnya khususnya urusan kesehatan hanya 46,12%. Penelitian terakhir yang dilakukan Depdagri didapatkan bahwa berdasarkan kriteria pokok kemampuan daerah di atas hanya 21,25% dari 292 daerah kabupaten/ kota. Dengan demikian, kekurangan aparatur daerah dalam kabupaten/kota dalam penyelenggaraan otonomi daerah sebagai salah satu penyebab ketidakmampuan pemerintah daerah dalam menyelenggarakan urusan rumah tangga dengan sempurna. 2

Hasil penelitian Hermawaty tahun 2000 menunjukkan tingkat pendidikan 58,3% dengan kategori kurang dan 41,7% kategori cukup. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan tenaga yang ada di kabupaten/kota masih rendah, maka perlu diadakan penelitian mengenai tingkat kemampuan para tenaga kesehatan sehingga hasilnya dapat dijadikan masukan untuk mengadakan evaluasi dan perbaikan dalam penanganan tenaga kesehatan. Kemapuan tenaga kesehatan merupakan variabel utama dalam penyelenggaraan otonomi daerah dan indikator yang digunakan untuk mengukur kemampuan tenaga kesehatan secara makro adalah rasio jumlah penduduk, pendidikan formal pegawai, golongan/ kepangkatan, pendidikan dan latihan strukrural dan fungsional yang diikuti serta masa kerja. Sedangkan Ali Sadikin (2003) dalam penelitiannya tentang analisis kemampuan tenaga kesehatan dalam penyelenggaraan otonomi bidang kesehatan di Kabupaten Bulungan Jawa Timur dinyatakan tidak mampu, berdasarkan rasio jumlah tenaga kesehatan terhadap jumlah penduduk, pendidikan formal, golongan dan kepangkatan, pendidikan dan latihan, dan masa kerja. Oleh sebab itu, berdasarkan uraian tersebut di atas, maka peneliti ingin melakukan studi tentang kemampuan tenaga kesehatan dalam penyelenggaraan otonomi di bidang kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Polewali. 3

B. Rumusan Masalah Bagaimana gambaran kemampaun tenaga kesehatan dalam penyelenggaraan otonomi daerah bidang kesehatan ditinjau dari segi rasio jumlah tenaga kesehatan terhadap jumlah penduduk, pendidikan formal tenaga kesehatan, golongan kepangkatan, Diklat Struktural dan Teknis/Fungsional, dan masa kerja tenaga kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Polewali. C. Tujuan Penelitian 4 1. Tujuan umum Mendapatkan gambaran kemampuan tenaga kesehatan dalam penyelenggaraan otonomi daerah bidang kesehatan ditinjau dari segi rasio jumlah tenaga kesehatan terhadap jumlah penduduk, pendidikan formal, golongan kepangkatan, dan Diklat Struktural dan Teknis/ Fungsional, dan masa kerja tenaga kesehatan di Rumah Sakit Kabupaten Polewali. 2. Tujuan khusus a. Mendapatkan gambaran kemampuan tenaga kesehatan dalam penyelenggaraan otonomi bidang kesehatan, ditinjau dari segi rasio tenaga kesehatan terhadap jumlah penduduk di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Polewali. b. Mendapatkan gambaran kemampuan tenaga kesehatan dalam penyelenggaraan otonomi bidang kesehatan, ditinjau dari segi pendidikan formal tenaga kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Polewali.

c. Mendapatkan gambaran kemampuan tenaga kesehatan dalam penyelenggaraan otonomi bidang kesehatan, ditinjau dari segi golongan kepangkatan tenaga kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Polewali. d. Mendapatkan gambaran kemampuan tenaga kesehatan dalam penyelenggaraan otonomi bidang kesehatan, ditinjau dari segi Pendidikan dan Latihan Struktural dan Fungsional tenaga kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Polewali. e. Mendapatkan gambaran kemampuan tenaga kesehatan dalam penyelenggaraan otonomi bidang kesehatan, ditinjau dari segi masa kerja tenaga kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Polewali D. Manfaat Penelitian 1. Bahan informasi bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Polewali dalam rangka pembinaan dan pengembangan otonomi bidang kesehatan. 2. Sebagai informasi bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Polewali khususnya dalam perencanaan, rekruitmen, dan penempatan tenaga kesehatan di dinas Kesehatan Kabupaten Polewali 3. Sebagai bahan informasi bagi peneliti selanjutnya dengan objek yang relevan. 4. Bagi peneliti sebagai tambahan pengetahuan, pengalaman, dan cakrawala berpikir dalam penelitian. 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Otonomi Daerah 6 1. Kondisi Umum Aparatur Pemerintah Daerah Sebagai bagian dari masyarakat dunia, bangsa Indonesia tidak bisa menghindar dari pengaruh perubahan global. Tuntunan terhadap perwujudan hak asasi manusia, demokratisasi, supremasi hukum, penyelenggaraan pemerintahan yang baik, antara lain merupakan nilai-nilai kehidupan global yang harus diwujudkan (Yudoyono, 2001). Demikian halnya di dalam manajemen penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Pola-pola penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan yang sentralistik menjadi kurang aktual, sehingga perlu pendekatan desentralistik. Peranan pemerintah untuk menciptakan iklim kondusif dalam mewadahi proses interaksi kehidupan sosial, ekonomi, politik agar berjalan dengan tertib, terkendali, demokratis, dan efektif. Dalam rangka mewujudkan tatanan penyelenggaraan pemerintahan sesuai dengan tuntutan masyarakat, maka berbagai kebijakan strategis telah dan akan ditetapkan, di antaranya

adalah pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999, serta PP No. 25 Tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan provinsi sebagai daerah otonomi. Demikian pula serangkaian kebijaksanaan strategis sedang terus diupayakan dalam melakukan dalam melakukan penataan di bidang kelembagaan pemerintah baik pusat maupun daerah serta penataan sumber daya manusia aparatur. Semua upaya tersebut diharapkan sudah dapat dilaksanakan pada tahun 2001 (Yudoyono, 2001). Menurut Yudoyono (2001), jumlah aparatur pemerintah daerah sampai selesainya proses perampingan pemerintah pusat dan pengalihan status kepegawaian, diperkirakan berjumah 3,8 juta (jumlah PNS yang dialihkan menjadi PNS daerah sekitar 2 juta lebih). Rasio pegawai PNS pusat dan daerah dengan penduduk Indonesia berjumlah 205 juta adalah sekitar 2%. Dibanding dengan negara-negara lain seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Jepang, dan Amerika Serikat jumlah PNS di Indonesia relatif kecil. Tetapi yang menjadi permasalahan adalah tingkat produktivitas dari kinerja yang ditampilkan dalam hal ini Indonesia tampaknya masih jauh tertinggal. Bukan saja secara kuantitas masih memprihatinkan, tetapi juga kualitas dari produk yang dihasilkan masih belum bisa memenuhi harapan semua pihak, termasuk yang diakui oleh sebagian aparat pemerintah sendiri. Apalagi ada predikat tambahan yaitu termasuk peringkat atas sebagai negara paling korup di dunia. 7

8 Kondisi aparatur pemerintah beberapa pemerintah yang lalu pernah diamati oleh suatu lembaga yang hasilnya cukup memprihatinkan. Ketika jam kerja, banyak dijumpai PNS yang hanya membaca koran, ada yang main catur, tidak berada di tempat kerja dan sebagainya. Hal ini menunjukkan keterabaikan aspek efisiensi dan sudah tentu juga tidak efektif. Aktivitas yang menunjukkan nuansa kesibukan kerja di unit-unit kerja yang ada proyeknya. Sehingga tidaklah salah jika ada pengamat yang menyatakan bahwa PNS lebih cenderung berorientasi pada proyek ketimbang melaksanakan tugas-tugas rutinnya. Dari sisi tingkat pendidikan formal, dari sekitar 3,8 juta PNS di seluruh pemerintah daerah, sekitar 40-50% adalah lulusan SLTA. Hal ini pun karena dalam beberapa tahun di akhir dasawarsa 90-an PNS yang melanjutkan studi ke strata satu (S1) dan strata dua (S2) meningkat cukup banyak. Dari sisi pendidikan nonformal atau yang dikenal diklat aparatur, jumlah PNS yang berkesempatan mengikuti program pemerintah masih sangat terbatas karena frekuensi pelatihan yang juga terbatas. Hasil penelitian yang pernah dilakukan oleh badan pendidikan dan pelatihan Departemen Dalam Negeri di tahun 1992/1993 menunjukkan adanya PNS dalam jumlah yang cukup besar belum pernah mengikuti pelatihan selama kariernya kemudian ditemukan pula yang baru sekali mengikuti pelatihan selama 20 tahun masa bakti dan sebagainya. Frekuensi meningkat cukup pesat di sekitar 5 tahun terakhir abad ke-20 itu pun dalam jenis diklat srtruktural

yang dimaksudkan sebagai salah satu persyaratan pengangkatan dalam jabatan yang lebih tinggi (Yudoyono, 2001). Ada beberapa faktor yang menyebabkan belum sepadannya kualitas aparatur pemerintah daerah. Penyebab ini adalah datangnya bukan dari lingkungan internalnya, melainkan sebagian besar justru dari pemerintah pusat. 1. Sistem sentralisasi kewenangan yang berlaku selama lebih kurang 32 tahun, menjadikan berkembangnya sikap ketergantungan yang demikian besar dari pemerintah daerah. Mereka lebih cenderung menunggu petunjuk dari pusat, kucuran dana dari pusat, program-program dari pusat, dan sebagainya yang menjadikan tipisnya kader kreativitas, inovasi, inisiasi, atau prakarsa. Mereka seolah tidak berani atau bahkan tidak mau dan mampu melakukan aktivitas jika yang dilakukan tidak berdasarkan petunjuk dari pemerintah pusat. Dalam konstruksi seperti ini, aparatur pemerintah pusat seolah menjadi dewa sakti yang mampu menghidupi aparatur daerah. Lantas terjadilah praktik-praktik kotor dengan memanfaatkan ketergantungan dalam manajemen pemerintahan. 2. Penyeragaman sebagai model kebijakan pemerintah yang menyangkut pengelolaan seluruh unsur aparatur pemerintah daerah (kelembagaan, kepegawaiaan, dan tata laksana), lambat laun mendorong terjadinya ketidaksesuaian terhadap realitas permasalahan di daerah. 9

10 Kondisi aparatur yang selama bertahun-tahun telah terbiasa bekerja dalam nuansa ketergantungan dengan model kebijakan yang serba sentralistik dan uniformistik, dapat dimaklumi menjadi terkejutkejut ketika tiba-tiba diberikan kewenangan yang besar untuk mengelola dan membangun daerahnya yang mengharuskan adanya inisiatif dari bawah. Menurut Widjaja (1998), pemberian otonomi yang lebih luas kepada daerah tidak akan menimbulkan risiko disintegrasi nasional atau kecenderungan ke arah otokrasi, mengingat semangat kebangsaan dan kesadaran berdemokrasi Pancasila rakyat telah teruji, tidak perlu diragukan lagi. Penyerahan urusan pemerintahan ini, bukan hanya penyerahan tugas dan tanggung jawab saja, tetapi juga mencakup tanggung jawab personel, aparat, peralatan, dan penganggaran yang mendukungnya. Urusan dan tugas-tugas yang secara langsung melekat pada hakikat negara kesatuan dan kedaulatan negara tetapi juga dikelola oleh pemerintah pusat. Penyerahan yang dimaksud pada hakikatnya adalah penyelenggaraan pemerintahan daerah bukan penyerahan kedaulatan. Pada dasarnya otonomi daerah, pembangunan daerah akan lebih terarah dengan situasi dan kondisi setempat, yaitu ekonomi, sosial, dan kultur budayanya, sehingga diharapkan lebih memacu pertumbuhan ekonomi masyarakat daerah. Pengaturan kebijakan penyerahan urusan dan pelaksanaan di daerah Tingkat II sebagai titik berat otonomi daerah harus memperhatikan dan