II. TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Wisata

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administratif Desa Pasireurih

STUDI PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP TINGKAT KEBERLANJUTAN LANSKAP KAMPUNG SINDANG BARANG, DESA PASIREURIH, KECAMATAN TAMANSARI, KABUPATEN BOGOR

Konsep Penataan Kota berbasis Berkelanjutan: Belajar di Eropa WIDIASTUTI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA Estetika

II.TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioregion

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BERITA DAERAH KABUPATEN KARAWANG PERATURAN BUPATI KARAWANG

I. PENDAHULUAN. Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat dilakukan secara tradisional untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya. Pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

TARI KREASI NANGGOK DI KABUPATEN OGAN KOMERING ULU SUMATERA SELATAN

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENDAHULUAN Latar Belakang

Komponen Ekosistem Komponen ekosistem ada dua macam, yaitu abiotik dan biotik. hujan, temperatur, sinar matahari, dan penyediaan nutrisi.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

V BAB V PENYAJIAN VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN

BAB I PENDAHULUAN. besar di dalam suatu ekosistem. Hutan mampu menghasilkan oksigen yang dapat

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN PEMBANGUNAN

BAB X PEMBANGUNAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP

PEMANFAATAN RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK DI KELURAHAN WAWOMBALATA KOTA KENDARI TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAPPEDA KAB. LAMONGAN

Pokok Bahasan : Konsep Ekologi 2 Sub Pokok Bahasan : a. Lingkungan alamiah dan buatan b. Ekologi kota c. Ekologi kota sebagai lingkungan terbangun

masyarakat lokal serta aspek pembelajaran dan pendidikan. : Mengenai pertanian atau tanah pertanian. Pengembangan Kampung Baratan Boyolali Sebagai

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. (1968) disebut sebagai tragedi barang milik bersama. Menurutnya, barang

KETENTUAN TEKNIS MUATAN RENCANA DETAIL PEMBANGUNAN DPP, KSPP DAN KPPP

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang kaya raya akan

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya

berbagai macam sumberdaya yang ada di wilayah pesisir tersebut. Dengan melakukan pengelompokan (zonasi) tipologi pesisir dari aspek fisik lahan

SLHD Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015

TINJAUAN PUSTAKA Taman Rumah

Dr. Ir. H. NAHARDI, MM. Kepala Dinas Kehutanan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Ekowisata Di Kawasan Hutan Mangrove Tritih Cilacap

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang

PEMUKIMAN BUKU PELAJARAN SENI BUDAYA

PENGEMBANGAN KAWASAN DESA WISATA Oleh : Dr. Ir. Sriyadi., MP (8 Januari 2016)

BAB VII KESIMPULAN, SARAN DAN KONTRIBUSI TEORI

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. halnya di daerah Sumatera Utara khususnya di kabupaten Karo, rumah adat

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN. Visi Pembangunan Jangka Menengah Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2013-

PENYELENGGARAAN PENGELOLAAN PENGETAHUAN TRADISIONAL & EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL. Dra. Dewi Indrawati MA 1

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Kebudayaan (2) Pengantar Antropologi. Dian Kurnia Anggreta, S.Sos, M.Si 1

5.3. VISI JANGKA MENENGAH KOTA PADANG

Eksplorasi Karakteristik Pembangunan Ekonomi Desa Melalui Unsur-Unsur Budaya Universal di Desa Ngadas Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH

WALIKOTA PALANGKA RAYA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan,

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara dengan tingkat keberagaman yang tinggi. Baik keberagaman hayati

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. Wisata alam dapat diartikan sebagai bentuk kegiatan wisata yang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pada pulau. Berbagai fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial budaya dari

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

BAB I PENDAHULUAN. kewibawaan guru di mata peserta didik, pola hidup konsumtif, dan sebagainya

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT. Nomor 4 Tahun 2007 Seri E Nomor 4 Tahun 2007 NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN JASA LINGKUNGAN

METODE PENELITIAN. Dalam beberapa tahun terakhir ini terdapat kecenderungan berupa

I PENDAHULUAN. masyarakat serta desakan otonomi daerah, menjadikan tuntutan dan akses masyarakat

BAB I CERITA TENTANG GUNUNG DAN AIR. (profesi). Pada perancangan kali ini, diberikan tema umum Symbiosis and

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian hutan tropis terbesar di dunia terdapat di Indonesia. Berdasarkan

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

BAB I PENDAHULUAN PENELITIAN ARTEFAK ASTANA GEDE. dan terapit oleh dua benua. Ribuan pulau yang berada di dalam garis tersebut

VISI DAN MISI H. ARSYADJULIANDI RACHMAN H. SUYATNO

BERITA NEGARA. No.1486, 2013 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN. Indonesia. Warisan Budaya Takbenda. Pelaksanaan.

Sambutan Presiden RI pada Pembukaan Pekan Raya Jakarta ke-43, 10 Juni 2010 Kamis, 10 Juni 2010

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem unik dengan fungsi yang unik dalam

Gambar 1. Kedudukan RD Pembangunan DPP, KSPP, KPPP dalam Sistem Perencanaan Tata Ruang dan Sistem Perencanaan Pembangunan RIPPARNAS RIPPARPROV

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

mendorong menemukan pasar untuk produk yang sudah ada dan mendukung spesies-spesies lokal yang menyimpan potensi ekonomi (Arifin et al. 2003).

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang sangat kompleks. Didalamnya berisi struktur-struktur yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perencanaan Kawasan Wisata

BAB I PENDAHULUAN. Hutan Indonesia dikenal memiliki keanekaragaman sumber daya hayati yang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

BUPATI ENREKANG PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN ENREKANG NOMOR 1 TAHUN 2016

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk hidup dalam melangsungkan kehidupannya

PB 3. Pembangunan berkelanjutan

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

Transkripsi:

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Persepsi Menurut Sadli (1976) persepsi adalah suatu proses yang aktif dan memegang peranan bukan hanya stimulus/perangsang yang mengenainya, tetapi sebagai keseluruhan dengan pengalaman-pengalaman, motivasinya dan sikap terhadap stimulus tersebut. Persepsi merupakan proses yang terjadi akibat rangsangan terhadap panca indera, terutama yaitu indera penglihatan. Porteous (1977) berpendapat bahwa persepsi masyarakat dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah nilai-nilai dalam diri setiap individu dipadukan dengan hal-hal yang ditangkap panca indera. Faktor-faktor internal tersebut antara lain: 1. umur dan jenis kelamin, 2. latar belakng, 3. pendidikan, 4. pekerjaan dan pendapatan, 5. asal dan status penduduk, 6. tempat tinggal, 7. status ekonomi, 8. waktu luang, 9. fisik dan intelektual. Sedangkan faktor-faktor eksternal yaitu keadaan lingkungan fisik dan sosial. Faktor internal akan dikombinasikan dengan faktor eksternal yang kemudian menjadi respon dalam bentuk tindakan. Karakteristik penting dari faktor-faktor pribadi dan sosial yang dapat mempengaruhi persepsi menurut Osley dalam Sadli (1976) adalah : 1. faktor dari objek stimulus yang terdiri dari nilai, arti, familaritas dan intensitas; 2. faktor pribadi, termasuk didalamnya ciri khas individu, seperti taraf kecerdasan, latar belakang cultural, minat, dan emosionalitasnya; 3. faktor pengaruh kelompok, artinya respon orang lain dapat memberi arah ke suatu tingkah laku yang sesuai.

4 2.2. Desa, Kampung Menurut Harsojo dalam Koentjoroningrat (1979), Desa merupakan suatu kesatuan administratif terkecil yang menempati tingkat paling bawah dalam susunan pemerintah nasional. Disamping itu desa juga dapat dipandang sebagai kesatuan hidup yang kecil sifatnya di suatu wilayah tertentu. Sifat kecilnya itu menyebabkan adanya suatu rangkaian sifat-sifat yang khas. Menurut Kamardi (2003), desa adalah satu kesatuan masyarakat hukum yang memiliki tatanan hukum dan asal-usul yang jelas tidak dapat diatur terlalu jauh oleh pemerintah kabupaten dan pusat, tetapi cukup dengan pengakuan keberadaannya yang berasaskan pada demokrasi, partisipasi, transportasi, akuntabilitas dan menghargai keberagaman. Yudohusodo S, et al. (1991) menjelaskan pengertian desa atau perdesaan pada hakekatnya dapat dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan. Dari sudut pandang pengalaman praktis, pengertian desa menggambarkan suatu kesatuan komunitas atau masyarakat yang tertentu dalam suatu lokasi pemukiman yang nyata dengan batasan administratif yang jelas. Sedangkan pengertian perdesaan (rural) menggambarkan suatu kesatuan komunitas atau masyarakat, yang bermukim dalam suatu kawasan ruang geografis yang tidak harus mengikuti batasan administratif dan yang pada umumnya menonjol dalam ciri-ciri kehidupan untuk bertani serta berkebun, yang bersifat agraris. Keadaan desa dan perdesaan mempunyai ciri yang beraneka ragam, baik ditinjau dari sudut lokasi geografisnya maupun dari segi etnologis dan sosial budayanya, ataupun jenis mata pencaharian dan lain sebagainya. Disamping itu, di beberapa daerah yang sudah berkembang keadaan sosial budayanya, tata nilai kehidupan desa yang sudah dinamis dan kreatif, ada desa-desa yang penduduknya di samping bertani dan berladang, mengusahakan peternakan, perikanan, industri kerajinan untuk cinderamata, industri bahan bangunan, industri logam atau perabot kayu dan sebagainya sehingga keadaan sosial ekonomi di desa bersangkutan telah dapat meningkat. Karena pengaruh dinamika kota, ada pula desa-desa yang transformasinya menuju modernisasi lebih cepat dibanding dengan desa-desa lainnya.

5 Kampung adalah suatu kesatuan lingkungan tempat tinggal, biasanya dihuni oleh sekelompok masyarakat yang terdiri dari kesatuan keluarga-keluarga. Kesatuan sejumlah kampung disebut desa (Suhandi, 1994 dalam Ningrat, 2004). Menurut Marbun (1994) dalam Adriana (1999), model perkampungan dari desadesa yang masih asli, desa memiliki fungsi yang lengkap sebagai satu unit permukiman juga telah ditata dengan sarana fungsional dalam skala yang sederhana. Ada barisan perumahan, rumah upacara, lumbung, permodelan pemuda, tapian (tempat mengambil air minum dan mandi), tempat berternak, peladangan, tempat berburu, kuburan dan jalan setapak, pada desa terdapat bentuk kebudayaan yang khas, diantaranya mencakup tradisi, keyakinan, kebiasaan cara hidup, seni kerajinan tangan dan lembaga sosial. 2.3. Lanskap Budaya Menurut Koentjoroningrat (1990) dalam Iskandar (2001), culture (kebudayaan) diartikan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Unsur atau muatan-muatan yang dapat dipelajari dalam kebudayaan itu terdapat tujuh unsur universal atau biasa didapatkan dalam semua kebudayaan dari semua bangsa dimanapun di dunia ini, ketujuh unsur tersebut adalah (1) bahasa, (2) sistem pengetahuan, (3) organisasi sosial, (4) sistem peralatan hidup dan teknologi, (5) sistem mata pencaharian hidup, (6) sistem religi dan (7) kesenian. Lanskap budaya (cultural landscape) merupakan segala sesuatu yang berada di ruangan luar yang dekat dapat dilihat. Berdasarkan definisi ini, lingkungan lanskap budaya adalah semua yang sudah mendapat campur tangan atau diubah oleh manusia (Lewis dalam Melnick, 1983). Lanskap budaya menurut Sauers dalam Tishler (1982) adalah suatu kawasan geografis yang menampilkan ekspresi lanskap alami oleh suatu kebudayaan tertentu, budaya berperan sebagai agen, kawasan alami sebagai medium dari lanskap budaya sebagai hasilnya. Jika kita kehilangan lanskap yang menggambarkan tentang budaya dan tradisi kita, maka kita akan kehilangan bagian penting dari diri kita sendiri sendiri dan akar kita pada masa lalu. Sebagai

6 arsitek lanskap merupakan tanggung jawab professional untuk menentukan lingkungan khusus ini; setelah diidentifikasi, apakah akan dilindungi atau digunakan sebijaksana mungkin untuk dapat mempertahankan kelangsungan suatu lambang atau simbol warisan sejarah manusia di dunia. Lanskap budaya merupakan suatu area geografis yang terdapat budaya dan sumber daya alami yang berhubungan dengan peristiwa sejarah, aktivitas, seseorang atau kelompok orang. Lanskap budaya dapat terdiri dari ribuan acre tanah perdesaan hingga pekarangan dengan luasan yang kecil. Ekspresi buatan manusia dari visual dan hubungan spasial meliputi tanah yang luas, tanah perkebunan, taman dan taman umum, perguruan tinggi, pemakaman, jalan raya yang indah, dan tapak industri. Lanskap budaya bekerja dengan seni, teks dan cerita tentang budaya, serta ekspresi dari identitas regional. Mereka juga bertahan dalam hubungan dengan konteks lingkungannya (The Cultural Landscape Foundation, 2008). Lanskap budaya merupakan harta pusaka bagi semua orang, manfaat dari kegiatan preservasi lanskap budaya sangat besar, seperti bangunan sejarah, tempat spesial ini menunjukkan keaslian suatu bangsa dan pengembangannya. Melalui bentuknya, fitur, dan bagaimana bangunan tersebut digunakan, lanskap budaya menunjukkan banyak tentang susunan hubungan kita dengan kealamian dunia. Lanskap budaya memberikan suatu yang indah, ekonomi, lingkungan, sosial, rekreasi, dan kesempatan belajar yang membantu perseorangan, komuniti, dan bangsa untuk lebih memahami kebudayaannya (The Cultural Landscape Foundation, 2008). 2.4. Keberlanjutan Lanskap Keberlanjutan (sustainability) lanskap merupakan lanskap yang mendukung kualitas lingkungan dan konservasi sumberdaya alam (Rodie dan Strich, 2000). Menanggapi hal tersebut tidak sedikit pihak yang pesimis untuk memahami dan memvisualisasikan lanskap berkelanjutan tersebut. Salah satu bentuk lanskap yang berkelanjutan yang sering digunakan untuk digambarkan antara lain lanskap kering, lanskap asli dan lanskap ramah lingkungan.

7 Secara umum pengelolaan lanskap yang berkelanjutam bertujuan untuk mengurangi input dan output yang tidak dibutuhkan dalam melindungi sumber daya alam (Kendle et al, 2000). Spesifikasi tujuan yang dimaksud adalah (i) penghematan penggunaan energi dan penyediaan sumber energi yang dapat diperbaharui, (ii) penurunan limbah cair, pemilihan tanaman yang sesuai dengan kondisi hidrologis setempat, serta pengumpulan dan penggunaan kembali air limbah, (iii) meminimalisasi penggunaan pestisida dan pupuk buatan, (iv) menghindari pemadatan tanah dan mendaur ulang limbah organik dalam tanah. Keberlanjutan suatu lanskap dapat didukung dengan adanya keberlanjutan sosial. Struktur sosial yang ada di masyarakat dapat mempengaruhi bentukan lanskap melalui perencanaan, perancangan dan pengelolaan, baik saat ini maupun masa mendatang. Kondisi dan susunan masyarakat sangat mempengaruhi karakter lanskap terutama dalam perubahannya. Cara pengambilan keputusan dalam perubahan tersebut menjadi penting, karena terdapat perbedaan cara pandang mengenai lanskap antara individu, institusi dan masyarakat lokal. Kehidupan sosial, kepercayaan masyarakat dan nilai-nilai dasar yang dimiliki masyarakat juga memiliki pengaruh besar dalam membentuk kembali suatu lanskap (Roe, 2000). Saat ini perhatian mengenai nilai norma-norma susila dan spiritual menjadi pertimbangan dalam kebijakan pembangunan berkelanjutan. Ukuran nyata dalam memanfaatkan seluruh kegiatan perekonomian agar menjadi berarti di dalam informasi teknologi, biologi, dan bioteknologi, dapat terlihat dari implikasi sosial, spiritual serta norma-norma. Kepedulian terhadap norma dan nilai spiritual dapat terlihat dari budaya, hak asasi manusia, dan perlindungan pengetahuan lokal (International Environment Forum, 2001). Norma mengenai lingkungan dapat diartikan sebagai bagaimana manusia seharusnya bersikap terhadap sumberdaya alam. Krisis lingkungan yang dihadapi manusia sangatlah kompleks terkait dengan ekonomi, faktor sosial budaya, serta persepsi. Akar dari meluasnya kemiskinan dan degradasi lingkungan berhubungan dengan perwujudan kepercayaan dan pola produksi dan konsumsi yang tidak berlanjut (International Environment Forum, 2001).

8 2.5. Desa Berkelanjutan (Ecovillage) Ecovillage mengandung pengertian sebagai ekosistem dimana masyarakat perdesaan atau kota yang ada dapat mengintegrasikan kelestarian lingkungan sosial dengan cara hidup berdampak rendah. Untuk mencapai tujuan yang dimaksud, mereka mengintegrasikan berbagai aspek desain ekologis, permakultur, bangunan ekologis, produksi hijau, energi alternatif, bangunan masyarakat, dan sebagainya (GEN, 2009). Prinsip ecovillage tersebut dapat diaplikasikan di perkotaan maupun perdesaan untuk pengembangan dan pengelolaan serta solusi kebutuhan manusia, dan pada saat yang sama dapat memberikan perlindungan kepada lingkungan dan peningkatan kualitas hidup untuk semua pihak (Capra, 2003). Konsep ecovillage mengarah pada keberlanjutan dengan memprioritaskan pada produksi makanan organik lokal, pembangunan ekologis, sistem energi yang dapat diperbaharui, koperasi, ekonomi sosial, proses pengambilan keputusan, keanekaragaman spriritual dan budaya, pelayanan kesehatan holistik yang terintegrasi, jaringan global, dan pendidikan yang berlaku untuk semua warga. Ecovillage diwujudkan dalam berbagai bentuk cara hidup yang dirasakan pada pemahaman bahwa makhluk hidup dan segala sesuatu disekitarnya adalah saling berhubungan. Ecovillage dibangun oleh tiga prinsip dasar, yaitu ekologi, sosial dan spiritual (Svensson, 2000). Ketiga aspek ecovillage dijelaskan GEN 92005) sebagai berikut : Aspek ekologi mengandung pengertian: 1. Menumbuhkan makanan sebanyak mungkin dalam wilayah sendiri 2. Mendukung produksi makanan organik 3. Menciptakan rumah dengan materi adaptif dengan kondisi lokal 4. Menggunakan sistem integrasi energi yang dapat diperbaharui. 5. Melindungi keragaman hayati 6. Mengembangkan prinisp bisnis ekologis 7. Menilai siklus semua produk yang digunakan dalam ecovillage dari sudut pandang sosial maupun spiritual sebaik sudut pandang ekologis 8. Memelihara kebersihan tanah, air dan udara melalui pengolahan limbah dan penggunaan energi yang sesuai 9. Melindungi alam dan daerah hutan belantara yang dilindungi

9 Aspek sosial mengandung pengertian: 1. Saling mengenali dan berhubungan satu sama lain 2. Berbagi sumberdaya bersama dan saling membantu 3. Menekankan pada kegiatan pencegahan kesehatan secara menyeluruh 4. Menyediakan makanan dan minuman bergizi dan pekerjaan bermanfaat bagi semua anggota masyarakat 5. Menyatukan kelompok marginal 6. Promosi pendidikan tanpa henti menganjurkan persatuan dan menghargai perbedaan 7. Menganjurkan persatuan dan menghargai perbedaan 8. Mengembangkan ekspresi budaya Aspek spiritual mengandung pengertian: 1. Kreativitas, ungkapan artistik, aktivitas budaya, upacara agama dan perayaan bersama 2. Perasaan bersatu dan saling mendukung 3. Rasa hormat dan dukungan untuk kespiritualan yang dinyatakan dalam banyak cara 4. Persetujuan dan visi bersama yang menyatakan komitmen, warisan/pusaka budaya dan keunikan dari tiap masyarakat 5. Fleksibilitas dan kemampuan bereaksi dalam mengahadapi berbagai kesulitan yang muncul 6. Pemahaman terhadap hubungan dan saling ketergantungan dari semua unsur-unsur hidup di atas bumi 7. Terciptanya dunia yang damai, saling mencintai dan lestari.