BAB I PENDAHULUAN. lingkungan pendidikan. Kegiatan pendidikan berfungsi membantu

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan memiliki peran dan berpengaruh positif terhadap segala bidang

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Suryosubroto, 2009:2).

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. dan menuntut masyarakat memperlengkapi diri untuk mampu bersaing, dalam hal

BAB I PENDAHULUAN. yang paling tepat untuk meningkatkan dan mengembangkan kualitas sumber

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini sangat mempengaruhi berbagai aspek kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan yang penting dalam mempersiapkan

I. PENDAHULUAN. Fisika merupakan salah satu pelajaran IPA yang menarik untuk dipelajari karena

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Salah satu upaya untuk

BAB I PENDAHULUAN. harapan sangat bergantung pada kualitas pendidikan yang ditempuh. imbas teknologi berbasis sains (Abdullah, 2012 : 3).

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. nilai-nilai yang dibutuhkan oleh siswa dalam menempuh kehidupan (Sani, RA.

BAB I PENDAHULUAN. ditakuti dan tidak disukai siswa. Kecenderungan ini biasanya berawal dari

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan salah satu langkah untuk merubah sikap, tingkah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Berdasarkan data hasil belajar di SMP Al-Azhar 3 Bandar Lampung kelas

BAB I PENDAHULUAN. bidang sains berada pada posisi ke-35 dari 49 negera peserta. dalam bidang sains berada pada urutan ke-53 dari 57 negara peserta.

BAB I PENDAHULUAN. keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

BAB I PENDAHULUAN. Upaya peningkatan mutu pendidikan dalam ruang lingkup pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. memiliki peran yang sangat penting dalam rangka meningkatkan serta

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan Nasional bab I pasal (1), disebutkan bahwa :

BAB I PENDAHULUAN. IPA itu suatu cara atau metode mengamati Alam (Nash, 1963) maksudnya, membentuk suatu perspektif baru tentang objek yang diamati.

BAB I PENDAHULUAN. ilmu pengetahuan dan teknologi. Tetapi ironisnya sampai sekarang pelajaran

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan proses dimana seseorang memperoleh

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan potensi dirinya. Pendidikan dapat dikatakan sebagai suatu proses

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sistem pendidikan nasional

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Intan Setiawati, 2013

Keterlibatan siswa baik secara fisik maupun mental merupakan bentuk

BAB I PENDAHULUAN. tentang fenomena-fenomena alam. Fenomena-fenomena alam dikemas berupa

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran IPA khususnya fisika mencakup tiga aspek, yakni sikap,

BAB I PENDAHULUAN. peserta didik, sehingga yang bersangkutan mampu menghadapi dan memecahkan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan kualitas sumber daya manusia. Pasal 31 ayat 2 Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang lebih baik. Berdasarkan Undang Undang RI No. 20 Tahun 2003 Tentang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran Berbasis Masalah Berbantuan Autograph Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis Siswa SMP

II._TINJAUAN PUSTAKA. Inkuiri berasal dari kata bahasa Inggris Inquiry yang dapat diartikan

BAB I PENDAHULUAN. sudah dapat kita rasakan. Menurut pandangan ini, bukanlah satu-satunya sumber belajar bagi siswa sehingga pembelajaran

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dewasa ini diarahkan untuk peningkatan kualitas belajar,

I. PENDAHULUAN. Pada hakikatnya, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dibangun atas dasar produk

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan paparan mengenai pendidikan tersebut maka guru. mengembangkan seluruh potensi yang ada dalam dirinya.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Informasi dari berbagai media massa, baik media cetak atau elektronika sering dikemukakan bahwa mutu

BAB I PENDAHULUAN. fenomena alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan

I. PENDAHULUAN. Sejarah suatu bangsa dapat dilihat dari perkembangan pendidikan yang diperoleh

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dedi Abdurozak, 2013

BAB I PENDAHULUAN. berorientasi pada kecakapan hidup (life skill oriented), kecakapan berpikir,

BAB I PENDAHULUAN. usaha sistematis yang terorganisasi untuk memajukan belajar, membina

BAB 1 PENDAHULUAN. pengendalian diri, kepribadian kecerdasan akhlak mulia, serta keterampilan yang. diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. yang telah di persiapkan sebelumnya untuk mencapai tujuan. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. sendiri maupun lingkungannya. Menurut Undang undang No. 20 Tahun 2003

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. sumber daya alam yang melimpah. Sumber daya manusia yang bermutu. lagi dalam rangka meningkatkan mutu sumber daya manusia bangsa

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan dan perkembangan aspek kehidupan perlu direspon dengan

BAB I PENDAHULUAN Bab I tentang Sistem Pendidikan Nasional: pendidikan adalah usaha sadar

BAB I PENDAHULUAN. Dalam pembelajaran di sekolah, peserta didik perlu memiliki kemampuan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan pada saat ini telah menjadi kebutuhan yang sangat penting dalam

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

yang sesuai standar, serta target pembelajaran dan deadline terpenuhi.

I. PENDAHULUAN. diri setiap individu siswa. Mudah masuknya segala informasi, membuat siswa

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan suatu wahana untuk mengembangkan semua

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) telah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. adalah warisan intelektual manusia yang telah sampai kepada kita (Ataha,

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan ilmu pengetahuan yang. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan ilmu mengenai cara mencari tahu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. panas. Pada zaman modern sekarang ini, ilmu fisika sangat mendukung

BAB II HASIL BELAJAR MATEMATIKA PADA POKOK BAHASAN MENGHITUNG LUAS PERSEGI DAN PERSEGI PANJANG DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN KONSTRUKTIVISME

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. sebagai pelajaran yang sulit dan tidak disukai, diketahui dari rata-rata nilai

I. PENDAHULUAN. penting dalam pembelajaran. Behrman, Kliegman, dan Arvin (2000: 130)

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan keterampilan, pengetahuan, sikap, dan nilai.

BAB I PENDAHULUAN. belajar untuk mengamati, menentukan subkompetensi, menggunakan alat dan

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan sains dan teknologi adalah suatu keniscayaan. Fisika adalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan mempunyai peran yang sangat strategis dalam meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Belajar merupakan proses yang kompleks yang terjadi pada setiap orang

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual,

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Yossy Intan Vhalind, 2014

MENINGKATKAN KETERAMPILAN PROSES SAINS SISWA KELAS VIII B SMP NEGERI 10 BANJARMASIN MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN INKUIRI TERBIMBING

2015 PENGARUH PEMBELAJARAN DISCOVERY LEARNING TERHADAP PENGUASAAN KONSEP SISWA PADA POKOK BAHASAN ENZIM

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan, keterampilan, pengembangan sikap, nilai-nilai pembentukan dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori Pembelajaran IPA IPA merupakan ilmu yang mempelajari tentang alam yang sesuai dengan kenyataan dan

PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN BERBASIS PENDIDIKAN KARAKTER OLEH MAHASISWA CALON GURU FISIKA

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kegiatan pendidikan terdiri dari interaksi antara peserta didik dengan pendidik dan sumber-sumber pendidikan lain, dan berlangsung dalam suatu lingkungan pendidikan. Kegiatan pendidikan berfungsi membantu mengembangkan potensi, kecakapan, dan karakterisik peserta didik agar berkembang sesuai dengan harapan masyarakat. Setiap kegiatan pendidikan memiliki tujuan pendidikan tertentu. Tujuan pendidikan merupakan sasaran-sasaran yang harus dicapai atau dikuasai oleh peserta didik untuk kehidupannya sebagai pribadi, warga masyarakat, belajar lebih lanjut dan melaksanakan tugas-tugas pekerjaan. Tujuan pendidikan tersebut akan dapat dicapai dengan pelaksanaan pendidikan yang bermutu. Pendidikan yang bermutu akan dapat menghasilkan sumber daya manusia yang kompetitif dan kreatif. Namun, dalam kenyataannya ditemukan bahwa sumber daya manusia di negara kita kurang kompetitif akibat mutu pendidikan yang relative masih rendah. Rendahnya kualitas pendidikan di Indonsia dapat dilihat dari rendahnya pencapaian kognitif siswa pada setiap tingkatan pendidikan. Sebagian besar siswa memiliki kelemahan dalam menguasai konsep-konsep dan aplikasi dari setiap bidang mata pelajaran. Kelemahan siswa dalam menguasai konsep dan aplikasi tersebut dapat kita tinjau dari salah satu mata pelajaran yang terdapat pada pendidikan menengah yaitu fisika.

2 Fisika merupakan bagian dari sains yang mempelajari fenomena dan gejala alam secara empiris, logis, sistematis dan rasional yang melibatkan proses dan sikap ilmiah. Ketika belajar fisika, siswa akan dikenalkan tentang produk fisika berupa materi, konsep, asas, teori, prinsip dan hukum-hukum fisika. Siswa juga akan diajarkan untuk bereksperimen di dalam laboratorium atau di luar laboratorium sebagai proses ilmiah untuk memahami berbagai materi pokok dalam pelajaran fisika. Konsep fisika sangat berhubungan erat dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis. Pembelajaran konsep fisika membutuhkan sistematika dan struktur berjenjang dari konsep yang sederhana menuju konsep yang lebih kompleks melalui proses interaktif, inspiratif, menyenangkan, serta memberikan ruang yang cukup bagi kreativitas. Pembelajaran konsep yang lebih tinggi memerlukan dasar pemahaman pada konsep sebelumnya. Lawson (1995) menyatakan bahwa proses pendidikan sains harus membantu siswa dalam mencapai tujuan : (1) membangun sejumlah konsep dan sistem konseptual bermakna; (2) mengembangkan keterampilan berpikir bebas, kreatif dan kritis; (3) kemampuan menerapkan pengetahuannya untuk belajar, memecahkan masalah dan membuat keputusan. Berbagai hasil penelitian terhadap kemampuan sains siswa Indonesia menunjukkan bahwa tujuan pendidikan sains belum tercapai. Hasil studi TIMSS (Trend in International Mathematics and Science) tahun 2003, bidang sains Indonesia menempati peringkat 37 dari 46 negara dengan skor 420, dan pada tahun 2007 menempati peringkat 35 dari 49 negara dengan skor 427. Perolehan skor Indonesia jauh di bawah standar internasional yaitu 474 untuk tahun 2003

3 dan 500 untuk tahun 2007 (Survey internasional TIMSS, Balitbang Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2012). Penemuan TIMSS tahun 2009 yang menyatakan bahwa siswa Indonesia hanya mampu menjawab konsep dasar atau hapalan tetapi tidak mampu menyelesaikan soal yang memerlukan analisis (Efendi, 2010). Hasil penelitian Samudra (2014) juga menyatakan bahwa siswa mengalami kesulitan dalam memahami pelajaran fisika akibat pembelajaran fisika yang tidak kontekstual. Hasil wawancara kepada guru fisika di Madrasah Aliyah Mulia Sei Balai Kabupaten Batu Bara, mendapatkan pembelajaran yang dilakukan oleh guru kurang mengacu pada standar proses dan karakteristik sains. Pada kegiatan inti pembelajaran yang dilakukan guru yaitu menjelaskan materi pembelajaran dan kegiatan siswa antara lain mengamati, bertanya kepada guru tentang materi yang telah disampaikan. Guru melakukan pembelajaran tidak memperhatikan pengetahuan awal siswa tentang konsep yang akan diberikan sebagai dasar pembelajaran. Akibatnya, siswa mengalami kesulitan dalam memahami konsepkonsep baru yang berhubungan dengan materi pelajaran sebelumnya. Kondisi ini menyebabkan siswa tidak mampu memproses informasi secara benar dan mencapai kemampuan berpikir tingkat tinggi sehingga hasil belajar siswa masih ada yang tidak mencapai kriteria ketuntasan minimal (KKM). Kegiatan eksperimen jarang sekali dilakukan yaitu hanya sekali dalam sebulan sehingga kemampuan proses sains siwa juga relatif rendah. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan alat-alat yang digunakan dalam kegiatan praktikum. Media pendukung pembelajaran misalnya infocus sudah tersedia di sekolah namun belum dimanfaatkan secara maksimal.

4 Masalah lain yang juga menjadi penyebab rendahnya hasil belajar siswa adalah pengggunaan model pembelajaran yang kurang sesuai dengan karakteristik mata pelajaran Fisika. Dalam mengajarkan fisika, guru cenderung menggunakan model pembelajaran yang berpusat pada guru misalnya metode ceramah, pemberian tugas, dan pekerjaan rumah (PR), penggunaan media juga hanya terbatas berupa penggunaan gambar, sehingga siswa tidak berperan aktif dalam proses pembelajaran. Hal ini sangat bertentangan dengan fisika yang membutuhkan peran aktif siswa untuk memahami konsep-konsep fisika. Untuk membantu siswa memahami konsep dan mengonstuksi pengetahuan dibutuhkan berbagai keterampilan intelektual diantaranya keterampilan berpikir kritis. Menurut Nurhadi (2004: 75) berpikir kritis merupakan kemampuan untuk menganalisis, mengkritik, dan mencapai kesimpulan berdasarkan pada inferensi atau pertimbangan yang sama. Kemampuan berpikir kritis antar siswa berbeda, karena berpikir kritis merupakan proses mental yang dapat tumbuh pada setiap individu secara berbeda sehingga diperlukan suatu iklim atau aktivitas untuk menunjangnya. Siswa yang memiliki keterampilan berpikir kritis tinggi cenderung lebih mudah memahami konsep dan mengonstruksi pengetahuannya. Menurut pandangan teori konstruktivis, pikiran individu merupakan sistem pemrosesan dan penyimpanan informasi yang dapat dibandingkan dengan struktur konseptual suatu disiplin akademik. Keberhasilan pembelajaran terletak pada kebermaknaan antara struktur konsep yang dikelola dengan konstruksi informasi baru yang muncul. Untuk kesinambungan struktur konsep akademik

5 dan struktur individu dalam mengelola informasi, diperlukan pengembangan strategi pengantar pembelajaran yang disebut advance organizer. Advance organizer merupakan model pembelajaran yang dikembangkan berdarsarkan teori Ausubel. Model Advance organizer dirancang untuk memperkuat struktur kognitif siswa-pengetahuan mereka tentang pelajaran tertentu dan bagaiman mengelola, memperjelas, dan memelihara pengetahuan tersebut dengan baik (Ausubel, 1963). Nilai-nilai instruksional dari model ini tampak jelas, gagasan-gagasan yang digunakan sebagai advance organizer itu sendiri juga dipelajari, sebagaimana informasi lain yang disajikan pada siswa. Kemampuan untuk belajar dari bacaan, ceramah dan media lain yang digunakan untuk presentasi merupakan pengaruh lain, yang pada akhirnya membentuk minat penelitian siswa dan kebiasaan berpikir secara cermat (Joyce, 2011). Hasil penelitian Rachel (2013) melaporkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan dalam pencapaian dan ingatan pada konsep gravitasi siswa yang diajar dengan advance organizer. Penelitian Wachanga (2013) menemukan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan dari penggunaan advance organizer dalam pembelajaran kimia. Temuan Ivie (1998) menyimpulkan bahwa advance organizer mendorong siswa untuk berpikir tingkat tinggi pada level analisis, sintesis dan evaluasi. Hasil yang sama ditemukan oleh Shihusa dan Keraro (2009) melaporkan bahwa kelas yang diberikan pembelajaran biologi melalui advance organizer memiliki level motivasi lebih tinggi daripada pembelajaran tradisional tanpa advance organizer. Hasil penelitian Tasiwan (2013) menunjukkan bahwa dengan menerapkan model pembelajaran advance organizer berbasis proyek siswa mengalami peningkatan kemampuan analisis-sintesis dalam aspek

6 menguraikan, mengkategorikan, mengidentifikasi, merumuskan pernyataan, mengkonstruksi, menentukan konsep, dan menganalisis konsep dengan rata-rata peningkatan delta skor sebesar 54,46 %. Selain penggunaan model pembelajaran yang tepat, pemilihan media pembelajaran juga diperhatikan. Media pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat digunakan dalam kegiatan pembelajaran untuk menyampaikan informasi kepada siswa tentang materi yang diajarkan sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan kemauan sisw untuk belajar. Penggunaan media pembelajaran secara kreatif akan memperbesar kemungkinan bagi siswa untuk belajar lebih banyak, mengaplikasikan apa yang dipelajarinya, dan meningkatkan penampilan dalam melakukan keterampilan sesuai dengan apa yang menjadi tujuan pembelajaran. Media pembelajaran dapat diklasifikasikan kedalam beberapa bentuk, salah satunya adalah bentuk media visual gerak. Salah satu contoh media pembelajaran visual gerak adalah Physics Education Technology (PhET). Media PhET menekankan hubungan antara fenomena kehidupan nyata dengan ilmu yang mendasari, mendukung pendekatan interaktif dan konstruktivis, memberikan umpan balik, dan menyediakan tempat kerja kreatif (Finkelstein, 2006). Media interaktif PhET Colorado merupakan media simulasi interaktif yang menyenangkan dan berbasis penemuan (research based) yang berupa software dan dapat digunakan untuk memperjelas konsepkonsep fisis atau fenomena yang akan diterangkan yang merupakan ciptaan dari komunitas sains PhET Project di University of Colorado, USA (PhET.colorado.edu ). Kelebihan dari media PhET yakni dapat dijadikan suatu pendekatan pembelajaran yang membutuhkan keterlibatan dan interaksi dengan

7 siswa, mendidik siswa agar memiliki pola berpikir konstruktivisme, dimana siswa dapat menggabungkan pengetahuan awal mereka dengan temuan-temuan virtual dari simulasi yang dijalankan, membuat pembelajaran lebih menarik karena siswa dapat belajar sekaligus bermain pada simulasi tersebut, dan memvisualisasikan konsep-konsep IPA dalam bentuk model. Efek penggunaan media PhET dalam pembelajaran fisika dapat dilihat berdasarkan temuan Prihatiningtyas (2013) yang menunjukkan bahwa implementasi simulasi PhET dan KIT sederhana untuk mengajarkan keterampilan psikomotor siswa pada pokok bahasan alat optik dapat menuntaskan hasil belajar psikomotor siswa. Hal yang sama juga ditunjukkan oleh hasil penelitian Sari (2013) bahwa pembelajaran IPA dengan LKS sebagai penunjang media virtual PhET untuk melatih keterampilan proses pada matei hukum Archimedes dapat tercapai hasil belajar kognititf produk dan keterampilan proses serta siswa merespons positif. Kombinasi antara advance organizer dengan media PhET diharapkan dapat menjadikan proses pembelajaran lebih efektif, karena selain dapat memperkuat struktur kognitif siswa berupa struktur-struktur konseptual juga dapat meningkatkan keterampilan proses dan kebiasaan berpikir secara cermat. Berdasarkan uraian di atas perlu dilakukan penelitian yang relevan namun belum pernah dilakukan oleh peneliti terdahulu yaitu merupakan kombinasi antara model advance organizer dengan media PhET. Penelitian yang dimaksud berjudul: Efek Model Pembelajaran Advance Organizer Menggunakan Media PhET dan Kemampuan Berpikir Kritis Terhadap Hasil Belajar Siswa.

8 1.2. Identifikasi Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka dapat diidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut : 1. Hasil belajar fisika siswa secara umum masih rendah atau tidak mencapai KKM. 2. Siswa hanya mampu menjawab konsep dasar atau hapalan tetapi tidak mampu menyelesaikan soal yang memerlukan analisis atau menggunakan kemampuan berpikir kritis. 3. Model pembelajaran yang diterapkan dalam kegiatan pembelajaran masih dominan model pembelajaran yang berpusat pada guru. 4. Siswa tidak terlibat secara aktif dalam kegiatan pembelajaran. 5. Kegiatan eksperimen jarang dilakukan sehingga siswa kurang memiliki keterampilan proses sains. 6. Media pembelajaran tidak dimanfaatkan dalam kegiatan pembelajaran di kelas. 7. Motivasi siswa yang sangat kurang dalam proses belajar mengajar. 1.3. Batasan Masalah Melihat luasnya cakupan masalah-masalah yang teridentifikasi dibandingkan waktu dan kemampuan peneliti, peneliti merasa perlu memberi batasan terhadap masalah yang akan dikaji agar analisis hasil penelitian ini dapat dilakukan lebih dalam dan terarah, maka masalah yang dipilih dalam penelitian ini adalah : 1. Hasil belajar fisika siswa rendah.

9 2. Siswa tidak menggunakan kemampuan berpikir kritis dalam menyelesaikan persoalan fisika. 3. Model pembelajaran yang diterapkan dalam kegiatan pembelajaran masih dominan model pembelajaran yang berpusat pada guru. 4. Media pembelajaran tidak dimanfaatkan dalam kegiatan pembelajaran di kelas. 1.4. Rumusan Masalah Berdasarkan batasan masalah di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : 1. Apakah terdapat perbedaan hasil belajar siswa yang diajar dengan model pembelajaran advance organizer menggunakan media PhET dan pembelajaran konvensional? 2. Apakah terdapat perbedaan hasil belajar siswa yang memiliki kemampuan berpikir kritis tinggi dengan kemampuan berpikir kritis rendah? 3. Apakah terdapat interaksi antara model pembelajaran dengan kemampuan berpikir kritis dalam mempengaruhi hasil belajar siswa? 1.5. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang dikemukakan di atas, tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk menganalisis perbedaan hasil belajar siswa dengan menggunakan model pembelajaran advance organizer menggunakan media PhET dan pembelajaran konvensional.

10 2. Untuk menganalisis perbedaan hasil belajar siswa yang memiliki kemampuan berpikir kritis tinggi dengan kemampuan berpikir kritis rendah. 3. Untuk menganalisis interaksi antara model pembelajaran dengan kemampuan berpikir kritis dalam mempengaruhi hasil belajar siswa. 1.6. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari pelaksanaan penelitian ini adalah : 1. Bagi guru, dapat menjadi salah satu acuan pembelajaran yang digunakan guru dalam kegiatan belajar mengajar, sehingga guru mempunyai penambahan variasi maupun model-model pembelajaran termasuk guru yang dapat membangun kreativitas mengajarnya. 2. Memotivasi pendidik untuk menerapkan model pembelajaran yang aktif, kreatif dan inovatif sehingga peserta didik menjadi bersemangat dan tidak cepat jenuh dalam mengikuti proses pembelajaran yang dilaksanakan. 3. Bagi kelembagaan, penelitian pengembangan inovasi pembelajaran di sekolah diharapkan dapat menjadi referensi bagi guru dan dosen dalam mengatasi masalah-masalah pada proses belajar mengajar khususnya bidang pembelajaran fisika. 1.7. Defenisi Operasional a. Model Pembelajaran Advance Organizer Model advance organizer dalam penelitian ini merupakan model pembelajaran yang dikembangkan berdasarkan teori Ausubel. Model ini dirancang untuk memperkuat struktur kognitif siswa-pengetahuan mereka tentang pelajaran tertentu dan bagaiman mengelola, memperjelas, dan

11 memelihara pengetahuan tersebut dengan baik (Ausubel, 1963).. Kemampuan untuk belajar dari bacaan, ceramah dan media lain yang digunakan untuk presentasi merupakan pengaruh lain, yang pada akhirnya membentuk minat penelitian siswa dan kebiasaan berpikir secara cermat (Joyce, 2011). b. Media PhET Media interaktif PhET Colorado merupakan media interaktif yang menyenangkan dan berbasis penemuan (research based) yang berupa software dan dapat digunakan untuk memperjelas konsep-konsep fisis atau fenomena yang akan diterangkan yang merupakan ciptaan dari komunitas sains PhET Project di University of Colorado, USA (PhET.colorado.edu ). Media PhET dalam penelitian ini diinjeksikan kedalam fase pertama model advance organizer yaitu menyajikan organizer. c. Kemampuan Berpikir Kritis kemapuan berpikir kritis dalam penelitian ini adalah kemampuan berpikir kritis yang diukur melalui lima indiator kemampuan berpikir kritis yang dikembangkan oleh Angelo. Berpikir kritis menurut Angelo adalah mengaplikasikan rasional, kegiatan berpikir yang tinggi, yang meliputi kegiatan menganalisis, mensistesis, mengenal permasalahan dan pemecahannya, menyimpulkan dan mengevaluasi. Indikator kemampuan berpikir kritis diungkapkan melalui aspek-aspek perilaku yang disebutkan dalam definisi berpikir kritis, yaitu kemampuan menganalisis, mensintesis, mengenal permasalahan dan pemecahannya, menyimpulkan, dan mengevaluasi (Haryani, 2012:3).

12 d. Hasil Belajar Siswa Hasil belajar siswa dalam penelitian ini adalah tingkat pencapaian siswa terhadap tujuan pembelajaran yang dirumuskan. Pencapaian siswa yang diukur adalah domain kognitif berupa pemahaman konsep yang diperoleh melalui tes hasil belajar. Dimyati dan Mudjiono (2006 : 250), memandang hasil belajar sebagai suatu puncak proses belajar, dengan berakhirnya suatu proses belajar, maka siswa memperoleh suatu hasil belajar. Ahmadi (2004 : 130) menyatakan bahwa, jika seseorang belajar sesuatu, sebagai hasilnya ia akan mengalami perubahan tingkah laku secara menyeluruh dalam sikap kebiasaan, keterampilan, dan pengetahuan. e. Pembelajaran Konvensional Model pembelajaran konvensional dalam penelitian ini merupakan model pembelajaran yang biasa diterapkan guru dalam melaksanakan proses pembelajaran. Menurut Ridwan (2008) model pembelajaran konvensional merupakan model pembelajaran yang biasa diterapkan guru dalam melaksanakan proses pembelajaran. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia (1991: 523) konvensional artinya berdasarkan kebiasaan atau tradisional. Jadi, pembelajaran konvensional adalah pembelajaran yang biasa dilakukan oleh guru. Pada umumnya pembelajaran konvensional adalah pembelajaran yang lebih terpusat pada guru sehingga membuat siswa pasif dalam kegiatan belajar dan pembelajaran.