DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA TANGERANG

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II LANDASAN TEORI

BAB II. adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang

BAB II LANDASAN TEORI. tentang pajak yang dikemukakan oleh para ahli di bidang perpajakan menurut Prof. Dr.

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II KAJIAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pajak ialah iuran kepada kas negara berdasarkan undang-undang yang dapat

BAB II LANDASAN TEORI. Apabila membahas pengertian pajak, banyak definisi atau batasan pajak yang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG

BAB II LANDASAN TEORI. yang berbeda tentang definisi dari pajak itu sendiri. Soemitro dalam bukunya Dasardasar

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI. pajak berdasarkan Undang-Undang No.28 Tahun 2007 tentang. Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yaitu sebagai berikut:

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG

RESUME SANKSI PERPAJAKAN SANKSI BUNGA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri. Dari sektor pajak diharapkan partisipasi aktif masyarakat dalam

BAB II LANDASAN TEORI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN Ditetapkan tanggal 17 Juli 2007 KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

II. PASAL DEMI PASAL. Pasal I. Angka 1 Pasal 1. Cukup jelas. Angka 2 Pasal 2

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB II LANDASAN TEORI. definisi pajak menurut versinya masing-masing. Walaupun banyak pendapat mengenai

Mengenal Lebih Dekat Pajak Pertambahan Nilai

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN

BAB II LANDASAN TEORI. pajak, diantaranya pengertian pajak yang dikemukakan oleh Prof. Dr. P. J. A. Adriani

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2000 TENTANG

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN (UU KUP)

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR SE - 62/PJ/2013 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 72/PMK.03/2010 TENTANG TATA CARA PENGEMBALIAN KELEBIHAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAU PAJAK

BAB II TELAAH PUSTAKA. jawab atas kewajiban pembayaran pajak berada pada masyarakat sendiri untuk

KOMPILASI RANCANGAN UNDANG-UNDANG KETENTUAN UMUM PERPAJAKAN (KUP)

Objek PPN Yang Harus Dibuatkan Faktur Pajak. a. penyerahan BKP di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Menurut Prof. Dr. P.J.A. Adriani, Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara

ANALISIS PENERAPAN RESTITUSI PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN) PT. PP (PERSERO) TBK

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 187/PMK.03/2015 TENTANG

BAB IV GAMBARAN SENGKETA FAKTUR PAJAK CACAT DAMPAKNYA BAGI PENGUSAHA KENA PAJAK DAN KERUAGIAN NEGARA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara berkembang yang sedang giat melaksanakan

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10/PMK.03/2013 TENTANG

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. tentang Perubahan Ketiga atas Undang-undang Nomor 6 tahun 1983 Tentang

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Undang Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

BAB II ASPEK-ASPEK HUKUM TENTANG PEMALSUAN FAKTUR PAJAK

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

Faktur pajak (tax invoice) merupakan sarana administrasi

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN HAK DAN PEMENUHAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN HAK DAN PEMENUHAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN

Faktur Pajak. Objek PPN Yang Harus Dibuatkan Faktur Pajak. Saat Faktur Pajak Harus Dibuat. Faktur Pajak Gabungan

BAB 3 GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN DAN KETENTUAN MENGENAI SANKSI PERPAJAKAN DI INDONESIA

PENUNJUKAN BENDAHARA SEBAGAI PEMOTONG/PEMUNGUT PAJAK PAJAK NEGARA BAB I

BAB I PENDAHULUAN. sebagai primadona dalam membiayai pembangunan nasional. Pembangunan nasional

PERPAJAKAN LANJUTAN. by Ely Suhayati SE MSi Ak

GAMBARAN SENGKETA FAKTUR PAJAK CACAT DAMPAKNYA BAGI PENGUSAHA KENA PAJAK DAN KERUAGIAN NEGARA

iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang undang yang dapat dipaksakan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN HAK DAN PEMENUHAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN

BAB IV PEMBAHASAN. Analisis Perhitungan Pajak Pertambahan Nilai. IV.1.1 Analisis Perolehan Barang Kena Pajak (Pajak Masukan)

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2011 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN HAK DAN PEMENUHAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN

BAB I PENDAHULUAN. agar dapat bersaing dengan negara-negara lain. Dalam hal ini peran masyarakat Indonesia,

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2000 TENTANG

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II TEORI PERPAJAKAN, PAJAK PERTAMBAHAN NILAI, PENGADILAN PAJAK DAN BANDING PAJAK

BAB IV PEMBAHASAN. Analisis Mekanisme Pajak Pertambahan Nilai. Pengusaha Kena Pajak, maka PT. PP (Persero) Tbk mempunyai hak dan

PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK

BAB II TELAAH PUSTAKA. pengertian yang sama. Beberapa pengertian pajak yang dikemukakan oleh

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PAJAK INDONESIA TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN BAB I KETENTUAN UMUM.

BAB VI KETENTUAN UMUM TATA CARA PERPAJAKAN

pemungutan pajak dimana wajib pajak menghitung sendiri pajak terutangnya serta secara mandiri menyetorkan ke bank atau kantor pos dan melaporkannya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK SURAT EDARAN NOMOR SE-62/PJ/2013 TENTANG

Dasar-dasar Studi Kasus Perpajakan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata CaraPerpajakan

BAB II LANDASAN TEORI. pengertian pajak sehingga mudah dipahami. Perbedaannya hanya terletak pada sudut

BAB II LANDASAN TEORI

Perpajakan 2 PPN & PPnBM

BAB I PENDAHULUAN. yang diperjualbelikan, telah dikenai biaya pajak selain dari pada harga pokoknya

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II LANDASAN TEORI

Pengantar Perpajakan bagi Account Representative Dasar

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, MEMUTUSKAN :

Wajib Pajak mengubah data SPT saat Pemeriksaan atau Penyidikan Pajak?

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. Menurut Andriani (1991) dalam Waluyo (2011), pajak adalah iuran kepada negara

BAB II LANDASAN TEORI. Definisi pajak menurut undang-undang dan pakar pajak sebagai berikut :

BAB IV PEMBAHASAN. IV. 1 Analisis Mekanisme Pajak Penghasilan Pasal 22 di PT. KAS

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemilihan Judul Kementrian Keuangan (2014)

Buku Panduan Perpajakan Bendahara Pemerintah BAB VI PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN)

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II BAHAN RUJUKAN

BAB IV PEMBAHASAN. dan sesudah perubahan Undang-undang No.42 Tahun 2009, penulis melakukan

2012, No.4 2 telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2002 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000 tentang Pel

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

Transkripsi:

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA TANGERANG SKRIPSI ANALISIS KECURANGAN RESTITUSI PPN SERTA UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGANANNYA Diajukan oleh: ARISNA HENDRAWAN NPM: 04460004173 AJUN AKUNTAN Sekolah Tinggi Akuntansi Negara Tahun 2002 Untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat-syarat Guna Mencapai Gelar Sains Terapan Akuntansi Pada Sekolah Tinggi Akuntansi Negara Tahun 2006

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA TANGERANG TANDA PERSETUJUAN SKRIPSI NAMA : ARISNA HENDRAWAN NPM : 04460004173 BIDANG SKRIPSI : PERPAJAKAN JUDUL SKRIPSI : ANALISIS KECURANGAN RESTITUSI PPN SERTA UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGANANNYA Mengetahui Direktur Sekolah Tinggi Akuntansi Negara Menyetujui Dosen Pembimbing, Suyono Salamun, Ph. D NIP 060052727 Dr. F. Zebua, MM. ii

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA TANGERANG PERNYATAAN LULUS UJIAN KOMPREHENSIF NAMA : ARISNA HENDRAWAN NPM : 04460004173 BIDANG SKRIPSI : PERPAJAKAN JUDUL SKRIPSI : ANALISIS KECURANGAN RESTITUSI PPN SERTA UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGANANNYA Jakarta, 1.. (Ketua Penguji) 2.. (Anggota Penguji/Pembimbing) 3.. (Anggota Penguji) iii

KATA PENGANTAR Alhamdulillah, segala puji syukur ke hadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat-nya, sehingga skripsi dengan judul ANALISIS KECURANGAN RESTITUSI PPN SERTA UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGANANNYA dapat diselesaikan guna memenuhi sebagian dari syarat-syarat lulus program Diploma IV pada Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, Tangerang. Dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik dari semua pihak sangat diharapkan untuk penyempurnaan skripsi ini. Penulis juga menyampaikan rasa terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada semua pihak yang telah meluangkan waktu dan perhatiannya untuk membantu penulis dalam penulisan skripsi ini. Penulis mengucapkan terima kasih khususnya kepada: 1. Ayahanda dan Ibunda tercinta. Almarhum dan Almarhumah yang telah membesarkan, mengasuh, dan membimbing penulis dengan penuh tanggung jawab dan rasa kasih sayang. 2. Bapak Suyono Salamun, Ph.D. selaku Direktur Sekolah Tinggi Akuntansi Negara. 3. Bapak Dr. F Zebua, MM selaku dosen pembimbing materi skripsi yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing penulis secara langsung. 4. Bapak Bambang Yuli Istanto, SE. selaku dosen pembimbing teknis yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini. iv

5. Seluruh dosen dan widyaiswara yang telah mendidik, membimbing, dan memberikan bekal ilmu pengetahuan kepada penulis selama masa pendidikan di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara. 6. Ibut dan Yoyok, adik-adikku yang selalu memberi semangat dan perhatian, serta seluruh rekan-rekan semuanya yang tidak mungkin disebutkan satu per satu yang telah membantu baik secara moral maupun material dalam menyelesaikan skripsi ini. Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Dan hanya kepada Allah SWT kita berharap. Tangerang, Mei 2006 Penulis Arisna Hendrawan v

DAFTAR ISI LEMBAR PERSETUJUAN SKRIPSI... LEMBAR PERNYATAAN LULUS UJIAN KOMPREHENSIF... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... ii iii iv vi BAB I. BAB II. PENDAHULUAN... A. Latar Belakang Masalah... B. Ruang Lingkup Penelitian... C. Tujuan dan Manfaat Penelitian... D. Metodologi Penelitian... E. Sistematika Penulisan... LANDASAN TEORI... A. Pengertian dan Sejarah Pajak Pertambahan Nilai... B. Asas-asas Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai... C. Konsep Dasar Pajak Pertambahan Nilai... 1. Karakteristik Pajak Pertambahan Nilai... 2. Kelebihan dan Kekurangan Pajak Pertambahan Nilai... 3. Dasar Pengenaan Pajak... 4. Mekanisme Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai... 5. Faktur Pajak...... 6. Pengembalian Lebih Bayar Pajak Pertambahan Nilai... 7. Sanksi Administrasi dan Pidana... 1 1 3 3 5 5 8 8 10 11 11 15 16 17 18 20 21 vi

BAB III. MEKANISME PENGKREDITAN DAN KECURANGAN BAB IV. BAB V. RESTITUSI PAJAK PERTAMBAHAN NILAI... A. Konsep dan Jenis Faktur Pajak... B. Mekanisme Pengkreditan Pajak Pertambahan Nilai... C. Mekanisme Kompensasi dan Restitusi Pajak Pertambahan Nilai... D. Kasus-kasus Kecurangan Restitusi Pajak Pertambahan Nilai... PEMBAHASAN... A. Tinjauan Penerapan Atas Asas Pemungutan Pajak... 1. Asas Equality... 2. Asas Certainty... 3. Asas Convenience... 4. Asas Efficiency... B. Analisis dan Pembahasan... 1. Sebab-sebab Munculnya Kecurangan Restitusi Pajak Pertambahan Nilai...... 2. Akibat Kecurangan Restitusi Pajak Pertambahan Nilai... 3. Pencegahan dan Penanganannya... SIMPULAN DAN SARAN... A. Simpulan... B. Saran... 25 25 27 30 33 45 45 46 49 53 56 59 59 70 78 88 88 90 DAFTAR PUSTAKA. DAFTAR RIWAYAT HIDUP. vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Salah satu permasalahan utama dalam pelaksanaan pembangunan adalah tersedianya dana. Dalam sistem kenegaraan yang modern, pajak merupakan tulang punggung pembiayaan pelaksanaan pembangunan. Pajak juga sangat berperan dalam menggerakkan roda-roda perekonomian secara makro, yaitu sebagai stimulus fiskal yang terkait dengan iklim investasi, tingkat pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan kestabilan perekonomian. Sebagai wujud dari kemandirian bangsa, sudah seharusnya masyarakat sebagai Wajib Pajak memenuhi kewajiban perpajakannya, sebagai kewajiban kenegaraan, dalam pembiayaan negara untuk pembangunan nasional. Mekanisme pemenuhan kewajiban perpajakan di Indonesia telah diatur melalui undang-undang perpajakan. Melalui reformasi perpajakan sejak tahun 1983 dan disusul dengan perubahan-perubahan lainnya dalam undang-undang perpajakan, sistem perpajakan Indonesia telah berubah dari sistem official assessment menjadi sistem self assessment. Dalam sistem self assessment ini Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk menghitung, memperhitungkan, dan membayar sendiri jumlah pajak yang terutang, serta melaporkan kewajiban perpajakannya. Penerapan sistem ini bukan berarti Wajib Pajak diberi kebebasan penuh untuk memenuhi kewajiban perpajakan sesuai kehendaknya sebab dalam undang-undang perpajakan juga telah diatur mekanisme pengawasan bagi 1

2 Wajib Pajak yang tidak memenuhi kewajiban perpajakannya secara benar. Pemberian kesempatan kepada Wajib Pajak melaksanakan kewajiban perpajakan melalui sistem self assessment ini diharapkan akan semakin meningkatkan kesadaran dan kepatuhan Wajib Pajak sehingga penerimaan negara diharapkan semakin meningkat. Disamping meningkatkan penerimaan negara untuk pembiayaan pembangunan, setiap tahun pasti terdapat kasus dimana Wajib Pajak memohon pengembalian atas pajak yang lebih bayar atau sering disebut restitusi, terutama di bidang Pajak Pertambahan Nilai. Wajib Pajak mempunyai hak atas restitusi karena adanya kelebihan pembayaran pajak yang telah disetor ke kas negara dan diharapkan dengan hasil dari restitusi tersebut akan dapat membantu arus kas usahanya. Bagi Wajib Pajak yang telah memenuhi syarat yang sah untuk pengembalian kelebihan pajak sudah seharusnya segera dikabulkan permohonan restitusinya karena disamping pertimbangan ekonomi Wajib Pajak, hal ini merupakan kewajiban bagi negara untuk memenuhinya. Permasalahan yang timbul adalah adanya upaya kecurangan atas restitusi-restitusi Pajak Pertambahan Nilai tersebut. Kasus-kasus kecurangan restitusi ini tentu saja sangat merugikan negara karena seharusnya pajak yang direstitusikan dapat digunakan sebagai biaya pembangunan. Hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan untuk Tahun Anggaran 1999/2000 menunjukkan adanya kecurangan dalam kasus restitusi Pajak Pertambahan Nilai sebesar

3 Rp 642,11 Milyar. 1 Kerugian negara tersebut baru berdasarkan sampel saja karena tidak semua Kantor Pelayanan Pajak dan semua restitusi Pajak Pertambahan Nilai yang telah dikeluarkan oleh fiskus diperiksa. Dapat dibayangkan kerugian negara akibat adanya kecurangan restitusi Pajak Pertambahan Nilai yang sangat besar, dan belum termasuk jenis pajak yang lainnya. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, skripsi ini berusaha untuk menganalisis kecurangan dalam restitusi Pajak Pertambahan Nilai dan mencoba untuk memberikan saran-saran alternatif pencegahan dan upaya penanganannya. B. Ruang Lingkup Penelitian Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah mengenai kecurangan restitusi Pajak Pertambahan Nilai khususnya penyimpangan penggunaan Faktur Pajak dalam upaya memohon restitusi Pajak Pertambahan Nilai. Bagaimana peraturan perpajakan memandang permasalahan ini akan diuraikan oleh penulis tetapi sebelumnya akan diuraikan mengenai mekanisme pengkreditan Pajak Pertambahan Nilai dan mekanisme kompensasi serta restitusi Pajak Pertambahan Nilai. C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Secara ringkas, tujuan dan manfaat yang ingin dicapai oleh penulis melalui penulisan skripsi ini, adalah: 1 Badan Pemeriksa Keuangan, Hasil Pemeriksaan Atas Pemberian Restitusi Pajak (Jakarta: Badan Pemeriksa Keuangan, 2003), hal. 3.

4 1. Tujuan penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah : a. Untuk mengetahui penyebab terjadinya kecurangan dalam restitusi Pajak Pertambahan Nilai khususnya yang dilakukan dengan cara penyimpangan penggunaan Faktur Pajak dalam upaya memohon restitusi Pajak Pertambahan Nilai b. Untuk mengetahui akibat-akibat yang ditimbulkan dari kecurangan dalam restitusi Pajak Pertambahan Nilai khususnya yang dilakukan dengan cara penyimpangan penggunaan Faktur Pajak. c. Mencari alternatif cara untuk menanggulangi kecurangan dalam restitusi Pajak Pertambahan Nilai khususnya penyimpangan penggunaan Faktur Pajak dalam upaya memohon restitusi Pajak Pertambahan Nilai. d. Untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan mahasiswa Program Diploma IV Sekolah Tinggi Akuntansi Negara. 2. Manfaat penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah : a. Penelitian yang dilakukan diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara langsung maupun tidak langsung kepada pihak-pihak yang berkepentingan mengenai adanya kecurangan dalam restitusi Pajak Pertambahan Nilai khususnya penyimpangan penggunaan Faktur Pajak.

5 b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan dalam bidang perpajakan khususnya Pajak Pertambahan Nilai. c. Sebagai sarana pelatihan bagi penulis untuk menulis suatu karya ilmiah yang baik dan benar. D. Metodologi Penelitian Penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian ilmiah tinjauan kepustakaan yang bersifat deskriptif berdasarkan data sekunder dengan mencoba memberikan gambaran mengenai permasalahan yang dibahas. Disamping itu juga digunakan pendekatan normatif dimana penulis akan mencoba memberikan saran-saran yang diharapkan dapat membantu pemecahan permasalahan yang ada. E. Sistematika Penelititan Dalam rangka pembahasan dan pemberian gambaran yang lebih sistematis, skripsi ini dibagi dalam lima bab yang masing-masing terdiri dari beberapa subbab yang akan diuraikan sebagai berikut: BAB I. PENDAHULUAN Bab ini menguraikan latar belakang penelitian, ruang lingkup penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian yang digunakan untuk memperoleh bahan penulisan skripsi ini, serta sistematika pembahasan yang menggambarkan secara garis besar/pokok-pokok permasalahan yang ditulis secara menyeluruh.

6 BAB II. LANDASAN TEORI Untuk mendukung dan memperkuat pembahasan yang akan dilakukan, bab ini akan menguraikan dasar-dasar teori yang akan digunakan sebagai pembahasan permasalahan yang meliputi pengertian dan sejarah Pajak Pertambahan Nilai, asas-asas pemungutan Pajak Pertambahan Nilai, dan konsep dasar Pajak Pertambahan Nilai. BAB III. MEKANISME PENGKREDITAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN KECURANGAN RESTITUSI PPN Pada bab ini akan diuraikan secara garis besar kebijakan dan perlakuan perpajakan terhadap mekanisme pengkreditan Pajak Pertambahan Nilai serta mekanisme kompensasi dan restitusi Pajak Pertambahan Nilai. Bab ini juga akan mencoba memberikan kasus-kasus kecurangan restitusi Pajak Pertambahan Nilai, tetapi sebelum menguraikan hal-hal tersebut akan diberikan gambaran tentang konsep mengenai Faktur Pajak dan jenis-jenis Faktur Pajak. BAB IV. PEMBAHASAN Bab ini berisi tinjauan dari segi asas pemungutan pajak serta analisis dan pembahasan mengenai sebab-sebab timbulnya kecurangan restitusi Pajak Pertambahan NilaI, akibat, serta alternatif pencegahan dan penanganannya. BAB V. SIMPULAN DAN SARAN Bab ini berisi kesimpulan berdasarkan hasil pembahasan permasalahan yang

7 telah dilakukan pada bab-bab sebelumnya dan beberapa saran-saran perbaikan yang diharapkan dapat bermanfaat.

BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian dan Sejarah Pajak Pertambahan Nilai 1. Pengertian Pajak Pertambahan Nilai Terdapat beberapa pengertian Pajak Pertambahan Nilai, antara lain disebutkan bahwa Pajak Pertambahan Nilai merupakan pajak yang dikenakan terhadap pertambahan nilai (value added) yang timbul akibat dipakainya faktor-faktor produksi di setiap jalur perusahaan dalam menyiapkan, menghasilkan, menyalurkan dan memperdagangkan barang atau pemberian pelayanan jasa kepada para konsumen. 2 Sementara itu, Columbia Encyclopedia menyebutkan bahwa Pajak Pertambahan Nilai adalah a tax levy imposed on business at all levels of the manufacture and production of a good or service and based on the increase in price, or value, provided by each level. 3 2. Sejarah Pajak Pertambahan Nilai Pajak Pertambahan Nilai di Indonesia merupakan pengganti dari produk sebelumnya yang berlaku yaitu Pajak Penjualan yang pemungutannya berdasarkan 2 Muhammad Rusjdi, PPN dan PPnBM (Jakarta: PT Indeks, 2004), hal. 01-1. 3 Columbia Encyclopedia, edisi keenam 2005 (Columbia University Press, 2005) diunduh dari http://www.encyclopedia.com/html/v1/valueadd.asp per tanggal 16 Januari 2006. 8

9 Undang-undang Darurat Nomor 19 tahun 1951 dan ditetapkan menjadi undang-undang oleh Undang-undang Nomor 35 tahun 1953. 4 Sejak tanggal 1 April 1985 pemungutan Pajak Pertambahan Nilai berdasarkan Undang-undang Nomor 8 tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undangundang Nomor 18 tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (selanjutnya tetap disebut Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984). Latar belakang penggantian Pajak Penjualan dengan Pajak Pertambahan Nilai adalah: a. Dalam pelaksanaan Undang-undang Pajak Penjualan 1951 telah terjadi banyak perubahan fundamental baik yang bersifat sebagai penyempurnaan maupun tambahan. Sebagai akibatnya, hal ini menimbulkan kesulitan dalam pelaksanaannya. b. Mekanisme pemungutan Pajak Penjualan berdasarkan Undang-undang Pajak Penjualan 1951 dalam pelaksanaannya menimbulkan dampak pengenaan pajak berganda. Keadaan ini mendorong Wajib Pajak untuk berusaha menghindar dari pengenaan pajak bahkan kalau perlu menyelundupkan pajak. c. Undang-undang Pajak Penjualan 1951 mengandung dualisme sistem pemungutan pajak, yaitu untuk pengusaha tertentu diterapkan self assessment system sedangkan untuk kelompok pengusaha lainnya digunakan official assessment system. Keadaan ini sangat menyulitkan pengawasan pelaksanaannya. 4 Untung Sukardji, Pajak Pertambahan Nilai, edisi revisi 2005, cetakan ke-7 (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), hal. 15.

10 d. Dampak dari pengenaan pajak berganda membuat Pajak Penjualan menjadi tidak netral baik terhadap perdagangan dalam negeri maupun perdagangan internasional karena tidak dapat dihitung dengan pasti baik jumlah beban pajak yang dipikul oleh konsumen maupun beban pajak yang terkandung dalam harga komoditi yang akan diekspor. e. Variasi tarif yang cukup banyak menimbulkan kesulitan dalam pelaksanaannya sehingga cukup besar pengaruhnya terhadap tingkat kepatuhan Wajib Pajak. 5 B. Asas-asas Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Menurut Adam Smith dalam bukunya An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations, asas pemungutan pajak dinamakannya The Four Maxims. 6 Asas pemungutan pajak tersebut juga harus dipenuhi dalam pemungutan Pajak Pertambahan Nilai, yaitu: 1. Asas Equality Asas ini mengemukakan bahwa pembagian tekanan pajak di antara masing-masing subjek pajak hendaknya dilakukan seimbang dengan kemampuannya, yaitu seimbang dengan penghasilan yang dinikmatinya, di bawah perlindungan pemerintah. Dalam asas ini tidak diperbolehkan suatu negara mengadakan diskriminasi diantara sesama Wajib Pajak. Dalam keadaan yang sama, para Wajib Pajak harus dikenakan pajak 5 Ibid., hal. 15. 6 Erly Suandy, Hukum Pajak, edisi ke-2 (Revisi) (Jakarta: Penerbit Salemba Empat, 2002), hal. 27.

11 yang sama. 2. Asas Certainty Pajak yang harus dibayar oleh seseorang harus pasti (certain) dan tidak mengenal kompromi (not arbitrary). Dalam asas ini, kepastian hukum yang dipentingkan adalah mengenai subjek, objek, besarnya pajak, dan juga ketentuan mengenai waktu pembayarannya. 3. Asas Convenience Teknik pemungutan pajak yang dianjurkan ini menetapkan bahwa pajak hendaknya dipungut pada saat yang paling baik bagi para Wajib Pajak, yaitu saat sedekat-dekatnya dengan detik diterimanya penghasilan yang bersangkutan. 4. Asas Efficiency Asas ini menetapkan bahwa pemungutan pajak hendaknya dilakukan sehemathematnya dan jangan sekali-kali biaya pemungutan pajak melebihi pemasukan pajaknya. C. Konsep Dasar Pajak Pertambahan Nilai 1. Karakteristik Pajak Pertambahan Nilai Beberapa karakteristik yang dimiliki oleh Pajak Pertambahan Nilai antara lain: 7 a. Pajak Pertambahan Nilai merupakan Pajak Tidak Langsung. Sebagai Pajak Tidak Langsung, pengertian Pajak Pertambahan Nilai dapat dirumuskan berdasarkan dua sudut pandang sebagai berikut: 7 Untung Sukardji, op.cit., hal. 19.

12 1) Sudut pandang ekonomi, beban pajak dialihkan kepada pihak lain, yaitu pihak yang akan mengkonsumsi barang atau jasa yang menjadi objek pajak. 2) Sudut pandang yuridis, tanggung jawab pembayaran pajak kepada kas negara tidak berada di tangan pihak yang memikul beban pajak. Sudut pandang ini membawa konsekuensi filosofis bahwa dalam Pajak Tidak Langsung apabila pembeli atau penerima jasa telah membayar pajak yang terutang kepada penjual atau pengusaha kena pajak, pada hakikatnya sama dengan telah membayar pajak tersebut ke kas negara. b. Pajak Pertambahan Nilai merupakan Pajak Objektif Yang dimaksud Pajak Objektif adalah suatu jenis pajak yang saat timbulnya kewajiban pajak yang ditentukan oleh faktor objektif, yaitu adanya tatbestand. Tatbestand adalah keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum yang dapat dikenakan pajak (disebut juga objek pajak). Oleh karena itu, faktor subjektif subjek pajak tidak ikut menentukan besarnya Pajak Pertambahan Nilai. c. Pajak Pertambahan Nilai merupakan Multi Stage Tax Multi Stage Tax adalah karakteristik Pajak Pertambahan Nilai yang dikenakan pada setiap mata rantai jalur produksi maupun distribusi. Setiap penyerahan barang yang menjadi objek Pajak Pertambahan Nilai mulai dari tingkat pabrikan kemudian di tingkat pedagang besar dalam berbagai bentuk atau nama sampai dengan tingkat pedagang eceran dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.

13 d. Pajak Pertambahan Nilai Terutang untuk Dibayar ke Kas Negara Dihitung Menggunakan Indirect Subtraction Method/Credit Method/Invoice Method. Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib dibayar ke kas negara merupakan hasil perhitungan mengurangkan Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar ke kepada Pengusaha Kena Pajak lain (disebut Pajak Masukan) dengan Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut dari pembeli atau penerima jasa (disebut Pajak Keluaran). Metode ini dinamakan metode pengurangan tidak langsung (Indirect Subtraction Method). Pajak yang dikurangkan dengan pajak untuk memperoleh jumlah pajak yang akan dibayar ke kas negara dinamakan kredit pajak, oleh karena itu metode ini dinamakan juga metode pengkreditan (credit method). Untuk memastikan bahwa jumlah Pajak Masukan dan Pajak Keluaran yang tercatat benar, diperlukan dokumen penunjang sebagai alat bukti yaitu Faktur Pajak (tax invoice) sehingga metode ini disebut metode faktur (invoice method). Sebagai konsekuensi dari metode pengkreditan, untuk menghitung Pajak Pertambahan Nilai yang terutang maka pada setiap penyerahan barang atau jasa yang menjadi objek pajak (Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak), Pengusaha Kena Pajak yang bersangkutan diwajibkan untuk membuat Faktur Pajak sebagai bukti pemungutan pajak. Di pihak lain, bagi pembeli, penerima jasa, atau importir merupakan bukti pembayaran pajak. Berdasarkan Faktur Pajak inilah akan dihitung jumlah pajak yang terutang dalam satu masa pajak yang wajib dibayar ke kas negara.

14 e. Pajak Pertambahan Nilai merupakan Pajak atas Konsumsi Umum Dalam Negeri. Sebagai pajak atas konsumsi umum dalam negeri, Pajak Pertambahan Nilai hanya dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dilakukan di dalam negeri. Pajak atas konsumsi sebagai tujuan akhir Pajak Pertambahan Nilai mempunyai maksud mengenakan pajak atas pengeluaran untuk konsumsi (a tax consumption expenditure) baik yang dilakukan oleh perseorangan maupun oleh badan baik badan swasta maupun badan pemerintah. f. Pajak Pertambahan Nilai bersifat netral. Netralitas Pajak Pertambahan Nilai dibentuk oleh dua faktor, yaitu: 1) Pajak Pertambahan Nilai dikenakan baik atas konsumsi barang maupun jasa. 2) Pajak Pertambahan Nilai menganut prinsip tempat tujuan (destination principle) dalam pemungutannya. Pajak Pertambahan Nilai mengenal dua prinsip pemungutan, yaitu: 1) Prinsip tempat asal (origin principle). Prinsip tempat asal mengandung pengertian bahwa Pajak Pertambahan Nilai dipungut di tempat asal barang atau jasa yang akan dikonsumsi. 2) Prinsip tempat tujuan (destination principle). Berdasarkan prinsip tempat tujuan, Pajak Pertambahan Nilai dipungut di tempat barang atau jasa dikonsumsi. g. Pajak Pertambahan Nilai tidak menimbulkan dampak pengenaan pajak berganda. Kemungkinan pengenaan pajak berganda dapat dihindari sebanyak mungkin

15 karena Pajak Pertambahan Nilai dipungut atas nilai tambahnya saja. 2. Kelebihan dan Kekurangan Pajak Pertambahan Nilai Beberapa kelebihan dan kelemahan Pajak Pertambahan Nilai berdasarkan karateristiknya: 8 a. Kelebihan Pajak Pertambahan Nilai. 1) Mencegah terjadinya pengenaan pajak berganda. 2) Netral dalam perdagangan dalam dan luar negeri. 3) Pajak Pertambahan Nilai sangat membantu likuiditas perusahaan. 4) Ditinjau dari sumber pendapatan negara, Pajak Pertambahan Nilai tidak membebani konsumen selaku pemikul pajak sehingga memudahkan untuk memungutnya. b. Kelemahan Pajak Pertambahan Nilai. 1) Biaya administrasi relatif tinggi bila dibandingkan dengan Pajak Tidak Langsung lainnya, baik di pihak administrasi pajak maupun Wajib Pajak. 2) Karakteristik Pajak Pertambahan Nilai sebagai pajak objektif menimbulkan dampak regresif, yaitu: a) Semakin besar tingkat kemampuan konsumen maka semakin ringan beban pajaknya, dan sebaliknya; b) Semakin rendah tingkat kemampuan konsumen maka semakin berat beban pajaknya. 8 Ibid., hal. 29.

16 3) Pajak Pertambahan Nilai sangat rawan dari upaya penyelundupan pajak. 4) Pajak Pertambahan Nilai menuntut tingkat pengawasan yang lebih cermat oleh administrasi pajak terhadap tingkat kepatuhan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. 3. Dasar Pengenaan Pajak Dasar Pengenaan Pajak digunakan untuk menentukan besarnya Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dengan mengalikannya dengan tarif yang berlaku. Terdapat beberapa Dasar Pengenaan Pajak, yaitu: 9 a. Harga Jual Harga jual adalah nilai berupa uang termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk pajak yang dipungut menurut Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak. b. Penggantian Penggantian adalah nilai berupa uang termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pemberi jasa karena penyerahan Jasa Kena Pajak, tidak termasuk pajak yang dipungut menurut Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak. c. Nilai Impor Nilai Impor sebagai Dasar Pengenaan Pajak adalah nilai berupa uang, yang menjadi 9 Ibid., hal. 263.

17 dasar penghitungan bea masuk ditambah pungutan lainnya yang dikenakan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan Pabean untuk impor Barang Kena Pajak, tidak termasuk pajak yang dipungut menurut Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984. d. Nilai Ekspor Nilai Ekspor sebagai Dasar Pengenaan Pajak dirumuskan sebagai nilai berupa uang, termasuk biaya yang diminta atau yang seharusnya diminta oleh eksportir. e. Nilai Lain Nilai Lain adalah suatu nilai berupa uang yang digunakan sebagai Dasar Pengenaan Pajak bagi penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang memenuhi kriteria tertentu. 4. Mekanisme Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas Nilai Tambah (added value) dari Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang diserahkan oleh Pengusaha Kena Pajak. Sedangkan Nilai Tambah adalah suatu nilai yang merupakan hasil penjumlahan biaya produksi atau distribusi dan laba yang diharapkan oleh pengusaha. Secara sederhana, nilai tambah di bidang perdagangan dapat juga diartikan sebagai selisih antara harga jual dengan harga beli dagangan.

18 Dalam menghitung Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas Nilai Tambah tersebut, dikenal tiga metode yaitu: 10 a. Addition Method Berdasarkan metode ini, Pajak Pertambahan Nilai dihitung dari penjumlahan seluruh unsur Nilai Tambah dikalikan tarif Pajak Pertambahan Nilai yang berlaku. b. Substraction Method Berdasarkan metode ini, Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dihitung dari selisih antara harga penjualan dengan harga pembelian, dikalikan tarif Pajak Pertambahan Nilai yang berlaku. c. Credit method Pajak Pertambahan Nilai yang terutang merupakan hasil pengurangan antara Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut oleh pengusaha pada saat ia melakukan penjualan (Pajak Keluaran) dengan Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar pada saat ia melakukan pembelian (Pajak Masukan). Dari ketiga metode tersebut, Pajak Pertambahan Nilai Indonesia menganut Credit Method/Invoice Method/Indirect Substraction Method. 5. Faktur Pajak a. Pengertian Faktur Pajak Sesuai dengan Pasal 1 Nomor 23 Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984, definsi Faktur Pajak adalah: bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena 10 Ibid., hal.32

19 Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak, atau bukti pungutan pajak karena impor Barang Kena Pajak yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. b. Pajak Masukan dan Pajak Keluaran Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan atau penerimaan Jasa Kena Pajak dan atau pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean dan atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan atau impor Barang Kena Pajak. Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak atau ekspor Barang Kena Pajak. 11 c. Faktur Pajak Fiktif Faktur Pajak Fiktif adalah Faktur Pajak yang dibuat tanpa adanya penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak. 12 Nama/jenis barang/jasa yang menjadi objek transaksi, jumlah dan harga yang ada di dalam faktur serta jumlah Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut semuanya fiktif. 11 Muhammad Rusjdi, op.cit., hal. 09-1. 12 Almuden Situmorang, Faktur Pajak Fiktif Siapa yang Terlibat?, Berita Pajak, Nomor 1333, hal.45-48.

20 d. Faktur Pajak Sebagai Alat Pengawasan Pasal 13 ayat (1) Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 menjelaskan bahwa Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap penyerahan Barang Kena Pajak dan setiap penyerahan Jasa Kena Pajak. Faktur Pajak tersebut kemudian dilaporkan kepada Kantor Pelayanan Pajak tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan. Faktur Pajak menunjukkan pertanggungjawaban pajak dari penjual dan bukti utama bagi pembeli untuk mengurangkan Pajak Pertambahan Nilai yang harus dibayarnya. Dengan demikian, Direktorat Jenderal Pajak dapat mengawasi besarnya Pajak Keluaran dan Pajak Masukan Pengusaha Kena Pajak melalui sarana Faktur Pajak yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa. 6. Pengembalian Lebih Bayar Pajak Pertambahan Nilai Dalam hal terjadi kelebihan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran, Wajib Pajak mempunyai hak untuk mengkompensasi atau merestitusi kelebihan Pajak Masukan tersebut. Hak tersebut dapat dipergunakan dengan mengajukan permohonan tertulis kepada Direktorat Jenderal Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan. Kelebihan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-160/PJ.21/2001 adalah: a. Kelebihan Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4) Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984.

21 b. Dalam hal ekspor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah, disamping kelebihan Pajak Masukan sebagaiman dimaksud dalam huruf a, juga Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang telah dibayar atas perolehan Barang Mewah yang diekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984. 7. Sanksi Administrasi dan Pidana Berkaitan dengan Hak dan Kewajiban Wajib Pajak, Undang-undang Perubahan Kedua Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 mengatur ketentuan sanksi dan/atau denda administrasi dan sanksi pidana yang berkaitan dengan Pajak Pertambahan Nilai. a. Sanksi dan/atau Denda Administrasi 1) Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf a Undang-undang Perubahan Kedua Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah). 2) Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan mengenai Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah ternyata tidak seharusnya dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak seharusnya dikenakan tarif 0% (nol persen), jumlah pajak dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari Pajak

22 Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang tidak atau kurang dibayar. 3) Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sesudah berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan. Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, maka kepadanya dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak saat penyampaian Surat Pemberitahuan berakhir sampai dengan tanggal pembayaran karena pembetulan Surat Pemberitahuan itu. 4) Sekalipun telah dilakukan tindakan pemeriksaan, tetapi sepanjang belum dilakukan tindakan penyidikan mengenai adanya ketidakbenaran yang dilakukan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 Undang-undang Perubahan Kedua Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, terhadap ketidakbenaran perbuatan Wajib Pajak tersebut tidak akan dilakukan penyidikan, apabila Wajib Pajak dengan kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya tersebut dengan disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar 2 (dua) kali jumlah pajak yang kurang dibayar.

23 5) Pengusaha yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya tetapi tidak melaporkan kegiatan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak. 6) Pengusaha yang tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tetapi membuat Faktur Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak. 7) Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tidak membuat atau membuat Faktur Pajak tetapi tidak tepat waktu atau tidak mengisi selengkapnya Faktur Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak. b. Sanksi Pidana 1) Setiap orang yang karena kealpaannya: a. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau b. menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling tinggi 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar. 2) Setiap orang yang dengan sengaja: a. tidak mendaftarkan diri, atau menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak

24 Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak; atau b. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau c. menyampaikan Surat Pemberitahuan dan atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap; sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar. 3) Setiap orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak atau menyampaikan Surat Pemberitahuan dan atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap dalam rangka mengajukan permohonan restitusi atau melakukan kompensasi pajak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali jumlah restitusi yang dimohon dan atau kompensasi yang dilakukan oleh Wajib Pajak.

BAB III MEKANISME PENGKREDITAN DAN KECURANGAN RESTITUSI PAJAK PERTAMBAHAN NILAI A. Konsep dan Jenis Faktur Pajak Berdasarkan Pasal 11 Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 pada prinsipnya pajak terutang pada saat penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak. Ketentuan ini tidak mempersoalkan mengenai pembayaran, sehingga prinsip timbulnya utang pajak dalam Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 adalah prinsip akrual. Pada saat timbul utang pajak, maka pajak tersebut wajib dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang bersangkutan. Sarana untuk melakukan kewajiban memungut tersebut adalah Faktur Pajak. Faktur Pajak mempunyai beberapa fungsi, antara lain sebagai: 1. bukti pungutan pajak bagi Pengusaha Kena Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dan bagi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai; 2. bukti pembayaran pajak ditinjau dari pihak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak atau orang pribadi atau badan yang mengimpor Barang Kena Pajak; 3. sarana untuk mengkreditkan Pajak Masukan. 13 Pasal 13 Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 menyebutkan bahwa terdapat tiga jenis Faktur Pajak, yaitu: 13 Untung Sukardji, Pajak Pertambahan Nilai, edisi revisi 2005, cetakan ke-7 (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005 ), hal.220. 25

26 1. Faktur Pajak Standar Faktur Pajak Standar adalah Faktur Pajak yang bentuk dan isinya telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan (yaitu Pasal 13 ayat (5) Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984). Direktur Jenderal Pajak juga dapat menentukan dokumen-dokumen tertentu yang diperlakukan sebagai Faktur Pajak Standar dalam rangka lebih memberikan kemudahan dalam pelaksanaan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai. Dokumen-dokumen tersebut antara lain: a. Pemberitahuan Impor Barang (PIB) yang dilampiri Surat Setoran Pajak dan atau bukti pungutan pajak oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk impor Barang Kena Pajak; b. Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) yang telah difiat muat oleh pejabat yang berwenang dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan dilampiri dengan invoice yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan PEB tersebut; c. Surat Perintah Penyerahan Barang (SPPB) yang dibuat/dikeluarkan oleh BULOG/DOLOG untuk penyaluran tepung terigu; d. Paktur Nota Bon Penyerahan (PNBP) yang dibuat/dikeluarkan oleh PERTAMINA untuk penyerahan BBM dan atau bukan BBM; e. Tanda pembayaran atau kuitansi untuk penyerahan jasa telekomunikasi; f. Ticket, tagihan Surat Muatan Udara (Airway Bill), atau Deliverry Bill, yang dibuat/dikeluarkan untuk penyerahan jasa angkutan udara dalam negeri; g. Surat Setoran Pajak untuk pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean; h. Nota Penjualan Jasa yang dibuat/dikeluarkan untuk penyerahan jasa kepelabuhanan; i. Tanda pembayaran atau kuitansi listrik. 14 2. Faktur Pajak Gabungan Faktur Pajak Gabungan adalah Faktur Pajak Standar yang memuat lebih dari satu 14 Direktorat Jenderal Pajak, Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP- 312/PJ./2001 tentang Perubahan Atas KEP-522/PJ./2000 tentang Dokumen-dokumen Tertentu yang Diperlakukan Sebagai Faktur Pajak Standar, tanggal 23 April 2001.

27 transaksi dalam satu Masa Pajak untuk pelanggan yang sama. 3. Faktur Pajak Sederhana Faktur Pajak Sederhana adalah Faktur Pajak yang dibuat sebagai bukti pemungutan pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak kepada konsumen akhir atau kepada pembeli/penerima jasa dengan identitas tidak lengkap. B. Mekanisme Pengkreditan Pajak Pertambahan Nilai 1. Prinsip dasar pengkreditan Pajak Pertambahan Nilai atau lebih sering disebut pengkreditan Pajak Masukan berdasarkan Pasal 9 Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 secara garis besar sebagai berikut: a. Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran untuk Masa Pajak yang sama. Dalam hal belum ada Pajak Keluaran dalam suatu Masa Pajak, maka Pajak Masukan tetap dapat dikreditkan. b. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan, maka selisihnya merupakan Pajak Pertambahan Nilai yang harus dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak. Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran, maka selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dapat dimintakan kembali atau dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya. c. Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang berhubungan langsung dengan kegiatan usaha melakukan penyerahan kena pajak. Meskipun

28 berhubungan langsung dengan kegiatan usaha menghasilkan penyerahan kena pajak, dalam hal-hal tertentu tidak tertutup kemungkinan Pajak Masukan tersebut tidak dapat dikreditkan. 2. Persyaratan Umum Pajak Masukan yang Dapat Dikreditkan a. Memenuhi persyaratan formal. Persyaratan formal tersebut yaitu : 1) Tercantum dalam Faktur Pajak Standar atau dalam dokumen yang diperlakukan sebagai Faktur Pajak Standar sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Faktur Pajak yang secara material dapat dikreditkan menjadi tidak dapat dikreditkan apabila tercantum dalam Faktur Pajak Standar yang cara pengisiannya tidak memenuhi ketentuan perundang-undangan; 2) Apabila Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tetapi belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama karena Faktur Pajaknya belum atau terlambat diterima sehingga belum dapat dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai untuk Masa Pajak yang bersangkutan, maka Pajak Masukan yang Faktur Pajaknya belum atau terlambat diterima tersebut dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lambat 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan sesuai dengan Pasal 9 ayat (2) dan ayat (9) Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 jo Pasal 12 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2002 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor

29 143 Tahun 2000 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 dan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan. b. Memenuhi persyaratan material. Persyaratan material material tersebut yaitu: 1) Berhubungan langsung dengan kegiatan usaha melakukan penyerahan kena pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (5) jo ayat (8) Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984. Kegiatan usaha yang dilakukan dalam rangka penyerahan kena pajak antara lain kegiatan produksi, manajemen, distribusi, dan pemasaran; 2) Belum dibebankan sebagai biaya. Pada hakikatnya pengkreditan Pajak Masukan sama dengan upaya untuk memperoleh kembali Pajak Pertambahan Nilai yang telah dibayar. Dalam hal Pajak Keluaran lebih kecil daripada Pajak Masukan maka Pengusaha Kena Pajak yang bersangkutan dapat meminta restitusi dari negara. Apabila Pajak Masukan ini telah dibebankan sebagai biaya, maka Pajak Masukan ini menjadi unsur harga jual barang dagangan sehingga akan diperoleh kembali dari pembeli. Oleh karena itu apabila Pajak Masukan yang dapat dikreditkan telah dibebankan sebagai biaya maka Pajak Masukan yang telah dibebankan sebagai biaya ini tidak boleh dikreditkan.

30 C. Mekanisme Kompensasi dan Restitusi Pajak Pertambahan Nilai Berdasarkan hasil pengkreditan Pajak Masukan dapat menyebabkan terjadinya kelebihan pembayaran pajak. Kelebihan pembayaran pajak dapat terjadi karena: 1. Jumlah Pajak Masukan lebih besar daripada jumlah Pajak Keluaran dalam suatu Masa Pajak yang dapat disebabkan oleh: a. Pembelian Barang Kena Pajak atau perolehan Jasa Kena Pajak yang dilakukan sebelum usaha dimulai atau pada awal usaha dimulai. b. Pengusaha Kena Pajak melakukan kegiatan ekspor Barang Kena Pajak. c. Pengusaha Kena Pajak menyerahkan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai. d. Pengusaha Kena Pajak menyerahkan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak sehubungan dengan proyek milik Pemerintah yang dananya berasal dari bantuan luar negeri baik berupa hibah maupun pinjaman. e. Pengusaha Kena Pajak melakukan penyerahan Barang Kena Pajak untuk diolah lebih lanjut kepada Enterport Produksi untuk Tujuan Ekspor (EPTE). f. Penyerahan Barang Kena Pajak berupa bahan baku atau bahan pembantu dan/atau Jasa Kena Pajak kepada Perusahaan Eksportir Tertentu (PET). 2. Kemungkinan adanya kekeliruan pembayaran pajak karena terjadi kesalahan pemungutan atau pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang. Dalam kasus ini yang berhak mengajukan restitusi adalah pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak sepanjang Pajak Masukan tersebut belum dibebankan sebagai biaya

31 atau belum dikreditkan jika pembeli/penerima jasa tersebut adalah Pengusaha Kena Pajak. Terhadap kelebihan pembayaran pajak tersebut Wajib Pajak dapat memilih untuk melakukan kompensasi atau restitusi atas kelebihan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai tersebut. Mekanisme untuk melakukan kompensasi dan restitusi sebagai berikut: 1. Mekanisme Kompensasi Pajak Pertambahan Nilai Atas kelebihan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai dapat dilakukan kompensasi terhadap kelebihan bayar Pajak Pertambahan Nilai tersebut ke Masa Pajak berikutnya (dioffset ke Masa Pajak berikutnya). Mekanisme kompensasi atas Pajak Pertambahan Nilai lebih sederhana dibandingkan dengan mekanisme restitusi Pajak Pertambahan Nilai yaitu dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak dengan cara mengisi kolom yang tersedia dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai atau melalui permintaan tertulis dan disampaikan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak di tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan. 2. Mekanisme Restitusi Pajak Pertambahan Nilai Mekanisme restitusi Pajak Pertambahan Nilai diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-160/PJ./2001 tentang Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak Pertambahan Nilai dan atau Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dengan mekanisme sebagai berikut:

32 a. Permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak disampaikan oleh Pengusaha Kena Pajak dengan cara mengisi kolom yang tersedia dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai atau dengan surat tersendiri, dan dilampiri dengan bukti-bukti dan atau dokumen yang menyatakan adanya kelebihan pembayaran pajak dan disampaikan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak di tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan. b. Permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak ditentukan 1 (satu) permohonan untuk 1 (satu) Masa Pajak dan dapat dilakukan permohonan restitusi pada setiap akhir Masa Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (4) Undangundang Pajak Pertambahan Nilai 1984. c. Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang diajukan oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan tertentu (ekspor dan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai) harus menerbitkan surat ketetapan pajak paling lambat: 1) 2 (dua) bulan sejak saat diterimanya permohonan, kecuali permohonan yang penyelesaiannya dilakukan melalui pemeriksaan untuk semua jenis pajak; 2) 12 (dua belas) bulan sejak saat diterimanya permohonan sepanjang penyelesaian atas permohonannya dilakukan melalui pemeriksaan untuk semua jenis pajak. Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud di atas telah lewat, Direktur Jenderal Pajak tidak menerbitkan surat ketetapan pajak, maka permohonan pengembalian

33 kelebihan pembayaran pajak yang diajukan dianggap dikabulkan dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar harus diterbitkan dalam waktu paling lambat 1 (satu) bulan setelah jangka waktu tersebut berakhir. D. Kasus-kasus Kecurangan Restitusi Pajak Pertambahan Nilai Secara umum, kasus kecurangan restitusi Pajak Pertambahan Nilai dilakukan melalui penyalahgunaan Faktur Pajak dengan mekanisme pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran. Oleh karena itu penyalahgunaan ini dapat ditinjau dari sudut pandang Faktur Pajak sebagai Pajak Masukan dan Faktur Pajak sebagai Pajak Keluaran. 1. Penyalahgunaan Faktur Pajak sebagai Pajak Masukan Penyalahgunaan Faktur Pajak sebagai Pajak Masukan (selanjutnya disebut Faktur Pajak Masukan) dalam Pajak Pertambahan Nilai dapat berupa pelaporan secara tidak benar semua unsur dalam Faktur Pajak atau hanya sebagian saja. Umumnya penyalahgunaan Faktur Pajak Masukan ini dilakukan dalam rangka restitusi atas kelebihan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai. Penyalahgunaan Faktur Pajak Masukan ini antara lain: a. Melakukan Transaksi dengan Pengusaha Kena Pajak Fiktif Wajib Pajak dalam usahanya memperbesar Pajak Masukan diantaranya melakukan transaksi dengan Pengusaha Kena Pajak fiktif. Dalam hal ini asumsi yang digunakan adalah Wajib Pajak telah mengetahui bagaimana mekanisme proses penyelesaian restitusi di Kantor Pelayanan Pajak dimana dalam pemeriksaan untuk restitusi salah satunya adalah prosedur konfirmasi terhadap kebenaran Pajak Masukan secara on-line. Sehingga

34 mau tidak mau Wajib Pajak tersebut mencoba mengakalinya dengan kegiatan seperti ini. Pengusaha Kena Pajak fiktif ini sengaja dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang memohon restitusi dengan cara mendirikan perusahaan fiktif tetapi juga dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak baik dalam wilayah Kantor Pelayanan Pajak yang sama maupun tidak sama. Diperlukan administrasi yang baik dalam rangka permohonan restitusi agar usaha dari Pengusaha Kena Pajak ini lancar. Pengusaha Kena Pajak fiktif ini bertindak seolah-olah sebagai penjual kepada Pengusaha Kena Pajak yang memohon restitusi dan atas transaksi penjualannya juga dibuatkan Faktur Pajak serta melaporkannya dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai di Kantor Pelayanan Pajak tempat dikukuhkan. Dalam kenyatannya sebenarnya tidak pernah dilakukan penjualan barang secara nyata. Jadi hanya pencatatan atas transaksi penjualan tetapi barang tidak pernah diserahkan bahkan tidak ada. Administrasi dari kedua belah pihak harus sangat rapi agar usaha memohon restitusi ini dapat berjalan dengan lancar. Pengusaha Kena Pajak fiktif ini sesuai dengan tujuannya untuk memohon restitusi biasanya hanya berdiri untuk beberapa saat dan selanjutnya akan bubar atau menghilang agar dalam melakukan usahanya lebih aman. Transaksi dengan Pengusaha Kena Pajak fiktif ini sengaja dibuat agar terjadi Pajak Masukan yang besar bagi Pengusaha Kena Pajak yang memohon restitusi sehingga atas kelebihan bayar Pajak Pertambahan Nilai pembelian tersebut dapat dimintakan restitusi. Meskipun dapat dimintakan kompensasi tetapi biasanya Pengusaha Kena Pajak seperti ini cenderung memohon restitusi atas kelebihan bayar yang fiktif ini.

35 b. Transaksi Fiktif Transaksi fiktif terjadi karena adanya kerja sama antar Pengusaha Kena Pajak. Dalam kasus ini hampir sama dengan kasus Pengusaha Kena Pajak fiktif hanya saja yang fiktif adalah transaksi penjualan. Kedua pihak Pengusaha Kena Pajak yang melakukan transaksi merupakan Pengusaha Kena Pajak yang benar-benar dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan dalam melakukan transaksi penjualan juga dibuatkan Faktur Pajak, hanya saja barang yang tercantum dalam Faktur Pajak sebenarnya tidak ada atau tidak dijual. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan ini biasanya tidak berdiri hanya sementara waktu dan bisa dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak yang sudah lama dikukuhkan. Transaksi fiktif biasanya berupa transaksi barang yang berkaitan langsung dengan usaha Pengusaha Kena Pajak tersebut. Dalam transaksi fiktif ini, Pengusaha Kena Pajak yang menjual membuat Faktur Pajak berkolusi dengan Pengusaha Kena Pajak yang memperoleh Faktur Pajak tersebut dengan maksud untuk memperoleh imbalan. Atau dengan kata lain Pengusaha Kena Pajak penjual menjual Faktur Pajak yang berisi transaksi fiktif kepada Pengusaha Kena Pajak lainnya (sebagai Pengusaha Kena Pajak pembeli) yang mana akan digunakan sebagai Faktur Pajak Masukan. Pengusaha Kena Pajak yang membeli Faktur Pajak tersebut kemudian menggunakannya dengan maksud agar jumlah Pajak Masukan bisa lebih besar daripada Pajak Keluaran sehingga dapat dimintakan restitusi. Selain untuk keperluan restitusi, transaksi fiktif ini juga dilakukan untuk keperluan kompensasi dengan Pajak Keluaran