BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

dokumen-dokumen yang mirip
KONSEP HUKUM DALAM KEPERAWATAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 1981 TENTANG

JURNAL TRANSPLANTASI ORGAN TUBUH MENURUT UNDANG-UNDANG

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 1992 TENTANG KESEHATAN [LN 1992/100, TLN 3495]

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1992 TENTANG KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB XX KETENTUAN PIDANA

LILIK SUKESI DIVISI GUNJAL HIPERTENSI DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM R.S. HASAN SADIKIN / FK UNPAD BANDUNG

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. nampaknya mulai timbul gugatan terhadap dokter dan rumah sakit (selanjutnya

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB II PENGATURAN MALAPRAKTEK KEDOTERAN DI INDONESIA

Inform Consent. Purnamandala Arie Pradipta Novita Natasya Calvindra L

BAB I PENDAHULUAN. Justru yang utama dan mendasar ada di dalam Undang Undang Praktek. kelalaian dalam melaksanakan profesi dalam undang-undang praktek

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB V PENUTUP. A. Simpulan. Setelah dijelaskan dan diuraikan sebagaimana tercantum dalam

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Perlindungan Anak

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis

Andrie Irawan, SH., MH Fakultas Hukum Universitas Cokroaminoto Yogyakarta

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ]

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

MANAJEMEN PENGAMBILAN KEPUTUSAN, WEWENANG, MALPRAKTIK DAN KELALAIAN DALAM PELAKSANAAN TRANSPLANTASI SUMSUM TULANG

PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SLEMAN NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG IZIN PRAKTIK DOKTER DAN DOKTER GIGI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan

BAB III ANALISIS DAN KAJIAN YURIDIS MENGENAI EUTHANASIA DIPANDANG DARI SEGI HAM

I. PENDAHULUAN. pelayanan kesehatan yang diberikan oleh dokter. Pelayanan dokter haruslah sesuai

PENDAHULUAN. ditujukan kepada individu, keluarga, kelompok atau masyarakat, baik sehat maupun sakit.

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Mengenai Penegakan Hukum Pidana. 1. Penegak Hukum dan Penegakan Hukum Pidana

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB III PENGANIAYAAN YANG BERAKIBAT LUKA BERAT DALAM KUHP

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI

BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG IZIN PRAKTIK PERAWAT

UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA [LN 2009/140, TLN 5059]

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI

BAB II. Regulasi penerbangan yang lama yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun. itu harus mendasarkan pada ketentuan Pasal 102 ayat (1) KUHAP yang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RUU Perlindungan Korban dan Saksi Draft Sentra HAM UI dan ICW, Juni 2001 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG

Tanggung Jawab Hukum Dokter Terhadap Pasien. 1. Tanggung Jawab Etis

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1992 TENTANG KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

SKRIPSI UPAYA POLRI DALAM MENJAMIN KESELAMATAN SAKSI MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

I. PENDAHULUAN. dirasakan tidak enak oleh yang dikenai oleh karena itu orang tidak henti hentinya

LAMPIRAN 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

BAB I PENDAHULUAN. (On-line), (29 Oktober 2016). 2

NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PROGRAM JAMINAN KECELAKAAN KERJA DAN JAMINAN KEMATIAN

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. mempunyai tiga arti, antara lain : 102. keadilanuntuk melakukan sesuatu. tindakansegera atau di masa depan.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMER 23 TAHUN 1992 TENTANG KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

KEDUDUKAN REKAM MEDIS DALAM

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG

BAB II. kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum. Perbuatannya yang anak-anak itu lakukan sering tidak disertai pertimbangan akan

vii DAFTAR WAWANCARA

Pilihlah satu jawaban yang benar pada pilihan di lembar jawaban.

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB III TINJAUAN TEORITIS

KONSEP MATI MENURUT HUKUM

RAHASIA KEDOKTERAN. Dr.H Agus Moch. Algozi, SpF, DFM. Bagian Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga PENDAHULUAN

PERLUNYA NOTARIS MEMAHAMI PENYIDIK & PENYIDIKAN. Dr. Widhi Handoko, SH., Sp.N. Disampaikan pada Konferda INI Kota Surakarta, Tanggal, 10 Juni 2014

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2000 TENTANG RAHASIA DAGANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN TEORITIS

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG PSIKOTROPIKA [LN 1997/10, TLN 3671]

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEMENJARAAN BAGI PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PUTUSAN NO.203/PID.SUS/2011/PN.

PP 72/1998, PENGAMANAN SEDIAAN FARMASI DAN ALAT KESEHATAN. Tentang: PENGAMANAN SEDIAAN FARMASI DAN ALAT KESEHATAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PROGRAM JAMINAN KECELAKAAN KERJA DAN JAMINAN KEMATIAN

RELEVANSI Skm gatra

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1997 TENTANG PERDAGANGAN BERJANGKA KOMODITI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

BAB IV. A. Bantuan Hukum Terhadap Tersangka Penyalahgunaan Narkotika. Dalam Proses Penyidikan Dihubungkan Dengan Undang-Undang

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing:

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.

UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN [LN 2009/144, TLN 5063]

TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana pencurian diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

RechtsVinding Online

PEMBUKTIAN MALPRAKTIK

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

PANDUAN INFORMED CONSENT

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam era reformasi saat ini, hukum memegang peran penting dalam berbagai segi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi setiap orang, yang merupakan bagian integral dari kesejahteraan, diperlukan dukungan hukum bagi penyelenggaraan berbagai kegiatan di bidang kesehatan. Perubahan konsep pemikiran penyelenggaraan pembangunan kesehatan tidak dapat dielakkan. Pada awalnya pembangunan kesehatan bertumpu pada upaya pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan, bergeser pada penyelenggaraan upaya kesehatan yang menyeluruh dengan penekanan pada upaya pencegahan penyakit dan peningkatan kesehatan. Paradigma ini dikenal dalam kalangan kesehatan sebagai paradigma sehat. Perawat profesional harus menghadapi tanggung jawab etik dan konflik yang mungkin meraka alami sebagai akibat dari hubungan mereka dalam praktik profesional. Kemajuan dalam bidang kedokteran, hak klien, perubahan sosial dan hukum telah berperan dalam peningkatan perhatian terhadap etik. Standart perilaku perawat ditetapkan dalam kode etik yang disusun oleh asosiasi keperawatan internasional, nasional, dan negera bagian atau provinsi. Perawat harus mampu menerapkan prinsip etik dalam pengambilan keputusan dan mencakup nilai dan keyakinan dari klien, profesi, perawat, dan semua pihak yang terlibat. Perawat memiliki tanggung jawab untuk melindungi hak klien dengan bertindak sebagai advokat klien. Keperawatan sebagai suatu profesi harus memiliki suatu landasan dan lindungan yang jelas. Para perawat harus tahu berbagai konsep hukum yang berkaitan dengan praktik keperawatan karena mereka mempunyai akuntabilitas terhadap keputusan dan tindakan profesional yang mereka lakukan. Secara umum terhadap dua alasan terhadap pentingnya para perawat tahu tentang hukum yang mengatur praktiknya. Alasan pertama untuk memberikan kepastian bahwa keputusan dan tindakan perawat yang dilakukan konsisten dengan prinsipprinsip hukum. Kedua, untuk melindungi perawat dari liabilitas. 1

1.2 Tujuan 1.2.1 Tujuan Umum Tujuan umum dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui konsep tentang hukum di keperawatan khusunya terhadap kasus Transplantasi Organ. 1.2.2 Tujuan Khusus 1. Mengetahui pengaruh hukum terhadap perkembangan profesi keperawatan 2. Mengetahui sumber utama hukum di keperawatan 3. Mengetahui perbedaan hukum substantif dan hokum prosedural antara hukum pidana dan hukum perdata 4. Mengetahui perbedaan antara hukum kontrak dan hukum gugatan 5. Mengetahui sistem peradilan termasuk negara dan pengadilan federal 6. Mengetahui hukum pidana yang berlaku untuk keperawatan 7. Mengetahui prosedur hukum pidana 8. Mengetahui penerapan perubahan melalui proses melobi 9. Mengetahui cara mengatasi dilema hukum dan etis di keperawatan 10. Mengetahui aspek hukum dari transplantasi organ di keperawatan 2

BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1 Konsep Hukum Kesehatan 2.1.1 Definisi Hukum Kesehatan Hukum adalah keseluruhan kumpulan peraturan-peraturan dalam suatu kehidupan bersama; atau keseluruhan peraturan tingkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Hukum kesehatan adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur hak dan kewajiban baik dari tenaga kesehatan dalam melaksanakan upaya kesehatan maupun dari individu dan masyarakat yang menerima upaya kesehatan tersebut dalam segala aspek promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif serta organisasi. 2.1.2 Fungsi Hukum Keperawatan Hukum mempunyai beberapa fungsi bagi keperawatan adalah sebagai berikut: 1. Hukum memberikan kerangka untuk menentukan tindakan keperawatan mana yang sesuai dengan hukum. 2. Membedakan tanggung jawab perawat dengan profesi yang lain. 3. Membantu menentukan batas-batas kewenangan tindakan keperawatan mandiri. 4. Membantu dalam mempertahankan standar praktek keperawatan dengan meletakkan posisi perawat memiliki akuntabilitas di bawah hukum (Kozier, Erb, 1990) 2.2 Pengaruh Hukum Terhadap Perkembangan Profesi Keperawatan Perawat merupakan aspek penting dalam pembangunan kesehatan Perawat merupakan salah satu tenaga kesehatan yang diatur dalam PP No. 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan. Bahkan dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan, tenaga perawat merupakan jenis tenaga kesehatan terbesar yang dalam kesehariannya selalu berhubungan langsung dengan pasien dan tenaga kesehatan lainnya (Sri Praptianingsih, 2006). Namun di dalam menjalankan tugasnya tak jarang perawat bersinggungan dengan masalah hukum. Bahkan profesi perawat sangat rentan dengan kasus hukum seperti gugatan 3

malpraktik sebagai akibat kesalahan yang dilakukannya dalam pelayanan kesehatan. Terlebih lagi bahwa perawat bukan lagi sekedar tenaga kesehatan yang pasif. Bahkan di New York sejak tahun 1985 melalui suatu kepeutusan Pengadilan Tinggi diakui bahwa perawat bukan lagi menjadi petugas kesehatan yang pasif, tetapi penyedia jasa perawatan kesehatan yang desisif dan asertif (Cecep Triwibowo, 2010). Dalam lingkup modern dan pandangan baru itu, selain adanya perubahan status yuridis dari perpanjangan tangan menjadi kemitraan atau kemandirian, seorang perawat juga telah dianggap bertanggung jawab hukum untuk malpraktik keperawatan yang dilakukannya, berdasarkan standar profesi yang berlaku. Dalam hal ini dibedakan tanggung jawab untuk masing-masing kesalahan atau kelalaian, yakni dalam bentuk malpraktik medik (yang dilakukan oleh dokter) dan malpraktik keperawatan (Cecep Triwibowo, 2010). 2.3 Sumber Utama Hukum di Keperawatan Sumber-Sumber Hukum: Undang-undang, mempunyai dua arti, yaitu: 1. Formal atau sempit UU adala setiap peraturan atauketetapan yangdibentuk oleh alat perlengkapan negara yang diberi kekuasaan membuatuu dan diundangkan sebagaimana mestinya. 2. Material, adalah setiap peraturan atau ketetapan yang isinya berlakumengikat kepada umum atau semua orang dalam suatu daerah ataugolongan tertentu (Def dr Prof. Buys, dikutip oleh Mudjiono,1991) Sumber hukum keperawatan, yaitu: 1. UU Kesehatan No.23/1992, a. Pasal 32, Ayat 2,3,4 & 5 (2) Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dilakukan dengan pengobatan dan atau perawatan. (3) Pengobatan dan atau perawatan dapat dilakukan berdasarkan ilmu kedokteran dan ilmu keperawatan atau cara lain yang dapat dipertanggungjawabkan. 4

(4) Pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran atau ilmu keperawatan hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. (5) Pemerintah melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan cara lain yang dapat dipertanggungjawabkan. b. Pasal 50 (1) Tenaga kesehatan bertugas menyelenggarakan dan melakukan kegiatan kesehatan sesuai dengan bidang keahlian dan/ atau kewenangan tenaga kesehatan yg bersangkutan. c. Pasal 53 (1) Tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya. (2) Tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi dan menghormati hak-hak pasien (4) Ketentuan mengenai standar profesi dan hak-hak pasien sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 ditetapkan dengan peraturan pemerintah. d. Pasal 54 (1) Terhadap tenaga kesehatan yg melakukan kesalahan atau kelalaian dalam melaksanakan profesinya dapat dikenakan tindakan disiplin. (2) Penentuan ada tidaknya kesalahan atau kelalaian sebagaimana dimaksud pada ayat 1 ditentukan oleh Majlis disiplin tenaga kesehatan e. Pasal 55 (1) Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yg dilakukan oleh tenaga kesehatan (2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud dlm ayat 1 dilaksanakan sesuai dgn peraturan perundang-undangan yg berlaku. f. Pasal 73 Pemerintah melakukan pembinaan terhadap semua kegiatan yg berkaitan dgn prnyelenggaraan upaya kesehatan. g. Pasal 77 Pemerintah berwenang mengambil tindakan administratif terhadap tenaga kesehatan &/ atau sarana kesehatan yg melakukan pelanggaran thdp ketentuan undang-undang ini. 5

2. PP RI No.32/1996, tentang tenaga kesehatan 3. Kep Menkes 1239/2001, tentang registrasi & praktik perawat 2.4 Perbedaan Hukum Substantif dan Hukum Prosedural Hukum substantif adalah perundang-undangan atau hukum tertulis yang mengatur hak dan kewajiban orang-orang yang tunduk pada hukum tersebut. Hukum substantif mendefinisikan hubungan hukum seseorang dengan orang lain atau di antara mereka dan negara. Hukum substantif mengatur hak-hak serta tugas seseorang dalam segala tindkan danperilakunya di asyarakat. Ini berarti bahwa apa yang secara formal-prosedural benar bisa saja disalahkan secara materiil dan substansinya melanggar keadilan. Demikian sebaliknya, apa yang secara formal salah bisa saja dibenarkan jika secara materiil dan substansinya sudah cukup adil (hakim dapat menoleransi pelanggaran procedural asalkan tidak melanggar substansi keadilan). Dengan kata lain, keadilan substantif bukan berarti hakim harus selalu mengabaikan bunyi undang-undang. Melainkan, dengan keadilan substantif berarti hakim bisa mengabaikan undang-undang yang tidak memberi rasa keadilan, tetapi tetap berpedoman pada formal-prosedural undang-undang yang sudah memberi rasa keadilan sekaligus menjamin kepastian hukum. Sedangkan hukum prosedural mengendalikan/mengontrolperilaku dari badan pemerintah (terutama pengadilan) sebagai badan yang mendirikandan mendorong aturan-aturan hukum substantif. Sebuah undang-undang ataskejahatan melakukan pembunuhan, sebagai contoh, adalah termasuh aturan hukumsubstantif. Tetapi aturan yang menerangkan peruatan percobaan tindak kejahatanadalah termasuk prosedural. Karena hukum acara merupakan sarana untuk menegakkan aturan-aturan substantif, ada berbagai jenis hukum prosedural, sesuai dengan berbagai jenis hukum substantif. Hukum Pidana adalah cabang dari hukum substantif berurusan dengan hukuman bagi pelanggaran terhadap publik dan memiliki sebagai konsekuensinya prosedur kriminal, yang menunjukkan bagaimana sanksi hukum pidana harus diterapkan. Hukum privat substantif, yang berkaitan dengan hubungan antara orang pribadi (yaitu, non-pemerintah), apakah individu atau badan hukum, telah sebagai konsekuensinya aturan prosedur sipil. Karena objek proses pengadilan adalah untuk sampai pada kebenaran dengan menggunakan bukti-bukti terbaik yang tersedia, harus ada hukum-hukum prosedural bukti untuk mengatur presentasi saksi, dokumentasi, dan bukti fisik (Mahrus Ali, 2011). 6

2.5 Perbedaan Hukum Kontrak dan Hukum Gugatan Hukum kontrak dilakukan adalah melindungi, membela dan memeriksa kontrak-kontrak yang dibuat antara orang-orang, lembaga, kelompok, organisasi, dll berada di bawah sistem hukum sipil dan dianggap bagian dari hukum sekitarnya kewajiban, atau 'hukum kewajiban (Sudarto, 1997). Hukum kontrak meliputi undang-undang atau peraturan diarahkan untuk menegakkan janji-janji tertentu. Torts (Hukum gugatan) adalah kesalahan sipil diakui oleh hukum sebagai dasar untuk gugatan. Kesalahan ini mengakibatkan cedera atau kerugian yang menjadi dasar klaim oleh pihak yang dirugikan. Sementara beberapa torts juga kejahatan diancam dengan pidana penjara, tujuan utama dari gugatan hukum adalah untuk menyediakan bantuan bagi kerusakan yang terjadi dan mencegah orang melakukan bahaya yang sama. Orang yang terluka bisa menuntut perintah untuk mencegah kelanjutan dari perilaku menyakitkan atau untuk kerusakan moneter (Wirjono Prodjodikorro, 1962). 2.6 Sistem Peradilan Termasuk Negara dan Peradilan Federal Sistem Peradilan Pidana ( Criminal Justice System) harus dilihat sebagai The network of courts and tribunals which deal with criminal law and his enforcement. Pemahaman pengertian sistem dalam hal ini harus dilihat dalam konteks baik sebagai Phsycal System dalam arti seperangkat elemen yang secara terpadu bekerja untuk mencapai suatu tujuan, maupun sebagai Abstract System dalam arti gagasan-gagasan yang merupakan susunan yang teratur yang satusama lain berada dalam ketergantungan. Selanjutnya menurut Muladi, Sistem Peradilan Pidana harus dilihat sebagai open system,sebab pengaruh lingkungan seringkali berpengaruh terhadap keberhasilan sistem tersebut mencapai tujuannya. Sebagai contoh, Muladi mengemukakan keberhasilan sistem peradilan baik di negeri Belanda maupun di Jepang dalam rangka masukan crime rate disebabkan karenapartisipasi masyarakat dalam sistem peradilan pidana yang sudah melembaga. 2.7 Hukum Pidana Berlaku untuk Perawatan Hukum Pidana adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang menentukan perbuatan apa yang dilarang dan termasuk kedalam tindak pidana, serta menentukan hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap yang melakukannya. Sementara dari aspek pertanggungjawaban secara hukum pidana seorang perawat baru dapat dimintai pertanggungjawaban apabila terdapat unsur-unsur sebagai berikut: 7

a. Suatu perbuatan yang bersifat melawan hukum; dalam hal ini apabila perawat melakukan pelayanan kesehatan di luar kewenangan yang tertuang dalam Pasal 8 Permenkes No. 148/2010. b. Mampu bertanggung jawab, dalam hal ini seorang perawat yang memahami konsekuensi dan resiko dari setiap tindakannya dan secara kemampuan, telah mendapat pelatihan dan pendidikan untuk itu. Artinya seorang perawat yang menyadari bahwa tindakannya dapat merugikan pasien. c. Adanya kesalahan (schuld) berupa kesengajaan (dolus) atau karena kealpaan (culpa). Kesalahan disini bergantung pada niat (sengaja) atau hanya karena lalai. Apabila tindakan tersebut dilakukan karena niat dan ada unsur kesengajaan, maka perawat yang bersangkutan dapat dijerat sebagai pelaku tindak pidana. Sebagai contoh seorang perawat yang dengan sadar dan sengaja memberikan suntikan mematikan kepada pasien yang sudah terminal. (disebut dengan tindakan euthanasia aktif) d. Tidak adanya alasan pembenar atau alasan pemaaf; dalam hal ini tidak ada alasan pemaaf seperti tidak adanya aturan yang mengijinkannya melakukan suatu tindakan, ataupun tidak ada alasan pembenar. Sebagai contoh perawat yang menjalankan peran terapeutik atau yang melaksanakan delegated medical activities dengan beranggapan perintah itu adalah sebuah tindakan yang benar. Tindakan tersebut tidak menjadi benar namun alasan perawat melakukan hal tersebut dapat dimaafkan. Cakupan Hukum Pidana Tentang Perilaku Perawat adalah sebagai berikut: 1) Tindak pidana terhadap nyawa 2) Tindak terhadap tubuh 3) Tindak pidana yang berkenaan dengan Asuhan Keperawatan semata untuk tujuan komersial 4) Tindak pidana yang berkenaan dengan pelaksanan Asuhan Keperawatan tanpa keahlian atau kewenangan 5) Tindak pidana yang berkenaan dengan tidak dipenuhinya persyaratan administrative 6) Tindak pidana yang berkenaan dengan hak atas informasi 7) Tindak pidana yang berkenaan dengan produksi dan peredaran alat kesehatan dan sediaan informasi 8

8) Mengakibatkan orang mati atau luka karena salahnya. 2.8 Prosedur Proses Pidana Jalur untuk mengetahui adanya suatu tindak pidana adalah melalui: a. Pengaduan, yaitu pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum seseorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikan (pasal 1 butir 25 KUHAP) b. Laporan, yaitu pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana (Pasal 1 butir 24 KUHAP) Dalam melaksanakan penyelidikan, penyelidik memiliki kewajiban dan kewenangan. Penyelidik karena kewajibannya memiliki kewenangan antara lain sebagai berikut: 1. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana; (Pasal 5 KUHAP) 2. Mencari keterangan dan barang bukti;(pasal 5 KUHAP) 3. Menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri; (Pasal 5 KUHAP) 4. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung-jawab. (Pasal 5 KUHAP) 5. Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa: a. penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penahanan; b. pemeriksaan dan penyitaan surat; c. mengambil sidik jari dan memotret seorang; d. membawa dan menghadapkan seseorang pada penyidik. (Pasal 5 KUHAP) 6. Penyelidik membuat dan menyampaikan laporan hasil pelaksanaan tindakan sebagaimana tersebut diatas. (Pasal 5 KUHAP) 7. Untuk kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah penyidik berwenang melakukan penangkapan. (Pasal 16 ayat (1) KUHAP) 9

2.9 Menerapkan perubahan melalui proses melobi Lobi merupakan aktivitas interpersonal dan komunikasi yang dilakukan biasanya berdasarkan kedekatan pribadi. Mengingat sifatnya yang informal dan bertujuan untuk memengaruhi proses pengambilan kebijakan. 2.10 Cara Mengatasi Dilema Hukum dan Etis di Keperawatan Langkah penyelesaian dilema etik menurut Tappen (2005) adalah : a. Pengkajian Target tahap ini adalah terkumpulnya data dari seluruh pengambil keputusan b. Perencanaan Untuk merencanakan dengan tepat dan berhasil, setiap orang yang terlibat dalam pengambilan keputusan harus masuk dalam proses. Thomson and Thomson (1985) mendaftarkan 3 (tiga) hal yang sangat spesifik namun terintegrasi dalam perencanaan, yaitu : 1. Tentukan tujuan dari treatment. 2. Identifikasi pembuat keputusan 3. Daftarkan dan beri bobot seluruh opsi / pilihan. c. Implementasi Selama implementasi, klien/keluarganya yang menjadi pengambil keputusan beserta anggota tim kesehatan terlibat mencari kesepakatan putusan yang dapat diterima dan saling menguntungkan. Harus terjadi komunikasi terbuka dan kadang diperlukan bernegosiasi. Peran perawat selama implementasi adalah menjaga agar komunikasi tak memburuk, karena dilema etis seringkali menimbulkan efek emosional seperti rasa bersalah, sedih / berduka, marah, dan emosi kuat yang lain d. Evaluasi Tujuan dari evaluasi adalah terselesaikannya dilema etis seperti yang ditentukan sebagai outcome-nya. Perubahan status klien, kemungkinan treatment medik, dan fakta sosial dapat dipakai untuk mengevaluasi ulang situasi dan akibat treatment perlu untuk dirubah. Komunikasi diantara para pengambil keputusan masih harus dipelihara. 10

BAB III PEMBAHASAN TRANSPLANTASI ORGAN DALAM ASPEK HUKUM DI KEPERAWATAN 3.1 Ilustrasi Kasus An.A umur 8 Tahun, didiagnosa leukemia sejak berumur 2 tahun. Selama ini keluarga bolak balik ke rumah sakit untuk melakukan tranfusi darah tiap 2 minggu sekali. Dokter pernah mengatakan bahwa salah satu terapinya bisa dengan transplantasi sum-sum tulang dari pihak keluarga, sehingga saat itu ibu ingin hamil lagi dan lahir An.B, saat ini sudah berumur 5 tahun. Keluarga menginginkan dokter melakukan tindakan pengambilan sum-sum tulang An.B. 3.2 Transplantasi organ dipandang dari aspek Hukum dan Undang-Undang Hukum Di Indonesia Transplantasi organ sangat erat kaitannya dengan bidang hukum karena di dalamnya juga terdapat hak dan kewajiban orang yang berpotensi menimbulkan permasalahan. Transplantasi dengan donor hidup menimbulkan dilema etik, dimana transplantasi pada satu sisi dapat membahayakan donor namun di satu sisi dapat menyelamatkan hidup pasien (resipien). Di beberapa negara yang telah memiliki Undang-Undang Transplantasi, terdapat pembalasan dalam pelaksanaan transplantasi, misalnya adanya larangan untuk transplantasi embrio, testis, dan ovarium baik untuk tujuan pengobatan maupun tujuan eksperimental. Namun ada pula negara yang mengizinkan dilakukannya transplantasi organ-organ tersebut di atas untuk kepentingan penelitian saja. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, transplantasi adalah rangkaian tindakan medis untuk memindahkan organ dan atau jaringan tubuh manusia yang berasal dari tubuh orang lain atau tubuh sendiri dalam rangka pengobatan untuk menggantikan organ dan atau jaringan tubuh yang tidak berfungsi dengan baik. Dasar hukum dilaksanakannya transplantasi organ sebagai suatu terapi adalah Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan Pasal 32 ayat (1), (2), (3) tentang hak 11

pasien untuk memperoleh kesembuhan dengan pengobatan dan perawatan atau cara lain yang dapat dipertanggungjawabkan. Pasal 32 ayat (1) berbunyi: Penyembuhcm penyakit dan pemulihan kesehatan diselenggarakan untuk mengembalikan status kesehatan akibat penyakit, mengembalikan fungsi badan akibat cacat atau menghilangkan cacat. Pasal 32 ayat (2) berbunyi: Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dilakukan dengan pengobatan dan atau perawatan. Pasal 32 ayat (3) berbunyi: Pengobatan dan atau perawatan dapat dilakukan berdasarkan ilmu kedokteran dan ilmu keperawatan atau cara lain yang dapat dipertanggungjawabkan. Transplantasi organ biasanya dilakukan pada stadium terminal suatu penyakit, dimana organ yang ada tidak dapat lagi menanggung beban karena fungsinya yang nyaris hilang karena suatu penyakit. Pasal 33 UU No 23/1992 menyatakan bahwa transplantasi merupakan salah satu pengobatan yang dapat dilakukan untuk penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan. Secara legal transplantasi hanya boleh dilakukan untuk tujuan kemanusiaan dan tidak boleh dilakukan untuk tujuan komersial (pasal 33 ayat 2 UU 23/ 1992). Peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia yang mengatur tentang pelaksanaan transplantasi organ adalah Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1981 tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat atau Jaringan Tubuh Manusia. Pada Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, pelaksanaan transplantasi diatur dalam Pasal 34 yang berbunyi : Pasal 34 Ayat (1): Transplantasi organ dan atau jaringan tubuh hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan di sarana kesehatan tertentu. Pasal 34 Ayat (2): Pengambilan organ dan atau jaringan tubuh dari seorang donor harus memperhatikan kesehatan donor yang bersangkutan dan ada persetujuan donor dan ahli waris atau keluarganya. Pasal 34 Ayat (3): Ketentuan mengenai syarat dan tata cara penyelenggaraan transplantasi sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) dan Ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Pada Peraturan Pemerintah tersebut, transplantasi diatur dalam Pasal 10, 14, 15, 16, 17, dan 182, Pasal-pasal tersebut yaitu: 12

Pasal 10 berbunyi: Transplantasi alat atau jaringan tubuh manusia dilakukan dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a dan b, yaitu harus dengan persetujuan tertulis penderita dan atau keluarganya yang terdekat setelah penderita meninggal. Pasal 14 berbunyi: Pengambilan alat dan atau jaringan tubuh manusia untuk keperluan transplantasi atau bank mata dari korban kecelakaan yang meninggal dunia dilakukan dengan pernyataan tertulis keluarga dekat. Pasal 15 berbunyi: Sebelum persetujuan tentang transplantasi alat dan atau jaringan tubuh manusia diberikan oleh calon donor hidup, calon donor yang bersangkutan terlebih dahulu diberitahu oleh dokter yang merawatnya, termasuk dokter konsultan mengenai sifat operasi, akibat-akibat dan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi. Dokter yang merawatnya harus yakin benar bahwa calon donor yang bersangkutan telah menyadari sepenuhnya arti dari pemberitahuan tersebut. Pada Pasal 10,14, dan 15 tersebut diatas diatur tentang informed consent baik pada donor hidup maupun donor jenazah. Untuk transplantasi dengan donor hidup, maka harus diberikan informed consent harus diberikan diatas kertas bermaterai disaksikan oleh dua orang saksi, hal ini sesuai dengan Pasal 13 PP No. 18 Tahun 1981. Namun tidak dijelaskan secara rinci siapa yang berhak sebagai saksi. Sebelum seseorang memutuskan menjadi donor hidup, seseorang harus mengetahui dan mengerti resiko yang akan dihadapinya, selain itu orang tersebut tidak boleh mengalami tekanan psikologi2. Sehingga yang dapat menjadi donor hidup adalah seseorang yang sudah berhak melakukan perbuatan hokum, yaitu apabila sudah cukup umur dan sehat akalnya. Menurut hukum perdata di Indonesia, seseorang dikatakan sudah cukup umur jika sudah berumur 21 tahun atau sudah menikah. Namun Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1981 tidak mengatur organ apa saja yang boleh disumbangkan. Di beberapa negara transplantasi organ di batasi pada ginjal saja dengan pertimbangan ginjal meupakan organ vital yang dapat menyelamatkan nyawa dan orang bisa hidup dengan satu ginjal saja. Sementara untuk organ lain yang tidak berfungsi menyelamatkan nyawa tidak dibenarkan diambil sebagai donor hidup meskipun individu tersebut bersedia. Sedangkan untuk komersialisasi organ dan atau jaringan tubuh manusia lainnya diatur dalam Pasal 16 dan 17. 13

Pasal 16 berbunyi: Donor atau keluarga donor yang meninggal dunia tidak berhak atas suatu kompensasi material apapun sebagai imbalan transplantasi. Pasal 17 berbunyi: Dilarang memperjualbelikan alat dan atau jaringan tubuh manusia. Sedangkan pada Pasal 18 diatur tentang pengiriman organ dan atau jaringan tubuh manusia dari dan ke luar negeri. Pasal 18 berbunyi: Dilarang mengirim dan menerima alat dan atau jaringan tubuh manusia dalam segala bentuk ke dan dari luar negeri. Peraturan pemerintah No. 18 Tahun 1981 ini dibuat jauh sebelum Undang-Undang tentang Kesehatan yaitu UU No. 23 Tahun 1992 sehingga tidak ditemukan penjelasan yang yang rinci mengenai transplantasi organ dan komersialisasinya. Sangsi Yang Berkaitan Dengan Transplantasi Organ Adanya ketimpangan yang cukup besar antara ketersediaan dengan kebutuhan organ memungkinkan timbulnya berbagai pelanggaran terhadap peraturan yang berlaku. Masalah komersialisasi organ, kurangnya informed consent, serta pelaksana yang tidak berkompeten dan membahayakan kesehatan donor. Komersialisasi organ tubuh manusia merupakan tindak pidana dan tindakan tersebut merupakan delik biasa sehingga tanpa adanya laporan dari masyarakat, aparat kepolisian tetap mempunyai kewenangan untuk melakukan penyelidikan. Hal ini merupakan suatu bentuk perlindungan hukum dari negara terhadap rakyatnya. Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, tidak merumuskan mengenai definisi jual beli organ dan atau jaringan tubuh manusia. Namun pada Undang-Undang tersebut tercantum pasal tentang larangan jual beli organ dan atau jaringan tubuh manusia, yaitu Pasal 33 Ayat (2) yang berbunyi: Transplantasi organ dan atau jaringan tubuh serta transfusi darah sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) dilakukan hanya untuk tujuan kemanusiaan dan dilarang untuk tujuan komersial. Proses awal untuk melengkapi Undang-Undang Kesehatan, khususnya Pasal 33Ayat (2), perlu dirinci dalam Peraturan Pemerintah yang merumuskan secara tegas apa yang dimaksud pengalihan organ tubuh manusia, kemanusiaan, komersial dan unsur kesengajaan. Jika batasan dari keempat unsur tersebut sudah jelas, maka upaya penegakan hukum bisa lebih luwes 14

dilakukan sehingga apa yang tercantum pada Pasal 80 Ayat (3) bisa diterapkan. Pasal 80 Ayat (3) berbunyi: Barang siapa dengan sengaja melakukan perbuatan dengan tujuan komersil dalam pelaksanaan transplantasi organ tubuh atau jaringan tubuh atau transfusi darah sebagaimana dimaksud Pasal 33 Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 300.000,00(tiga ratus ribu rupiah). Jika ditinjau dari sudut orabg yang akan melakukan transplantasi, maka berdasarkan UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, tercantum hukuman bila melakukan transplantasi tanpa keahlian ataupun dengan unsure kesengajaan seperti yang diatur dalam Pasal 81 Ayat (1), yang berbunyi: Barang siapa yang tanpa keahlian dengan sengaja: a. melakukan transplantasi organ dan atau jaringan tubuh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 140.000.000,00 (seratus empat puluh juta rupiah). Sedangkan pada Pasal 81 Ayat (2) berbunyi: Barang siapa dengan sengaja: a. mengambil organ dari donor tanpa memperhatikan kesehatan donor dan atau tanpa persetujuan donor dan ahli waris atau keluarganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 Ayat (2): dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 140.000.000,00 (seratus empat puluh juta rupiah). Jika sampai terjadi kematian karena tindakan seperti yang diatur dalam pasal-pasal tersebut diatas, maka UU No 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan telah mengatur dalam Pasal 83 yang berbunyi: Ancaman pidana sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 80, 81 dan 82 ditambah seperempat apabila menimbulkan luka berat atau sepertiga apabila menimbulkan kematian11. Sedangkan pada Pasal 85 Ayat (1) dijelaskan bahwa pelanggaran seperti uang disebutkan diatas merupakan tindakan kejahatan. Pasal ini berbunyi: Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80,81 dan 82 adalah kejahatan. 15

BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan 4.1.1 Hukum kesehatan adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur hak dan kewajiban baik dari tenaga kesehatan dalam melaksanakan upaya kesehatan maupun dari individu dan masyarakat yang menerima upaya kesehatan tersebut dalam segala aspek promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif serta organisasi. 4.1.2 Sumber hokum keperawatan yaitu UU Kesehatan No. 23/ 1992, pasal 32 ayat 2,3,4; PP RI No. 32/ 1996, tentang tenaga kesehatan; Kep Menkes 1239/ 2001, tentang registrasi dan praktik perawat. 4.1.3 Peraturan perundang-undangan di Indonesia yang membahas mengenai legalitas dari transplantasi organ, seperti : UU No 23/1992 tentang kesehatan; Pasal 32 ayat 1,2,3 tentang hak pasien untuk memperoleh kesembuhan dengan pengobatan dan perawatan; PP No. 18/1981 mengenai bedah mayat klinis dan bedah mayat anatomis serta transplantasi organ; Pasal UU No 23/1992 mengenai transplantasi sebagai sarana pengobatan; Pasal 33 ayat 2 UU No. 23/1992 transplantasi untuk tujuan kemanusiaan; pasal 34 ayat 1 Uu No. 23/1992 transplantasi yang hanya boleh dilakukan tenaga kesehatan, dll. 4.2 Saran Dengan makalah ini diharapkan pembaca dapat mengerti dan memahami mengenai hukum keperawatan dan penerapannya dalam transplantasi organ yaitu supaya bisa memahami mengenai aspek hokum yang mengatur mengenai transplantasi organ. 16