BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK MILIK ATAS TANAH DAN HAK TANGGUNGAN. tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6. Kemudian pada ayat (2)

dokumen-dokumen yang mirip
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG JABATAN NOTARIS

PRINSIP=PRINSIP HAK TANGGUNGAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG

BAB II TINJAUAN YURIDIS TERHADAP HIPOTIK DAN HAK TANGGUNGAN. Hipotik berasal dari kata hypotheek dari Hukum Romawi yaitu hypotheca yaitu suatu jaminan

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN SEBAGAI HAK JAMINAN. A. Dasar Hukum Pengertian Hak Tanggungan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH

PENUNJUK UNDANG-UNDANG JABATAN NOTARIS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH

Mengenai Hak Tanggungan. Sebagai Satu-Satunya Lembaga Hak Jaminan atas Tanah

HAK TANGGUNGAN TANAH & BANGUNAN SEBAGAI JAMINAN PELUNASAN UTANG

BAB I PENDAHULUAN. dengan perikatan yang terkait dengan kehidupan sehari-hari dan juga usaha

HAK MILIK ATAS RUMAH SEBAGAI JAMINAN FIDUSIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. menyangkut pihak-pihak sebaiknya dituangkan dalam suatu surat yang memiliki

HIMPUNAN PERATURAN YANG BERKAITAN DENGAN PENANAMAN MODAL TAHUN 2014

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN (SKMHT) YANG BERSIFAT KHUSUS DAN UNDANG-

LEMBARAN-NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB III PEMBAHASAN. A. Akibat Hukum terhadap Jabatan Notaris yang Dinyatakan Pailit Menurut UUJN DAN UU Kepailitan.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II LAHIRNYA HAK KEBENDAAN PADA HAK TANGGUNGAN SEBAGAI OBYEK JAMINAN DALAM PERJANJIAN KREDIT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN. A. Pemberian Hak Tanggungan dan Ruang Lingkupnya

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN. Seiring dengan berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5

BAB II. A. Tinjauan Umum Hak Tanggungan. 1. Pengertian Hak Tanggungan. Pengertian Hak Tanggungan secara yuridis yang diatur dalam ketentuan Pasal

BAB I PENDAHULUAN. yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

pada umumnya dapat mempergunakan bentuk perjanjian baku ( standard contract)

BAB II PERJANJIAN JAMINAN DALAM HUKUM POSITIF. Istilah jaminan dalam peraturan perundang-undangan dapat dijumpai

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

BAB I PENDAHULUAN. kelebihan dana kepada pihak-pihak yang membutuhkan dana, dalam hal ini bank

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB III PRAKTEK PENDAFTARAN TANAH PEMELIHARAAN DATA DENGAN MENGGUNAKAN SURAT KUASA JUAL

BAB II KEDUDUKAN PARA PIHAK DALAM PENGALIHAN HAK ATAS BANGUNAN

BAB I PENDAHULUAN. begitu besar meliputi bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN-NEGARA Republik Indonesia No.42 Tahun 1996

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Tinjauan yuridis..., Ravina Arabella Sabnani, FH UI, Universitas Indonesia

Sarles Gultom Dosen Fakultas Hukum USI

*35279 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 24 TAHUN 1997 (24/1997) TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lex Administratum, Vol. IV/No. 4/Apr/2016. PROSES PEMBERIAN HAK TANGGUNGAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN Oleh : Naomi Meriam Walewangko 2

BAB I PENDAHULUAN. bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. Jaminan atau agunan yang diajukan atau yang diberikan oleh debitur

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN, DAN JAMINAN KREDIT. 2.1 Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

PERBEDAAN ANTARA GADAI DAN FIDUSIA

BAB I PENDAHULUAN. Beserta Benda Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. Undang undang Hak

BAB IV. A. Analisis Hukum Mengenai Implementasi Undang-Undang Nomor 5. Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

Pertemuan ke-5 HAK-HAK PENGUASAAN ATAS TANAH. Dosen: Dr. Suryanti T. Arief, SH., MKn., MBA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK TANGGUNGAN. hutang menggunakan kelembagaan jaminan hipotik, karena pada waktu itu hak

Dimyati Gedung Intan: Prosedur Pemindahan Hak Atas Tanah Menuju Kepastian Hukum

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

II. TINJAUAN PUSTAKA. kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pendapat lain menyatakan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. yang terikat di dalamnya. Menurut Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENDAFTARAN TANAH. A. Pengertian dan dasar hukum pendaftaran tanah

Kompilasi UU No 28 Tahun 2004 dan UU No16 Tahun 2001

AKTA PEMBERIAN HAK TANGGUNGAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 16 TAHUN 2001 (16/2001) TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG MASALAH

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENGATURAN HUKUM HAK TANGGUNGAN. Tanggungan diartikan sebagai barang yang dijadikan jaminan. 16 Hak

BAB I PENDAHULUAN. tertulis untuk berbagai kegiatan ekonomi dan sosial di masyarakat. Notaris

Lex et Societatis, Vol. V/No. 6/Ags/2017

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Dalam fase kehidupan manusia terdapat tiga peristiwa penting yaitu, kelahiran,

BAB II TINJAUAN UMUM AKTA PEMBERIAN HAK TANGGUNGAN, SERTIPIKAT HAK TANGGUNGAN DAN OVERMACHT

Lex Crimen Vol. V/No. 7/Sep/2016

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Dalam rangka memelihara

BAB II PROSES PEMBEBANAN HAK TANGGUNGAN ATAS OBJEK HAK TANGGUNGAN SEBAGAI JAMINAN KREDIT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA Nomor: 37 TAHUN 1998 TENTANG PERATURAN JABATAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1998 TENTANG PERATURAN JABATAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

Hak Tanggungan. Oleh: Agus S. Primasta 2

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1998 TENTANG PERATURAN JABATAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. nasional yang merupakan salah satu upaya untuk mencapai masyarakat yang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 42 TAHUN 1999 (42/1999) TENTANG JAMINAN FIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat dalam kehidupan sehari-hari senantiasa akan melakukan

NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG YAYASAN

MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG Y A Y A S A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJASAMA BISNIS BERBENTUK PERJANJIAN DIBAWAH TANGAN YANG DILEGALISASI OLEH NOTARIS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Kedudukan Hukum Pemegang Hak Tanggungan Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Suatu Perseroan Terbatas Menurut Perundang-Undangan Di Indonesia

BAB II TINJAUAN TENTANG HUKUM JAMINAN DALAM HUKUM AGRARIA. A. Hak Tanggunan Sebagai Hukum Jaminan Tanah

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK MILIK ATAS TANAH DAN HAK TANGGUNGAN 2.1 Tinjauan Umum Tentang Hak Milik 2.1.1 Pengertian Hak Milik Ketentuan Pasal 20 ayat (1) UUPA menyebutkan bahwa Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6. Kemudian pada ayat (2) disebutkan Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Pada paragraf sebelumnya tertulis bahwa hak milik adalah hak turun-temurun yang maksudnya adalah hak milik dapat diwariskan oleh pemegang hak kepada ahli warisnya. Selanjutnya disebutkan bahwa hak milik adalah hak terkuat dan terpenuh, maksud dari kata-kata tersebut tersebut mununjukkan bahwa diantara hak-hak atas tanah, hak milik adalah hak yang paling kuat dan paling penuh dan bukan berarti hak tersebut bersifat mutlak, tidak terbatas dan tidak dapat diganggu gugat. Hak milik sebagai hak yang terkuat dibandingkan dengan hak atas tanah lainnya berarti hak milik tidak mudah dihapus dan lebih mudah dipertahankan terdap gangguan dari pihak lain 1. Arti kata tepenuh pada pengertian Hak Milik diatas berarti hak milik memberikan wewenang yang paling luas dibandingkan dengan hak atas tanah lainnya, hak milik dapat dapat menjadi induk dari hak atas tanah lainnya, 1 Adrian Sutedi, 2010, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Jakarta, Sinar Grafika, (selanjutnya disebut Adrian Sutedi II), hal. 60 40

misalnya pemegang hak milik dapat menyewakannya kepada pihak lain. Wewenang seorang pemegang hak milik tidak terbatas selama tidak dibatasi oleh penguasa. Kata-kata terkuat dan terpenuh itu bemaksud untuk membedakannya dengan Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak pakai dan hak-hak lainnya, yaitu untuk menunjukkan bahwa diantara hak-hak atas tanah yang dapat dimiliki orang, hak miliklah yang ter (paling kuat dan penuh). Begitu pentingnya hak milik, pemerintah memberikan perhatian yang sangat serius terhadap persoalan hak milik atas tanah 2. Hak milik atas tanah di dalam UUPA termasuk ke dalam konsep hak atas tanah yang bersifat primer. Hak atas tanah yang bersifat primer ini maksudnya adalah hak-hak atas tanah yang dapat dimiliki atau dikuasai secara langsung oleh seseorang atau badan hukum yang mempunyai waktu lama dan dapat dipindahtangankan kepada orang lainatau ahli warisnya 3. Selain Hak Milik atas Tanah yang termasuk ke dalam hak atas tanah yang bersifat primer ini adalah Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai. Hak Milik adalah hak atas tanah yang memberikan kewenangan kepada pemiliknya untuk memberikan kembali suatu hak lain diatas bidang tanah hak milik yang dimilikinya tersebut (dapat berupa hak guna bangunan, hak pakai, dengan pengecualian hak guna usaha), yang hampir sama dengan kewenangan negara (sebagai penguasa) untuk memberikan hak atas tanah kepada warganya. Hak ini meskipun tidak mutlak sama, tetapi dapat dikatakan mirip dengan 2 A.P. Parlindungan I, Op.cit. hal. 124 3 Supriadi, 2012, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya disebut Supriadi I), hal. 64

eigendom, atas tanah menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang memberikan kewenangan yang paling luas pada pemiliknya, dengan ketentuan harus memperhatikan ketentuan Pasal 6 UUPA, yang menyatakan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. 2.1.2 Subyek Hak Milik Hak Milik atas tanah hanya dapat dimiliki oleh Warga Negara Indonesia saja, dan tidak dapat dimiliki oleh warga negara asing selain itu Hak Milik atas Tanah juga dapata diberikan kepada badan-badan hukum tertentu yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No.38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah. Pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 1963 tersebut menyebutkan badan badan hukum tersebut antara lain: 1. Bank-bank yang didirikan oleh Negara (selanjutnya disebut Bank Negara) 2. Perkumpulan-perkumpulan Koperasi Pertanian yang didirikan berdasarkan atas UU No. 79 Tahun 1958 3. Badan-badan keagamaan, yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/ Agraria, setelah mendengar Menteri Agama 4. Badan-badan Sosial yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/ Agraria, setelah mendengar Menteri Kesejahteraan Sosial. Hak milik atas tanah tidak dapat dimiliki oleh warga negara asing ataupun oleh orang yang memiliki kewarganegaraan ganda (warga negara Indonesia dan juga warga negara asing). Menurut Pasal 21 ayat (3) UUPA warga negara asing yang memperoleh hak milik karena pewarisan atau pencampuran harta karena perkawinan, demikian juga bagi warga negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan kemudian kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak

tersebut dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganeraannya itu. Ketentuan mengenai pemilikan hak atas tanah terdapat gambaran bahwa hak milik atas tanah merupakan persoalan yang perlu mendapatkan perlindungan yang sangat ketat. Perlindungan ketat dimaksudkan agar pemberian status hak kepada peorangan harus dilakukan dengan seleksi ketat, agar betul-beul terjadi pemerataan atas status hak tersebut 4. 2.1.3 Sifat dan Ciri Hak Milik Seperti yang telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya Hak Milik atas Tanah memiliki sifat terkuat dan terpenuh yang membedakannya dengan Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan Hak-hak lainnya. Hak milik itu hak terkuat artinya bahwa hak milik itu tidak mudah hapus dan mudah dipertahankan terhadap gangguan dari pihak lain. Terpenuh artinya hak milik dapat memberikan wewenangyang lebih luas dibandingkan hak-hak lainnya. Ini berarti hak milik dapat menjadi induk dari hak-hak lainnya, seperti misalnya pemegang hak milik dapat menyewakannya kepada pihak lain.sedangkan ciri-ciri hak milik, antara lain: 1. Wajib didaftarkan 2. Dapat beralih kepada ahli waris 3. Dapat dialihkan 4. Dapat diwakafkan 5. Turun Termurun 4 Ibid., hal.66-67

6. Dapat dilepaskan 7. Dapat dijadikan induk hak lain 8. Dapat dijadikan jaminan utang dengan hak tanggungan 2.1.4 Terjadinya Hak Milik Terjadinya hak milik atas tanah dpat dengan berbagai macam peristiwa. Terjadinya hak milik atas tanah diatur di dalam Pasal 22 UUPA yang isinya sebagai berikut : 1) Terjadinya hak milik menurut hukum adat diatur dengan Peraturan Pemerintah; 2) Selain menurut cara sebagai yang dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini, hak milik terjadi karena : a. Penetapan pemerintah, menurut cara dan syarat-syarat yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah b. Ketentuan Undang-Undang. Menurut pandangan Edy Ruchyat dalam bukunya yang berjudul Politik Pertanahan Nasional Sampai Orde Reformasi, Hak milik dapat terjadi karena 5 : 1. Menurut Hukum Adat Menurut Pasal 22 UUPA, hak milik menurut hukum adat harus diatur dengan peraturan pemerintah supaya tidak terjadi hal-hal yang merugikan kepentingan umum dan Negara. Terjadinya hak atas tanah menurut hukum adat lazimnya bersumber pada pembukuan hutan yang merupakan bagian tanah ulayat suatu masyarakat hukum adat. 5 Edy Ruchyat, Politik Pertanahan Nasional Sampai orde Reformasi, Alumni, Bandung, hal.47-51

2. Penetapan Pemerintah Hak milik yang terjadi karena penetapan pemerintah diberikan oleh instansi yang berwenang menurut cara dan syarat-syarat yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Tanah yang diberikan dengan hak milik itupun dapat diberikan sebagai perubahan daripada yang sudah dipunyai oleh pemohon, misalnya hak guna bangunan, hak guna usaha, atau hak pakai, hak milik ini merupakan pemberian hak baru. 3. Pemberian Hak Milik Atas Negara Hak milik tersebut diberikan atas permohonan yang bersangkutan. Permohonan untuk mendapatkan hak milik itu diajukan secara tertulis kepada pejabat yang berwenang dengan perantara Bupati Walikota kepala Daerah ke kepala Kantor Agraria Daerah yang bersangkutan. Oleh instansi yang berwenang hak milik yang dimohon itu diberikan dengan menerbitkan suatu surat keputusan pemberian hak milik. 4. Pemberian Hak Milik Perubahan Hak Pihak yang mempunyai tanah dengan hak guna usaha, hak guna bangunan atau hak pakai, jika menghendaki dan memenuhi syarat-syarat dapat menunjukkan permintaan kepada instansi yang berwenang, agar haknya itu diubah menjadi hak milik, pemohon lebih dahulu harus melepaskan haknya hingga tanahnya menjadi tanah Negara sesudah itu dimohon (kembali) dengan hak milik. 2.1.5 Pengalihan, Pembebanan dan Hapusnya Hak Milik Pengalihan hak atas tanah adalah jual beli, tukar menukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak, penyerahan hak, lelang, hibah atau cara lain yang

disepakati dengan pihak lain selain pemerintah guna pelaksanaan pembangunan termasuk pembangunan untuk kepentingan umum. Setiap pengalihan hak milik atas tanah, yang dilakukan dalam bentuk jual beli, tukar menukar atau hibah harus dibuat di hadapan PPAT. Jual beli, tukar menukar atau hibah ini dalam konsepsi hukum adat adalah suatu perbuatan hukum yang bersifat terang dan tunai. Dengan terang dimaksudkan bahwa perbuatan hukum tersebut harus dibuat di hadapan pejabat yang berwenang yang menyaksikan dilaksanakan atau dibuatnya perbuatan hukum tersebut. Sedangkan dengan tunai diartikan bahwa dengan selesainya perbuatan hukum dihadapan PPAT berarti pula selesainya tindakan hukum yang dilakukan dengan segala akibat hukumnya. Ini berarti perbuatan hukum tersebut tidak dapat dibatalkan kembali, kecuali terdapat cacat cela secara substansi mengenai hak milik atas tanah yang dialihkan tersebut, atau cacat mengenai kecakapan dan kewenangan bertindak atas bidang tanah tersebut. PPAT mempunyai kewajiban agar peralihan hak milik atas tanah, dapat terselenggara secara benar. PPAT yang akan membuat peralihan hak atas tanah mempunyai tugas memastikan kebenaran mengenai hak milik atas tanah tersebut, memastikan kecakapan dan kewenangan bertindak dari pihak-pihak yang akan mengalihkan dan menerima pengalihan hak atas tanah tersebut. Sehubungan dengan obyek hak milik atas tanah yang dialihkan, PPAT harus memeriksa keabsahan dari dokumen-dokumen: 1. mengenai bidang tanah yang sudah terdaftar atau hak milik atas satuan rumah susun, sertipikat asli hak yang bersangkutan. Dalam hal sertipikat tidak

diserahkan atau sertipikat yang diserahkan tidak sesuai dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan; atau 2. mengenai bidang tanah yang belum terdaftar: surat bukti yang membuktikan hak atas tanah yang lama yang belum dikonversi atau surat keterangan Kepala Desa/ Kelurahan yang menyatakan bahwa yang bersangkutan menguasai bidang tanah tersebut dengan itikad baik, dan tidak pernah ada permasalahan yang timbul sehubungan dengan penguasaan tanahnya tersebut; dan surat keterangan yang menyatakan bahwa bidang tanah yang bersangkutan belum bersertipikat dari Kantor Pertanahan, atau untuk tanah yang terletak di daerah yang jauh dari kedudukan Kantor Pertanahan, dari pemegang hak yang bersangkutan dengan dikuatkan oleh Kepala Desa/ Kelurahan; dan dalam hal surat tersebut tidak dapat diserahkan maka PPAT wajib menolak membuat akta pemindahan hak atas tanah tersebut termasuk hak milik atas tanah yang akan dialihkan tersebut. Pada Pasal 25 UUPA menyebutkan bahwa Hak milik dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan. Hak Tanggungan berdasarkan Pasal 1 angka 1 UUHT adalah Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan

kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain. Pembebanan Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam perjanjian dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari perjanjian utangpiutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut. Pembebanan hak tanggungan ini akan lebih rinci dijelaskan pada sub bab berikutnya mengenai tinjauan umum hak tanggungan. Hak milik memiliki keunikan tanpa batas waktu, maka dari itu hak milik dapat diwariskan kepada keluarga yang ditinggalkan. Namun hak milik itu dapat juga terhapus, dalam Pasal 27 UUPA dinyatakan bahwa hak milik hapus apabila: a. Tanahnya jatuh kepada negara: 1. Karena pencabutan hak berdasarkan Pasal 18.Menurut ketentuan Pasal 18 UUPA bahwa untuk kepentingan umum termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang. 2. Karena penyerahan dengan sukarela oleh pihak pemiliknya.hapusnya hak milik atas tanah karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya ini berhubungan dengan Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum, yang dilaksanakan lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1994 tentang Ketentuan Pelaksanaan

Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum, penyerahan sukarela ini menurut Kepres No. 55/1993 sengaja dibuat untuk kepentingan negara, yang dalam hal ini dilaksanakan oleh pemerintah. 3. Karena ditelantarkan.pengaturan mengenai tanah yang terlantar diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar. Pasal 3 dan 4 Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 1998 mengatur mengenai kriteria tanah terlantar yaitu; (i) tanah yang tidak dimanfaatkan dan/atau dipelihara dengan baik. (ii) tanah yang tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan, sifat atau tujuan dari pemberian haknya tersebut. 4. Karena ketentuan Pasal 21 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (2).Pasal 21 ayat (3) UUPA mengatur bahwa orang asing yang memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau pencampuran harta perkawinan, demikian pula warga negara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya UUPA ini kehilangan kewarganegaraannya, wajib melepaskan hak itu dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh kepada negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung.

Pasal 26 ayat (2) UUPA menyatakan bahwa setiap jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warga negara yang di samping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum, kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah yaitu badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya, adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali. b. Tanahnya musnah adalah tanah yang sudah berubah dari bentuk asalnya karena peristiwa alam dan tidak dapat diidentifikasi lagi sehingga tidak dapat difungsikan, digunakan, dan dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Karena keadaan yang demikian maka hak milik dapat terhapus. Sebagaimana pemberian, peralihan dan pembebanan Hak Milik yang wajib di daftar dalam buku tanah, pendaftaran hapusnya hak kepemilikan atas tanah juga wajib untuk dilakukan. Hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. 2.2 Tinjauan Umum Tentang Hak Tanggungan 2.2.1 Pengertian Hak Tanggungan UUPA telah memberikan indikasi bahwa perlu dibentuk sebuah undangundang untuk mengatur masalah Hak Tanggungan. Hal tersebut terlihat pada Pasal 51 UUPA yang isinya Hak tanggungan yang dapat dibebankan pada hak

milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan tersebut dalam Pasal 25, 33, dan 39 diatur dengan undang-undang. Namun pembentukan undang-undang yang khusus mengatur masalah hak tanggungan baru diresmikan 34 tahun kemudian dengan diundangkannya UUHT selama 34 tahun tersebut maka dasar pengaturan masalah hak tanggungan digunakan Hypotheek (selanjutnya disebut hipotek) sebagaimana yang diatur dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang mengenai tanah, dan Credietverband yang diatur dalam Staatsblad 1908-542 sebagaimana telah diubah dengan Staatsblad 1937-190. Dengan diundangkannya UUHT maka diharapkan dapat menciptakan kepastian hukum di dalam lembaga jaminan yang berkaitan dengan tanah, sehingga terdapat suatu lembaga jaminan yang kuat serta pasti pelaksanaannya. Pengertian Hak Tanggungan pada Pasal 1 UUHT, yaitu hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UUPA, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain. Dari definisi tersebut dapat ditarik unsur pokok dari hak tanggungan, sebagai berikut. (1) Hak Tanggungan adalah hak jaminan untuk pelunasan hutang. (2) Obyek Hak Tanggungan adalah hak atas tanah sesuai UUPA. (3) Hak Tanggungan dapat dibebankan atas tanahnya (hak atas tanah) saja, tetapi dapat pula dibebankan beikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu.

(4) Utang yang dijamin adalah suatu utang tertentu. (5) Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain. 6 Penjelasan umum angka 3 UUHT disebutkan bahwa hak tanggungan sebagai lembaga jaminan hak mempunyai 4 sifat khusus. Sifat-sifat khusus tersebut antara lain: a. Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahului kepada pemegangnya. Apabila debitur cidera janji, kreditur pemegang hak tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahulu daripada kreditur-kreditur yang lain". Hak mendahulu dimaksudkan adalah bahwa kreditur pemegang hak tanggungan didahulukan dalam mengambil pelunasan atas hasil penjualan eksekusi obyek HakTanggungan. 7 b. Selalu mengikuti obyek yang dijaminkan dalam tangan siapa pun obyek itu berada. Dalam Pasal 7 UUHT disebutkan bahwa Hak Tanggungan tetap mengikuti obyeknya dalam tangan siapa pun obyek tersebut berada. Kemudian dijelaskan pada bagian penjelasan undang-undang tersebut yaitu sifat ini merupakan salah satu jaminan khusus bagi kepentingan pemegang Hak Tanggungan. Walaupun obyek Hak Tanggungan sudah berpindah tangan dan menjadi milik pihak lain, kreditur masih tetap dapat 6 Supriadi I, Op.Cit, hal.173 7 J. Satrio, 1996, Hukum Jaminan, Hak-hak Jaminan Pribadi, Citra Aditia Bakti, Bandung, hal. 97

menggunakan haknya melakukan eksekusi, jika debitur cidera janji. Hak itu terus mengikuti bendanya dimanapun juga (dalam tangan siapapun juga) barang itu berada. Hak itu terus saja mengikuti orang yang mempunyainya. 8 c. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang berkepentingan. d. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya.apabila debitur cidera janji menurut Pasal 6 UUHT, pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Sedangkan Pasal 14 UUHT menegaskan bahwa Sertipikat Hak Tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai pengganti grosse akta hypotheek sepanjang mengenai hak atas tanah. 9 2.2.2 Subyek Hak Tanggungan Pasal 8 ayat (1) UUHT disebutkan bahwa pemberi hak tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek hak tanggungan yang bersangkutan. Kemudian pada Pasal 8 ayat (2) UUHT bahwa kewenangan untuk melakukan 8 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1981, Hukum Perdata : Hukum Benda, Liberty, Yogyakarta, hal. 25 9 Ibid. hal. 52-53

perbuatan hukum terhadap obyek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ada pada pemberi Hak Tanggungan pada saat pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan. Pada bagian penjelasan Undang-Undang tesebut yaitu karena lahirnya Hak Tanggungan adalah pada saat didaftarnya Hak Tanggungan tersebut, maka kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek Hak Tanggungan diharuskan ada pada pemberi Hak Tanggungan pada saat pembuatan buku tanah Hak Tanggungan. Untuk itu harus dibuktikan keabsahan kewenangan tersebut pada saat didaftarnya Hak Tanggungan yang bersangkutan. Pasal 9 UUHT disebutkan pemegang Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang.dengan demikian yang dapat menjadi pemegang Hak Tanggungan adalah siapapun juga yang berwenang melakukan perbuatan perdata untuk memberikan utang, yaitu orang perseorangan warga negara Indonesia maupun orang asing. 10 Sebagai pihak yang akan menerima Hak Tanggungan, pemegang Hak Tanggungan haruslah memperhatikan ketentuan Pasal 8 ayat (2) UUHT yang menyebutkan bahwa kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan sebagaimana ditentukan oleh Pasal 8 ayat (1) UUHT, harus ada pada pemberi Hak Tanggungan pada saat hak tanggungan tersebut didaftarkan, karena Hak Tanggungan baru lahir pada saat Hak Tanggungan tersebut didaftarkan. 10 ST. Remy Sjahdeini, 1999, Hak Tanggungan: Asas-asas, Ketentuan ketentuan Pokok Dan Masalah Yang Dihadapi Oleh Perbankan, Alumni, Bandung, hal 79.

2.2.3 Objek Hak Tanggungan Obyek Hak Tanggungan dijelaskan pada Bab II UUPA mengenai Obyek Hak Tanggungan yang terbagi dari Pasal 4 hingga Pasal 7. Pada Pasal 4 ayat (1) UUHT disebutkan bahwa hanya Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan yang dapat dibebani Hak Tanggungan. Namun pada Ayat (2) Hak Pakai yang wajib didaftarkan menurut ketentuan yang berlaku juga dapat dibebani Hak Tanggungan. Pembebanan Hak Tanggungan pada Hak Pakai atas tanah Hak milik ini diatur lebih rinci dalam Peraturan Pemerintah. Salah satu Peraturan Pemerintah yang mengaturnya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Dan Hak Pakai Atas Tanah. Hak Tanggungan juga dapat dibebankan pada hak atas tanah beserta bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah yang dibebankan Hak Tanggungan seperti yang tertulis pada Pasal 4 ayat (4) dan ayat (5) UUHT. Dikemukakan dalam Penjelasan Pasal 4 UUHT, terdapat dua unsur mutlak dari hak atas tanah yang dapat dijadikan obyek Hak Tanggungan yaitu: a. Hak tersebut sesuai dengan ketentuan yang berlaku wajib didaftar dalam daftar umum, dalam hal ini pada Kantor Pertanahan. Unsur ini berkaitan dengan kedudukan diutamakan ( preferent) yang diberikan kepada kreditur pemegang hak tanggungan terhadap kreditur lainnya. Untuk itu harus ada catatan mengenai hak tanggungan tersebut pada buku tanah dan sertipikat hak atas tanah

yang dibebaninya, sehingga setiap orang dapat mengetahuinya (asas publisitas), dan b. Hak tersebut menurut sifatnya harus dapat dipindahtangankan, sehingga apabila diperlukan dapat segera direalisasi untuk membayar utang yang dijamin pelunasannya. 2.2.4 Asas-Asas Hak Tanggungan Asas-asas hak tanggungan digunakan untuk mengetahui perbedaan hak tanggungan yang telah ada sebelum terbitnya UUHT dan setelah terbitnya UUHT, termasuk asas hipotek yang ada sebelumnya. Untuk lebih jelasnya, asas-asas itu akan diuraikan sebagai berikut. 11 a. Hak Tanggungan memberikan kedudukan hak yang diutamakan. Kalimat kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu kepada kreditur lain dapat ditemui dalam penjelasan umum UUHT yang menyatakan Bahwa jika debitur cidera janji, kreditur pemegang Hak Tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahulu daripada kreditur-kreditur lain. Kedudukan diutamakan tersebut sudah barang tentu tidak mengurangi preferensi piutang-piutang negara menurut ketentuan hukum yang berlaku. Jadi hak mendahulukan dimaksudkan adalah bahwa kreditur pemegang Hak Tanggungan didahulukan dalam mengambil pelunasan atas hasil penjualan eksekusi obyek Hak Tanggungan. Kedudukan 11 Supriadi.Op. Cit. hal. 174

diutamakan tersebut sudah barang tentu tidak mengurangi preferensi piutangpiutang Negara menurut ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku. b. Hak Tanggungan tidak dapat dibagi-bagi. Sesuai ketentuan dalam Pasal 2 UUHT, dinyatakan bahwa Hak Tanggungan mempunyai sifat tidak dapat dibagi-bagi, kecuali jika diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Apabila hak tanggungan dibebankan pada beberapa hak atas tanah, dapat diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan, bahwa pelunasan utang yang dijamin dapat dilakukan dengan cara angsuran yang besarnya sama dengan nilai masing-masing hak atas tanah yang merupakan bagian dari objek Hak Tanggungan, yang akan dibebankan dari Hak Tanggungan tersebut, sehingga kemudian Hak Tanggungan itu hanya membebani sisa objek Hak Tanggungan untuk menjamin sisa utang yang belum dilunasi. Dalam penjelasan Pasal 2 UUHT dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan sifat tidak dapat dibagi-bagi dari Hak Tanggungan adalah bahwa Hak Tanggungan membebani secara utuh objek Hak Tanggungan dan setiap bagian daripadanya, dilunasinya sebagian dari utang yang dijamin tidak berarti terbebasnya sebagian objek Hak Tanggungan dari beban Hak Tanggungan untuk sisa utang yang belum dilunasi. c. Hak Tanggungan hanya dibebankan pada hak atas tanah yang telah ada. Hak Tanggungan hanya dapat dibebankan pada hak atas tanah yang telah dimiliki oleh pemegang Hak Tanggungan. Oleh karena itu, hak atas tanah yang baru akan dipunyai oleh seseorang di kemudian hari tidak dapat dijaminkan dengan Hak Tanggungan bagi pelunasan suatu utang. Tidaklah mungkin untuk

membebankan Hak Tanggungan pada suatu hak atas tanah yang baru akan ada di kemudian hari. 12 d. Hak Tanggungan dapat dibebankan selain atas tanahnya juga benda-benda yang berkaitan dengan tanah tersebut. Ketentuan Pasal 4 ayat (4) UUHT dinyatakan bahwa Hak Tanggungan dapat dibebankan bukan saja pada tanahnya, tetapi juga segala benda yang mempunyai keterkaitan dengan tanah tersebut. Benda-benda yang berkaitan dengan tanah tersebut dapat berupa bangunan,tanaman yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut. e. Hak Tanggungan dapat dibebankan juga atas benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang baru akan ada di kemudian hari. Pasal 4 ayat (4) UUHT memungkinkan Hak Tanggungan dapat dibebankan pula atas benda-benda yang berkaitan dengan tanah tersebut, sekalipun benda-benda tersebut belum ada, tetapi baru akan ada di kemudian hari. Istilah yang baru akan ada ialah benda-benda yang pada saat Hak Tanggungan dibebankan belum ada sebagai bagian dari tanah (hak atas tanah) yang dibebani Hak Tanggungan tersebut. Misalnya karena benda-benda tersebut baru ditanam (untuk tanaman) atau baru dibangun (untuk bangunan dan hasil karya) kemudian setelah Hak Tanggungan itu dibebankan atas tanah (hak atas tanah) tersebut. 13 f. Perjanjian Hak Tanggungan adalah perjanjian Accessoir. Penjelasan umum angka 8 UUHT yang menyatakan bahwa oleh karena Hak Tanggungan menurut sifatnya merupakan ikutan atau accessoir pada suatu 12 ST. Remy Sjahdeini, Op.cit,hal. 25 13 Ibid. hal. 27

piutang tertentu, yang didasarkan pada suatu perjanjian utang-piutang atau perjanjian lain, maka kelahiran dan keberadaannya ditentukan oleh adanya piutang yang dijamin pelunasannya. Selain itu hal tersebut diatur dalam Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 18 ayat (1) UUHT. Dalam Pasal 10 ayat (1) dinyatakan bahwa perjanjian untuk memberikan Hak Tanggungan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian Utang-piutang yang bersangkutan, sedangkan Pasal 18 ayat (1) huruf a UUHT menyatakan bahwa Hak Tanggungan hapus karena hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan g. Hak Tanggungan dapat dijadikan jaminan untuk utang yang akan ada. Beberapa asas Hak Tanggungan mempunyai suatu keistimewaan yaitu diperbolehkannya menjaminkan utang yang akan ada. Hal ini sesuai ketentuan dalam Pasal 3 ayat (1) UUHT yang menyatakan bahwa utang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan dapat berupa utang yang telah ada atau yang telah diperjanjikan dengan jumlah tertentu atau jumlah yang pada saat permohonan eksekusi Hak Tanggungan diajukan dapat ditentukan berdasarkan perjanjian utang-piutang atau perjanjian lain yang menimbulkan hubungan utang-piutang yang bersangkutan. Seperti yang dikemukakan dalam penjelasan Pasal 3 Ayat (1) UUHT, dapat dijadikannya Hak Tanggungan untuk menjamin utang yang baru akan ada dikemudian hari adalah untuk menampung kebutuhan dunia perbankan berkenaan dengan timbulnya utang dari nasabah bank sebagai akibat dilakukannya pencairan atas suatu garansi bank. Juga untuk menampung timbulnya utang sebagai akibat pembebanan bunga atas pinjaman pokok dan pembebanan ongkos-ongkos lain yang jumlahnya baru dapat ditentukan kemudian. 14 14 Ibid. hal. 31

h. Hak Tanggungan Dapat Menjamin Lebih dari Satu Utang. Sesuai ketentuan Pasal 3 ayat (2) UUHT dinyatakan bahwa Hak Tanggungan dapat diberikan untuk suatu utang yang berasal dari satu hubungan hukum atau untuk satu utang atau lebih yang berasal dari beberapa hubungan hukum. Perjanjian dengan hanya berupa satu Hak Tanggungan bagi beberapa kreditur berdasarkan beberapa perjanjian kredit bilateral antara debitur yangsama dengan masing-masing kreditur itu, hanyalah mungkin dilakukan apabila sebelumnya telah disepakati oleh semua kreditur. Kesemua kreditur bersamasama harus bersepakat bahwa terhadap kredit yang akan diberikan oleh masingmasing kreditur (bank) kepada satu debitur yang sama itu, jaminannya adalah berupa satu Hak Tanggungan saja bagi meraka bersama-sama kredit dari semua kreditur diberikan secara serentak. Bila tidak demikian halnya,para kreditur itu akan menjadi pemegang Hak Tanggungan pertama, kedua,ketiga, dan seterusnya. Masing-masing kreditur past akan saling mendahulu untuk memperoleh hak yang diutamakan terhadap kreditur yang lain. 15 i. Hak Tanggungan mengikuti obyeknya dalam tangan siapa pun obyek hak tanggungan itu berada. Pasal 7 UUHT menyatakan bahwa Hak Tanggungan tetap mengikuti objeknya dalam tangan siapa pun objek tersebut berada. Hak tanggungan tidak akan berakhir sekalipun objek Hak Tanggungan itu beralih kepada pihak lain oleh sebab apa pun juga. Berdasarkan asas ini, pemegang Hak Tanggungan akan selalu dapat melaksanakan haknya dalam tangan siapa pun benda itu berpindah. 15 Ibid. hal. 37

Ketentuan Pasal 7 UUHT ini merupakan materialisasi dari asas yang disebut droit de suite atau zaakgevolg asas ini juga diambil dari hipotek yang diatur dalam KUHPerdata Pasal 1163 ayat (2) dan Pasal 1198 KUH Perdata. 16 j. Diatas Hak Tanggungan tidak dapat diletakkan sita oleh peradilan. Seharusnya menurut hukum terhadap Hak Tanggungan tidak dapat diletakkan sita. Alasannya adalah karena tujuan dari hak jaminan pada umumnya dan khususnya Hak Tanggungan itu sendiri. Tujuan dari Hak Tanggungan adalah untuk memberikan jaminan yang kuat bagi kreditur yang menjadi pemegang Hak Tanggungan itu untuk didahulukan dari kreditur-kreditur lain. Bila terhadap Hak Tanggungan itu dimungkinkan sita oleh pengadilan, berarti pengadilan mengabaikan bahkan meniadakan kedudukan yang diutamakan dan kreditur pemegang Hak Tanggungan. k. Hak Tanggungan hanya dapat dibebankan atas tanah tertentu. Asas ini diatur dalam Pasal 8 UUHT dan juga di penjelasan Pasal 8 tersebut. Di dalam akta pemberian Hak Tanggungan wajib dicantumkan uraian jelas mengenai objek Hak Tanggungan, tidaklah mungkin untuk memberikan uraian yang jelas sebagaimana yang dimaksud, apabila objek Hak Tanggungan belum ada dan belum diketahui ciri-cirinya. Kata-kata uraian yang jelas mengenai objek Hak Tanggungan dalam Pasal 11 ayat (1) huruf e UUHT menunjukkan bahwa objek Hak Tanggungan harus secara spesifik dapat ditunjukkan dalam APHT yang bersangkutan. 17 16 Ibid. hal. 38 17 Ibid. hal. 42

l. Hak Tanggungan wajib didaftarkan. Ketentuan Pasal 13 UUHT dinyatakan bahwa Pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan. Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatanganan Akta Pemberian Hak Tanggungan, PPAT wajib mengirimkan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan dan warkah lain yang diperlukan kepada Kantor Pertanahan. Pendaftaran HakTanggungan dilakukan oleh kantor Pertanahan dengan membuatkan buku-tanah Hak Tanggungan dan mencatatnya dalam buku-tanah hak atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan Berta menyalin catatan tersebut pada sertipikat hak atas tanah yang bersangkutan. Tidak adil bagi pihak ketiga untuk terikat dengan pembebanan suatu Hak Tanggungan atas suatu objek Hak Tanggungan bila pihak ketiga tidak dimungkinkan untuk mengetahui tentang pembebanan Hak Tanggungan itu. Hanya dengan cara pencatatan pendaftaran yang terbuka bagi umum yang memungkinkan pihak ketiga dapat mengetahui tentang adanya pembebanan Hak Tanggungan atas suatu hak atas tanah. m. Hak Tanggungan dapat diberikan dengan disertai janji-janji tertentu. Janji-janji yang disebutkan dalam Pasal 11 Ayat (2) UUHT bersifat fakultatif dan limitatif. Bersifat fakultatif karena janji-janji itu boleh dicantumkan atau tidak dicantumkan, balk seluruhnya maupun sebagiannya, Bersifat tidak limitatif karena dapat pula diperjanjikan janji-janji lain, selain dari janji-janji yang telah disebutkan dalam Pasal 11 ayat (2) UUHT.

n. Hak Tanggungan tidak boleh diperjanjikan untuk dimiliki sendiri oleh pemegang hak tanggungan apabila cedera janji. Asas Hak Tanggungan ini beralasan dari asas yang tercantum dalam Hipotek sesuai ketentuan Pasal 1178 KUHPer, yang janji demikian tersebut disebut Vervalbeding. Pengaturan hal tersebut terdapat pada Pasal 12 UUHT yaitu Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk memiliki objek Hak Tanggungan apabila debitur cedera janji, batal demi hukum. Larangan pencantuman janji yang demikian, dimaksudkan untuk melindungi debitur, agar dalam kedudukan yang lemah dalam menghadap kreditur (bank) karena dalam keadaan sangat membutuhkan utang (kredit) terpaksa menerima janji dengan persyaratan yang berat dan merugikannya. 18 o. Pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan mudah dan pasti. Dalam ketentuan Pasal 6 UUHT dinyatakan bahwa apabila debitur cedera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Dalam penjelasan Pasal 6 tersebut diuraikan sebagai berikut hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri merupakan salah satu perwujudan dari kedudukan diutamakan yang dipunyai oleh pemegang Hak Tanggungan atau pemegang HakTanggungan. Hak tersebut didasarkan pada janji yang diberikan oleh pemegang Hak Tanggungan bahwa apabila debitur cedera janji, pemegang Hak Tanggungan berhak untuk menjual objek Hak Tanggungan melalui 18 Ibid, hal. 45-46

pelelangan umum tanpa memerlukan persetujuan lagi dari pemberi Hak Tanggungan dan selanjutnya mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan itu lebih dahulu daripada kreditur-kreditur yang lain. Sisa hasil penjualan tetap menjadi hak pemegang Hak Tanggungan. Sertipikat Hak Tanggungan yang merupakan tanda bakti adanya Hak Tanggungan yang diberikan oleh Kantor Pertanahan dan yang memuat irah-irah dengan kata-kata DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA, mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlalu sebagai pengganti grosse acte Hipotek sepanjang mengenai tanah. 19 2.2.5 Lahirnya Hak Tanggungan Lahirnya Hak Tanggungan tidak terlepas dari proses pembebanan Hak Tanggungan itu sendiri. Pada angka 7 penjelasan umum UUHT disebutkan bahwa proses pembebanan Hak Tanggungan dilaksanakan melalui dua tahap kegiatan, yaitu: a. tahap pemberian Hak Tanggungan, dengan dibuatnya Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah, untuk selanjutnya disebut PPAT, yang didahului dengan perjanjian utang-piutang yang dijamin; b. tahap pendaftarannya oleh Kantor Pertanahan, yang merupakan saat lahirnya Hak Tanggungan yang dibebankan. Pada huruf b angka 7 penjelasan umum UUHT tersebut menyatakan bahwa lahirnya Hak Tanggungan adalah pada saat tahap pendaftarannya oleh 19 Ibid, hal. 47

Kantor Pertanahan, jadi setelah dibuat perjanjian utang piutang maka PPAT membuatkan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang kemudian didaftarkan di Kantor Pertanahan dan pada saat pendaftaran tersebut maka Hak Tanggungan sudah dianggap telah lahir. Hal ini dipertegas lagi pada penjelasan Pasal 8 ayat (2) UUHT yang menyebutkan bahwakarena lahirnya Hak Tanggungan adalah pada saat didaftarnya Hak Tanggungan tersebut, maka kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek Hak Tanggungan diharuskan ada pada pemberi Hak Tanggungan pada saat pembuatan buku tanah Hak Tanggungan. Untuk itu harus dibuktikan keabsahan kewenangan tersebut pada saat didaftarnya Hak Tanggungan yang bersangkutan. Lahirnya Hak Tanggungan adalah pada saat didaftarnya Hak Tanggungan. Demikian pula dengan penjelasan Pasal 13 ayat (1) UUHT yang menyebutkan bahwa salah satu asas Hak Tanggungan adalah asas publisitas. Oleh karena itu didaftarkannya pemberian Hak Tanggungan merupakan syarat mutlak untuk lahirnya Hak Tanggungan tersebut dan mengikatnya Hak Tanggungan terhadap pihak ketiga.pada penjelasan Pasal 13 ayat (1) UUHT ini lebih menekankan bahwa syarat mutlak dari lahirnya Hak Tanggungan itu adalah pendaftaran pemberian Hak Tanggungan. 2.2.6 Hapusnya Hak Tanggungan Pasal 18 UUHT disebutkan beberapa hal yang menyebabkan hapusnya atau berakhirnya Hak Tanggungan. Penyebab hapusnya atau berakhirnya Hak Tanggungan tersebut antara lain:

a. Utangnya hapus, sesuai dengan sifat accessoir dari hak tanggungan, adanya hak tanggungan tergantung pada adanya piutang yang dijaminkan pelunasannya. Apabila piutang itu hapus karena pelunasan atau sebabsebab lain, maka dengan sendirinya hak tanggungan yang bersangkutan menjadi hapus juga. b. Dilepaskannya hak tanggungan oleh pemegang hak tanggungan, hal ini dilakukan oleh pemegang hak tanggungan dengan pemberian pernyataan tertulis kepada pemberi hak tanggungan, sehingga kedudukan pemegang hak tanggungan sebagai kreditur preferen menjadi kreditur konkuren. c. Pembersihan hak tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri, terjadi karena permohonan pemberi hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan agar hak atas tanah yang dibelinya itu dibersihkan dari beban hak tanggungan sebagaimana diatur dalam Pasal 19 UUHT. Ketentuan demikian dilakukan dalam rangka melindungi kepentingan pembeli objek hak tanggungan, agar benda yang dibelinya terbebas dari hak tanggungan yang semula membebaninya, jika harga pembelian tidak mencukupi untuk melunasi utang yang dijamin. d. Hapusnya hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan tersebut, dimana ada beberapa kemungkinan yaitu : - Jangka waktunya berakhir, kecuali hak atas tanah yang dijadikan objek hak tanggungan diperpanjang sebelum berakhir jangka waktunya. Hak Tanggungan mana tetap melekat pada hak atas tanah yang bersangkutan ;

- Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir, karena suatu syarat batal telah dipenuhi ; - Dicabut untuk kepentingan umum ; - Dilepaskan dengan sukarela oleh pemilik hak atas tanah ; dan - Tanahnya musnah. 2.3 Tinjauan Umum Tentang Notaris 2.3.1 Pengertian Notaris Menurut ketentuan dalam pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disingkat U UJN-P) disebutkan bahwa Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. Walaupun menurut definisi tersebut ditegaskan bahwa Notaris itu adalah pejabat umum (openbare ambtenaar), ia bukan pegawai menurut undang-undang atau peraturanperaturan kepegawaian negeri. Notaris tidak menerima gaji, bukan bezoldigd staatsambt, tetapi menerima honorarium sebagai penghargaan atas jasa yang telah diberikan kepadamasyarakat. 20 Bila dikaitkan dengan Pasal 1 Stbl.1860 Nomor 3 tentang Notaris Reglement atau Peraturan Jabatan Notaris mengatakan bahwa Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan,perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan 20 Komar Andasasmita,1981,Notaris I, Sumur Bandung, Bandung, hal.45.

aktanya, dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain. 21 Jika dilihat dari kedua ketentuan tersebut diatas, ternyata mempunyai kesamaan terkait dengan pengertian Notaris sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik. Pejabat umum yang dimaksud dalam ketentuan tersebut adalah seseorang yang diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah dan diberi wewenang dan kewajiban untuk melayani publik dalam hal-hal tertentu karena ia ikut serta melaksanakan suatu kekuasaan yang bersumber pada kewibawaan dari pemerintah. sehingga mempertegas kedudukan Notaris sebagai pejabat yang dimaksud dalam Pasal 1868 KUHPer yang menyatakan bahwa suatu akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya. Hal tersebut menunjukan bahwa sifat dari keotentikan suatu akta tergantung dari bentuk akta tersebut yang diatur dalam undang-undang serta dibuat oleh pejabat yang berwenang di wilayah hukum kewenangannya. 2.3.2. Kewenangan dan Kewajiban Notaris Dalam hal ini menunjukan kewenangan utama dari Notaris adalah untuk membuat akta otentik sehingga akta yang dibuat oleh Notaris dalam kedudukannya tersebut memperoleh sifat akta otentik. Kewenangan Notaris terdapat dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) UUJN-P, yang menyatakan bahwa: 21 G.H.S. Lumban Tobing, 1996,Peraturan Jabatan Notaris.Penerbit Erlangga, Jakarta, hal. 31.

1. Notaris berwenang membuat Akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundangundangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan Akta, menyimpan Akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan Akta, semuanya itu sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. 2. Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Notaris berwenang pula: a. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; b. membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; c. membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan; d. melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya; e. memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan Akta; f. membuat Akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau g. membuat Akta Risalah lelang. Selain memiliki kewenangan notaris dalam melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai seorang Notaris, haruslah dapat mempertanggungjawabkan setiap tindakan ataupun perbuatan yang dilakukan. Berkenaan dengan hal tersebut maka oleh UUJN-P, diatur tentang kewajiban Notaris dalam pasal 16 ayat (1) UUJN-P yang menyatakan bahwa : a. Bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum; b. Membuat akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai bagian dari Protokol Notaris; c. Melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada Minuta Akta; d. Mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta berdasarkan Minuta Akta; e. Memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya; f. Merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain;

g. Menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) akta, dan jika jumlah akta tidak dapat dimuat dalam satu buku, akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih dari satu buku, dan mencatat jumlah Minuta Akta, bulan, dan tahun pembuatannya pada sampul setiap buku; h. Membuat daftar dari akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak diterimanya surat berharga; i. Membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu pembuatan akta setiap bulan; j. Mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud dalam huruf i atau daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke Pusat Daftar Wasiat pada Kementrian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan berikutnya; k. Mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap akhir bulan; l. Mempunyai cap/stempel yang memuat lambang negara Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan tempat kedudukan yang bersangkutan; m. Membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi, atau 4 (empat) orang saksi khusus untuk pembuatan Akta wasiat di bawah tangan, dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris; n. Menerima magang calon Notaris. Dasar pelaksanaan jabatan Notaris tidak bisa dilepaskan dari ketentuan dasar dalam pasal-pasal tersebut diatas yang mengatur mengenai kewenangan dan jabatan Notaris. Bila hal tersebut tidak diterapkan oleh Notaris dalam menjalankan jabatannya, maka sudah dapat dipastikan Notaris tersebut sangat rawan dan dekat dengan pelanggaran jabatan dan dapat berakibat pada keabsahan ataupun keotentikan dari akta yang dibuatnya maupun pada dirinya sendiri yang dapat dikenakan sanksi akibat perbuatannya tersebut. 2.3.3 Larangan Notaris Kewajiban-kewajiban Notaris disertai pula dengan larangan-larangan bagi Notaris dalam menjalankan jabatannya. Hal tersebut sebagaimana terdapat dalam Pasal 17 ayat (1) UUJN-P, sebagai berikut :

1) menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya; 2) meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7 (tujuh) hari kerja berturutturut tanpa alasan yang sah; 3) merangkap sebagai pegawai negeri; 4) merangkap jabatan sebagai pejabat negara; 5) merangkap jabatan sebagai advokat; 6) merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah atau Badan Usaha Swasta; 7) Merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah dan/atau Pejabat Lelang Kelas II di luar tempat kedudukan Notaris; 8) menjadi Notaris pengganti; atau 9) melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama, kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan martabat jabatan Notaris. Larangan-larangan tersebut dimaksudkan untuk menjamin kepentingan masyarakat yang memerlukan jasa Notaris. Larangan dalam ketentuan Pasal 17 ayat (1) UUJN-P dimaksudkan untuk memberi kepastian hukum kepada masyarakat dan sekaligus mencegah terjadinya persaingan tidak sehat antar Notaris dalam menjalankan jabatannya. Salah satu upaya dalam mencegah persaingan tersebut, Notaris hendaknya memperhatikan ketentuan mengenai honorarium yang merupakan hak Notaris atas jasa hukum yang diberikan sesuai dengan kewenangannya dalam Pasal 36 UUJN dengan tidak memungut biaya yang terlampau murah dibanding rekan-rekan Notaris lainnya,namun dengan tetap melaksanakan kewajiban dalam memberikan jasa hukum di bidang kenotariatan secara cuma-cuma kepada orang yang tidak mampu, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 37 ayat (1) UUJN-P. Berkaitan dengan kedudukan dan wilayah jabatan Notaris, Pasal 18 UUJN menyatakan bahwa Notaris mempunyai tempat kedudukan di daerah kabupaten atau kota, dan mempunyai wilayah jabatan meliputi seluruh wilayah propinsi dari tempat kedudukannya. Pasal 19 ayat (1) UUJN-P menyatakan, bahwa Notaris wajib mempunyai hanya satu kantor, yaitu

di tempat kedudukannya. Notaris tidak berwenang secara teratur menjalankan jabatan diluar tempat kedudukannya. Selain sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 17 UUJN-P, mengenai larangan bagi Notaris juga diatur dalam Pasal 18 Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM Nomor M-01.HT.03.01 Tahun 2003 Tentang Kenotarisan (selanjutnya disebut Kepmenkeh Nomor M-01.HT.03.01 Tahun 2003), Notaris dilarang : 1) membuka kantor cabang atau mempunyai kantor lebih dari satu; 2) melakukan tindakan atau perbuatan yang dapat merendahkan martabat jabatan Notaris; 3) meninggalkan daerah kerja lebih dari tiga hari, kecuali ada izin dari Pejabat yang berwenang atau dalam keadaan cuti. 4) mengadakan promosi yang menyangkut jabatan Notaris melalui media cetak maupun media elektronik; 5) membacakan dan menandatangani akta di luar wilayah kerja Notaris yang bersangkutan: 6) menyimpan protokol setelah Notaris yang bersangkutan diberhentikan oleh Menteri; 7) merangkap jabatan sebagai ketua atau anggota lembaga tinggi negara tanpa mengambil cuti jabatan. 8) merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah, pegawai swasta; 9) merangkap jabatan sebagai pejabat pembuat akta tanah diluar wilayah kerja Notaris.

10) menolak calon Notaris magang di kantornya. Kepmenkeh Nomor M-01.HT.03.01 Tahun 2003 merupakan salah satu peraturan pelaksanaan yang dimaksud, salah satu yang sudah diganti adalah mengenai larangan meninggalkan daerah kerja lebih dari tiga hari, sekarang berdasarkan Pasal 17 UUJN-P, adalah 7 (tujuh) hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang sah meninggalkan wilayah jabatan. 2.3.4 Pengawasan dan Sanksi Notaris Pengawasan terhadap Notaris bertujuan agar para Notaris semaksimal mungkin memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditetapkan undang-undang demi pengamanan dari kepentingan masyarakat umum. Notaris diangkat bukan untuk kepentingan sendiri, akan tetapi untuk kepentingan masyarakat yang dilayaninya, untuk itu undang-undang diberikan kepercayaan yang begitu besar dan secara umum dapat dikatakan bahwa setiap pemberian kepercayaan terhadap seseorang meletakkan tanggung jawab di atas bahunya, baik berdasarkan hukum maupun berdasarkan moral. 22 Pengawasan Notaris diharapkan oleh pembentuk UUJN sebagai lembaga pembinaan agar para Notaris dalam menjalankan jabatannya dapat lebih meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat. Mengingat peranan dan kewenangan Notaris sangat penting bagi lalu lintas kehidupan masyarakat, maka perilaku dan perbuatan Notaris dalam menjalankan jabatan profesinya, rentan terhadap penyalahgunaan yang dapat merugikan masyarakat, sehingga lembaga pembinaan dan pengawasan terhadap Notaris perlu diefektifkan. Ketentuan yang mengatur Majelis Pengawas dalam UUJN, 22 Ibid, hal. 301.