BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ADAPTIVE REUSE PADA GEDUNG PT. KERTA NIAGA DI KAWASAN KOTA TUA JAKARTA

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan untuk fasilitas-fasilitas pendukungnya. menginap dalam jangka waktu pendek.

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 : Pendahuluan BAB 2 : Tinjauan Teori BAB 3 : Metodologi Penelitian BAB 4 : Hasil dan Pembahasan BAB 5 : Kesimpulan dan Saran

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 66 TAHUN 2015 TENTANG PELESTARIAN CAGAR BUDAYA PROVINSI JAWA TIMUR

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II KAJIAN LITERATUR

BAB 1 PENDAHULUAN. Gambar 1. Hotel Des Indes (kiri) yang Menjadi Komplek Duta Merlin (kanan) Sumber:google.co.id, 5 Maret 2015

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KAJIAN PELESTARIAN KAWASAN BENTENG KUTO BESAK PALEMBANG SEBAGAI ASET WISATA TUGAS AKHIR. Oleh : SABRINA SABILA L2D

BAB I PENDAHULUAN. Kota Bandung memiliki sejarah yang sangat panjang. Kota Bandung berdiri

BAB I PENDAHULUAN 1.1. PENGERTIAN JUDUL

PEDOMAN REVITALISASI KAWASAN PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR 18/PRT/M/2011

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Pendahuluan

Melestarikan habitat pesisir saat ini, untuk keuntungan di esok hari

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan kawasan bersejarah kerap diiringi dengan perubahan fungsi dan

Gedung Kantor LKPP BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Kawasan Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta Sumber:

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang LATAR BELAKANG TUJUAN LATAR BELAKANG. Eksistensi kebudayaan Sunda 4 daya hidup dalam kebudayaan Sunda

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Perancangan. adalah melalui jalur pariwisata.

Kementerian Pendidikan Nasional merupakan lembaga pemerintahan yang bertugas meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. salah satu langkah yang di

BAB V A. KESIMPULAN. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan untuk penyusunan karya

BAB II TINJAUAN PROYEK GAMBARAN UMUM PROYEK DATA FISIK BANGUNAN : Peningkatan Kuantitas Komplek Perpustakaan Nasional Republik Indonesia

PROGRAM JANGKA PENDEK: - Peningkatan kapasitas P3KP - Pengelolaan secara internal

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Dasar Kebijakan Pelestarian Kota Pusaka 1. Tantangan Kota Pusaka 2. Dasar Kebijakan terkait (di Indonesia) 3. Konvensi Internasional

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kota selalu menjadi pusat peradaban dan cermin kemajuan suatu negara.

BAB I PENDAHULUAN HOTEL INNA DIBYA PURI SEBAGAI CITY HOTEL DI SEMARANG

1BAB I PENDAHULUAN. KotaPontianak.Jurnal Lanskap Indonesia Vol 2 No

PENATAAN KORIDOR JALAN PASAR BARU JAKARTA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Semarang sebagai lahan incaran investor

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK YANG DIRENCANAKAN DAN KONSEP PERENCANAAN

PERANSERTA STAKEHOLDER DALAM REVITALISASI KAWASAN KERATON KASUNANAN SURAKARTA TUGAS AKHIR. Oleh: YANTHI LYDIA INDRAWATI L2D

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Pengertian Judul

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. (LKPP) adalah Lembaga Pemerintah yang dibentuk untuk mengatur

2.1. TUJUAN PENATAAN RUANG WILAYAH KOTA BANDA ACEH

BAB 6 PENUTUP 6.1 Kesimpulan

PENDAHULUAN Latar Belakang

BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO

PENDAHULUAN Latar Belakang

Integrasi Budaya dan Alam dalam Preservasi Candi Gambarwetan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 1 TAHUN 2017

BAB I PENDAHULUAN. Museum Permainan Tradisional di Yogyakarta AM. Titis Rum Kuntari /

BAB VII KESIMPULAN, SARAN DAN KONTRIBUSI TEORI

BAB I PENDAHULUAN. disebut Ratu dari Timur ( Queen of the east ). Kejadian kejadian sejarah termasuk

BAB I PENDAHULUAN. Belanda pada tahun 1619 yang dipimpin oleh Jan Pieterzoon Coen.

2015 PENGARUH PENYAMPAIAN PEOPLE,PHYSICAL EVID ENCE D AN PROCESS TERHAD AP KEPUTUSAN BERKUNJUNG

BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN. 5.1 Kesimpulan Dari Menggunakan Teori Kevin Lynch. Berdasarkan hasil analisa dari data dan hasil survey wawancara yang

RUMAH LIMAS PALEMBANG WARISAN BUDAYA YANG HAMPIR PUNAH

BAB I PENDAHULUAN. Dalam perjalanan sejarah, pada titik-titik tertentu terdapat peninggalanpeninggalan

Perpaduan Unsur Arsitektur Islam dan Gaya Arsitektur Kolonial pada Masjid Cut Meutia Jakarta

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB V ARAHAN DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN. Kebudayaan nasional merupakan sesuatu hal yang penting bagi Indonesia dan

BAB I PENDAHULUAN. Kelahirannya dilatarbelakangi oleh norma-norma agama, dan dilandasi adat

18 Desember STRATEGI PEMBANGUNAN METROPOLITAN Sebagai Pusat Kegiatan Global yang Berkelanjutan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lanskap Sejarah 2.2 Kriteria Lanskap Sejarah

Upaya Memahami Sejarah Perkembangan Kota dalam Peradaban Masa Lampau untuk Penerapan Masa Kini di Kota Pusaka Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)

BAB I PENDAHULUAN. Gambar I.1 Peta wilayah Indonesia Sumber:

HASIL SIDANG KOMISI 8 REMBUK NASIONAL PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN 2012

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Latar Belakang Proyek. Angka pertambahan penduduk yang tinggi dan perkembangan pesat di

PUSAT BUDAYA BETAWI DI KAWASAN SRENGSENG SAWAH, JAKARTA SELATAN

PERUBAHAN FASADE DAN FUNGSI BANGUNAN BERSEJARAH (DI RUAS JALAN UTAMA KAWASAN MALIOBORO) TUGAS AKHIR. Oleh: NDARU RISDANTI L2D

I.1 LATAR BELAKANG I.1.1

BUPATI SIAK PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 07 TAHUN 2005 TENTANG

PERANCANGAN ARSITEKTUR dan PERANCANGAN KOTA

INPUT PROSES OUTPUT PERENCANAAN ARSITEKTUR FENOMENA. Originalitas: Kawasan Perkampungan Budaya Betawi, terletak di srengseng

BAB I PENDAHULUAN. Ruang Publik Yaroana Masigi berada di tengah-tengah permukiman

Matrix SWOT pada Kawasan Kemunduran Rendah

BAB I PENDAHULUAN. penelitian ini, rumusan masalah, tujuan penelitian dan manfaat penelitian. Selain

MUSEUM KONTEMPORER JAKARTA

Wahana Wisata Biota Akuatik BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. 1 metro.koranpendidikan.com, diakses pada 1 Maret 2013, pukul WIB

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lanskap Sejarah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

TUJUAN, KEBIJAKAN DAN STRATEGI

No Indonesia. Selain itu, hasil karya Arsitektur dapat mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. Dalam melakukan kegiat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. baru, maka keberadaan seni dan budaya dari masa ke masa juga mengalami

BELAWAN INTERNATIONAL PORT PASSANGER TERMINAL 2012 BAB I. PENDAHULUAN

- BAB I - PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Gambar 1.1.Bangunan di kota Bandung yang bergaya Art Deco (sumber : dokumentasi pribadi)

BAB III INTERPRETASI DAN ELABORASI TEMA. Tema yang digunakan pada perencanaan Hotel Forest ini adalah Green

Threshold Space sebagai Pendekatan Desain Ruang Terbuka di Kawasan Kota Tua Jakarta

Bab I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kota Semarang merupakan ibukota Jawa Tengah yang memiliki daya tarik

STUDI PENENTUAN KLASIFIKASI POTENSI KAWASAN KONSERVASI DI KOTA AMBARAWA TUGAS AKHIR

BAB III METODE PERANCANGAN Ruang Lingkup Penelitian Untuk Rancangan. Penelitian tentang upaya Perancangan Kembali Pasar Karangploso

BAB I PENDAHULUAN. TABEL 1.1 JUMLAH WISATAWAN MANCANEGARA DAN NUSANTARA KE OBJEK WISATA KOTA BANDUNG Jumlah. Jumlah Tahun.

BAB III TINJAUAN TEORI SUSTAINABLE ARCHITECTURE

PERANCANGAN INTERIOR PADA PUSAT KEBUDAYAAN BETAWI DIJAKARTA PROPOSAL PENGAJUAN PROYEK TUGAS AKHIR YULI HELVINA

MUSEUM NEGERI JAWA BARAT SRI BADUGA DI BANDUNG (Penekanan Desain Arsitektur Neo Vernacular)

Transkripsi:

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tempat-tempat bersejarah, obyek-obyek dan manifestasi adalah ekspresi yang penting dari budaya, identitas serta agama kepercayaan untuk masyarakat sekitar. Setiap nilai memiliki peran yang penting khususnya dibidang kebudayaan yang seiring perubahan zaman harus dimajukan. Bangunan-bangunan, ruang-ruang, tempat-tempat serta lingkungan sekitar, mewakili keseimbangan nilai-nilai tersebut. Yang bertujuan untuk mempertahankan pemukiman dan bentuk sejarah yang diwariskan, sekaligus melindungi integritas dari sejarah perkotaan yang juga membimbing konstruksi baru pada daerah tersebut. (UN Habitat, 1998) Hal ini didukung oleh UU no. 11 tahun 2010 tentang cagar budaya yang mengatakan bahwa cagar budaya merupakan warisan budaya bersifat kebendaan, yang berupa benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya, situs cagar budaya, dan kawasan cagar budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan. Serta bangunan-bangunan bersejarah yang berada di wilayah DKI Jakarta dinilai sebagai benda cagar budaya, menurut Keputusan Gubernur DKI Jakarta no.475 tahun 1993. Peraturan Daerah Propinsi DKI Jakarta no.1 tahun 2012 tentang RTRW wilayah 2030 menyatakan, kawasan Kota Tua Jakarta termasuk ke dalam kawasan strategis kepentingan sosial budaya, yang memiliki nilai historis tinggi dan merupakan cerminan kisah sejarah, tata cara hidup, budaya dan peradaban masyarakat Jakarta di masa lampau, sehingga keberadaannya perlu dilestarikan secara berkesinambungan. Oleh sebab itu, historical identity dari kawasan Kota Tua harus dipertahankan. Citra kawasan yang kurang menguntungkan, kondisi infrastruktur yang kurang mendukung, serta kurangnya kepedulian pihak-pihak, terutama pemerintah terhadap kawasan bersejarah tersebut menjadi beberapa permasalahan yang mempengaruhi perkembangan kawasan. Sehingga bangunan-bangunan yang ada pada Kawasan Kota Tua, menjadi terbengkalai kosong tanpa fungsi dengan kondisi

2 bangunan yang semakin menua dan rusak karena dimakan usia yang terlampau lama. Bahkan kalangan swasta yang masih memiliki gedung-gedung tua di kawasan Kota Tua ini, sengaja membiarkan bangunan gedung menjadi hancur, untuk dapat membangun gedung yang baru. (Candrian, 2013) Namun, pada tahun 2011 Gubernur mengeluarkan peraturan no.7 yang berisikan tentang pembentukan organisasi dan tata kerja unit pengelolaan kawasan Kota Tua (UPK) yang bertanggung jawab untuk menjaga dan mengelola kawasan tersebut. Selain organisasi yang dibuat oleh pihak pemerintah, terdapat juga Jakarta Old Town Revitalization Corp (JOTRC) yang merupakan konsorsium swasta yang bertujuan mengembangkan cara-cara inovatif untuk menghubungkan sektor swasta dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. JOTRC ingin merevitalisasi kawasan Kota Tua Jakarta sebagai tempat bekerja, tinggal, dan bermain, sebagai bentuk pelestarian cagar budaya, sebagai tujuan dalam investasi jangka panjang, sebagai area turisme bagi sektor pariwisata, serta sebagai promosi keberagaman budaya. Dalam perencanaan masterplan revitalisasi telah disesuaikan dengan Rencana Induk Kawasan Kota Tua yang dikeluarkan pemerintah provinsi DKI Jakarta pada Perda no.36 tahun 2014. Revitalisasi juga memiliki sasaran terhadap pengaktifan kegiatan-kegiatan berbasis seni dan budaya hingga industri kreatif. (JOTRC, 2014) Pembangunan kawasan Kota Tua diarahkan dengan visi untuk mewujudkan kawasan Kota Tua yang tinggi sebagai kawasan wisata, bisnis, jasa, dan perdagangan dengan tetap mempertahankan karakter dan nilai nilai kesejarahan kawasan Kota Tua tersebut, dinyatakan dalam Peraturan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 36 Tahun 2014 Pasal 4. Kawasan Kota Tua juga terdaftar dalam List Tentative UNESCO World Heritage Site, yang artinya dalam pengembangan kawasan dapat memiliki pemikiran kreatif serta memiliki kesaksian tradisi budaya dan kepentingan sejarahnya (JOTRC). Program perencanaan revitalisasi dilakukan secara bertahap, yang pertama akan dilakukan terhadap kawasan area dalam tembok kota (zona inti) yaitu pada Kawasan Fatahillah, Kali Besar, Roa Malaka, Galangan/Tembok Museum Bahari pasar ikan dan Sunda Kelapa. Aktifitas atau upaya yang akan dilakukan dalam merevitalisasi kawasan Kota Tua mencakup preservasi, konservasi, aktivasi, renovasi dan restorasi hingga adaptive reuse. Upaya ini mengacu perbaikan pada

3 aspek fisik, aspek ekonomi serta aspek sosial, yang dilengkapi dengan pengenalan budaya yang terkandung di dalamnya. Salah satu upaya adaptasi atau adaptive reuse merupakan cara yang tepat untuk digunakan dalam penghidupan kembali suatu bangunan tua bersejarah. Pengertian adaptive reuse adalah penggunaan kembali bangunan tua dengan mengubah fungsi awal dari bangunan tersebut dengan menyesuaikan pada keadaan masa sekarang. Adaptive reuse diterapkan, karena tidak memungkinkannya merusak bangunan bersejarah pada kawasan Kota Tua, namun dapat memenuhi kebutuhan peruntukan kawasan pada saat ini dengan pemanfaatan bangunan yang ada. Pada masa abad ke-17 sampai dengan awal abad ke-20, kawasan Kotatua merupakan kawasan daerah pusat politik dan kekuasaan yang didukung oleh pusat kawasan komersil serta perdagangan. Namun pada saat ini, kawasan kota tua ingin menghadirkan keberagaman fasilitas yang baru, mulai dari fasilitas entertainment dan rekreasi skala nasional juga internasional, pusat kegiatan pemerintah, perkantoran dan komersil dalam kawasan Kota Tua yang berkarakter, serta menjadikan kawasan Kota Tua dengan keberagaman aktifitas edukasi, seni, budaya, warisan kota, dan komunitas kreatif pembelajaran melalui ruang publik guna meningkatkan nilai wisata namun tetap mengintegrasi perancanaan fungsi pada kawasan tersebut. (UPK/JOTRC, 2014). Pemberian fungsi pada bangunan bersejarah disesuaikan pula dengan kondisi bangunan, karena usia bangunan yang sudah tua merupakan salah satu aspek yang perlu diperhatikan. Hal ini, memungkinkan bangunan yang tidak kokoh baik secara struktur maupun material elemen pembentuk ruang yang digunakan pada bangunan tersebut. Oleh sebab itu, kerusakan-kerusakan dari bangunan harus diidentifikasi. Gambar 1. Lokasi Gedung PT. Kerta Niaga Sumber : Olahan Penulis Lokasi Bangunan PT. Kerta Niaga Di Jalan Kali Besar Timur No.9 JOTRC telah melakukan pemetaan terhadap 85 fisik bangunan tua yang akan di revitalisasi menurut kondisi yang tidak layak, rusak serta tidak berfungsi, baik

4 secara bentuk maupun elemen bangunannya. Salah satu bangunan yang termasuk dalam kategori tersebut adalah Gedung PT. Kerta Niaga yang berlokasi di Jalan Kali Besar Timur kawasan Kota Tua seperti pada gambar 1. Dahulu Kawasan Kali Besar merupakan kawasan Central Business District (Kawasan Kali Besar CBD), hingga sekarang gedung PT. Kerta Niaga juga berada di daerah yang mayoritas gedung nya berfungsi sebagai kantor. Kondisi gedung yang telah rusak dan tua terlihat pada gambar 2, namun bentuk fasad tidak banyak perubahan dan masih terlihat kokoh strukturnya dari awal tahun gedung ini didirikan. Selain itu, gedung PT. Kerta Niaga termasuk di dalam daftar bangunan cagar budaya yang perlu dilestarikan, menurut Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta no 475 tahun 1993. Berdasarkan nilainya, terdapat nilai historical yang terkandung pada Gedung PT. Kerta Niaga. Salah satunya adalah gedung terletak di kawasan kali besar yang dahulunya dikenal sebagai jalur utama perdagangan serta didesain oleh Biro Arsitek Cuypers en Hulswit yang juga bergaya langgam art deco. Hingga saat ini, biro dan langgam tersebut merupakan hal yang bersejarah bagi perkembangan arsitektur di Indonesia. Gambar 2. Tampak Fasad PT. Kerta Niaga Saat Ini Sumber : Dokumentasi Penulis Gambar 3. Penentuan Zona Kawasan Sumber : Dokumen JOTRC Terlihat gambar 3 menunjukan bahwa gedung PT. Kerta Niaga terletak pada kawasan perencanaan zona A (inti) revitalisasi Kota Tua. Gedung ini direncanakan pada kawasan art and culture, sehingga fungsi yang diciptakan merupakan pemikiran kreatif yang dapat menyesuaikan perencanaan tersebut dengan tetap mempertahankan keaslian budaya ataupun sejarah gedung PT. Kerta Niaga.

5 1.2 Ruang Lingkup Dengan banyaknya kriteria dalam mendesain gedung PT. Kerta Niaga di kawasan Kota tua, maka ruang lingkup dari penelitian ini adalah : - Melakukan adaptive reuse dengan memasukkan fungsi baru pada gedung PT. Kerta Niaga yang sesuai dengan peruntukan kawasan art and culture yang disesuaikan dengan pengembangan zona ekonomi khusus pada kawasan Kota Tua Jakarta. - Menciptakan gaya interior pada gedung PT. Kerta Niaga menurut fungsi dan gaya yang digunakan yang sesuai. 1.3 Rumusan Masalah Sesuai dengan latar belakang dan ruang lingkup yang diungkapkan, maka rumusan masalah secara garis besarnya adalah : - Bagaimana melakukan adaptive reuse terhadap gedung PT. Kerta Niaga di kawasan Kota Tua Jakarta? - Bagaimana menciptakan gaya interior yang sesuai dengan kondisi dan fungsi baru gedung PT. Kerta Niaga? 1.4 Maksud dan Tujuan Maksud dan tujuan dari kegiatan penelitian ini adalah melakukan adaptive reuse gedung PT. Kertaniaga di kawasan Kota Tua Jakarta dengan menghadirkan fungsi yang sesuai dengan peruntukan kawasan art and culture menurut program revitalisasi yang dijalankan oleh JOTRC saat ini. Serta menggunakan konsep desain interior yang tepat tanpa menghilangkan identitas dan nilai kesejarahan bangunan tersebut. 1.5 Tinjauan Pustaka Tinjauan pustaka dilakukan untuk mendapatkan contoh penelitian yang telah dilakukan sebelumnya untuk menjadi perbandingan dan dasar dari penelitian yang dilakukan serta dapat melengkapi atau memperbaruhui penelitian sebelumnya. - Berikut ini adalah hasil tinjauan pustaka yang telah dirangkum dari lima jurnal yang terkait dengan topik dan judul : 1. Peter Bullen and Peter Love (2011/Vol.9) dengan judul Facotrs Influencing The Adaptive Reuse Of Building, dimana kesimpulannya adalah : Adaptive adalah

6 penggunaan kembali bangunan yang memungkinkan yang sesuai dengan kondisi saat ini. Proses tersebut menuai manfaat dari energi dan kualitas bangunan aslinya secara berkelanjutan (Sustanaible). Yang biasanya inisiaf ini cenderung fokus pada proyek-proyek konstruksi baru daripada konstruksi bangunan yang sudah ada. Salah satu alasannya adalah kecenderungan menganggap bangunan tua sebagai produk dengan masa manfaat yang terbatas yang harusnya dibuang dan dihancurkan. Namun sebagian besar bangunan ada yang dapat digunakan selama 100 tahun. Dengan demikian, kebutuhan untuk mengembangkan strategi adaptive reuse dan berkelanjutan membangun bangunan yang sudah ada. Tujuan dari makalah ini adalah untuk memberikan komprehensif tentang faktor-faktor yang mempengaruhi strategi adaptive reuse. Desain / metodologi / pendekatan yang digunakan dengan mulai mengetahui strategi yang tepat untuk memenuhi perubahan kebutuhan menurut tuntutan pengembang bangunan, pemilik bangunan yang sudah ada tersebut. Faktor utama untuk fokus pada isu-isu adaptif siklus hidup masa sekarang, perubahan persepsi bangunan, dan insentif pemerintah. Penelitian ini menyimpulkan bahwa penelitian empiris diperlukan untuk menguji peran adaptive reuse dalam konteks terhadap sustanaible strategi yang efektif yang mendorong perumusan kebijakan publik untuk mengatasi masalah yang terkait dengan jumlah bangunan yang ada. Penggunaan kembali bangunan yang sudah ada secara signifikan dapat mengurangi biaya seumur hidup bangunan tersebut, limbah dan dapat melakukan peningkatan fungsi bangunan. 2. Robert Shipley, Steve Utz & Michael Parsons (2012/Vol.12) dengan judul Does Adaptive Reuse Pay? A Study of the Business of Building Renovation in Ontario, Canada, dimana kesimpulannya adalah bangunan tua adalah sumber penting estetika, budaya dan ekonomi namun dalam banyak yurisdiksi, ratusan bangunan bersejarah telah dihancurkan karena pengembang dan bankir berpendapat bahwa biaya adaptasi bangunan tua untuk penggunaan baru terlalu tinggi. Namun seiring berkembangnya waktu, sejumlah pengembang terkemuka dapat menyelesaikan proyek-proyek menarik dengan menampilkan inovatif renovasi bangunan. Tetapi ketika proyek-proyek pembangunan tertentu disajikan untuk pengambil keputusan, umumnya hanya analisis biaya pengembang / pemberi pinjaman disajikan dan, Oleh karena itu, mereka tidak dapat membuat penilaian yang benar-benar informatif. Penelitian ini menguji bisnis pengembangan warisan,

7 yang terdiri dari renovasi gedung atau adaptive reuse. Beberapa proyek reuse lebih mahal daripada bangunan baru namun tidak semua hal tersebut terjadi dan laba atas investasi untuk pembangunan warisan hampir selalu lebih tinggi. 3. Atsushi Deguchi (2013/Vol.6) dengan judul Adaptive Reuse Design of Historic Context Two Cases: Yame City and Daimyo Area of Fukuoka City, Japan, dimana kesimpulannya adalah : Penggunaan kembali desain adaptif dari dua konteks sejarah yang berbeda karakteristik, yaitu kota Yame dan Daimyo di Area Fukuoka, Jepang, yang akan menekankan pada aspek fisik dan sosial. Pengukuran perubahan fisik dilakukan pada struktur dan materialnya, karena hal tersebut dapat menyebabkan perubahan pada interior bangunan. Metode yang digunakan Pengamatan visual dan wawancara. Kasus pada kota Yame, pelestarian bangunannya lebih cenderung menjaga kerangka struktural asli, yang berubah mungkin hanya pada elemen bukaan (jendela dan pintu). Kota daimyo suasananya kuat dengan jejak bangunan tua/ bangunan rohani, oleh karena itu tidak banyak yang berubah pada kota tersebut. Fenomena ini dapat dipahami dengan menganalisis aspek sosial. Sementara itu Pelestarian Kota Yame secara ketat dilakukan oleh pemerintah. Kota Daimyo dibangun catatan identitas yang kuat secara informal, dengan menggunakan lingkungan terikat. 4. Handri Saputra (2013/Vol.1) dengan judul Kajian Konservasi Adaptive Reuse sebagai alternatif aplikasi konsep konservasi, dimana kesimpulannya adalah : Segala sesuatu yang sudah tidak terpakai baik itu sebuah tempat, kawasan atau punbangunan yang sudah berumur tua dan kondisinya rusak serta tidak terawat akanmenimbulkan sebuah pemandangan yang mengganggu pada siapa saja yang melihat. Kondisi ini bisa terjadi karena tempat atau bangunan tersebut sudah tidak memiliki fungsi dan manfaat. Ketidak perdulian dan sikap acuh biasanya menjadi factor besar yang membuat sebuah tempat ataupun bangunan terbengkalai. Banyak sekali potensi yang terdapat pada sebuah tempat atau bangunan tua yang terbengkalai dan tidak terawat itu. Salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah seperti memfungsikan kembali tempat ataupun bangunan yang sudah tidak dipergunakan lagi menjadi sebuah tempat, bangunan ataupun sesuatu dengan fungsi baru yang dapat mendatangkan banyak manfaat, dan keuntungan baik dari sudut ekonomi, budaya dan social. Langkah ini biasa dikenal dengan Adaptive Reuse. Adaptive Reuse atau penggunaan kembali pada biasanya sering disandingkan dengan sebuah konsep konservasi. Arti konservasi

8 itu sendiri adalah pelestarian atau perlindungan. Dengan kata lain jika kedua konsep ini disandingkan akan menciptakan sebuah perubahan fungsi yang optimal dengan tetap melindungi ataupun memelihara keaslihan dari sesuatu yang ingin difungsikan baik dari fasad (fisik) maupun nilai sejarah dari tempat atau bangunan tersebut. 5. Bhanu Rizfa Hakim (2014/Vol.2) dengan judul Sustainability Pada Bangunan Kolonial Bersejarah Museum Negeri Mulawarman Tenggarong, Kalimantan Timur, dimana kesimpulannya adalah : Sejalan dengan meningkatnya pembangunan maka meningkat pula luas lahan terbangun. Salah satu solusi untuk meminimalkan luas lahan terbangun adalah dengan memanfaatkan bangunan yang telah ada (reuse). Adaptive reuse kerap diberlakukan pada bangunan bersejarah yang dilestarikan. Bangunan ini telah melalui rentan waktu lebih dari 50 tahun sehingga telah terbukti tahan terhadap berbagai hal, salah satunya adalah terhadap iklim. Dengan pendekatan sustainable building dan grounded research penelitian ini melihat langsung ke lokasi bangunan eks-kedaton Kutai Kartanegara di kota Tenggarong Kalimantan Timur yang kini telah beralih fungsi menjadi Museum Negeri Mulawarman. Bangunan ini termasuk ke dalam bangunan konservasi yang didirikan pada masa penjajahan Kolonial dengan mengadopsi gaya arsitektur Eropa yang disesuaikan dengan iklim tropis. Penelitian ini akan menguji keberlangsungan bangunan eks Kedaton setelah dialih fungsikan menjadi museum. Selain itu dengan pendekatan greenship penelitian ini juga akan mengkaji kondisi tapaknya. - Kesimpulan dari kelima jurnal di atas adalah : Segala sesuatu yang sudah tidak terpakai baik itu sebuah tempat, kawasan atau pun bangunan yang sudah berumur tua dan kondisinya rusak serta tidak terawat terjadi karena tempat atau bangunan tersebut sudah tidak memiliki fungsi dan manfaat. Salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah seperti memfungsikan kembali tempat ataupun bangunan yang sudah tidak dipergunakan lagi dengan adaptive reuse. Adaptive reuse merupakan alternatif aplikasi dari konsep konservasi. Yang arti dari konservasi adalah sebuah pelestarian atau perlindungan. Sedangkan untuk pengertian dari adaptive reuse adalah penggunaan kembali bangunan yang memungkinkan sesuai dengan kondisi saat ini. Bangunan tua sebenarnya merupakan sumber penting estetika, budaya dan ekonomi namun dalam banyak yurisdiksi, ratusan bangunan bersejarah telah

9 dihancurkan karena pengembang dan bankir berpendapat bahwa biaya adaptasi bangunan tua untuk penggunaan baru terlalu tinggi. Dan seiring berkembangnya waktu, sejumlah pengembang terkemuka dapat menyelesaikan proyek-proyek menarik dengan menampilkan inovatif renovasi bangunan. Beberapa proyek reuse lebih mahal daripada bangunan baru namun tidak semua hal tersebut terjadi dan laba atas investasi untuk pembangunan warisan hampir selalu lebih tinggi. Adaptive reuse juga merupakan salah satu statregi untuk pengembangan sustanaible building. Walaupun, biasanya inisiatif ini cenderung fokus pada proyek-proyek konstruksi baru daripada konstruksi bangunan yang sudah ada. Padahal penggunaan kembali bangunan yang sudah ada secara signifikan dapat mengurangi biaya seumur hidup bangunan tersebut, limbah dan dapat melakukan peningkatan fungsi bangunan. Adaptive reuse juga merupakan salah satu solusi untuk meminimalkan luas lahan terbangun. Penggunaan kembali desain adaptif akan menekankan pada aspek fisik dan sosial. Pengukuran perubahan fisik dilakukan pada struktur dan materialnya, karena hal tersebut dapat menyebabkan perubahan pada interior bangunan. Pelestarian bangunan yang lebih cenderung menjaga kerangka struktural asli, yang berubah mungkin hanya pada elemen bukaan (jendela dan pintu). Fenomena ini dapat dipahami dengan menganalisis aspek sosial.

10