BAB III ABORSI PERSPEKTIF FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA DAN UNDANG-UNDANG NO.32 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III ABORSI BAGI IBU HAMIL PENDERITA HIV/AIDS DALAM HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

Aborsi pada Kehamilan akibat perkosaan: Ketentuan perundangundangan dan Fikih Islam

BAB III ABORSI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN

BAB IV KETENTUAN DIBOLEHKANNYA ABORSI AKIBAT PERKOSAAN DALAM PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 61 TAHUN 2014 TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI

BAB IV. A. Analisis tentang Ketentuan Aborsi dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

BAB IV. Berdasarkan Hasil Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama dalam menetapkan. hukum aborsi terkait dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 61

BAB III PROSES IJMA MENURUT ABDUL WAHAB KHALLAF DAN PROSES PENETAPAN HUKUM DALAM KOMISI FATWA MUI

Majalah Kedokteran Andalas No.1. Vol.34. Januari-Juni

BAB XX KETENTUAN PIDANA

A. Analisis Terhadap Tinjauan Aborsi Menurut PP. Nomor 61 Tahun Menurut ketentuan yang ada dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana

PENGECUALIAN LARANGAN ABORSI BAGI KORBAN PERKOSAAN SEBAGAI JAMINAN HAK-HAK REPRODUKSI

PEDOMAN PENETAPAN FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor : U-596/MUI/X/1997 Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia, setelah :

: : :

BAB IV ANALISIS PENDAPAT HUKUM TENTANG IDDAH WANITA KEGUGURAN DALAM KITAB MUGHNI AL-MUHTAJ

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkosaan merupakan salah satu tindakan kekerasan pada perempuan.

BAB IV DASAR PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP PUTUSAN WARIS BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada zaman globalisasi dewasa ini tanpa disadari kita telah membuat nilainilai

ABORSI DAN TALASEMIA

BAB IV PEMERIKSAAN KESEHATAN PRANIKAH (PREMARITAL CHECK UP) DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN [LN 2009/144, TLN 5063]

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN

B A B I P E N D A H U L U A N. Puasa di dalam Islam disebut Al-Shiam, kata ini berasal dari bahasa Arab

BAB I PENDAHULUAN. bumi. Manusia memiliki perbedaan baik secara biologis maupun rohani. Secara

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak diinginkan, meliputi abortus provocatus medicinalis dan abortus

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF TERHADAP PEMALSUAN MEREK SEPATU DI KELURAHAN BLIMBINGSARI SOOKO MOJOKERTO

BAB IV KELEBIHAN DAN KELEMAHAN MANHAJ. sama, pengambilan hukum yang dilakukan oleh lembaga Dewan Hisbah yang

PEDOMAN DAN PROSEDUR PENETAPAN FATWA

BAB V PENUTUP. maka sampailah pada kesimpulan sebagai berikut : 1. Adapun manfaat dari segi medis adalah merokok mengurangi resiko

BAB I PENDAHULUAN. Tuhan Yang Maha Esa tersebut tidak boleh dicabut oleh siapapun termasuk oleh

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia, selain dapat memberikan kemudahan-kemudahan bagi manusia

FATWA FIQIH JINAYAH : BOM BUNUH DIRI Oleh: Nasruddin Yusuf ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. Kehidupan merupakan suatu anugerah yang diberikan oleh Tuhan kepada

CONTOH IJTIHAD DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG MEMBANTU MELAKUKAN TERHADAP TINDAK PIDANA ABORSI DI INDONESIA

BAB IV ANALISIS KOMPARATIF ABORSI DAN PENYAKIT MENULAR SEKSUAL PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN UNDANG UNDANG. TENTANG KESEHATAN No 36 TAHUN 2009

PERBANDINGAN TINDAK PIDANA ABORSI MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA DAN HUKUM ISLAM S K R I P S I

BAB V PENUTUP. sebelumnya, maka Penulis berkesimpulan sebagai berikut: Seksual Terhadap Anak dalam Hukum Pidana Indonesia

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Pelayanan Kesehatan adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian

I. PENDAHULUAN. pembuatan hukum baru dan penggantian hukum lama. Urgensi politik hukum

BAB V PENUTUP. Universitas Indonesia

BAB V PENUTUP. dapat dijerat dengan pasal-pasal : (1) Pasal 285 Kitab Undang-undang Hukum

BAB I PENDAHULUAN. perilaku remaja di Indonesia mulai dari usia sekolah hingga perguruan tinggi.

UKHUWAH ISLAMIYYAH Oleh : Agus Gustiwang Saputra

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TENTANG IMPLIKASI TEKNOLOGI USG TERHADAP IDDAH

Otopsi Jenazah Dalam Tinjauan Syar'i

BAB III TINJAUAN TENTANG KEDUDUKAN DAN TUGAS LEMBAGA JURU DAMAI DALAM PENYELESAIAN PERKARA SYIQAQ

BAB I PENDAHULUAN. ajaran Islam sangat mementingkan pemeliharaan terhadap lima hal, yaitu

Bagaimana tanggapan Anda dengan UU Kesehatan yang disahkan DPR 14 September lalu?

dari Ibnu Mas ud bahwa dia menafsirkan kalimat diatas dengan menyatakan, Nutfah yang memancar kedalam rahim bila Allah menghendaki untuk dijadikan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Belakangan ini banyak sekali ditemukan kasus-kasus tentang

BAB IV ANALISIS YURIDIS PERATURAN KAPOLRI NOMOR 1 TAHUN 2009 TERKAIT PENGGUNAAN SENJATA API PADA TUGAS KEPOLISIAN PERSPEKTIF MAS}LAH}AH MURSALAH

ANALISIS ABORSI DALAM PUTUSAN PENGADILAN NEGERI SEMARANG NO.538/PID.B/2006/PN.SMG MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM

BAB V PERSAMAAN DAN PERBEDAAN PP NOMOR 33 TAHUN 2012 TENTANG PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF DAN FATWA MUI NOMOR

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN CUTI BERSYARAT DI RUTAN MEDAENG MENURUT UU NO. 12 TENTANG PEMASYARAKATAN

MAJELIS ULAMA INDONESIA KABUPATEN KUTAI TIMUR Sekretariat : Jl. Wahab Syahrani RT 45 Sangatta utara, Kab. Kutai Timur Telp /

4. Firman Allah SWT QS. al-baqarah (2): dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba Firman Allah SWT QS. al-baqarah (2):27

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan negara Indonesia seperti dirumuskan dalam Pembukaan Undang-

FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor: 52 Tahun 2012 Tentang HUKUM HEWAN TERNAK YANG DIBERI PAKAN DARI BARANG NAJIS

Aborsi Tidak Aman Jadi Penyebab Kematian Ibu 16 Agustus :58:42

Bayi tabung menurut pandangan agama, filsafat dan ilmu pengetahuan

BAB IV. Setelah mempelajari putusan Pengadilan Agama Sidoarjo No. 2355/Pdt.G/2011/PA.Sda tentang izin poligami, penulis dapat

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM DAN KUHP TERHADAP PELANGGARAN KODE ETIK DOKTER (ABORSI) DALAM PASAL 346 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Membahas permasalahan mengenai aborsi pada korban

PENGGUGURAN KANDUNGAN AKIBAT PEMERKOSAAN DALAM KUHP 1 Oleh : Freedom Bramky Johnatan Tarore 2

BAB III LEGALISASI ABORSI KEHAMILAN AKIBAT PERKOSAAN. A. Latar Belakang Keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun

Tahapan Penciptaan Manusia

BAB IV ANALISIS FIQH JINAYAH TERHADAP PEMBELAAN TERPAKSA YANG MELAMPAUI BATAS MENURUT PASAL 49 KUHP

MATAN. Karya Syaikh Al Imam Muhammad bin Abdul Wahhab

BAB V PERSAMAAN DAN PERBEDAAN WASIAT KEPADA NON MUSLIM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidup lainnya, seperti kebutuhan sandang dan papan. Secara etimologi

BAB IV ANALISIS PUTUSAN HAKIM TENTANG IZIN POLIGAMI

FATWA MEROKOK. Oleh: Akbarizan*

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP SANKSI PIDANA PELANGGARAN HAK PEMEGANG PATEN MENURUT UU NO. 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN

BAB VI PENUTUP. Berdasarkan penelitian penyusun sebagaimana pembahasan pada bab. sebelumnya, selanjutnya penyusun memaparkan beberapa kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN. gelombang kejahatan yang cukup terasa dan menarik perhatian, terutama bagi

BAB I PENDAHULUAN. Aborsi adalah pengakhiran kehamilan sebelum masa gestasi 28 minggu

I. PENDAHULUAN. bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Salah satu hikmah

BAB IV WASIAT KEPADA NON MUSLIM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF. dan ditegakkan oleh atau melalui pemerintah atau pengadilan dalam negara

TINJAUAN MAQASHID AL-SYARI AH SEBAGAI HIKMAH AL-TASYRI TERHADAP HUKUM WALI DALAM PERNIKAHAN

BAB III VASEKTOMI DALAM PERSPEKTIF MAJELIS ULAMA INDONESIA. menghimpun para ulama, zu ama dan cendekiawan muslim Indonesia untuk

BAB V PENUTUP. dikeluarkannya Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. dapat hidup di luar kandungan atau pengeluaran hasil konsepsi dari Rahim

SUMBER SUMBER HUKUM ISLAM

JAKARTA 14 FEBRUARI 2018

BAB I PENDAHULUAN. tetapi lebih dari itu perkawinan merupakan salah satu tanda kekuasaan-nya. Allah

BAB I PENDAHULUAN. problematika dan mengontrol perkembangan tersebut.salah satu problematika

ALHURRIYAH : Jurnal Hukum Islam Vol 1, No 2, Juli Desember 2016

BAB I PENDAHULUAN. Islam agama yang sempurna, yang diturunkan oleh Allah SWT kepada. Nabi Muhammad SAW yang memiliki sekumpulan aturan.

Pendidikan Agama Islam

Berpegang kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah, dan tidak bertaqlid kepada seseorang

BAB II PEMBAHASAN TENTANG MASLAHAH

KLONING FATWA MUSYAWARAH NASIONAL VI MAJELIS ULAMA INDONESIA NOMOR: 3/MUNAS VI/MUI/2000. Tentang KLONING

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

Etimologis: berasal dari jahada mengerahkan segenap kemampuan (satu akar kata dgn jihad)

KEPUTUSAN KOMISI B-1 IJTIMA ULAMA KOMISI FATWA MUI SE INDONESIA III tentang MASAIL FIQHIYYAH MU'ASHIRAH (MASALAH FIKIH KONTEMPORER)

4. Firman Allah SWT QS. al-baqarah (2):278 45)& %*('! Hai orang yang beriman! Bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba jika kamu orang yang b

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh segala aspek kehidupan yang

PAYUNG HUKUM PELAKSAAN ABORTUS PROVOKATUS PADA KEHAMILAN AKIBAT PERKOSAAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Abortus provocatus di Indonesia lebih populer disebut sebagai aborsi

BAB IV ANALISIS PERNIKAHAN DALAM MASA IDDAH. A. Analisis Pemikiran Pernikahan dalam Masa Iddah di Desa Sepulu Kecamatan

Transkripsi:

BAB III ABORSI PERSPEKTIF FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA DAN UNDANG-UNDANG NO.32 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN A. Aborsi Dalam Perspektif Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) 1. Dasar-dasar dan Prosedur Penetapan Fatwa a. Dasar-dasar umum penetapan fatwa Dalam menetapkan fatwa, Majelis Ulama Indonesia (MUI) memiliki dasar agar fatwa tersebut dapat dijadikan salah satu pedoman bagi umat muslim Indonesia. Dasar-dasar umum tersebut terdapat pada ketentuaan umum pedoman penetapan fatwa Majelis Ulama Indonesia pasal 2 (dua), yaitu: 1) Setiap keputusan fatwa harus mempunyai dasar atas Kitabullah dan Sunnah Rasul yang Mu tabarah, serta tidak bertentangan dengan kemaslahatan umat 42

43 2) Jika tidak terdapat dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul, keputusan fatwa hendaklah tidak bertentangan dengan Ijma, Qiyas yang mu tabar dan dalildalil hukum yang lain seperti Istihsan, Maslahah Mursalah dan Sadd Ad- Dzari ah 3) Sebelum pengambilan keputusan Fatwa hendaklah ditinjau pendapatpendapat para imam madzhab terdahulu, baik yang berhubungan dengan dalil-dalil hukum maupun yang berhubungan dengan dalil yang dipergunakan oleh pihak yang berbeda pendapat 4) Pandangan tenaga ahli dalam bidang masalah yang akan diambil keputusan fatwanya dipertimbangkan b. Prosedur penetapan fatwa Dalam mengambil keputusan fatwa, Majelis Ulama Indonesia memiliki prosedur dalam menetapkan fatwa yang disebutkan dalam pasal 3, 4 dan 5 pada ketentuan umum pedoman penetapan fatwa, yaitu: 1) Setiap masalah yang disampaikan kepada komisi hendaklah terlebih dahulu dipelajari dengan seksama oleh para anggota Komisi atau Tim Khusus sekurang-kurangnya seminggu sebelum disidangkan 2) Mengenai masalah yang telah jelas hukumnya (Qath iy) hendaklah komisi menyampaikan sebagaimana adanya, dan fatwa menjadi gugur setelah diketahui ada nash-nya dari Al-Qur an dan Sunnah 3) Dalam masalah yang terjadi khilafiyyah di kalangan madzhab, maka yang difatwakan adalah hasil tarjih setelah memperhatikan Fiqih Muqaram (perbandingan) dengan menggunakan kaidah-kaidah Ushul Fiqih Muqaram yang berhubungan dengan pentarjihan

44 4) Setelah melakukan pembahasan secara mendalam, komprehensif serta memperhatikan pendapat dan pandangan yang berkembang dalam sidang, komisi menetapkan keputusan fatwa 5) Setiap keputusan fatwa harus di tanfizkan setelah ditanda tangani oleh Dewan Pimpinan dalam bentuk Surat Keputusan Fatwa 6) Surat Keputusan Fatwa harus dirumuskan dengan bahasa yang dapat dipahami dengan mudah oleh masyarakat luas 7) Dalam Surat Keputusan Fatwa harus dicantumkan dasar-dasarnya disertai uraian dan analisis secara ringkas, serta sumber pengambilannya 8) Setiap Surat Keputusan Fatwa sedapat mungkin disertai dengan rumusan tindak lanjut dan rekomendasi dan/atau jalan keluar yang diperlukan sebagai konsekuensi dari Surat Keputusan Fatwa tersebut 2. Fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang aborsi 1 Janin yang telah berusia empat bulan (ba da nafkh ar-rûh) sudah memiliki kehidupan yang harus dihormati. Oleh karena itu, aborsi sesudah ditiupkannya ruh merupakan usaha pembunuhan terhadap manusia (anak dalam kandungan) yang sangat diharamkan Allah SWT. Karena yang berhak menghidupkan dan mematikan manusia, baik sudah dalam keadaan utuh dan sempurna maupun dalam keadaan embrio (proses kejadian manusia), hanya Allah SWT 2. Sebagaimana difirmankan dalam surat Ali Imran ayat 156 : 1 Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Departemen Agama Republik Indonesia, 2003. 259 2 Hamdan Rasyid. Fiqih Indonesia Himpunan Fatwa-Fatwa Aktual.(Jakarta:Al-Mawardi Prima,2003), 201

45 Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu seperti orang-orang kafir (orangorang munafik) itu, yang mengatakan kepada saudara-saudara mereka apabila mereka Mengadakan perjalanan di muka bumi atau mereka berperang: "Kalau mereka tetap bersama-sama kita tentulah mereka tidak mati dan tidak dibunuh." akibat (dari Perkataan dan keyakinan mereka) yang demikian itu, Allah menimbulkan rasa penyesalan yang sangat di dalam hati mereka. Allah menghidupkan dan mematikan. dan Allah melihat apa yang kamu kerjakan. 3 Demikian juga dalam surat al-isra ayat 31 : Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar. 4 Demikian juga firman-nya dalam surat al-isra 33 : dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. dan Barangsiapa dibunuh secara zalim, Maka Sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan. 3 Q.S.Ali-Imran Ayat 156 4 Q.S.Al-Isra ayat 31

46 Aborsi sesudah ditiupkannya ruh sangat membahayakan kesehatan dan keselamatan jiwa perempuan yang melakukannya. Padahal dalam agama Islam melarang manusia melakukan hal-hal yang membahayakan diri sendiri atau membahayakan orang lain. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 195 : Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. 5 Dalam Musyawarah Nasional VI Majelis Ulama Indonesia, keputusan Nomor I/MUNAS VI/MUI/2000 yang berlangsung pada tanggal 25 sampai 29 Juli 2000 yang membahas tentang aborsi, memberikan pertimbangan tentang hukum melakukan aborsi yang timbul pro dan kontra di tengah-tengah masyarakat. Sehingga masyarakat mempertanyakan kembali tentang pengguguran janin tanpa alasan medis sebelum nafkh ar-rûh. Dasar pertimbangan Majelis Ulama Indonesia adalah Al-Qur an surat Al- Mu minuun ayat 12-14 surat Al-Hajj ayat 5 tentang penciptaan manusia, dan hadist nabi tentang penciptaan manusia yang bermula dari nuthfah, alaqah dan mudlghah. Selain itu janin adalah makhluk yang telah memiliki kehidupan yang harus dihormati (hayah muhtaramah). Menggugurkan berarti menghentikan (menghilangkan) 5 Q.S.Al-Baqarah 195

47 kehidupan yang telah ada dan ini hukumnya haram berdasarkan Firman Allah SWT dalam surat Al-Isra ayat 33. Pendapat fuqaha tentang hukum aborsi sebelum nafkh ar-rûh yaitu yang pertama, boleh (mubah) secara mutlak tanpa harus ada alasan medis menurut ulama Zaidiyah, sekelompok ulama Hanafi, sebagian ulama Syafi i serta sejumlah ulama Maliki dan Hambali. Kedua, mubah karena ada alasan medis ( udzur) dan makruh jika tanpa udzur menurut ulama Hanafi dan sekelompok ulama Syafi i. Ketiga, makruh secara mutlak menurut sebagian ulama Maliki. Keempat, haram menurut pendapat mu tamad ulama Maliki. Membolehkan aborsi sebelum nafkh al-rûh dapat menimbulkan banyak dampak negatif, disamping dampak positif, sesuai dengan kaidah fiqhiyyah menghindarkan kerusakan diutamakan daripada mendatangkan kemaslahatan. Keputusan fatwa Majelis Ulama Indonesia adalah melakukan aborsi sesudah nafkh al-rûh adalah haram, kecuali jika ada alasan medis seperti untuk menyelamatkan nyawa ibu. Melakukan aborsi sejak terjadinya pembuahan ovum walaupun sebelum nafkh al-rûh hukumnya adalah haram, kecuali ada alasan medis atau alasan lain yang dibenarkan oleh syari at Islam. Mengharamkan semua pihak untuk melakukan, membantu, atau mengizinkan aborsi dengan ketentuan yang disebutkan sebelumnya. 6 Dalam kitab Al-Umm disebutkan, batas minimal disebut janin adalah ia melewati fase mudlghah dan alaqah hingga tubuh manusia terlihat jelas.... dari 6 Ibid.,265

48 terks tersebut dapat dipahami bahwa janin tidak terbentuk secara sempurna pada fase mudlghah tetapi pada fase ini terbentuk dalam keadaan belum jelas. 7 Menurut sebagian ulama madzhab Syafi i, bahwa hukum menggugurkan kandungan (aborsi) sebelum nafkh ar-ruh (ditiupkannya nyawa pada janin sesudah usia empat bulan kehamilan), adalah mubah (boleh) jika ada alasan medis ( udzur), jika tidak ada alasan medis maka hukumnya makruh. Menurut pendapat Imam al-ghazali dari kalangan madzhab Syafi i, bahwa jika nuthfah (sperma) telah bercampur dengan ovum dan siap menerima kehidupan, maka merusaknya dipandang sebagai tindak pidana. Dengan demikian hukumnya adalah haram. Sebagaimana disebutkan dalam kitab Ihya Ulum ad-din Juz II, halaman 51 sebagai berikut : Azl (pencegahan kehamilan) adalah berbeda dengan pengguguran kandungan atau pembunuhan bayi yang telah lahir. Karena hal itu (pengguguran kandungan atau pembunuhan bayi yang telah lahir) adalah suatu tindak pidana terhadap makhluk yang telah ada. Pengguguran kandungan (aborsi) sebagai suatu tindak pidana terdiri dari beberapa tingkatan. Tingkatan pertama (yang paling ringan tindak pidananya) adalah aborsi yang dilakukan ketika nuthfah telah bertemu dan bercampur dengan ovum dalam rahim wanita dan telah siap menerima kehidupan. Merusakkan wujud yang demikian adalah suatu kejahatan. Apabila nuthfah (air mani) telah tumbuh menjadi alaqah (segumpal darah) dan mudlghoh (segumpal daging), maka aborsi terhadap janin tersebut lebih keji. Bila janin telah berbentuk bayi dengan sempurna dan telah ditiupkan ruhnya, maka aborsi terhadap janin tersebut adalah lebih keji lagi. Puncak daripada kekejian tersebut adalah apabila pembunuhan dilakukan terhadap bayi yang telah lahir dari rahim ibunya dalam keadaan hidup 8 Dalam hukum Islam klasik ini, beberapa pendapat ulama fiqih, jika terdapat cacat yang bisa ditemukan pada janin sebelum ditiupkan ruh, para ulama fiqih madzhab syafi iyah menjelaskan hukum aborsi pada fase tersebut adalah boleh dan tidak berdosa. Melakukan tindakan aborsi karena ada sebab atau bahkan tanpa sebab 7 Muhammad bin Idris as-syafi i, al-umm (Juz V, Beirut: Dar al-fikr), 143 8 Muhammad bin Muhammad Abu Hamid Al-Ghazali. Ihya Ulum ad-din (Beirut:Dar al-fiqr,juz II), 51

49 yang jelas, tetap boleh, karena sebuah janin yang belum bernyawa menurut mereka tidak bisa disebut sebagai jiwa manusia yang haram dibunuh. 9 B. Aborsi Perspektif Undang-Undang No.36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Pedoman Undang-Undang kesehatan No.36 tahun 2009 berlandaskan Pasal 20, Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang isinya secara garis besar tanggung jawab negara untuk menjamin kesejahteraan rakyatnya dengan cara penyediaan fasilitas kesehatan, peraturan perundangan, serta persamaan hak dan keadilan warga negaranya. Sedangkan bila dilihat dari sisi pertimbangan pemerintah, Undang- Undang ini mempunyai lima pertimbangan yaitu : 1. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan merupakan kesejahteraan yang harus diwujudkan 2. Upaya prinsip kesehatan yang nondiskriminatif, partisipatif, dan berkelanjutan 3. Upaya pembangunan harus memperhatikan kesehatan masyarakat dan tanggung jawab semua pihak baik pemerintah dan masyarakat 4. menggantikan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang kesehatan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. 10 Dari ringkasan di atas kita dapat sedikit mengerti isi UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009 yang telah mencakup peraturan kesehatan yang luas yang artinya seluruh tujuan dah harapan pemerintah telah tercakupi dalam UU tersebut seperti tujuan dalam UUD 1945 yang telah dimasukkan dalam UU no 36 tahun 2009 9 Adil Yusuf Al-Izazy,Fiqih Kehamilan (Pasuruan:Hilal Pustaka,2007), 109 10 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

50 Dalam Undang-Undang tersebut, permasalahan aborsi memperoleh legitimasi dan penegasan. Secara eksplisit, dalam undang-undang ini terdapat pasal-pasal yang mengatur mengenai aborsi, meskipun dalam praktek medis mengandung berbagai reaksi dan menimbulkan kontroversi di berbagai lapisan masyarakat. Meskipun, undang-undang melarang praktik aborsi, akan tetapi dalam keadaan tertentu terdapat kebolehan. Ketentuan pengaturan aborsi dalam UU Kesehatan dituangkan dalam Pasal 75, Pasal 76 dan Pasal 77. Dalam Pasal 75 ayat (1) disebutkan bahwa hukum melarang melakukan aborsi. Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan: 1. Indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau 2. Kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan. 3. Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang. 4. Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis dan perkosaan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pelaksanaan aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat dilakukan: 1. Sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis; 2. Aborsi dilakukan oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri; 3. Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan; 4. Dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; 5. Penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Menteri.

51 Dalam pasal 77 disebutkan bahwa pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggung jawab serta bertentangan dengan norma agama dan ketentuan peraturan perundangundangan. Pada Undang-undang No.36 tahun 2009, yang dijelaskan dalam pasal 75,76,dan 77. Merupakan jawaban dari ketidakmampuan UU no 23 Tahun 1992 untuk menjelaskan tindakan medis tertentu dalam melakukan aborsi. Dalam pasal 75 ayat (1), menjelaskan hukum awal aborsi adalah haram, akan tetapi dalam ayat selanjutnya Undang-undang ini memberikan kesempatan bagi perempuan yang memiliki indikasi medis membahayakan ibu dan / atau janin, bahkan berkembang pula perlindungan hukum bagi korban pemerkosaan yang tidak menginginkan kehamilannya. Indikasi medis tidak hanya diperuntukkan bagi keadaan darurat ibu hamil atau saat melahirkan, akan tetapi juga berlaku bagi kondisi bayi, baik itu pada saat menjadi janin ataupun pada saat melahirkan. Dalam pasal 75 ayat 2 poin a, memiliki asumsi bahwa jika penyakit menular yang dimiliki ibu dapat tertular pada bayi, sehingga dapat menyulitkan bayi tersebut hidup diluar kandungan. Terjadi perluasan makna dalam pasal ini sehingga dalam pelaksanaan aborsi di Indonesia, dapat menjadi legal jika memperoleh indikasi medis dari dokter. Selanjutnya pada pasal 76 poin a disebutkan secara jelas waktu diperbolehkannya aborsi adalah 6 minggu dihitung dari hari pertama haidh terakhir, kecuali jika terdapat kedaruratan medis.