BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. merupakan periode perkembangan yang rentan gizi. (1) merupakan suatu upaya yang dilakukan dalam rangka meningkatkan derajat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. normal melalui proses digesti, absorbsi, transportasi, penyimpanan, metabolisme

Politeknik Negeri Sriwijaya BAB I PENDAHULUAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam mencapai tujuan Nasional Bangsa Indonesia sesuai Pembukaan

BAB 1 PENDAHULUAN. Salah satu riset menunjukkan setidaknya 3,5 juta anak meninggal tiap tahun karena

BAB I PENDAHULUAN. apabila prasyarat keadaan gizi yang baik terpenuhi. Masalah gizi yang sering

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Perancangan sistem..., Septiawati, FKM UI, Univerasitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

HASIL PEMANTAUAN STATUS GIZI (PSG) PROVINSI SUMATERAUTARA TAHUN 2016 DINAS KESEHATAN PROVINSI SUMATERA UTARA TAHUN 2017

Status Gizi. Sumber: Hasil PSG Dinas Kesehatan Kabupaten Gunungkidul tahun

BAB I PENDAHULUAN. bangsa dan Negara Indonesia yang ditandai oleh penduduknya hidup dalam lingkungan dan

BAB I PENDAHULUAN. Masa balita merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan berat

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Program perbaikan gizi masyarakat telah berjalan puluhan tahun, namun

BAB 1 : PENDAHULUAN. Millenuim Development Goals (MDGs) adalah status gizi (SDKI, 2012). Status

BAB I PENDAHULUAN. mengancam kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang sangat diperlukan sebagai

BAB 1 PENDAHULUAN. keputusan dalam mencapai tujuan tertentu. Sistem informasi pada dasarnya adalah

PETUNJUK TEKNIS BANTUAN SOSIAL (BANSOS) PROGRAM PERBAIKAN GIZI MASYARAKAT DIREKTORAT BINA GIZI MASYARAKAT

BAB I PENDAHULUAN. terdiri dari upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif (Depkes RI,

BAB I PENDAHULUAN. tidak dapat terpenuhi. Namun masalah gizi bukan hanya berdampak pada

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan pembangunan kesehatan, yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka

MODEL PENENTUAN STATUS GIZI BALITA DI PUSKESMAS

BAB 1 PENDAHULUAN. faktor yang perlu diperhatikan dalam menjaga kesehatan, karena masa balita

BAB I PENDAHULUAN. fisik dan mentalnya akan lambat. Salah satu indikator kesehatan yang dinilai

BAB I PENDAHULUAN. ganda, yaitu masalah gizi kurang dan masalah gizi lebih dengan risiko

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

METODE PENELITIAN. n= z 2 1-α/2.p(1-p) d 2

BAB I PENDAHULUAN. besar. Masalah perbaikan gizi masuk dalam salah satu tujuan MDGs tersebut.

BAB 1 PENDAHULUAN. Gizi merupakan salah satu masalah utama dalam tatanan kependudukan dunia.

BAB 1 PENDAHULUAN. yang apabila tidak diatasi secara dini dapat berlanjut hingga dewasa. Untuk

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Gizi merupakan salah satu unsur penting sebagai penentu dalam peningkatan kualitas

BAB I PENDAHULUAN. (Wong, 2009). Usia pra sekolah disebut juga masa emas (golden age) karena pada

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan kesehatan termasuk dalam hal gizi. Hal ini terbukti dari

PENDAHULUAN. atas ketersediaan akses terhadap informasi, edukasi, dan fasilitas pelayanan kesehatan untuk

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yaitu ukuran fisik. penduduk (Depkes, 2004). Guna menyukseskan hal tersebut maka

BAB I PENDAHULUAN. rawan terhadap masalah gizi. Anak balita mengalami pertumbuhan dan. perkembangan yang pesat sehingga membutuhkan suplai makanan dan

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG PERBAIKAN GIZI

STUDI TENTANG MANAJEMEN SISTEM PELAKSANAAN PENAPISAN GIZI BURUK DI DINAS KESEHATAN KABUPATEN BOYOLALI

BAB I PENDAHULUAN. bagi kelangsungan hidup suatu bangsa. Status gizi yang baik merupakan

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat diperlukan di masa mendatang (Depkes RI, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. Jangka Menengah untuk pencapaian program perbaikan gizi 20%, maupun target

BAB I PENDAHULUAN. balita yang cerdas. Anak balita salah satu golongan umur yang rawan. masa yang kritis, karena pada saat itu merupakan masa emas

BAB I PENDAHULUAN. tangguh, mental yang kuat, kesehatan yang prima, serta cerdas. Bukti empiris

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Nutrisi yang cukup sangat penting pada usia dini untuk memastikan

BAB I PENDAHULUAN. Posyandu merupakan salah satu bentuk Upaya Kesehatan. kualitas sumberdaya manusia yang mengoptimalkan potensi tumbuh kembang

BAB 1 PENDAHULUAN. Kasus gizi buruk masih menjadi masalah dibeberapa negara. Tercatat satu

BAB 1 : PENDAHULUAN. tidak dapat ditanggulangi dengan pendekatan medis dan pelayanan masyarakat saja. Banyak

BAB 1 PENDAHULUAN. dan kesejahteraan manusia. Gizi seseorang dikatakan baik apabila terdapat

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan puskesmas (Permenkes RI,2014). Angkat Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian Balita (AKABA) merupakan

BAB I PENDAHULUAN. dekade berhasil meningkatkan derajat kesehatan masyarakat cukup signifikan,

BAB I PENDAHULUAN. yakni gizi lebih dan gizi kurang. Masalah gizi lebih merupakan akibat dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur

BAB I PENDAHULUAN. logistik didasarkan pada pendekatan analisis regresi linear merupakan metode yang

PENGEMBANGAN DAN UJI COBA ALAT PUTAR STATUS GIZI BALITA (STANDAR WHO 2005) Leni Sri Rahayu, Ony Linda, Zulazmi Mamdy dan Evindyah Prita Dewi 1)

BAB 1 PENDAHULUAN. yang berkualitas. Dukungan gizi yang memenuhi kebutuhan sangat berarti

BAB 1 : PENDAHULUAN. yang kekurangan gizi dengan indeks BB/U kecil dari -2 SD dan kelebihan gizi yang

KATA PENGANTAR. Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan. dr. Pattiselanno Roberth Johan, MARS NIP

BAB I PENDAHULUAN. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Indonesia sangat dipengaruhi oleh rendahnya

BAB 1 PENDAHULUAN. bawah lima tahun (balita). Angka kematian balita di negara-negara berkembang

KERANGKA ACUAN KERJA SISTEM PENCATATAN DAN PELAPORAN TINGKAT PUSKESMAS (SP2TP)

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Ismawati tahun 2010 (dalam Ariyani dkk, 2012), posyandu

BAB I PENDAHULUAN. Mulai dari kelaparan sampai pola makan yang mengikuti gaya hidup yaitu

BAB I PENDAHULUAN. tahun Konsep pembangunan nasional harus berwawasan kesehatan, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. Masalah gizi kurang sering terjadi pada anak balita, karena anak. balita mengalami pertumbuhan badan yang cukup pesat sehingga

BAB 1 PENDAHULUAN. Tantangan utama dalam pembangunan suatu bangsa adalah membangun

BAB I PENDAHULUAN. memasuki era globalisasi karena harus bersaing dengan negara-negara lain dalam

B A B I PENDAHULUAN. 1 P r o f i l T a h u n a n P u s k e s m a s K e c. T e b e t

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Semenjak dua puluh tahun terakhir, dengan kemajuan besar dalam bidang teknologi informasi khususnya di bidang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Gizi merupakan faktor penting untuk mewujudkan manusia Indonesia.

BAB 1 PENDAHULUAN. cerdas dan produktif. Indikatornya adalah manusia yang mampu hidup lebih lama

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk menurunkan prevalensi kurang gizi sesuai Deklarasi World Food Summit 1996

BAB I PENDAHULUAN. penyakit sehingga berkontribusi besar pada mortalitas Balita (WHO, 2013).

BAB 1 PENDAHULUAN. kurang berfungsinya lembaga-lembaga sosial dalam masyarakat, seperti posyandu

PENDIDIKAN IBU, KETERATURAN PENIMBANGAN, ASUPAN GIZI DAN STATUS GIZI ANAK USIA 0-24 BULAN

BAB I PENDAHULUAN. Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan). Maka kesehatan adalah dasar

BAB I PENDAHULUAAN. Masa balita adalah masa kehidupan yang sangat penting dan perlu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pelayanan kesehatan masyarakat pada prinsipnya mengutamakan

BAB I PENDAHULUAN. millenium (MDG s) nomor 5 yaitu mengenai kesehatan ibu. Adapun yang menjadi

BAB 1 PENDAHULUAN. Indeks Pembangunan Manusia (IPM), sedangkan ukuran kesejahteraan masyarakat. sasaran yang membutuhkan layanan (Depkes RI, 2006).

BAB I PENDAHULUAN. 128/MENKES/SK/II/2004 sebagai Unit Pelaksana Teknis Dinas kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. Masa balita adalah masa yang membutuhkan perhatian lebih dari

BAB I PENDAHULUAN. seutuhnya dan pembangunan masyarakat seluruhnya. Untuk menciptakan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu tujuan Millenium Development Goals (MDGs) ialah. menurunkan angka kematian anak (Bappenas, 2007). Kurang gizi merupakan

BAB I PENDAHULUAN. MDGs lainnya, seperti angka kematian anak dan akses terhadap pendidikan

ESTIMASI JUMLAH PENDUDUK INDONESIA TAHUN Estimasi Jumlah Penduduk Indonesia :

LOG BOOK BUKU CATATAN HARIAN PENELITIAN (BCHP) : MODEL DAN KINERJA PEMANTAUAN STATUS GIZI BALITA BERBASIS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

BAB I PENDAHULUAN. pertama kali posyandu diperkenalkan pada tahun 1985, Posyandu menjadi. salah satu wujud pemberdayaan masyarakat yang strategis

Upaya Kader Posyandu Dalam Peningkatan Status Gizi Balita di Kelurahan Margasuka Kota Bandung

BAB I PENDAHULUAN. Kualitas sumber daya manusia (SDM) memiliki peranan penting. bangsa, membutuhkan SDM berkualitas tinggi (Sibuea, 2002).

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

EVALUASI PROGRAM PENANGANAN GIZI KURANG MELALUI ASUHAN COMMUNITY FEEDING CENTER (CFC)

BAB I PENDAHULUAN. keseimbangan antara asupan makanan dan penggunaan zat gizi. Bila tubuh

BAB. I Pendahuluan A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. gizi utama yang banyak dijumpai pada balita (Sarmin, 2009). pada anak usia balita (WHO, 2007). Hal ini dibuktikannya dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan

I. PENDAHULUAN. Prevalensi gizi buruk pada batita di Indonesia menurut berat badan/umur

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Upaya perbaikan gizi masyarakat disebutkan dalam undang-undang No 36 tahun 2009 bertujuan untuk meningkatkan mutu gizi perseorangan dan masyarakat, antara lain melalui perbaikan pola konsumsi makanan, perbaikan perilaku sadar gizi dan peningkatan akses dan mutu pelayanan gizi dan kesehatan sesuai dengan kemajuan ilmu dan teknologi. Menurut Kementerian Kesehatan RI dalam laporan target Millenium Development Goals (MDGs) dibidang kesehatan yang berhubungan dengan kemiskinan dan kelaparan menyatakan salah satu tujuan paling penting adalah penurunan prevalensi gizi kurang dan gizi buruk. Berdasarkan tujuan tersebut, maka salah satu target dalam MDGs ke empat yaitu berhubungan dengan penurunan kematian balita dan merupakan target paling menentukan adalah penurunan prevalensi kasus gizi kurang dan gizi buruk (Bappenas RI, 2010). Terkait dengan hal tersebut bahwa pencapaian penurunan prevalensi gizi kurang dan gizi buruk dalam MDGs pada tahun 2015 adalah sebesar 15,0% dan 3,5% (Endang, 2011). Jumlah balita yang mengalami gizi buruk di Indonesia terus menurun sejak tahun 2004 sampai tahun 2007. Tahun 2010 dilaporkan secara nasional sudah terjadi penurunan prevalensi gizi buruk yaitu menjadi 4,9%, dan balita stunting yaitu menjadi 35,6%. Tetapi prevalensi gizi kurang masih menunjukkan angka yang sama dari keadaan tahun 2007 yaitu masih sebesar 13,0% (Kemenkes RI, 2010a). Walaupun secara nasional terjadi penurunan prevalensi masalah gizi, tetapi masih terdapat 18 provinsi diatas prevalensi nasional, dan Provinsi Aceh termasuk 10 besar dengan masalah gizi. Keadaan prevalensi gizi di Propinsi Aceh dari laporan Riskesdas 2010 menurut indikator BB/U sebesar 7,1% mengalami gizi buruk dan sebesar 16,6% mengalami gizi kurang. Prevalensi sangat pendek menurut Indikator TB/U sebesar 24,2% dan balita yang pendek sebesar 14,8% serta prevalensi kekurusan pada balita yaitu menurut indikator BB/TB yaitu sebesar 6,3% sangat kurus dan 7,9% kurus (Kemenkes RI, 2010a). 1

2 Dalam mencapai tujuan RPJMN 2010-2014 pada bidang kesehatan, Kementerian Kesehatan telah menetapkan rencana strategi yang memuat berbagai indikator keluaran yang harus dicapai, baik bersifat kebijakan maupun strategis. Didalam perbaikan gizi terdapat delapan indikator yang telah ditetapkan, dua diataranya yaitu 100% balita gizi buruk dirawat dan kabupaten/kota melakukan surveilans gizi (Kemenkes, 2010b). Dalam Pemantauan Status Gizi diperlukan suatu penilaian terhadap status gizi yang bersumber dari baku rujukan. Untuk mengetahui besarnya masalah gizi pada suatu populasi umumnya digunakan indikator status gizi yang merefleksikan suatu kekurangan gizi (Kemenkes, 2011). Pemantauan Status Gizi (PSG) sebagai salah satu komponen Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) telah dilakukan semenjak Pelita IV dengan tujuan memberikan informasi gambaran besaran masalah gizi kurang(depkes, 2000). Berdasarkan UU RI No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2007 tentang Pembiayaan Urusan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Propinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menegaskan, bahwa informasi status gizi memegang peranan penting dalam menentukan perencanaan program di daerah. Pengembangan data serta sistem informasi kesehatan di kota/kabupaten adalah sebagai pendukung pengambilan keputusan manajemen baik perbaikan pelayanan maupun program kesehatan secara langsung. Pengumpulan data yang baik serta memadai dan seharusnya dilakukan secara rutin oleh pemegang program atau kegiatan survei, tetapi data atau informasi tidak teranalisis secara baik atau tidak dapat diakses secara tepat waktu dan untuk pemakai yang benar (Depkes, 2002). Menurut Lei (2002), pencatatan dan pelaporan merupakan indikator dari keberhasilan suatu kegiatan. Tanpa ada pencatatan dan pelaporan, apapun bentuk program gizi yang dilakukan akan meperoleh manfaat yang kurang baik. Hasil dari pencatatan dan pelaporan merupakan sebuah data dan informasi yang berharga dan bernilai bila menggunakan metode yang tepat dan benar. Sehingga, data dan informasi merupakan sebuah unsur terpenting, karena data dan informasilah yang berbicara tentang keberhasilan suatu program.

3 Selain itu Mutalazimah (2009), menyimpulkan peningkatan kinerja dan performance dari sistem pelaporan dan informasi pemantauan status gizi diperlukan pengembangan sistem informasi berbasis komputer dengan pendekatan spasial dimana pembuatan software yang digunakan untuk memudahkan input data, proses pengolahan dan analisis data, pembuatan pelaporan hasil kegiatan secara lebih lengkap dan cepat serta penyajian data berupa pemetaan wilayah berdasarkan indikator distribusi cakupan gizi baik, gizikurang dan gizi buruk. Lebih lanjuthinman et al. (2005) menyimpulkan bahwa informasi yang tepat waktu, kelengkapan dan keakurasian yang tinggi dapat meningkatkan proses pelayanan kesehatan, akan tetapi kenyataan dilapangan hal tersebut masih jarang dijumpai seperti data yang tidak lengkap, informasi yang terpisah serta tidak pada waktunya.penelitian yang dilakukan oleh Alfred (2010), menyimpulkan bahwa suatu perencanaan program penanggulangan gizi lebih baik, maka diperlukan keberadaan informasi/data permasalahan gizi yang memadai dan berkualitas di setiap tingkat administrasi, pengambil keputusan di setiap tingkat menggunakan informasi yang akurat dan evidence base dalam menentukan kebijakannya. Untuk menghasilkan suatu sistem pencatatan dan pelaporan yang baik, tepat waktu dan akurat maka salah satu solusinya adalah adanya tool yang dapat menghasilkan sistem informasi yang handal. Dalam pemantauan status gizi, salah satu kegiatannya adalah melakukan proses penimbangan dan pencatatan yang ditujukan untuk mengumpulkan data secara antropometri pada balita yang dimulai dari tingkat desa (Posyandu) yang kemudian dikirim ke puskesmas. Di tingkat puskesmas data tersebut diolah untuk pengambilan keputusan dalam perencanaan, pengawasan dan pengendalian serta penilaian program gizi. Oleh karena itu data yang dikumpulkan harus merupakan fakta yang ada (evidence based). Menurut Iswon (2010), bahwa data yang tepat dan akurat adalah sebagai kunci dalam pengambilan keputusan yang tepat dan terarah, sehingga dalam memperoleh, mengolah sampai pelaporan data tenaga kesehatan perlu ditunjang oleh pengetahuan, keterampilan, serta kemampuan baik dari segi teknis maupun manajemen serta sarana pengolah data baik dalam bentuksoftware maupun hardwarepada komputer.menurut Sartika (2009) bahwa

4 data yang telah dikumpulkan dari hasil penimbangan di Posyandu harus merupakan data yang akurat, tepat waktu dan relevan, sehingga hasil dari proses pengolahan memberikan suatu informasi yang berkualitas. Proses sistem informasi gizi masyarakat atau dikenal dengan PSG dimulai dari pengumpulan data dilapangan kemudian pengolahan dengan menggunakan teknologi informasi sehingga data tersebut menghasilkan informasi yang baik. Selain itu, ditemukan ketidaklengkapan dalam pengisian format maupun dalam pengukuran antropometri. Pengisian yang tidak lengkap serta kesalahan dalam pengukuran indikator antropometri sangat berpengaruh terhadap pengolahan data dengan menggunakan software komputer. Faktor lain yang mendukung adalah sumber daya manusia, menurut Mock & Manson (1999) sumber daya manusia sangat mempengaruhi program kerja, hasil penelitiannya menyebutkan bahwa rendahnya kualitas sumber daya manusia menjadi faktor penghambat berhasilnya program pemantauan dan pertumbuhahan balita. Sebaran masalah gizi di Provinsi Aceh dan dampaknya terhadap kualitas sumber daya manusia, pencegahan dan penanggulangan masalah gizi merupakan program yang perlu mendapat perhatian khusus, sehingga berbagai upaya perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan sampai tahap evaluasi harus dilaksanakan secara berkesinambungan pada semua tingkatan administrasi baik dari dimulai tingkatan kecamatan, kabupaten/kota sampai provinsi, dengan tujuan untuk menghasilkan kualitas informasi data gizi yang memadai sebagai pendukung dalam pengambil keputusan (Irasahwadi, 2008). Dinas Kesehatan Kota Banda Aceh khususnya di Seksi Gizi, kegiatan pemantauan status gizi dilakukan pada 11puskemas dan tersebar didalamnya 90 gampoeng/desa. Hasil cakupan penimbangan tahun 2009 dari 37% balita yang ditimbang sebesar 81,6% balita mengalami naik berat badan dan balita yang mengalami BGM sebanyak 110 orang dan mempunyai satu kecamatan yang rawan gizi. Sedangkan berdasarkan PSG, balita yang mengalami gizi buruk dan kurang sebesar 15,5%, balita yang mengalami stunting sebesar 38,8% serta balita yang mengalami kekurusan sebesar 10,3% (Dinkes Kota Banda Aceh, 2009).

5 Dari kegiatantersebut pengolahan dan analisis data hasilpsg yang dilakukan oleh Tenaga Pelaksana Gizi (TPG) pada masing-masing puskesmas masih dilakukan secara manual, mulai dariproses input data, proses penghitungan statusgizi, sampai pada interpretasipengkategorian status gizi yang tentu sajaini membutuhkan waktu yang relatif lebihlama dan memberikan peluang kesalahaninput data serta kesalahan penghitunganyang akan dapat mempengaruhi hasilanalisis dan pengambilan keputusan.seperti data penimbangan balita dari posyandu setiap akhir bulan direkap perkelurahan setelah itu diserahkan ke Koordinator Gizi Puskesmas yang selanjutnya direkap menjadi laporan tingkat puskesmas. Cara pengolahan data perkelurahan tersebut dilakukan masih dengan teknik semi-manual menggunakan Microsoft Office Excellataukalkulator. Jumlah petugas gizi setiap puskesmas rata-rata 2 (dua) atau sampai dengan tiga (tiga) orang tiap-tiap puskesmas, 1 (satu) petugas gizi biasanya mengolah data 4 (empat) sampai 5 (lima) kelurahan setiap bulannya dengan rata-rata jumlah penimbangan balita setiap kelurahan mencapai rata-rata 250 balita, dengan kondisi tersebut pengolahan data menjadi laporan tingkat puskesmas membutuhkan waktu kurang lebih seminggu.hasil interview dengan pengelola program gizi di Dinas Kota Banda Aceh, mengemukakan bahwa selama ini data gizi yang merupakan laporan dari tingkat puskesmas sering terlambatke tingkat dinas dan dari segi kelengkapan data status gizi balita, dari tiga indikator hanya indikator BB/TB yang ada sedangkan indicator BB/U dan TB/U hampir tidak ada.ini merupakan suatu masalah yang harus segera dibenahi, jika tidak maka berbagai upaya untuk menghasilkan kualitas informasi data gizi masih belum mendukung dalam pengambil keputusan dan kebijakan. Permasalahan diatas, yang terjadi pada TPG di masing-masing puskesmas bisa diminimalkan melalui pembenahan dalam pemantauan status gizi balita yang didalamnya meliputi pencatatan dan pelaporan dengan cara yang mudah dan hanya membutuhkan waktu yang relatif singkat yaitu dengan cara melakukan pengolahan data gizi secara komputerisasi untuk menghasilkan kualitas data serta pelaporan gizi ke tingkat kota/kabupaten menjadi lebih cepat, tepat dan akurat. Selain itu, menurut de Onis et al. (2007), bahwa dalam upaya

6 untuk meningkatkan validitas data pelaporan status gizi balita baik input, dataimpor maupun output, sangat disarankan bagi bidang yang terkait untuk menggunakan softwarewhoanthro. Sampai saat ini menurut Siswono (2010), Kemenkes RI melalui Direktorat Bina Gizi telah melakukan pelatihan pengguna (End-User) dengan berbagai metode dalam penilaian pertumbuhan balita mulai dari tingkat nasional, provinsi, dan seterusnya berjenjang kebawah dengan harapan pada akhir tahun 2012 seluruh Tenaga Pelaksana Gizi di Puskesmas sudah siap dan terampil menjadi End-userWHO Anthro. Akan tetapi permasalahan yang muncul di Provinsi Aceh, hampir semua TPG baik di puskemas maupun di tingkat dinas kota/kabupaten belum mendapatkan hal yang dimaksud, akan tetapi hanya sebatas dalam bentuk sosialisasi yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Propinsi tahun 2008 dan Politeknik Kesehatan Kemenkes Aceh pada tahun 2009. Berdasarkan permasalahan yang ada serta untuk mewujudkan tujuan Direktorat Bina Gizi untuk menjadikan TPG sebagai end-user WHO Anthro, maka mengingat Tenaga Pelaksana Gizi di Puskesmas adalah ujung tombak dalam menginput data hasil pengukuran antropometri yang menjadi sumber data bagi dinas kesehatan, dan menjadikan fondasi dari data status gizi. Sehingga diharapkan, tenaga gizi di puskesmas dapat menciptakan sebuah informasi data yang akurat, representatif dan reliabel tentunya hal tersebut akan terjawab apabila tenaga gizi di puskesmas mendapat pelatihan sehingga mempunyai kualitas dan kuantitas dalam mengoperasionalkan software WHO Anthro sebagai tool dalam menghasilkan data, menganalisis serta melakukan pelaporannya. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang serta kondisi permasalahan diatas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu Bagaimanakah efektivitaspelatihan standar pertumbuhanwhoterhadap persepsi TPG dan kualitas informasi data status gizi balita antara menggunakan softwarewho Anthrodengan yang berbasis manual? C. Tujuan Penelitian

7 1. Tujuan Umum Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan efektivitas pelatihan standar pertumbuhanwhoantara yang berbasis software WHO Anthrodengan yang berbasis manualterhadap persepsi TPG dan kualitas informasi data status gizi balita. 2. Tujuan Khsusus a. Mengukur perbedaanpelatihan standar pertumbuhanwhoberbasis softwarewho Anthro terhadap peningkatan persepsi TPG dan kualitas informasi data status gizi balita. b. Mengukur perbedaan pelatihan standar pertumbuhanwhoberbasis manualterhadap peningkatan persepsi TPG dan kualitas informasi data status gizi balita. c. Membandingkan efektivitas pelatihan standar pertumbuhanwhoterhadap persepsi TPG tentang kualitas informasi data status gizi balita antara yang berbasis softwarewho Anthrodengan yang berbasis manual. d. Membandingkan efektivitas pelatihan standar pertumbuhanwhoterhadap kualitas informasi data status gizi balita antara yang berbasis softwarewho Anthrodengan yang berbasis manual. D. Manfaat Penelitian 1. Sebagai sumbangan pemikiran untuk pengembangan ilmupendidikan, khususnya yang berkaitan dengan penerapan aplikasi penilaian status gizi dilapangan untuk kepentingan program Pemantuan Status Gizi (PSG) dalam sistem pelaporan data status gizi balita. 2. Sebagai bahan pertimbangan dan pedoman bagi Dinas Kesehatan Propinsi, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, serta Puskesmas tentang pentingnya penggunaan standar pertumbuhanwhokhususnya yang berbasis softwarewho Anthrountuk peningkatan kualitas data dalam sistem pelaporan status gizi balita di Provinsi Aceh.

8 3. Dengan informasi tentang penggunaan standar pertumbuhanwhoberbasis softwarewho Anthro, diharapkan kedepan supaya Tenaga Pelaksana Gizi (TPG) dalam melakukan pelayanan gizi masyarakat dan menjadikannya sebagai salah satu bahan atau buku rujukan untuk pelaksanaan program PSG yang tidak terlepas dari sistem pencatatan dan pelaporan baik di Puskesmas maupun Dinas Kesehatan. 4. Sebagai bahan evaluasi bagitpg di Puskesmas, sehingga dapat lebih menghasilkan data-data yang akurat, representatif dan reliabel serta tingkat validitas datanya dapat dipertanggungjawabkan dalampelaksanaan program PSG E. Keaslian Penelitian Penelitian berkaitan dengan pengaruhpelatihan standar pertumbuhanwhoterhadap kualitas informasi data status gizi balita, sampai saat ini belum pernah ada yang melakukan. Beberapa penelitian yang dilakukan oleh peneliti lain dan berkaitan dengan penelitian ini yaitu : 1. Iswon (2008), melakukan penelitiantentang pengaruh pelatihan dan penerapan sistem informasi terpadu program KIA-GIZI berbasis komputer terhadap kualitas informasi di Dinas Kesehatan Kabupaten AGAM. Perbedaan dengan penelitian ini ialah terdapatnya penerapan sistem informasi program KIA-GIZI serta menggunakan setting ulang database. Persamaannya adalah sama-sama mengukur pengetahuan dan keterampilan petugas serta subjek dan desain yang digunakan. 2. Alfred (2010), melakukan penelitian tentang prototipe sistem pencatatan dan pelaporan program gizi berbasis web pada puskesmas di Dinas Kesehatan Gorontalo. Perbedaan dengan penelitian ini adalah terletak pada perancangan prototipe berbasis web, serta penggunaan desain dan pendekatan penelitian. Persamaannya adalah sama-sama melihat output dari pencatatan dan pelaporan yang berkaitan dengan pemantauan status gizi. 3. Sartika (2009), melakukan penelitian tentang evaluasi kesuksesan sistem informasi gizi di Dinas Kesehatan Kota Padang. Perbedaan dengan penelitian

9 ini terdapat pada pendekatan metode dan rancangan penelitian serta penggunaan open source (lokal, baku rujukan NCHS). Persamaan yang terlihat yaitu menggunakan unit analisis yang sama yaitu tenaga gizi, dan tujuan dari masing-masing open source sama yaitu untuk melakukan penilaian status gizi. 4. Herman, A (2010) mengkaji tentang kualitas pencatatan dan pelaporan data program Jamskesmas di Kabupaten Kutai tahun 2009. Persamaan yang terlihat dengan penelitian ini adalah mengkaji tentang kualitas data dari kegiatan atau program kesehatan, sedangkan yang membedakannya yaitu pada penggunaan metode dan jenis penelitian yaitu menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif dengan jenis penelitian studi kasus dan bersifatdeskriptif.