II. TINJAUAN PUSTAKA. Penalisasi adalah suatu proses pengancaman suatu perbuatan yang dilarang

dokumen-dokumen yang mirip
REHABILITASI MEDIS DAN SOSIAL TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA. (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR 22/PID.B/2014/PN.

TINJAUAN PUSTAKA. Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal

PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DITINJAU DARI UNDANG- UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan

PENDAHULUAN. penyalahgunaan, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi dan keamanan nasional,

BAB II PENGATURAN TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM PECANDU NARKOTIKA. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat) dan

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN TENTANG PELAKSANAAN WAJIB LAPOR PECANDU NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2011 TENTANG PELAKSANAAN WAJIB LAPOR PECANDU NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. penyakit kronik (sulit disembuhkan) yang berulang kali kambuh yang hingga

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

I. PENDAHULUAN. kita mengetahui yang banyak menggunakan narkoba adalah kalangan generasi muda

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2011 TENTANG PELAKSANAAN WAJIB LAPOR PECANDU NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2011 TENTANG PELAKSANAAN WAJIB LAPOR PECANDU NARKOTIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB III PENERAPAN REHABILITASI BAGI PECANDU NARKOTIKA DAN KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA. 3.1 Penempatan Rehabilitasi Melalui Proses Peradilan

Reni Jayanti B ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar tahun 1945 yaitu melindungi segenap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Peredaran narkotika semakin mengkhawatirkan di Indonesia karena

BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI TINDAK PIDANA NARKOTIKA. 2.1 Pengaturan Hukum tentang Tindak Pidana Narkotika dalam Undang- Undang Nomor 9 Tahun 1976

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. dan pengembangan ilmu pengetahuan. Indonesia dan negara-negara lain pada

KEBIJAKAN NARKOTIKA, PECANDU DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA

BAB V PENUTUP. Penyalahguna magic mushroom dapat dikualifikasikan sebagai. golongan I sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

PELAKSANAAN TUGAS INSTITUSI PENERIMA WAJIB LAPOR DI PUSKESMAS PERKOTAAN RASIMAH AHMAD BUKITTINGGI

BAB I PENDAHULUAN. legal apabila digunakan untuk tujuan yang positif. Namun

2017, No Mengingat : 1. Undang - Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 77, Tam

BAB III PENUTUP. mengambil kesimpulan sebagai berikut: dilakukan oleh anak-anak, antara lain : bentuk penanggulangan secara preventif yaitu :

PELAKSANAAN SANKSI PIDANA DENDA PADA TINDAK PIDANA PSIKOTROPIKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang,

BAB I PENDAHULUAN. adalah Negara hukum. Negara yang didasarkan atas hukum yang berlaku, baik

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan nasional Indonesia bertujuan mewujudkan manusia

BUPATI BULUNGAN PROPINSI KALIMANTAN UTARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penyalahgunaan narkotika pada akhir-akhir tahun ini dirasakan

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi dengan masyarakat secara wajar. Istilah narkoba muncul sekitar

BAB I PENDAHULUAN. dalam proses pembiusan sebelum pasien dioperasi. Seiring dengan perkembangan

BAB III PEMIDANAAN ORANG TUA ATAU WALI DARI PECANDU NARKOTIKA DI BAWAH UMUR MENURUT UU NO. 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. tertentu di dalam masyarakat yang mungkin tinggi, sedang-sedang saja atau rendah.

BAB I PENDAHULUAN. hukum seperti telah diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang No. 35 Tahun

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Narkotika diperlukan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan

UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059]

PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR. Suwarjo, SH., M.Hum.

PERATURAN BERSAMA KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL REPUBLIK INDONESIA TENTANG

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana

UPAYA PENEGAKAN HUKUM NARKOTIKA DI INDONESIA Oleh Putri Maha Dewi, S.H., M.H Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta

I. PENDAHULUAN. 1998, dimana banyak terjadi peristiwa penggunaan atau pemakaian barang-barang

BAB VI PENUTUP. penulis membuat kesimpulan sebagai jawaban dari rumusan masalah.

BAB I PENDAHULUAN. pidana yang diancamkan terhadap pelanggaran larangan 1. Masalah pertama

I. PENDAHULUAN. segala bidanng ekonomi, kesehatan dan hukum.

BAB I PENDAHULUAN. manusia dalam pergaulan di tengah kehidupan masyarakat dan demi kepentingan

PEMERINTAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 13 TAHUN 2010 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Adanya ketidakseimbangan antara perlindungan korban kejahatan dengan pelaku

PERATURAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PENINGKATAN KEMAMPUAN LEMBAGA

I. PENDAHULUAN. pengobatan dan pelayanan kesehatan. Namun, dengan semakin berkembangnya zaman, narkotika

I. PENDAHULUAN. Pemerintah Indonesia sekarang ini melaksanakan pembaharuan hukum pidana.

BUPATI BANGKA BARAT PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BARAT NOMOR 6 TAHUN 2015

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOBA YANG DILAKUKAN OLEH WARGA NEGARA ASING

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah Negara hukum, sebagaimana tertuang dalam

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PELAKSANAAN SISTEM PEMIDAAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. 1. adanya pengendalian, pengawasan yang ketat dan seksama.

BAB I PENDAHULUAN. nasional, tetapi sekarang sudah menjadi masalah global (dunia). Pada era

BAB I PENDAHULUAN. terus menerus termasuk derajat kesehatannya. dengan mengusahakan ketersediaan narkotika dan obat-obatan jenis tertentu

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Permasalahan mengenai penggunaan Narkotika semakin hari

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB II PERBEDAAN PUTUSAN REHABILITASI DAN PUTUSAN PIDANA PENJARA DALAM TINDAK PIDANA NARKOTIKA

PERATURAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Peredaran gelap narkotika di Indonesia menunjukkan adanya

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa

II. TINJAUAN PUSTAKA. umur harus dipertanggungjawabkan. Dalam hukum pidana konsep responsibility

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. cepat dari proses pematangan psikologis. Dalam hal ini terkadang menimbulkan

BAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

BUPATI SANGGAU PROVINSI KALIMANTAN BARAT

I. PENDAHULUAN. mengisi kemerdekaan dengan berpedoman pada tujuan bangsa yakni menciptakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia adalah negara berdasarkan UUD 1945 sebagai konstitusi

BAB I PENDAHULUAN. sosial dimana mereka tinggal.

BAB I PENDAHULUAN. bermanfaat bagi pengobatan, tetapi jika dikonsumsi secara berlebihan atau tidak. rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.

BAB I PENDAHULUAN. Internasional. Tidak mustahil peredaran narkotika yang sifatnya telah

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara hukum ( rechtstaats), maka setiap orang yang

BAB I PENDAHULUAN. dalam kesatuan langkah menuju tercapainya tujuan pembangunan tersebut.

I. PENDAHULUAN. Penyalahgunaan, perdagangan gelap narkotika merupakan permasalahan nasional,

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan rasa kekhawatiran yang mendalam pada masyarakat. Berbagai

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang

I. PENDAHULUAN. harus dilindungi. Anak tidak dapat melindungi diri sendiri hak-haknya, berkepentingan untuk mengusahakan perlindungan hak-hak anak.

JURNAL PERTIMBANGAN HUKUM OLEH HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG BADAN NARKOTIKA NASIONAL PROVINSI, NARKOTIKA DAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA

2017, No Medis dan Lembaga Rehabilitasi Sosial bagi Pecandu dan Korban Penyalahgunaan Narkotika; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2

BAB I PENDAHULUAN. hakim di sidang pengadilan. Penegakan hukum ini diharapkan dapat menangkal. tersebut. Kejahatan narkotika (the drug trafficking

UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA [LN 1997/67, TLN 3698]

SKRIPSI. UPAYA REHABILITASI BAGI PENYALAHGUNA NARKOTIKA OLEH BADAN NARKOTIKA NASIONAL (BNNK/KOTA) PADANG (Studi Kasus di BNNK/Kota Padang)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL REPUBLIK INDONESIA,

PENDAHULUAN 1.1 Pengertian Judul

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

II. TINJAUAN PUSTAKA. dimana keturunan tersebut secara biologis berasal dari sel telur laki-laki yang kemudian

2017, No d. bahwa untuk belum adanya keseragaman terhadap penyelenggaraan rehabilitasi, maka perlu adanya pengaturan tentang standar pelayanan

UU 22/1997, NARKOTIKA. Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 22 TAHUN 1997 (22/1997) Tanggal: 1 SEPTEMBER 1997 (JAKARTA) Tentang: NARKOTIKA

Transkripsi:

18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Penalisasi dan Depenalisasi 1. Definisi Penalisasi Penalisasi adalah suatu proses pengancaman suatu perbuatan yang dilarang dengan sanksi pidana. Umumnya penalisasi ini berkaitan erat dengan kriminalisasi, karena ketika kebijakan untuk menentukan bahwa suatu perbuatan tertentu dikategorikan sebagai perbuatan terlarang atau tindak pidana, langkah selanjutnya adalah menentukan ancaman sanksi pidana bagi perbuatan tersebut. Norma pelarangan terkait dengan kebijakan kriminalisasi yang kemudian diikuti dengan penalisasi dengan ancaman pidana yang teringan sampai dengan yang terberat atau pidana mati. Sedangkan kebijakan penalisasi terkait dengan pengenaan sanksi pidana atau penal terhadap perbuatan tertentu yang dipandang sebagai perbuatan melawan hukum yang telah dimuat dalam cabang ilmu lain, Secara singkat dapat dikatakan bahwa pembahasan kriminalisasi meniscayakan pembahasan mengenai penalisasi, walaupun antara keduanya yaitu tindak pidana dan sanksi pidana merupakan dua topik yang berbeda dalam hukum pidana. Dalam kajian mengenai kriminalisasi terdapat beberapa asas yang digunakan, dimana asas adalah prinsip-prinsip atau dasar-dasar atau landasan pembuatan

19 suatu peraturan, kebijakan dan keputusan mengenai aktivitas hidup manusia. 13 Dalam konteks kriminalisai, asas diartikan sebagai konsepsi-konsepsi dasar, norma-norma etis, dan prinsip-prinsip hukum yang menuntun pembentukan hukum pidana melalui pembuatan peraturan perundang-undangan pidana. Ada tiga asas kriminalisai yang berlaku diperhatikan pembentuk undang-undang dalam menetapkan suatu perbuatan sebagai tindak pidana beserta ancaman sanksi pidananya 14, yakni : a) Asas legalitas b) Asas subsidiaritas c) Asas persamaan/kesamaan Kriminalisasi muncul ketika kita dihadapkan pada suatu perbuatan yang merugikan orang lain atau masyarakat yang hukumnya belum ada atau belum ditemukan, persoalan kriminalisasi timbul karena dihadapan kita terdapat perbuatan yang berdimensi baru, sehingga muncul pertanyaan adakah hukumnya untuk perbuatan tersebut. Kesan yang muncul kemudian adalah terjadinya kekosongan hukum yang akhirnya mendorong kriminalisasi terhadap perbuatan tersebut, dan dari kriminalisasi tersebutlah muncul penalisasi yang menentukan sanksi apa yang sesuai terhadap perbuatan pidana tersebut. 2. Pengertian Depenalisasi Pengertian Depenalisasi adalah sebagai suatu perbuatan yang semula diancam dengan pidana kemudian ancaman pidana ini dihilangkan, tetapi masih dimungkinkan adanya tuntutan dengan cara lain, misalnya dengan melalui hukum 13 Paul Ricardo. Upaya Penaggulangan Penyalahgunaan Narkotika oleh Kepolisian. http://law.uii.ac.id/images/stories/jurnal%20hukum/salman%20luthan.pdf. Di akesa pada 18 Oktober 2014 14 Mahrus Ali. Dasar-dasar Hukum Pidana. (Jakarta: Sinar Grafika, 2011) hlm 86-88

20 perdata atau hukum administrasi. Didalam proses depenalisasi terdapat suatu kecenderungan untuk menyerahkan perbuatan tercela atau anti sosial itu kepada reaksi sosial saja atau kepada kelembagaan tindakan medis. Perbuatan yang termasuk kenakalan remaja ditanggulangi diluar proses peradilan pidana. Demikian pula perbuatan zina dengan pertimbangan sosial ekonomis menjadi perbuatan yang tidak kriminal dengan proses depenalisasi 15. Pengertian depenalisasi dalam masalah narkotika dibutuhkan pemahaman khusus, salah satu pengertian yang dikeluarkan oleh Badan Pemerintah Pusat Uni Eropa yang mengkoordinasikan data kebijakan obat atau European Monitoring Centre for Drugs and Drug Addiction (EMCDDA), mendefinisikan depenalisasi sebagai berikut. 16 Depenalization means relation of the penal sanction provided for by law. In the case of drugs, and cannabis in particular, depenalization generally signifies the elimination of custodial penalties. Artinya, depenalisasi berarti penggunaan obat tetap menjadi pelanggaran pidana, tetapi hukuman penjara tidak lagi dikenakan atas kepemilikan atau penggunaan bahkan ketika sanksi pidana lain (misalnya, denda, catatan polisi, masa percobaan) tetap dimungkinkan. Sedangkan di Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika tidak secara eksplisit menjelaskan tentang depenalisasi, namun secara teori konsep depenalisasi telah ada dalam kerangka undang-undang tersebut. Dalam Pasal 128 ayat (2) dan (3) undang-undang narkotika dijelaskan bahwa wali 15 Supardi. Pro dan Kontra Pidana Mati terhadap Tindak Pidana Narkoba. http/www.bnn.go.id/konten. diakses pada 3 Maret 2015. 16 Glenn Greenwald. Drug Decriminalization in Portugal; Lessons for Creating Fairand Successful DrugPolicies. (USA: Cato Institute. 2009). hlm. 2.

21 pecandu yang belum cukup umur atau pecandu yang sudah cukup umur melapor kepada Institusi Penerima Wajib Lapor, maka pecandu tersebut tidak dituntut pidana melainkan hanya direhabilitasi. Konsep depenalisasi dapat kita lihat dalam pasal tersebut, dimana pengguna atau pecandu narkotika adalah orang yang melanggar hukum namun hukuman pidananya dihilangkan digantikan dengan rehabilitasi. B. Tinjauan Umum Tentang Narkotika 1. Pengertian Narkotika Pengertian Narkotika berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, bahwa yang dimaksud dengan Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. Narkotika yang terkenal di Indonesia sekarang ini berasal dari kata Narkoties, yang sama artinya dengan kata narcosis yang berarti membius. Dulu di Indonesia dikenal dengan sebutan madat. Penjelasan umum dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika mempunyai cakupan yang lebih luas baik dari segi norma, ruang lingkup materi maupun ancaman pidana yang diperberat. Cakupan yang lebih luas tersebut selain didasarkan pada faktor-faktor diatas juga karena perkembangan kebutuhan dan kenyataan bahwa nilai dan norma dalam ketentuan yang berlaku tidak memadai lagi sebagai sarana efektif untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Salah satu

22 materi baru dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dibagi menjadi 3 (tiga) golongan, mengenai bagaimana penggolongan dimaksud dari masing-masing golongan telah dirumuskan dalam Pasal 6 ayat (1) Undang- Undang Narkotika. Sehubungan dengan adanya penggolongan tentang jenis-jenis narkotika sebagaimana dimaksud dalam rumusan Pasal 6 ayat (1) ditetapkan dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, seperti terurai di bawah ini. a) Narkotika Golongan I Dalam ketentuan ini yang dimaksud narkotika golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. b) Narkotika Golongan II Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan narkotika golongan II adalah narkotika berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. c) Narkotika Golongan III Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan narkotika golongan III adalah narkotika berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.

23 2. Tindak Pidana Narkotika Pengertian tentang tindak pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dikenal dengan istilah straftbaar feit dan dalam kepustakaan tentang hukum pidana sering mempergunakan istilah delik, sedangkan pembuat undangundang merumuskan suatu undang-undang mempergunakan istilah peristiwa pidana atau perbuatan pidana atau tindak pidana. Tindak pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum, sebagai istilah yang dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum pidana. Tindak pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa-peristiwa yang konkret dalam lapangan hukum pidana, sehingga tindak pidana haruslah diberikan arti yang bersifat ilmiah dan ditentukan dengan jelas untuk dapat memisahkan dengan istilah yang dipakai sehari-hari dalam kehidupan masyarakat 17. Tindak pidana narkotika diatur dalam Bab XV Pasal 111 sampai dengan Pasal 148 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang merupakan ketentuan khusus, walaupun tidak disebutkan dengan tegas dalam undang-undang narkotika bahwa tindak pidana yang diatur didalamnya adalah tindak kejahatan, akan tetapi tidak perlu disanksikan lagi bahwa semua tindak pidana didalam undang-undang tersebut merupakan kejahatan. Alasannya, kalau narkotika hanya untuk pengobatan dan kepentingan ilmu pengetahuan, maka apabila ada perbuatan diluar kepentingan- kepentingan tersebut sudah merupakan kejahatan mengingat besarnya akibat yang ditimbulkan dari pemakaian narkotika 17 Adami Chazawi, Pengantar Hukum Pidana Bag 1, (Jakarta:Grafindo, 2002) hlm. 69

24 secara tidak sah sangat membahayakan bagi jiwa manusia 18. Penggunaan narkotika secara legal hanya bagi kepetingan-kepentingan pengobatan atau tujuan ilmu pengetahuan. Menteri Kesehatan dapat memberi ijin lembaga ilmu pengetahuan dan atau lembaga pendidikan untuk membeli atau menanam, menyimpan untuk memiliki atau untuk persediaan ataupun menguasai tanaman papaver, koka dan ganja. 19 Penanggulangan terhadap tindak pidana narkotika dapat dilakukan dengan cara preventif, moralistik, abolisionistik dan juga kerjasama internasional. Penanggulangan secara preventif maksudnya usaha sebelum terjadinya tindak pidana narkotika, misalnya dalam keluarga, orang tua, sekolah, guru dengan memberikan penjelasan tentang bahaya narkotika. Selain itu juga dapat dengan cara mengobati korban, mengasingkan korban narkotika dalam masa pengobatan dan mengadakan pengawasan terhadap eks pecandu narkotika. C. Pengertian Pecandu dan Korban Penyalahgunaan Narkotika Pasal 1 ayat (13) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan bahwa pecandu narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik maupun psikis. Secara umum dapat diartikan bahwa pecandu narkotika adalah pemakai narkoba secara tetap dan bukan untuk tujuan pengobatan atau digunakan tanpa mengikuti aturan takaran yang seharusnya atau dapat juga diartikan bahwa pengguna narkotika adalah individu yang menggunakan narkotika dalam jumlah berlebihan, secara berkala atau terus 18 Supramono G. Hukum Narkotika Indonesia. (Jakarta: Djambatan. 2001). hlm 87 19 Soedjono Dirjosisworo. Hukum Narkotika di Indonesia. (Bandung.PT. Citra Aditya Bakti. 1990) hlm. 78

25 menerus berlangsung cukup lama sehingga dapat merugikan kesehatan jasmani, mental dan kehidupan sosial. Korban penyalahgunaan narkotika adalah seseorang yang tidak sengaja menggunakan narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa dan/atau diancam untuk menggunakan narkotika berdasarkan Pasal 1 ayat (3) Peraturan Bersama tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika kedalam Lembaga Rehabilitasi. Korban penyalahgunaan narkotika dianggap tidak menginginkan terlibat dalam penyalahgunaan narkotika sehingga korban penyalahgunaan narkotika ini harus disembuhkan. Pasal 1 ayat (15) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dikatakan bahwa penyalahguna adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum. Dalam hukum pidana, tanpa hak atau melawan hukum ini disebut juga dengan istilah wederrechtelijk. Menurut P.A.F. Lamintang 20 wederrechtelijk ini meliputi pengertian-pengertian: a) Bertentangan dengan hukum objektif; atau b) Bertentangan dengan hak orang lain; atau c) Tanpa hak yang ada pada diri seseorang; atau d) Tanpa kewenangan. penggunaan narkotika adalah pemakain obat-obatan atau zat-zat berbahaya dengan tujuan bukan untuk pengobatan dan penelitian serta digunakan tanpa mengikuti aturan atau dosis yang benar. Dalam kondisi yang cukup wajar/sesuai dosis yang dianjurkan dalam dunia kedokteran saja maka penggunaan narkotika 20 P.A.F. Lamintang. dan Theo Lamintang. Delik-Delik Khusus Kejahatan Melanggar Norma Kesusilaan dan Norma Kepatutan. (Jakarta: Sinar Grafika. 2009). hlm. 48

26 secara terus-menerus akan mengakibatkan ketergantungan, depedensi, adiksi atau kecanduan. Penggunaan narkotika juga berpengaruh pada tubuh dan mental emosional para pemakaianya. Jika semakin sering dikonsumsi, apalagi dalam jumlah berlebih maka akan merusak kesehatan tubuh, kejiwaan dan fungsi sosial didalam masyarakat. Pengaruh narkotika pada remaja bahkan dapat berakibat lebih fatal, karena menghambat perkembangan kepribadianya. Narkotika dapat merusak potensi diri, sebab dianggap sebagai cara yang wajar bagi seseorang dalam menghadapi dan menyelesaikan permasalahan hidup sehari-hari. Penyalahgunaan narkotika merupakan suatu pola penggunaan yang bersifat patologik dan harus menjadi perhatian segenap pihak. Meskipun sudah terdapat banyak informasi yang menyatakan dampak negatif yang ditimbulkan oleh penyalahgunaan dalam mengkonsumsi narkotika, tapi hal ini belum memberi angka yang cukup signifikan dalam mengurangi tingkat penyalahgunaan narkoba. Terdapat tiga faktor (alasan) yang dapat dikatakan sebagai pemicu seseorang dalam menyalahgunakan narkotika. Ketiga faktor tersebut adalah faktor diri, faktor lingkungan, dan faktor kesediaan narkotika itu sendiri. Berikut beberapa contoh dari masing-masing, yaitu: 1) Faktor Diri a) Keingintahuan yang besar untuk mencoba, tanpa sadar atau berfikir panjang tentang akibatnya di kemudian hari. b) Keinginan untuk mencoba-coba karena penasaran. c) Keinginan untuk bersenang-senang.

27 d) Keinginan untuk dapat diterima dalam satu kelompok (komunitas) atau lingkungan tertentu. e) Workaholic agar terus beraktivitas maka menggunakan stimulant (perangsang). 2) Faktor Lingkungan a) Keluarga bermasalah atau broken home. b) Ayah, ibu atau keduanya atau saudara menjadi pengguna atau penyalahguna atau bahkan pengedar gelap narkotika. c) Lingkungan pergaulan atau komunitas yang salah satu atau beberapa atau bahkan semua anggotanya menjadi penyalahguna atau pengedar gelap narkotika. d) Sering berkunjung ke tempat hiburan (cafe, diskotik, karaoke, dll.). e) Mempunyai banyak waktu luang, putus sekolah atau menganggur. 3) Faktor Ketersediaan Narkotika. Narkotika itu sendiri menjadi faktor pendorong bagi seseorang untuk memakai narkotika karena: a) Narkotika semakin mudah didapat dan dibeli. b) Harga narkotika semakin murah dan dijangkau oleh daya beli masyarakat. c) Narkotika semakin beragam dalam jenis, cara pemakaian, dan bentuk kemasan. d) Modus operandi tindak pidana narkoba makin sulit diungkap aparat hukum. e) Masih banyak laboratorium gelap narkotika yang belum terungkap.