EKSISTENSI SAKSI MAHKOTA KAITANNYA DENGAN SPLITSING DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya disamping. pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

EKSISTENSI SAKSI MAHKOTA SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PIDANA

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981

PERAN SAKSI MAHKOTA DALAM PERKARA PIDANA KORUPSI DI PENGADILAN NEGERI MAKASSAR

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

BAB I PENDAHULUAN. adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

Lex Privatum, Vol. IV/No. 2/Feb/2016

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

II TINJAUAN PUSTAKA. untuk mencari dan mendapatkan kebenaran yang selengkap-lengkapnya dan masyarakat tidak

ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA. (Studi Kasus Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Surakarta)

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

PENERAPAN PRINSIP MIRANDA RULE SEBAGAI PENJAMIN HAK TERSANGKA DALAM PRAKTIK PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

HAK TERSANGKA UNTUK MENDAPATKAN BANTUAN HUKUM DALAM PROSES PENYIDIKAN

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

Lex Crimen Vol. V/No. 4/Apr-Jun/2016

PERLINDUNGAN HUKUM ATAS HAK TERHADAP TERSANGKA DI TINGKAT PENYIDIKAN OLEH KEPOLISIAN

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini.

PEMECAHAN PERKARA (SPLITSING) DALAM PRA PENUNTUTAN

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

Toddy Anggasakti dan Amanda Pati Kawa. Abstrak

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

KONSEKUENSI HUKUM PENGINGKARAN ISI BERITA ACARA PEMERIKSAAN OLEH TERDAKWA DI PERSIDANGAN Oleh :

PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA MELARIKAN WANITA YANG BELUM CUKUP UMUR

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA

Fungsi Pra Penuntutan Terhadap Keberhasilan Pelaksanaan Penuntutan Perkara Pidana Oleh Penuntut Umum. Cakra Nur Budi Hartanto *

KEABSAHAN PENETAPAN STATUS TERSANGKA DALAM PROSES PENYELIDIKAN (STUDI KASUS PENISTAAN AGAMA Ir. BASUKI TJAHAJA PURNAMA)

KEWENANGAN JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM PROSES PRA PENUNTUTAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh : Richard Olongsongke 2

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan

AKIBAT HUKUM PERALIHAN TANGGUNG JAWAB PENYIDIK ATAS BENDA SITAAN 1 Oleh : Noldi Panauhe 2

PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA DALAM BAP DI MUKA SIDANG PANGADILAN (STUDI KASUS DI PENGADILAN NEGERI DENPASAR)

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam kehidupan bermasyarakat sering terjadi kekacauan-kekacauan,

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa

PENGATURAN HAK MENGAJUKAN UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA

I. PENDAHULUAN. kebebasan, baik yang bersifat fisik maupun pikiran. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing:

GANTI RUGI ATAS KESALAHAN PENANGKAPAN, PENAHANAN PASCA PUTUSAN PENGADILAN 1 Oleh: David Simbawa 2

PRAPENUNTUTAN DALAM KUHAP DAN PENGARUH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA 1 Oleh: Angela A.

GANTI KERUGIAN DALAM PUTUSAN PRAPERADILAN BAGI TERDUGA TERORIS YANG TERTEMBAK MATI SEBAGAI BENTUK PERLINDUNGAN TERHADAP HAK ASASI MANUSIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

Lex Crimen Vol. VI/No. 8/Okt/2017

KEMUNGKINAN PENYIDIKAN DELIK ADUAN TANPA PENGADUAN 1. Oleh: Wempi Jh. Kumendong 2 Abstrack

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 2/Feb/2016/Edisi Khusus

BAB I PENDAHULUAN. Acara Pidana (KUHAP) menjunjung tinggi harkat martabat manusia, dimana

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana

BEBERAPA HAMBATAN YANG DIHADAPI HAKIM DALAM PROSES PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA KORUPSI DI PENGADILAN NEGERI JAMBI

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

JAMINAN PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA DAN TERDAKWA DALAM KUHAP DAN RUU KUHAP. Oleh : LBH Jakarta

BAB I PENDAHULUAN kemudian Presiden mensahkan menjadi undang-undang pada tanggal. 31 Desember 1981 dengan nama Kitab Undang-undang Hukum Acara

Lex Crimen Vol. VI/No. 4/Jun/2017

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

Kata kunci: Pencabutan keterangan, terdakwa. AKIBAT HUKUM TERHADAP PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA DI PENGADILAN 1 Oleh: Efraim Theo Marianus 2

BAB I PENDAHULUAN. untuk dipenuhi. Manusia dalam hidupnya dikelilingi berbagai macam bahaya. kepentingannya atau keinginannya tidak tercapai.

BAB I PENDAHULUAN. negara hukum. Negara hukum merupakan dasar Negara dan pandangan. semua tertib hukum yang berlaku di Negara Indonesia.

PRAPERADILAN SEBAGAI UPAYA KONTROL BAGI PENYIDIK DALAM PERKARA PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

I. PENDAHULUAN. Hak asasi manusia merupakan dasar dari kebebasan manusia yang mengandung

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan menyimpang yang ada dalam kehidupan masyarakat. maraknya peredaran narkotika di Indonesia.

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB III PENUTUP. terhadap saksi dan korban serta penemuan hukum oleh hakim.

BAB III PENUTUP. praperadilan, maka dapat disimpulkan bahwa: akan memeriksa tuntutan tersebut. Tata cara atau acara dalam proses pemeriksaan

URGENSI PENERAPAN BEBAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM UPAYA MENANGGULANGI TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB III FILOSOFI ASAS NE BIS IN IDEM DAN PENERAPANNYA DI PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk

V. PENUTUP. 1. Alasan yang menjadi dasar adanya kebijakan formulasi Hakim Komisaris. dalam RUU KUHAP Tahun 2009 atau hal utama digantinya lembaga pra

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara hukum, hal ini telah dinyatakan dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Negara Indonesia adalah negara bardasarkan hukum bukan

BAB I PENDAHULUAN. berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

MAKALAH AKSES KE KEADILAN: MENDISKUSIKAN PERAN KOMISI YUDISAL. Oleh: Dr. Suparman Marzuki, S.H., M.Si

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BAGI PEMBELI BARANG HASIL KEJAHATAN DITINJAU DARI PASAL 480 KUHP TENTANG PENADAHAN

I. PENDAHULUAN. disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan tersebut selain melanggar dan menyimpang dari hukum juga

BAB I PENDAHULUAN. negara harus berlandaskan hukum. Dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang

I. PENDAHULUAN. dirasakan tidak enak oleh yang dikenai oleh karena itu orang tidak henti hentinya

I. PENDAHULUAN. saling mempengaruhi satu sama lain. Hukum merupakan pelindung bagi

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA

MASUKAN KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN ATAS PERUBAHAN UU NO. 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN.

Lex Crimen Vol. VII/No. 1 /Jan-Mar/2018. H. Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 185.

Fungsi Dan Wewenang Polri Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Hak Asasi Manusia. Oleh : Iman Hidayat, SH.MH. Abstrak

GARIS-GARIS BESAR PERKULIAHAN (GBPP)

Oleh : Rinanda Basitha ** A.A. Ngurah Wirasila *** I Gusti Agung Ayu Dike Widhiyaastuti ****

Transkripsi:

EKSISTENSI SAKSI MAHKOTA KAITANNYA DENGAN SPLITSING DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA oleh Sang Ayu Ditapraja Adipatni I Wayan Sutarajaya I Wayan Bela Siki Layang Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas Udayana Abstract Crown witness is a testimony provided by a defendant used as a witness interchangeably or a defendant who becomes a witness for another defendant in the separate trial dockets (splitsing) where the crime is an inclusion offense. The existence of this crown witness is not strictly regulated in KUHAP, so that causing many juridical problems. On one side the existence of crown witness can be justified since the objective is to achieve sense of public justice. But in the other side the existence of crown witness is not justified because it contradicts with the rights and sense of justice of the defendant. Even the perception s differences regarding crown witness also appear in a variety of jurisprudences of the Supreme Court s decisions of Republic of Indonesia. Key words: splitsing, crown witness, evidence, criminal case. I. PENDAHULUAN Ditinjau dari perspektif sistem peradilan pidana maka perihal pembuktian merupakan hal yang sangat determinan bagi setiap pihak yang terlibat secara langsung dalam proses pemeriksaan perkara pidana, khususnya dalam hal menilai terbukti atau tidak terbuktinya kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. 1 Bagi penuntut umum, maka pembuktian merupakan faktor yang sangat determinan dalam 1 Lilik Mulyadi, Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana : Teori, Praktik, Teknik Penyusunan dan Permasalahannya (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2007), (selanjutnya disingkat Lilik Mulyadi I) hlm. 49-50. 1

rangka mendukung tugasnya sebagai pihak yang memiliki beban untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Dalam kapasitasnya sebagai pihak yang memiliki kewenangan untuk melakukan pemeriksaan pada tingkatan pengadilan maka perihal pembuktian merupakan faktor yang juga sangat menentukan bagi hakim dalam mendukung pembentukan faktor keyakinan hakim. Hal tersebut sebagaimana yang tercantum dalam ketentuan Pasal 183 KUHAP yang pada pokoknya menjelaskan bahwa hakim dalam menjatuhkan pidana kepada terdakwa harus didasarkan pada minimal dua alat bukti yang sah dan keyakinan hakim yang terbentuk didasarkan pada alat bukti yang sah tersebut. 2 Ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan, dan kepastian hukum bagi seseorang. Oleh karena itu, apabila ditinjau dari perspektif yuridis maka dalam perihal pembuktian tersebut tentunya harus berisi ketentuan tentang jenis alat bukti dan ketentuan tentang tata cara pembuktian yang dilakukan secara benar dan tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang dengan melanggar hak asasi terdakwa. 3 Seringkali dalam berbagai sidang pembuktian perkara pidana, muncul alat bukti yang disebut dengan istilah saksi mahkota. Pada dasarnya, istilah saksi mahkota tidak disebutkan secara tegas dalam KUHAP. Penggunaan alat bukti saksi mahkota hanya dapat dilihat dalam perkara pidana yang berbentuk penyertaan, dan terhadap perkara pidana tersebut telah dilakukan pemisahan (splitsing) sejak proses pemeriksaan pendahuluan di tingkat penyidikan. Selain itu, munculnya dan digunakannya saksi mahkota dalam perkara pidana yang dilakukan pemisahan tersebut didasarkan pada alasan karena kurangnya alat bukti yang akan diajukan oleh penuntut umum. Walaupun tidak diberikan suatu definisi otentik dalam KUHAP mengenai saksi mahkota (kroon getuide), namun berdasarkan perspektif empirik maka saksi mahkota didefinisikan oleh Prof. DR. Loebby Loqman, SH, MH, dijelaskan bahwa 2 Martiman Prodjohamidjojo, Komentar Atas KUHAP : Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Jakarta : Pradnya Paramita, 1990), hlm. 133 3 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP : Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi Dan Peninjauan Kembali (Jakarta : Sinar Grafika, 2003), (selanjutnya disingkat M. Yahya Harahap II), hlm. 252 2

yang dimaksud dengan saksi mahkota adalah kesaksian sesama terdakwa, yang biasanya terjadi dalam peristiwa penyertaan. 4 Dalam perkembangannya, ternyata muncul berbagai pendapat, baik yang berasal dari praktisi maupun akademisi, mengenai penggunaan saksi mahkota sebagai alat bukti dalam pemeriksaan perkara pidana. Sebagian pihak berpendapat bahwa penggunaan saksi mahkota dibolehkan karena bertujuan untuk tercapainya rasa keadilan publik. Namun sebagian berpendapat, bahwa penggunaan saksi mahkota tidak dibolehkan karena bertentangan dengan hak asasi dan rasa keadilan terdakwa. Bahkan perbedaan persepsi tentang penggunaan saksi mahkota ini juga muncul dalam berbagai yurisprudensi putusann Mahkamah Agung Republik Indonesia. Atas latar belakang tersebut tulisan ini berusaha membahas tentang bagaimana tinjauan saksi mahkota apabila dilihat dari sudut pandang Hak Asasi Manusia (HAM) dan sejauh mana keberadaan saksi mahkota dalam pembuktian perkara pidana. II. ISI MAKALAH Mengingat penelitian ini berhubungan dengan implementasi perundangundangan maka metode pendekatan yang digunakan adalah yuridis normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang berupa bahan-bahan hukum dan putusan pengadilan, terutama bahan hukum primer. Adapun hasil yang telah diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut : Pemisahan perkara merupakan wewenang dari jaksa yang diatur dalam pasal 142 KUHAP, yang menyebutkan bahwa dalam hal penuntut umum menerima satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak-tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang terdakwa yang tidak termasuk dalam ketentuan pasal 141, penuntut 4 Loebby Loqman, Saksi Mahkota, Forum Keadilan (Nomor 11, 1995) 3

umum dapat melakukan penuntutan terhadap masing-masing terdakwa secara terpisah. Dan selanjutnya mengenai bunyi pasal 141, adalah bahwa : Penuntut umum dapat melakukan penggabungan perkara dan membuatnya dalam satu dakwaan, apabila pada waktu yang sama atau hampir bersamaan ia menerima beberapa berkas perkara dalam hal : a. Beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh seorang yang sama dan kepentingan pemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadap penggabungannya; b. Beberapa tindak pidana yang bersangkut paut dengan yang lain; c. Beberapa tindak pidana yang tidak bersangkut paut satu dengan yang lain, akan tetapi yang satu dengan yang lain itu ada hubungannya, yang dalam hal ini penggabungan tersebut perlu bagi kepentingan pemeriksaan. Pemecahan penuntutan perkara (splitsing) seperti yang dimaksud dalam ketentuan pasal 142 KUHAP biasanya splitsing dilakukan dengan membuat berkas perkara, dalam hal yang demikian perlu dilakukan pemeriksaan baru, baik terhadap terdakwa maupun saksi. Mungkin akan menimbulkan permasalahan dalam praktek, ialah sehubungan dengan masalah apakah penuntut umum berwenang membuat berkas perkara baru sehubungan dengan splitsing itu. Dalam hubungan ini penyidik dapat melaksanakan splitsing, atas petunjuk penuntut umum. Adapun yang menjadi dasar pemikirannya adalah : jika masalah splitsing ini masih dalam tingkat persiapan tindakan penuntutan (pra penuntutan), dan belum sampai pada tingkat penyidangan perkara di pengadilan. Oleh sebab itu dalam hal penuntut umum menerima hasil penyelidikan, sekaligus meneliti serta mempelajari perkara yang perlu atau tidaknya dilakukan splitsing, dan jika ia berpendapat bahwa perkara tersebut perlu untuk dilakukan splitsing, dalam waktu tujuh hari hendaknya wajib memberitahu kepada penyidik untuk dilengkapi dan disempurnakan dengan diberikan beberapa petunjuk seperlunya dan penyidik dalam waktu empat belas hari sejak tanggal penerimaan berkas perkara yang telah displitsing / di splits-nya itu, 4

sesuai dengan petunjuk penuntut umum. Yang berkaitan dengan ketentuan pasal 138 ayat (1) dan (2) KUHAP yang menyebutkan bahwa : (1) Penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan dari penyidik segera mempelajari dan menelitinya dan dalam waktu tujuh hari wajib memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap atau belum. (2) Dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap, penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi dan dalam waktu empat belas hari sejak tanggal penerimaan berkas, penyidik harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada penuntut umum. Tinjauan saksi mahkota apabila dilihat dari sudut pandang HAM banyak melanggar ketentuan-ketentuan yg mengatur tentang HAM. Seperti pada ketentuanketentuan yang terdapat di dalam KUHAP, Deklarasi universal tentang Hak-hak Asasi Manusia, International Covenant on Civil and Political Rights (and Optional Protocol for the Covenant on Civil and Political Rights) dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Yang pada intinya menyebutkan bahwa semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Sehingga, semua tersangka, baik dia berstatus melakukan / turut serta melakukan / menyuruh melakukan / dengan sengaja melakukan, mempunyai hak-hak yang sama, termasuk hak untuk menerima perlakuan yang sama pada waktu menempuh proses pemeriksaan di pengadilan dan tidak ada perlakuan yang spesial / berbeda dalam segala bentuknya. Semua orang sama di depan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi. Berhak untuk memperoleh keadilan baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar. Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dan dituntut karena disangka melakukan sesuatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan 5

segala jaminan hukum yang diperlakukan untuk pembelaannya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dan setiap orang berhak untuk menggunakan semua upaya hukum nasional dan forum internasional atas semua pelanggaran hak asasi manusia yang dijamin oleh hukum Indonesia dan hukum internasional mengenai hak asasi manusia yang telah diterima negara Republik Indonesia. Keberadaan saksi mahkota dalam pembuktian perkara pidana apabila dilihat dari sudut pandang KUHAP dan penjelasannya saksi mahkota tidak diatur secara tegas. Dalam perkembangannya, ternyata Mahkamah Agung memiliki pendapat terbaru tentang penggunaan saksi mahkota dalam suatu perkara pidana. Di satu sisi, Mahkamah Agung berpendirian bahwa undang-undang tidak melarang jika Jaksa Penuntut Umum mengajukan saksi mahkota dengan syarat dan kondisi tertentu bahwa saksi ini dalam kedudukannya sebagai terdakwa tidak termasuk dalam satu berkas perkara dengan terdakwa yang diberikan kesaksian (Putusan MA Nomor : 1986/K/Pid/1989 tanggal 21 Maret 1990). Dalam Yurisprudensi tersebut juga disebutkan bahwa definisi saksi mahkota adalah teman terdakwa yang melakukan tindak pidana bersama-sama diajukan sebagai saksi untuk membuktikan dakwaan penuntut umum, yang perkaranya dipisah karena kurangnya alat bukti. Jadi disini penggunaan saksi mahkota dibenarkan didasarkan pada prinsip-prinsip tertentu yaitu, 1) dalam perkara delik penyertaan; 2) terdapat kekurangan alat bukti; dan 3) diperiksa dengan mekanisme pemisahan (splitsing). Sedangkan di sisi lain, dijelaskan dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1174 K/Pid/1994 tanggal 3 Mei 1995, Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1952 K/Pid/1994 tanggal 29 April 1995, Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1590 K/Pid/1995 tanggal 3 Mei 1995 dan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1592 K/Pid/1995 tanggal 3 Mei 1995, tidak membenarkannya. Saksi mahkota juga pelaku, diajukan sebagai terdakwa yang dakwaannya sama dengan terdakwa yang diberikan kesaksian. Saksi yang disumpah, harus berkata benar tentang apa yang ia lihat, ia dengar, dan ia alami. Kalau tidak, ia dapat 6

dipidana atas kesaksiannya. 5 Hal ini disebabkan oleh ketidakjelasan KUHAP sehingga secara yuridis terdakwa yang didudukkan sebagai saksi mahkota jelas bertentangan dengan KUHAP dan prinsip-prinsip HAMnya. Menurut pendapat penulis, lebih setuju dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung yang tidak membenarkan adanya saksi mahkota. Karena penggunaan saksi mahkota jelas melanggar hak-hak dari terdakwa. Yang terdapat pada pasal 66 KUHAP yang menyebutkan bahwa tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian, sedangkan ketika terdakwa menjadi saksi mahkota jelas harus memberikan keterangan secara sebenar-benarnya karena terikat dengan sumpah. Namun di dalam pasal 174 KUHAP disebutkan apabila keterangan saksi di sidang disangka palsu maka hakim ketua sidang memperingatkan dengan sungguhsungguh kepada saksi supaya memberikan keterangan yang sebenarnya. Dan apabila saksi tetap memberikan keterangan palsu maka akan diancam dengan dakwaan baru yaitu berupa tindak pidana kesaksian palsu sebagaimana yang diatur dalam pasal 242 KUHP. Dalam pasal 185 ayat (1) juga dijelaskan bahwa keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan dalam di sidang pengadilan. Hal ini secara tidak langsung jelas menjebak keadilan dari terdakwa. Secara implisit, keberadaan saksi mahkota juga seakan-akan membuktikan perbuatan yang ia lakukan. Dengan kesaksiannya yang benar, ia akan diancam pidana dalam posisinya sebagai terdakwa, yang tidak dapat memberi keterangan secara bebas/membela diri (terikat sumpah kala jadi saksi). Inilah hak-hak asasi saksi mahkota yang dilanggar. III. KESIMPULAN Berdasarkan uraian pembahasan sebagaimana yang telah dikemukakan diatas, maka selanjutnya dapat dirumuskan beberapa hal sebagai berikut : 1. Tinjauan saksi mahkota apabila dilihat dari sudut pandang HAM banyak melanggar ketentuan-ketentuan yg mengatur tentang HAM. Seperti pada ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam KUHAP, Deklarasi universal 5 Zulfan, Kedudukan Saksi Mahkota Dalam Sistem Pembuktian Hukum Pidana, (Medan :Universitas Sumatra Utara, 2005), hlm. 1 7

tentang Hak-hak Asasi Manusia, International Covenant on Civil and Political Rights (and Optional Protocol for the Covenant on Civil and Political Rights) dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Secara normatif, saksi mahkota melanggar ketentuan yang terdapat di dalam KUHAP, dan secara eksplisit banyak ketentuan di dalam KUHAP yang tidak konsisten, sehingga menjadi kontradiktif. 2. Keberadaan saksi mahkota dalam pembuktian perkara pidana antara lain : Bahwa dilihat dari sudut pandang KUHAP dan penjelasannya saksi mahkota tidak diatur secara tegas. Bahwa dilihat dari kajian teoritis keberadaan saksi mahkota tidak dibenarkan karena akan menimbulkan berbagai permasalahan yuridis. Sedangkan secara praktis keberadaan saksi mahkota sangat dibutuhkan untuk mengungkap kasus-kasus yang tidak mungkin memiliki saksi. DAFTAR PUSTAKA Lilik Mulyadi, 2007, Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana : Teori, Praktik, Teknik Penyusunan dan Permasalahannya, Citra Aditya Bakti, Bandung. Loebby Loqman, 1995, Saksi Mahkota, Forum Keadilan Nomor 11. M. Yahya Harahap, 2003, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP : Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi Dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta. Martiman Prodjohamidjojo, 1990, Komentar Atas KUHAP : Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Pradnya Paramita, Jakarta. Zulfan, 2005, Kedudukan Saksi Mahkota Dalam Sistem Pembuktian Hukum Pidana, Universitas Sumatra Utara, Medan. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia 8

The International Declaration of Human Rights / Universal Declaration of Human Rights International Covenant on Civil and Political Rights Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1174 K/Pid/1994 tanggal 3 Mei 1995 Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1592 K/Pid/1995 tanggal 3 Mei 1995 Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1950 K/Pid/1995 tanggal 3 Mei 1995 Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1952 K/Pid/1994 tanggal 29 April 1995 Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1986 K/Pid/1989 tanggal 21 Maret 1990 9