BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekarang ini masyarakat sangat membutuhkan peran Polisi sebagai pelindung

dokumen-dokumen yang mirip
PERAN POLRI DALAM MENANGANI TINDAK PIDANA CABUL PADA ANAK DI POLSEK KECAMATAN LOLAK KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW PROVINSI SULAWESI UTARA

I.PENDAHULUAN. Kejahatan merupakan salah satu masalah kehidupan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berkembangnya arus modernisasi serta cepatnya perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana. hubungan seksual dengan korban. Untuk menentukan hal yang demikian

BAB I PENDAHULUAN. hukuman yang maksimal, bahkan perlu adanya hukuman tambahan bagi

BAB I PENDAHULUAN. Pancasila dan Undang-Undang Dasar Pasal 1 angka 3 UUD 1945 merumuskan

BAB I PENDAHULUAN. pidana yang diancamkan terhadap pelanggaran larangan 1. Masalah pertama

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Dalam ilmu pengetahuan hukum dikatakan bahwa tujuan hukum adalah

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana.

BAB I PENDAHULUAN. mampu memimpin serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa dalam. dan tantangan dalam masyarakat dan kadang-kadang dijumpai

BAB I PENDAHUULUAN. terjadi tindak pidana perkosaan. Jika mempelajari sejarah, sebenarnya jenis tindak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. dampak yang buruk terhadap manusia jika semuanya itu tidak ditempatkan tepat

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN UNIVERSITAS INDONESIA. Fungsi bidang pembinaan..., Veronica Ari Herawati, Program Pascasarjana, 2008

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia segala sesuatu atau seluruh aspek kehidupan diselenggarakan

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

I. PENDAHULUAN. Saat ini tindak pidana perkosaan merupakan kejahatan yang cukup mendapat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kekerasan secara umum sering diartikan dengan pemukulan,

BAB I PENDAHULUAN. Tercatat 673 kasus terjadi, naik dari tahun 2011, yakni 480 kasus. 1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini rasanya cukup relevan untuk membicarakan masalah polisi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Proses peradilan yang sesuai dengan prosedur menjadi penentu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB I PENDAHULUAN. kematian dan cedera ringan sampai yang berat berupa kematian.

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Sebagai UU yang Mengatur Tindak Pidana Khusus

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dalam konteks Indonesia, anak adalah penerus cita-cita perjuangan suatu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam kehidupan bermasyarakat, setiap anggota masyarakat selalu

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG SATUAN POLISI PAMONG PRAJA KABUPATEN PASURUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan kehidupan masyarakat

I. PENDAHULUAN. dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 yang menyatakan sebagai berikut bahwa : Pemerintah

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi

BAB I PENDAHULUAN. oleh berbagai pihak. Penyebabnya beragam, mulai dari menulis di mailing list

*40931 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 32 TAHUN 2004 (32/2004) TENTANG PEDOMAN SATUAN POLISI PAMONG PRAJA

BAB I PENDAHULUAN. makmur yang merata materiil dan spirituil berdasarkan Pancasila dan Undang-

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan kepribadian setiap anggota keluarga. Keluarga merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia adalah Negara hukum berdasarkan Pancasila

I. PENDAHULUAN. kebijakan sosial baik oleh lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif maupun

BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG SATUAN POLISI PAMONG PRAJA KABUPATEN BANYUWANGI

13 ayat (1) yang menentukan bahwa :

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Salah satu tindak kejahatan yang menjadi fenomena akhir-akhir ini

BAB 1 PENDAHULUAN. Kepolisian Republik Indonesia merupakan salah satu lembaga atau

BAB I PENDAHULUAN. Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun yang benar-benar menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia serta

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2003 TENTANG PEMBERHENTIAN ANGGOTA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Maraknya tindak pidana yang terjadi di Indonesia tentu

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEDOMAN SATUAN POLISI PAMONG PRAJA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB V PENUTUP. putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum

I. PENDAHULUAN. dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh dan, berkembang, dan

BAB I PENDAHULUAN. peraturan-peraturan tentang pelanggaran (overtredingen), kejahatan

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

BUPATI BANDUNG BARAT PROVINSI JAWA BARAT

BAB II LANDASAN TEORI. Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah : 6. a. untuk menghindari anak dari penahanan;

BAB I PENDAHULUAN. Setiap manusia selalu erat kaitannya dengan etika, baik ketika manusia

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2003 TENTANG PEMBERHENTIAN ANGGOTA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. sosial, sebagai makhluk individual manusia memiliki kepentingan masing-masing

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB I PENDAHULUAN. fungsi dan wewenang, sebagai suatu organisasi yang baik dan kuat memiliki

BAB III PERANAN UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN ANAK SABAGAI DASAR HUKUM DALAM PENANGGULANGAN KEKERASAN ANAK

PELAKSANAAN PERLINDUNGAN KHUSUS TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN PENCABULAN MENURUT UU NO. 23 TAHUN 2002

BUPATI BARITO UTARA PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO UTARA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Kepolisian Negara Republik Indonesia. Negara Republik Indonesia disebutkan bahwa Kepolisian bertujuan untuk

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan atas kekuasaan belaka, maka segala kekuasaan negara harus

BAB I PENDAHULUAN. ketidakadilan yang dilakukan oleh hakim kepada pencari keadilan. Disparitas. hakim dalam menjatuhkan suatu putusan.

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan masyarakat tersebut, aturan-aturan tersebut disebut juga normanorma

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 44 TAHUN 2010 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN BARITO UTARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO UTARA NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA,

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 74 TAHUN 2014 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada zaman globalisasi dewasa ini tanpa disadari kita telah membuat nilainilai

BAB I PENDAHULUAN. persoalan yang cukup menyita waktu, khususnya persoalan pribadi yang

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

I. PENDAHULUAN. berlainan tetapi tetap saja modusnya dinilai sama. Semakin lama kejahatan di ibu

PEMERINTAH KOTA TANJUNGPINANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Belakangan ini banyak sekali ditemukan kasus-kasus tentang

yang tersendiri yang terpisah dari Peradilan umum. 1

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEDOMAN SATUAN POLISI PAMONG PRAJA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2003 TENTANG PERATURAN DISIPLIN ANGGOTA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PROSES PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DENGAN PELAKU ANGGOTA TNI (Studi di Wilayah KODAM IV DIPONEGORO)

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan norma serta

PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 09 TAHUN 2008 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. pada tahap interogasi / penyidikan sering terjadi tindakan sewenang-wenang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN TENTANG SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sekarang ini masyarakat sangat membutuhkan peran Polisi sebagai pelindung dan pengayom masyarakat. Hal ini terbukti dari banyaknya jenis tindak pidana dan modus operandi yang bermacam-macam. Kemajuan masyarakat dan kemajuan tekhnologi inilah yang menyebabkan berkembangnya jenis tindak pidana dalam masyarakat. Salah satu tindak pidana yang berkembang saat ini adalah tindak pidana kesusilaan, dimana pengertian kesusilaan itu sangatlah luas, dapat diartikan antara lain perkosaan atau pencabulan atau pelecehan seksual. Pelakunya pun sangat beragam dari masyarakat awam hingga anggota Polri pun dapat menjadi pelakunya. Tidak hanya itu, adapula pelakunya adalah masyarakat menengah kebawah sampai masyarakat menengah keatas. Hal ini terjadi karena banyak faktor-faktor intern maupun ekstern yang terjadi di dalam masyarakat. Namun bagaimana bila pelakunya adalah anggota Polri itu sendiri. Apakah ada penanganan khusus? Polri sebagai aparat penegak hukum yang menurut Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2002 Pasal 13 diberi tugas atau wewenang untuk menjaga ketertiban, ketentraman dan kedamaian dalam masyarakat yang mempunyai peranan sangat penting dalam menangani tindak pidana yang terjadi di dalam masyarakat. 1

2 Polri dalam menjalankan fungsi penegakan hukum selain fungsi perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat harus bersikap profesional sesuai dengan tugas dan wewenang Polri. Sebagaimana dipertegas dalam Pasal 14 ayat 1 huruf g Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 bahwa Polisi berwenang melakukan penyidikan terhadap semua tindak pidana. Hal tersebut menyatakan bahwa Polisi adalah penyidik dan berwenang melakukan penyidikan tindak pidana yang sebelumnya didahului oleh tindakan penyelidikan oleh penyidik. Dalam menjalankan fungsi sebagai aparat penegak hukum Polisi wajib memahami azas-azas hukum yang digunakan sebagai pertimbangan dalam pelaksanaan tugasnya, antara lain : a.azas Legalitas, yang dalam melaksanakan tugasnya sebagai penegak hukum wajib tunduk pada hukum. b.azas kewajiban, merupakan kewajiban Polisi dalam menangani permasalahan dalam masyarakat yang bersifat diskresi, karena belum diatur dalam hukum. c.azas partisipasi, dalam rangka mengamankan lingkungan masyarakat Polisi mengkoordinasikan pengamanan Swakarsa untuk mewujudkan ketaatan hukum di kalangan masyarakat. d.azas preventif, selalu mengedepankan tindakan pencegahan dari pada penindakan (represif) kepada masyarakat.

3 e.azas subsidaritas, melakukan tugas instansi lain agar tidak menimbulkan permasalahan yang lebih besar sebelum ditangani oleh instansi yang membidangi. 1 Apabila setiap anggota Polri memahami azas-azas tersebut maka tidak akan terjadi tindak pidana yang dilakukan oleh anggota Polri. Sehubungan dengan hal tersebut, tugas Polri akan sangat terkait dengan unsur pelayanan, perlindungan dan pengayoman masyarakat. Polisi harus dapat melaksanakan tugas dan wewenangnya dengan baik. Setelah diundangkannya Undang-Undang Kepolisian seharusnya mampu meminimalisir tindak pidana yang pelakunya adalah anggota Polri, namun dalam kenyataannya tindak pidana yang pelakunya adalah anggota Polri ini semakin banyak. Hal ini disebabkan karena berkembangnya tindak pidana dan pelaku kejahatan. Adanya hukum yang berlaku ditambah dengan aparat penegak hukum terutama Polri, diharapkan orang-orang atau pihak yang telah melakukan perbuatan yang mengakibatkan penderitaan pada seseorang baik fisik, seksual atau psikologis harus dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya, sehingga pelaku akan jera dan tidak akan mengulangi perbuatannya lagi. Polri harus melindungi dan melayani masyarakat namun fakta yang menunjukan di masyarakat adalah terdapat anggota Polri yang melakukan tindak pidana pemerkosaan. Hal ini sangat mencoreng nama baik Kepolisian, Polri juga 1 Drs.H. Pudi Rahardi,M.H., Hukum Kepolisian (Profesionalisme dan Reformasi Polri),Laksbang Mediatama, Surabaya,2007, hlm 27

4 harus bersikap netral apabila ada anggotanya yang melakukan tindak pidana pemerkosaan agar sanksi yang diberikan terhadap anggota Polri yang melakukan tindak pidana perkosaan tersebut setimpal dengan perbuatan yang dilakukannya. Sehingga tidak terjadi lagi tindak pidana yang pelakunya adalah anggota Polri. Anggota Kepolisian Republik Indonesia yang ternyata melakukan tindak pidana perkosaan dijatuhi sanksi berupa sanksi pidana, tindakan disiplin dan/atau hukuman disiplin (sanksi administratif). Proses peradilan yang dijalankan dalam penyelesaian tindak pidana perkosaan yang dilakukan oleh anggota Polri dilaksanakan di peradilan umum yang sanksinya berupa sanksi pidana, yang prosedurnya sama seperti masyarakat awam yang melakukan tindak pidana perkosaan. Namun bila anggota Polri tersebut terbukti melakukan tindak pidana perkosaan maka anggota Polri tersebut juga akan diproses dalam sidang disiplin Polri karena anggota Polri tersebut dianggap telah mencoreng nama baik institusi dan tidak menjalankan kewajibannya sebagai anggota Polri sehingga sanksinya berupa tindakan disiplin dan/atau hukuman disiplin (sanksi administratif) bahkan anggota Polri tersebut dianggap tidak patut dipertahankan statusnya sebagai anggota Polri, dan dapat diberhentikan dengan tidak hormat dari dinas Kepolisian Negara Republik Indonesia melalui sidang Komisi Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Sejak awal perekruitan atau penerimaan calon anggota Polri haruslah dipilih secara selektif selain itu juga tiap calon anggota Polri akan mendapat tes psikologis mengenai kejiwaan dari calon anggota Polri tersebut, agar pada saat menjadi anggota

5 Polri tidak terjadi hal-hal yang menyimpang, sehingga harapannya menjadi anggota Polri yang sehat baik jasmani maupun rohani. Namun bagaimana apabila pelaku merupakan anggota Kepolisian, pihak mana yang harus dipersalahkan dari sejak penerimaaan calon anggota Polri tersebut ataukah sesudah menjadi anggota polri? Perlu dilihat lebih dalam mengenai sebab terjadinya tindak pidana itu, karena banyak orang berpendapat bahwa perbuatan manusia baik bersifat kriminal atau tidak bukan sesuatu yang bersifat fisik namun juga mengandung unsur-unsur psikologi, kemauan dan kesadaran, berarti ada niat dalam diri pelaku itu sendiri, dan mengakibatkan terjadinya suatu tindak pidana. Adapula anggota Polri yang menyalahi wewenangnya sehingga terjadi tindak pidana dan perlu penanganan khusus. Polri membentuk tim khusus untuk mengawasi anggotanya bahkan Polri membentuk tim untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana yang pelakunya adalah anggota Polri yaitu Propam atau provos. Perilaku menyimpang yang dilakukan oleh anggota Kepolisian ini sungguh mencoreng institusi Kepolisian, sehingga perlu ada penangan khusus yang diberikan kepada anggota Polri yang melakukan tindak pidana, antara lain dengan memberikan sanksi pidana yang sesuai dan/atau pemberian sanksi administratif lain yaitu penurunan pangkat atau bahkan pemberhentian dari institusi kepolisian. Anggota Polri dianggap tidak patut lagi dipertahankan statusnya sebagai anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, diberhentikan dengan tidak hormat dari dinas Kepolisian Negara Republik Indonesia melalui Sidang Komisi Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Sesuai dengan Pasal 12 ayat 1 PP Nomor 2 Tahun 2003

6 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia menentukan bahwa penjatuhan hukuman disiplin tidak menghapuskan tuntutan pidana, karena pada dasarnya anggota Polri ini tidak melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai anggota Polri, karena dianggap mencemarkan kehormatan atau martabat Kepolisian Negara Republik Indonesia. Kepolisian juga harus bersikap profesional dalam menangani kasus pelaku kejahatan adalah anggotanya sendiri, sehingga masyarakat tidak berpikiran negatif terhadap penanganan kasus, karena tidak terjadi kesenjangan terhadap perlakuan antara masyarakat awam dengan anggota Polri yang melakukan tindak pidana. Adanya Anggota Polri yang melakukan tindak pidana perkosaan berarti anggota Polri tersebut tidak melaksanakan tugas dan fungsi dengan baik sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002. Ini bertentangan dengan Kode Etik Kepolisian yang seharusnya dijunjung tinggi oleh tiap anggota Kepolisian. Definisi dari pemerkosaan itu sendiri tidak diatur secara terperinci, namun digolongkan dalam Bab XIV Tentang kejahatan terhadap kesusilaan Pasal 285 KUHP, yang menentukan : Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar pernikahan, diancam karena melakukan pemerkosaan, dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun Mengacu dari definisi diatas sudah jelas bahwa yang dimaksud dengan pemerkosaan adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan

7 kerugian dan penderitaan bagi orang lain. Penderitaan tersebut dapat berupa fisik, seksual, psikologi dan penelantaran (persetubuhan dengan daya paksa). Pemerkosaan disebabkan adanya erosi moral yang mengotori lingkungan masyarakat kita. Pemerkosaan tidak hanya sebagai suatu bencana yang merugikan bagi korban itu sendiri tetapi juga bencana bagi masyarakat. Mereka akan mengalami atau menderita gejala stres dan trauma. Bentuk trauma psikologik tersebut perlu mendapatkan perhatian serius disamping kerugian atau penderitaan nyata yang diderita oleh korban, karena korban merasa sangat dilecehkan, merasa dipermalukan, bahkan merasa terhina. Sehingga mengakibatkan korban akan merasa dendam dan kebencian yang mendalam pada pelaku. Akibat lain dari perkosaan tersebut adalah korban akan merasa malu, takut, gusar, bahkan putus asa, sehingga terjadi trauma yang mendalam yang penyembuhannya tidaklah sebentar. Kerugian yang diderita oleh korban dapat meliputi kerugian materiil dan imateriil yang dapat mempengaruhi masa depan korban. Korban akan menerima status negatif, mengalami frustasi yang akhirnya akan merasa malu dan terhina. Bentuk trauma psikologik tersebut perlu mendapatkan perhatian serius disamping kerugian atau penderitaan nyata yang diderita oleh korban Keadaan ini tidak bisa dibiarkan terus menerus dan perlu ada penanganan yang efektif, sehingga tidak lagi jatuh korban. Untuk itu Polri harus dapat memberikan jalan keluar dan sanksi yang setimpal dengan kerugian yang diderita oleh korban. Pemerintah dan aparat penegak hukum haruslah peka terhadap gejalagejala sosial yang terjadi pada setiap lapisan masyarakat, sehingga aparat harus selalu

8 siap menghadapi segala situasi dan kondisi yang dapat menimbulkan penyimbanganpenyimpangan sosial. Perkembangan kejahatan yang terjadi apalagi pelaku kejahatan itu sendiri adalah anggota Polri maka akan dilakukan penanganan yang serius dalam mengungkap tindak pidana ini agar tidak terulang kembali. Akibat itu, tidak hanya mencoreng nama baiknya sendiri tetapi juga mencoreng nama institusi Kepolisian itu sendiri. Dimana setiap anggota Polri harus menjunjung nama baik kepolisian sesuai dengan Kode Etik Kepolisian. Polri juga harus memperhatikan anggotanya selain dengan tugasnya dalam pemeliharaan keamanan dalam negeri, melalui upaya penyelenggaraan fungsi kepolisian yang meliputi keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, diharapkan adanya profesionalisme. Kinerja aparat polri yang profesional sangat diperlukan dalam pencegahan, penanganan, bahkan sampai rehabilitasi sehingga nantinya korban dapat kembali ke kehidupan bermasyarakat. Atas dasar pemikiran diatas maka penulis ingin melihat secara dekat apakah anggota Polri yang melakukan tindak pidana perkosaan hanya dijatuhkan sanksi tindak pidana perkosaan ataukah ada sanksi administratif dari institusi kepolisian sendiri. Bertolak dari pemikiran diatas maka dalam pemikiran hukum ini penulis mengajukan hukum penelitian tentang Tinjauan Terhadap Penjatuhan Sanksi Bagi Anggota Polri yang Melakukan Tindak Pidana Perkosaan

9 B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka dapat dirumuskan permasalahannya adalah : 1. Sanksi apakah yang diberikan oleh anggota Polri yang melakukan tindak pidana perkosaan? 2. Apakah ada pertimbangan khusus bagi hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap anggota Polri yang melakukan tindak pidana perkosaan? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan obyektif a. Untuk mengetahui sanksi yang diberikan oleh anggota Polri yang melakukan tindak pidana perkosaan. b. Untuk mengetahui pertimbangan khusus bagi hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap anggota Polri yang melakukan tindak pidana perkosaan 2. Tujuan subyektif Untuk memperoleh data guna menyusun skripsi sebagai salah satu syarat memperoleh gelar SI di Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta. D. Manfaat Penelitian a. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah untuk memberikan sumbangan pemikiran kepada masyarakat umum, serta almamater atau mahasiswa fakultas hukum lainnya, dan untuk lembaga pemerintah sebagai bahan

10 pertimbangan menentukan kebijakan dalam pemberian sanksi kepada anggota polri yang melakukan tindak pidana perkosaan serta merumuskan perlindungan hukum bagi korban perkosaan. b. Bagi ilmu hukum, dengan penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan dalam mengevaluasi kinerja polri, khususnya dalam penanganan tindak pidana perkosaan. c. Bagi polri, diharapkan dengan penelitian ini dapat memberi masukan dalam peningkatan pelayanan kepada masyarakat. E. Batasan Konsep Guna fokusnya pembahasan permasalahan ini maka pembatasan konsep penulisan adalah Tinjauan Terhadap Penjatuhan Sanksi Bagi Anggota Polri yang Melakukan Tindak Pidana Pemerkosaan 1. Sanksi adalah suatu ancaman pidana (strafbedreging), dan mempunyai tugas agar norma yang sudah ditetapkan itu supaya ditaati dan atau sebagai akibat hukum atas pelanggaran norma. 2. Polisi adalah segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

11 3. Pemerkosaan adalah suatu usaha melampiaskan nafsu seksual oleh seorang laki-laki terhadap seorang perempuan dengan cara menurut moral dan atau hukum yang berlaku melanggar. 2 F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang mengkaji norma-norma hukum yang berlaku. Penelitian ini memerlukan data sekunder (bahan hukum) sebagai data utama. 2. Sumber Data a. Bahan hukum primer meliputi : 1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) 2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian 4) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia 2 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua, Balai Pustaka, Jakarta,1991

12 b. Bahan hukum sekunder, yaitu sumber data yang memberikan penjelasan bahan hukum primer yang meliputi pendapat hukum, buku-buku, makalah, jurnal dan artikel. 3. Metode Pengumpulan Data Dalam penulisan hukum ini, data dikumpulkan dengan metode studi kepustakaan dan wawancara. Studi kepustakaan yaitu penelitian yang digunakan untuk mengumpulkan data sekunder dengan cara membaca dan mempelajari bahanbahan yang berhubungan dengan permasalahan yang sudah diteliti. Dengan cara mempelajari buku-buku, literatur dan perundang-undangan. Wawancara dilaksanakan guna mendukung data-data yang diperoleh dari sudi kepustakaan. 4. Metode Analisis Data yang diperoleh dari hasil penelitian akan dianalisis secara kualitatif, yaitu analisis yang dilakukan memahami dan merangkai data yang dikumpulkan secara sistematis sehingga memperoleh gambaran mengenai permasalahan yang diteliti. G. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan hukum yang dipergunakan dalam penulisan ini terbagi dalam 3 ( tiga) bab: BAB I. PENDAHULUAN

13 Dalam bab ini dijelaskan mengenai : Latar belakang, Rumusan masalah, Tujuan penelitian, Manfaat Penelitian, Keaslian Penelitian, Tinjauan Pustaka, Batasan konsep, Metode penelitian dan Sistematika penulisan. BAB II. PEMBAHASAN PENJATUHAN SANKSI PIDANA TERHADAP POLRI YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA PERKOSAAN Dalam bab ini dibahas mengenai tugas dan wewenang Polri sebagai pelindung dan pengayom masyarakat. Selain itu dibahas juga mengenai penjatuhan sanksi bagi anggota Polri yang melakukan tindak pidana pemerkosaan yang menggunakan sanksi pidana atau sanksi administratif selain memberikan pengawasan kepada tiap anggota Polri tetapi juga melayani masyarakat dengan cara meminimalisir pemerkosaan dalam lingkungan masyarakat. BAB III. PENUTUP Dalam bab penutup ini menguraikan tentang : Kesimpulan dan Saran.