BAB II KAJIAN PUSTAKA. (Systemic Inflamatary Respons Syndrome-SIRS) yang terjadi sebagai akibat infeksi

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Bayi (AKB). Angka kematian bayi merupakan salah satu target dari Millennium

BAB IV METODE PENELITIAN. menggunakan rancangan studi kasus kontrol. Penyetaraan matching dilakukan

TINJAUAN PUSTAKA. cepat sehingga sering kali tidak terpantau tanpa pengobatan yang memadai sehingga

BAB 1 PENDAHULUAN adalah 32 per 1000 kelahiran hidup, sedangkan target Millenium

GAMBARAN FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA ASFIKSIA NEONATURUM PADA BAYI BARU LAHIR DI RUANG PERINATALOGI RSUD DR. H. MOCH. ANSARI SALEH BANJARMASIN

BAB 1 PENDAHULUAN. terhadap penyakit dan kondisi hidup yang tidak sehat. Oleh sebab itu,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Penyebab Kematian Neonatal di Indonesia (Kemenkes RI, 2010)

BAB I PENDAHULUAN. Menurut perkiraan World Health Organization (WHO) pada tahun 2013,

BAB IV METODE PENELITIAN. Perinatologi RSUP Dr. Kariadi / FK Undip Semarang.

KOMPLIKASI PADA IBU HAMIL, BERSALIN, DAN NIFAS. Ante Partum : keguguran, plasenta previa, solusio Plasenta

BAB 1 PENDAHULUAN. neonatus dan 50% terjadi pada minggu pertama kehidupan (Sianturi, 2011). Menurut data dari

BAB 1 PENDAHULUAN. penurunan angka kematian ibu (AKI) dan bayi sampai pada batas angka

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Dalam sepuluh tahun terakhir terdapat beberapa perkembangan baru

UKDW. % dan kelahiran 23% (asfiksia) (WHO, 2013). oleh lembaga kesehatan dunia yaitu WHO serta Centers for Disease

BAB I PENDAHULUAN. angka mortalitas tertinggi di negara-negara yang sedang berkembang.

HUBUNGAN JENIS PERSALINAN DENGAN KEJADIAN SEPSIS NEONATORUM DI RSUP PROF. DR. R. D. KANDOU MANADO

BAB I PENDAHULUAN. plasenta) yang telah cukup bulan atau dapat hidup di luar kandungan melalui

BAB IV METODE PENELITIAN. obstetri dan ginekologi. analisis data dilakukan sejak bulan Maret Juni menggunakan pendekatan retrospektif.

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam masa kehamilan perlu dilakukan pemeriksaan secara teratur dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. diabetes, penyakit lupus, atau mengalami infeksi. Prematuritas dan berat lahir

BAB 1 PENDAHULUAN. hamil perlu dilakukan pelayanan antenatal secara berkesinambungan, seperti

BAB I PENDAHULUAN. Berat bayi lahir rendah (BBLR) didefinisikan oleh World Health

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi neonatus khususnya sepsis neonatorum sampai saat ini masih

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Jurnal Keperawatan, Volume XII, No. 2, Oktober 2016 ISSN

Asfiksia. Keadaan dimana bayi baru lahir tidak dapat bernapas secara spontan dan teratur

PENDAHULUAN BBLR adalah bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari gram dan merupakan penyumbang tertinggi angka kematian perinatal dan

BAB 1 PENDAHULUAN. saat menghadapi berbagai ancaman bagi kelangsungan hidupnya seperti kesakitan. dan kematian akibat berbagai masalah kesehatan.

BAB 1 PENDAHULUAN. suatu komplikasi atau penyulit yang perlu mendapatkan penanganan lebih

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) memiliki banyak risiko

HUBUNGAN KETUBAN PECAH DINI DENGAN KEJADIAN ASFIKSIA PADA BAYI BARU LAHIR DI RSUD DR. H. MOCH. ANSHARI SALEH BANJARMASIN TAHUN 2014

BAB I PENDAHULUAN. kematian per kelahiran hidup. (Kemenkes RI 2015,h.104). Pada tahun

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kehidupan, dengan manifestasi infeksi sistemik dan atau isolasi bakteri patogen

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. dunia mengalami preeklampsia (Cunningham, 2010). Salah satu penyulit dalam

BAB I PENDAHULUAN. Angka Kematian Bayi (AKB) atau Infant Mortality Rate merupakan. indikator yang lazim digunakan untuk menentukan derajat kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. yaitu disebabkan karena abruptio plasenta, preeklampsia, dan eklampsia.

BAB 1 PENDAHULUAN. Ketuban pecah dini (KPD) merupakan masalah penting dalam obstetri

BAB I PENDAHULUAN. awal minggu gestasi ke-20 sampai akhir minggu gestasi ke-37 (Varney,

BAB II TINJAUAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. perlu diperhatikan untuk ketahanan hidupnya (Muslihatun, 2010; h. 3).

BAB I PENDAHULUAN. salah satu strategi dalam upaya peningkatan status kesehatan di Indonesia.

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat yang setinggi-tingginya dapat terwujud. Pembangunan kesehatan

(Juniatiningsih, 2008). Sedangkan di RSUP Sanglah Denpasar periode Januari - Desember 2010 angka kejadian sepsis neonatorum 5% dengan angka kematian

BAB 1 PENDAHULUAN. kemajuan kesehatan suatu negara. Menurunkan angka kematian bayi dari 34

BAB I PENDAHULUAN. Sasaran Pembangunan Millenium Development Goals (MDGS) adalah 102 per

BAB 1 PENDAHULUAN. umur kehamilan minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir. Badan

GANGGUAN NAPAS PADA BAYI

BAB I PENDAHULUAN. waktu dan tempat, salah satunya adalah kematian janin sewaktu masih

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh persalinan prematur, sedangkan kematian perinatal sendiri

BAB I PENDAHULUAN. Proses kehamilan, persalinan, nifas merupakan suatu proses fisiologis

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. proses selanjutnya. Proses kehamilan, persalinan, nifas dan bayi baru lahir

BAB 1 PENDAHULUAN. Kelahiran prematur merupakan masalah kesehatan perinatal yang

Kewenangan bidan dalam pemberian obat pada kehamilan dan proses kelahiran dan aspek hukumnya

I. PENDAHULUAN. asfiksia, hampir 1 juta bayi meninggal (WHO, 2002). Di Indonesia, dari

BAB I PENDAHULUAN. dengan jumlah kelahiran hidup. Faktor-faktor yang mempengaruhi AKB

BAB I PENDAHULUAN. Organization (WHO), salah satunya diukur dari besarnya angka kematian

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu Kebidanan atau Obstetri ialah bagian Ilmu Kedokteran yang

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. kematian ibu maupun perinatal (Manuaba 2010:109). Perlunya asuhan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Salah satu kodrat dari wanita yaitu mengandung, melahirkan dan

PENELITIAN HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN TERHADAP HASIL LUARAN JANIN. Idawati*, Mugiati*

BUKU REGISTER PARTUS DI RUMAH SAKIT

BAB I PENDAHULUAN. Ketuban pecah dini (KPD) adalah pecahnya ketuban sebelum dimulainya

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. anak. Setiap prosesnya tidak dapat dipisahkan satu sama lain dan kondisi

BAB I PENDAHULUAN. meliputi sebagai berikut : bayi terlalu besar, kelainan letak janin, ancaman

CAIRAN AMNION TERCAMPUR MEKONIUM SEBAGAI FAKTOR RISIKO TERJADINYA ASFIKSIA NEONATORUM PADA BAYI BARU LAHIR DI RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA TAHUN 2009

SINOPSIS FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN PERSALINAN PREMATUR DI KAB BOJONEGORO TESIS OLEH INDRAYANTI

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), khususnya bayi kurang

BAB 1 PENDAHULUAN. berkembang lainnya. Angka Kematian Bayi (AKB) adalah jumlah kematian bayi

BAB I PENDAHULUAN. dari kehamilan dengan risiko usia tinggi (Manuaba, 2012: h.38).

MANAJEMEN TERPADU UMUR 1 HARI SAMPAI 2 BULAN

BAB I PENDAHULUAN. Kehamilan merupakan masa yang penting bagi perkembangan janin.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. bundar dengan ukuran 15 x 20 cm dengan tebal 2,5 sampai 3 cm dan beratnya 500

BAB I PENDAHULUAN. tuntutan masyarakat untuk melindungi bayi sebelum, selama dan sesudah

PENGARUH UMUR KEHAMILAN PADA BAYI BARU LAHIR DENGAN KEJADIAN ASFIKSIA DI RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA

Lampiran III Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor : 900/MENKES/SK/VII/2002 Tanggal : 25 Juli 2002

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk melahirkan janin dari dalam rahim (Mochtar. R, 2002). dengan jalan pembedahan atau sectio caesarea meskipun bisa melahirkan

HUBUNGAN ANEMIA PADA IBU HAMIL YANG MENJALANI PERSALINAN SPONTAN DENGAN ANGKA KEJADIAN ASFIKSIA NEONATORUM DI RSUD SRAGEN TAHUN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. negara tersebut (WHO, 2011). Angka kematian neonatal sejak lahir sampai usia

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan di Departemen Ilmu Kesehatan Anak Divisi Perinatologi

BAB I PENDAHULUAN. berpengaruh pada proses laktasi. Dalam prosesnya kemungkinan keadaan

BAB I PENDAHULUAN. dengan imunitas pejamu, respon inflamasi, dan respon koagulasi (Hack CE,

B AB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam menilai derajat kesehatan masyarakat, terdapat beberapa

Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Bab 3 Permasalahan neonatal dan bayi muda infeksi

BAB I PENDAHULUAN. rentan terjadi, hal ini sering banyaknya kejadian atau kasus-kasus yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. maternal di Kabupaten Bantul tahun didapatkan hasil sebagai

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu target Millenium Development Goals (MDGs) yaitu menurunkan

TINJAUAN PUSTAKA Bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) Definisi Bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah

BAB 1 PENDAHULUAN. yang baru dilahirkan (Saifuddin, 2010:1). Keberhasilan penyelenggaraan. gerakan keluarga berencana (Manuaba, 2010:10).

Transkripsi:

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sepsis Neonatorum Neonatus adalah bayi baru lahir yang berusia 0 sampai 28 hari. Neonatus dibagi menjadi dua yaitu neonatus dini bayi baru lahir sampai berumur 7 hari dan neonatus lanjut bayi yang berumur 8-28 hari. Definisi sepsis adalah sindrom/kumpulan gejala respon inflamasi sistemik (Systemic Inflamatary Respons Syndrome-SIRS) yang terjadi sebagai akibat infeksi bakteri, virus, jamur ataupun parasit (Aminullah, 2014). Departemen Kesehatan RI (2007) mendefinisikan sepsis neonatus adalah suatu sindrom klinis dari penyakit sistemik karena infeksi selama satu bulan pertama kehidupan bayi yang disebabkan antara lain oleh bakteri, virus, jamur dan protozoa (Mohtar, 2005). Sepsis neonatorum merupakan sindrom klinis bakteremia yang ditandai gejala dan tanda sistemik terutama pada bulan pertama kehidupan. Sepsis neonatorum dibedakan menjadi dua jenis yaitu Sepsis Awitan Dini (SAD) timbul dalam 72 jam pertama kehidupan dan Sepsis Awitan Lambat (SAL) yang timbul setelah 72 jam kehidupan (Jain, 2003). Infeksi pada neonatus dapat terjadi pada saat fase antenatal yaitu infeksi yang berasal dari ibu melewati plasenta dan umbilikus yang masuk ke janin, disebabkan oleh Streptococcus group B (SGB). Infeksi disebabkan oleh virus 9

10 menembus plasenta, antara lain virus rubella, herpes, sitomegalokoksaki, influesa, parotitis. Bakteri yang dapat melewati plasenta antara lain malaria, sipilis dan toxoplasma. Infeksi pada fase intranatal yaitu infeksi yang berasal dari vagina yang sering menyebabkan ketuban pecah dini lebih dari 18-24 jam. Hal ini dapat menyebabkan bayi terkontaminasi kuman melalui saluran pernapasan ataupun saluran cerna (Aminullah, 2014). Cara lain yaitu saat persalinan, dimana infeksi terjadi pada janin melalui kulit bayi atau port de entre yaitu saat bayi melewati jalan lahir yang terkontaminasi oleh kuman misalnya herpes genetalia, candida albicans dan gonorrhea. Infeksi yang didapat saat pascanatal yaitu infeksi yang terjadi sesudah kelahiran yang disebabkan infeksi nosokomial dari lingkungan di luar rahim (melalui alat-alat penghisap lendir, selang endotrakea, infus, selang nasogastrik, botol minuman (dot). Perawat atau tenaga kesehatan yang bertugas memberikan asuhan kepada bayi, dapat menyebabkan terjadinya infeksi nosokomial. Infeksi ini juga dapat melalui luka umbilikus (Surasmi, 2003). 2.2 Gejala Sepsis Menurut Surasmi (2003), tanda dan gejala sepsis neonatorum biasanya tidak jelas dan non spesifik. Tanda dan gejala dari sepsis neonatorum berupa tanda dan gejala umum seperti hipertermia atau hipotermi bahkan normal, aktivitas lemah atau tidak tampak sakit, berat badan menurun tiba-tiba, terdapatnya tanda dan gejala gangguan saluran pernapasan seperti dispnea, takipnea, apnea, tampak tarikan otot pernapasan, merintih, mengorok, dan pernapasan cuping hidung.

11 Neonatus memiliki risiko sepsis bila memenuhi dua kriteria risiko mayor atau satu kriteria risiko mayor ditambah dua kriteria minor. Faktor risiko mayor yaitu ketuban pecah dini>18 jam, demam intrapatum >38 C, korioamnionitis, ketuban berbau, denyut jantung janin >160x/menit. Faktor risiko minor yaitu ketuban pecah dini>12 jam, demam intrapartum >37 C, skor APGAR rendah, BBLSR, usia kehamilan <37 minggu, gemeli / kembar, keputihan dan infeksi saluran kencing (Wilar, 2010). Bayi didiagnosis sepsis berdasarkan adanya gejala klinik seperti letargi, reflek hisap menurun, merintih, iritabel, kejang, terdapat gangguan kardiovaskuler, gangguan hematolitik, gangguan gastrointestinal, gangguan respirasi waktu pengosongan lambung memanjang dan pemeriksaan laboratorium seperti CRP>10mg/L, IT ratio 0,25, leukosit <5000/µL atau >30.000/ µl dengan atau tanpa biakan darah positip (Wilar, 2010). 2.3 Faktor Risiko Sepsis Neonaturum 2.3.1 Faktor sosiodemografi 2.3.1.1 Umur bayi Penelitian yang dilakukan Jumah (2007), mendapatkan angka kematian akibat sepsis secara signifikan lebih tinggi pada bayi berusia kurang dari tujuh hari dibandingkan pada bayi yang berusia lebih dari tujuh hari (p<0,001). Lestari (2012)

12 mendapatkan proporsi kejadian sepsis di RSUD Dr. Pirngadi Medan pada neonatal dini sebesar 83,3% dan pada neonatal lanjut 16,7%. 2.2.1.2 Jenis kelamin bayi Bayi laki-laki beraktifitas lebih kuat daripada bayi perempuan, sehingga bayi laki-laki memerlukan O2 lebih banyak, apabila kandungan O2 di dalam tubuh kurang menyebabkan bakteri anaerob berkembang. Penelitian Simbolon (2008), tentang faktor risiko sepsis pada bayi baru lahir di RSUD Curup Kabupaten Rejang Lebong terhadap 327 bayi lahir hidup, 117 diantaranya menderita sepsis neonatorum. Faktor risiko yang sering adalah jenis kelamin bayi laki-laki berisiko 2 kali dibandingkan bayi perempuan OR=2.279, CI:1,143-4,546. Penelitian Lestari (2012) menyebutkan proporsi kejadian sepsis neonatorum pada bayi dengan jenis kelamin laki-laki 64,8% dan perempuan 35,2%. 2.2.1.3 Usia ibu Usia ibu melahirkan dibagi menjadi tiga kelompok yaitu remaja, usia produktif dan berisiko. Usia remaja bila <20 tahun, produktif 20-30 tahun dan berisiko >35 tahun. Ibu melahirkan berusia kurang dari 20 tahun sangat berisiko terhadap kematian bayi baru lahir, karena organ reproduksi ibu yang berusia kurang dari 20 tahun masih matur/belum matang. Emosional juga belum stabil serta masih tergantung pada orang lain. Kehamilan di atas usia 35 tahun tidak dianjurkan, karena pada usia di atas 35 tahun selain sangat berbahaya juga karena usia ini ibu sering muncul penyakit seperti hipertensi, penyakit degenerative pada persendian tulang belakang dan panggul. Kematian terbanyak terjadi di RS Telogorejo Semarang adalah

13 pada usia ibu 30-34 tahun (37,5%) dan banyak mengalami kematian bayi. Umur ibu menjadi faktor penting untuk mengurangi dan mencegah terjadinya kematian bayi. Menurut Lestari (2012) prosentase pasien dengan sepsis neonatorum berdasarkan karakteristik usia ibu adalah ibu dengan umur <20 tahun 5,5%, ibu berumur 20-35 tahun 74% dan ibu berumur >35 tahun 20,4%. 2.2.1.4 Pendidikan ibu Pendidikan adalah suatu usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah yang berlangsung seumur hidup. Makin tinggi pendidikan seseorang, makin tinggi pula kesadaran tentang hak yang dimilikinya, hal ini akan meningkatkan tuntutan terhadap hak untuk memperoleh informasi, hak untuk menolak/menerima pengobatan yang ditawarkan (Notoatmojo, 2007). Ibu dengan pendidikan yang cukup dinilai akan lebih banyak mendapat informasi yang dibutuhkannya, sedangkan ibu berpendidikan tinggi diharapkan lebih mudah menyerap suatu informaasi dan himbauan yang diterima. Hal tersebut memungkinkan ibu dapat memilih serta menentukan tindakan terbaik dalam perawatan dan pemeriksaan kehamilan, sehingga pendidikan yang paling berpengaruh dalam kehamilan adalah pendidikan ibu (Simbolon, 2008). Sarwani (2011) mendapatkan ibu dengan pendidikan rendah mempunyai risiko 2,9 kali lebih besar bayinya mengalami kematian perinatal dibandingkan ibu yang berpendidikan tinggi 95%CI:1,2-7,2. Penelitian Junara (2010) tentang insiden dan faktor yang berhubungan dengan sepsis neonatus di RSUP Sanglah Denpasar mendapatkan karakteristik ibu dengan pendidikan SMA merupakan jumlah terbanyak 44,0%.

14 2.2.1.5 Pekerjaan ibu Tanggung jawab dan tugas ibu adalah mengelola rumah tangga, mengasuh dan merawat anak, tetapi banyak juga yang bekerja untuk membantu menopang kehidupan keluarganya, hal ini merupakan ciri khas di negara berkembang. Ibu yang menjadi pekerja keras dengan masukan gizi yang kurang selama kehamilannya akan menjadikan penyebab kelahiran dengan BBLR, salah satu risiko terjadinya sepsis (Simbolon, 2008). Sarwani (2012) pada studi kasus determinan yang memengaruhi kematian perinatal di RSUD Margono Soekarjo Purwokerto mendapatkan proporsi ibu yang bekerja adalah 50% dan yang tidak bekerja 50%. 2.2.1.6 Kelas perawatan ibu Pembagian kelas perawatan rawat inap berkaitan dengan faktor sosial ekonomi masyarakat. Beberapa jenis pembayaran kelas perawatan antara lain peserta umum dan peserta BPJS (Badan Peserta Jaminan Sosial). Kementrian kesehatan saat ini mencanangkan kelas perawatan pelayanan rawat inap berbeda untuk kelompok masyarakat yang berbeda. Kelas pelayanan rawat inap di rumah sakit untuk peserta BPJS terbagi atas tiga kelas untuk lima kelompok peserta. Pembagian kelas perawatan berdasarkan besaran iuran yang dibayar oleh kelompok peserta dan golongan pangkat. Khusus masyarakat kurang mampu, kepesertaan BPJS pembayaran iurannya oleh pemerintah dengan layanan rawat inap yang tersedia hanya dikelas III atau kelas terendah di rumah sakit (kemenkes, 2011). Pada penelitian Sarwani (2011) di RSUD Margono Soekarjo Purwokerto mendapatkan

15 bahwa penghasilan keluarga rendah berpengaruh terhadap kematian perinatal OR=6,6, 95% CI:1,2-36,6. 2.3.2 Faktor klinis 2.3.2.1 Prematuritas Bayi prematur adalah bayi yang dilahirkan pada usia kehamilan kurang dari 37 minggu, dengan bayi berat lahir rendah. Hasil penelitian Sianturi (2012) mendapatkan pada pasien sepsis neonatus kurang bulan dijumpai lebih banyak meninggal (72,7%) dibandingkan bayi cukup bulan atau lebih (27,3%). Prematur menyebabkan kematian karena kekebalan neonatus yang kurang, selain itu bayi prematur juga memerlukan rawat inap yang cukup panjang sehingga dapat meningkatkan risiko infeksi nosokomial (Trotman, 2006). Leal (2012) mendapatkan bayi yang mengalami prematur (umur kehamilan 37 minggu) berisiko 1,35 kali mengalami sepsis dengan onset yang lama dan 2,19 kali untuk onset yang cepat jika dibandingkan dengan yang cukup bulan 95%CI:1,41-3,40 dan 95%CI:0,57-3,18. Kardana (2011) mendapatkan bayi yang mengalami prematur berpeluang 8,5 kali mengalami kematian akibat sepsis dibandingkan dengan bayi lahir aterm RR=8,5, 95%CI:3,19-22,62. 2.3.2.2 Asfiksia Asfiksia adalah keadaan dimana bayi baru lahir tidak mampu bernapas secara spontan dan teratur. Bayi yang mengalami asfiksia biasanya dengan riwayat gawat janin sebelum lahir. Asfiksia sangat erat hubungannya dengan gangguan kesehatan ibu hamil, kelainan tali pusat, atau masalah yang memengaruhi kesejahteraan bayi

16 selama atau sesudah persalinan. Leal (2012) mendapatkan bayi yang lahir dengan Apgar Score 5 berpeluang 1,4 kali lebih besar untuk mengalami sepsis dibandingkan bayi dengan apgar score>5 RR=1,4, 95%CI:1,19-1,76. Kejadian asfiksia menunjukkan bahwa bayi yang baru lahir dengan asfiksia berpeluang 2,96 kali lebih besar untuk mengalami sepsis dibandingkan yang tidak asfiksia (95%CI:1,43-6,15 ). 2.3.2.3 Apgar Score Apgar score dapat digunakan untuk menilai respon resusitasi tetapi tidak untuk menentukan apakah bayi memerlukan resusitasi, langkah mana yang dibutuhkan atau kapan kita menggunakannya. Nilai apgar yang dinilai pada pada resusitasi tidak sama dengan nilai apgar pada bayi baru lahir yang bernapas spontan (Dharmasetiawani, 2014). Menurut Leal (2012), bayi yang lahir dengan apgar score 5 berpeluang 1,4 kali lebih besar mengalami sepsis dibandingkan bayi dengan apgar score>5 RR=1,4 95%CI:1,19-1,76. Bayi yang baru lahir dengan asfiksia berpeluang 2,96 kali lebih besar untuk mengalami sepsis dibandingkan yang tidak asfiksia (95%CI:1,43-6,15). 2.3.2.4 Bayi Berat Lahir rendah / BBLR Bayi berat lahir rendah adalah adalah bayi dengan berat lahir kurang atau sama dengan 2500 gram saat lahir. Angka kematian tertinggi dan membutuhkan perawatan dan tindakan khusus terjadi pada bayi dengan berat badan lahir kurang dari 1500 gram. Pada bayi sepsis dengan berat lahir kurang dari 1500 gram lebih banyak meninggal 27,3% dari pada berat lahir lebih 2.500 gram 18,2% (Sianturi,2012). Menurut Leal (2012), BBLR tidak signifikan berpengaruh terhadap terjadinya sepsis

17 neonaturum baik pada onset lama maupun cepat RR=1,34 95%CI:0,74-2,42 dan RR=0,91, 95%CI:0,63-1,32. Prevalensi bayi sepsis pada penelitian Junara (2010) sebesar 56% dengan RR =2,66 IK=1,03-6,90 artinya bahwa berat bayi lahir rendah 2,66 kali berisiko sepsis. 2.3.2.5 Kondisi air ketuban Air ketuban pada dasarnya steril dan memiliki sifat bakteriostatik. Beberapa mekanisme menghubungkan mekonium dengan infeksi air ketuban, diantaranya adalah perubahan sifat antibakteri air ketuban dan peningkatan pertumbuhan bakteri. Penurunan respons imun pejamu melalui penghambatan fagositosis dan neutrophiloxidative burst oleh mekonium telah dilaporkan. Hubungan antara mekonium dengan infeksi ibu menyebabkan berbagai komplikasi yaitu infeksi intra dan post partum yang meliputi korioamnionitis dan endometritis. Penelitian Odibo (Rini, 2010) menunjukkan adanya pertumbuhan kuman F. nucleatum, Enterobacter aerogenes, Group B Streptococcus, Alpha hemolytic Streptococcus, Candida albicans, Escherichia coli dan Mycoplasma hominis pada air ketuban. Hasil penelitian Evadson dan Nords (Rini, 2010) membuktikan adanya peningkatan pertumbuhan Groub B Streptococcus pada air ketuban. Mekonium dikaitkan dengan peningkatan insiden infeksi intra amnion karena dapat mengubah sifat bakteriostatik pada air ketuban dan menghambat pertahanan imun dari inang. Menurut penelitian Rini (2010), bayi yang lahir dengan air ketuban keruh berisiko 10 kali lebih tinggi mengalami sepsis OR=10, 95%CI:1,3-74,0. Adanya kuman Gram(+) berisiko menyebabkan sepsis sebesar 1,4 (95%CI:0,3-6,8) sedangkan adanya kedua jenis

18 kuman Gram (+) dan (-) meningkatkan risiko sepsis sebesar 2,4 (95%CI:0,7-7,7). Air ketuban mengandung biakan E coli mempunyai risiko kejadian sepsis adalah 3,8 (95%CI:0,8-17,0) dan biakan non E coli 2,4 (95%CI:0,4-13,1). Kuman dalam biakan darah berisiko 6,3 kali lebih tinggi mengalami sepsis (95%CI:1,4-29,3). 2.3.2.6 Usia kehamilan/ Gestasi Usia kehamilan adalah lama kehamilan dihitung dari hari pertama haid yang terakhir yaitu 280 hari atau 40 minggu. Usia kehamilan dibedakan atas kehamilan 36-40 minggu dari haid terakhir disebut matur/aterem/cukup bulan, usia kehamilan 28-35 minggu disebut prematur dan usia kehamilan >42 minggu disebut serotinus. Penelitian Roeslani (2013) di divisi perinatologi RSCM Jakarta 2012 mendapatkan usia gestasi <37 minggu dengan presentase 63,3%, OR=55,85 (15,38-240,27) berpengaruh terhadap faktor risiko terjadinya sepsis neonatorum. Menurut Lestari (2012) proporsi bayi sepsis berdasarkan usia kehamilan ibu adalah usia kehamilan kurang bulan 49,1%, usia kehamilan cukup bulan 46,3% dan usia kehamilan lebih bulan 4,6%. 2.3.2.7 Gravida Wanita yang sedang hamil atau Gravida terbagi atas dua bagian yaitu wanita yang hamil untuk pertama kalinya/primigravida dan wanita yang pernah hamil lebih dari satu kali/multigravida (Manuaba,1998). Menurut Junara (2012), berdasarkan data karakteristik dasar pada kejadian sepsis pada kehamilan pertama merupakan jumlah terbanyak yaitu 52,8%. Leal (2012), mendapatkan gravida berpengaruh terhadap

19 terjadinya sepsis, dimana multigravida berpeluang 2,5 kali dibandingkan ibu non gravida RR=2,5, 95%CI:1,14-4,80. 2.3.2.8 Ketuban Pecah Dini /KPD Ketuban pecah dini adalah keluarnya cairan amnion sebelum waktunya mulai persalinan, terjadi sekitar 7-12% kehamilan. Ketuban pecah dini sering dikaitkan dengan sepsis neonatorum karena berhubungan dengan infeksi genetalia bawah ibu hamil. Infeksi genetalia bawah ibu hamil dapat menyebabkan ketuban pecah dini, demikian pula ketuban pecah dini dapat memudahkan infeksi ascendens pada bayi (Indramawan, 2012). Menurut Sumiyoga (2007) mendapatkan insidensi sepsis neonatorum pada KPD kehamilan aterm adalah 4,4%, Remington (2012) mendapatkan KPD merupakan penyebab terjadinya prematuritas, sebagai faktor risiko sepsis neonatorum dan kematian perinal. Menurut Leal (2012), KPD >24 jam memiliki peluang 3,38 kali untuk mengalami sepsis dibandingkan yang tidak mengalami KPD (RR=3,38, 95%CI:1,80-6,32). Ibu yang mengalami KPD memiliki peluang 7,5 kali berisiko mengalami sepsis OR=7,595 95%CI:3,593-16,058 (Simbolon, 2008). 2.3.2.9 Faktor risiko infeksi mayor/minor Faktor risiko infeksi meliputi faktor mayor dan faktor risiko minor. Seorang bayi memiliki risiko sepsis bila memenuhi dua kriteria mayor atau satu kriteria mayor ditambah dua kriteria minor. Faktor risiko mayor yaitu ibu demam intrapartum >38 C, KPD>24 jam, korioamnionitis, Fetal Distress/Denyut Jantung Janin/DJJ>160x/menit, ketuban hijau. Faktor risiko minor yaitu KPD>12 jam,

20 asfiksia, BBLSR (1500 gr), Usia kandungan <37 minggu, lahir kembar/gemeli, keputihan, tersangka ISK, Ibu demam>37,5 C. Pada Penelitian Wilar (2010) mendapatkan dari semua faktor risiko mayor dan minor, hanya KPD>18 jam yang berhubungan secara signifikan dengan sepsis RR 1,41, IK95%1,24-1,59. 2.2.3 Faktor lingkungan 2.2.3.1 Cara persalinan Riwayat persalinan adalah cara ibu melahirkan, yaitu dibagi antara persalinan spontan dan persalinan dengan tindakan. Persalinan spontan adalah persalinan tanpa menggunakan alat bantu, sedangkan persalinan dengan tindakan adalah melahirkan bayi dengan menggunakan alat bantu antara lain ekstrasi cunam/ vakum dan seksio sesaria. Bayi yang dilahirkan dengan tindakan berisiko mengalami sepsis neonatorum karena infeksi dapat diperoleh dari lingkungannya seperti alat-alat penolong persalinan yang terkontaminasi. Penelitian Lihawa (2013) menyebutkan persentase jenis persalinan pada kejadian sepsis neonatorum adalah persalinan spontan 3,9%, persalinan seksio sesarea 5,6%, persalinan dengan ekstraksi vakum 10,5%. Bayi yang lahir dengan tindakan berisiko 2,142 kali mengalami sepsis neonatorum daripada bayi yang lahir secara normal, OR=2,142, 95%CI:1,047-4,385 (Simbolon, 2008). Berbeda halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Kardana (2011), dikatakan bahwa bayi lahir spontan dan tidak spontan tidak memiliki pengaruh terhadap kejadian sepsis RR=0,84, 95%CI:0,49-1,44. 2.2.3.2 Pemeriksaan kehamilan(ante Natal Care/ANC)

21 Pemeriksaan kehamilan perlu dilakukan ibu selama hamil. Ante natal care dilakukan mulai dari trimester pertama sampai akan melahirkan bertujuan untuk memantau keadaan ibu hamil dan janinnya, mendeteksi secara dini kelainan yang terjadi pada ibu dan janin dan menemukan ibu hamil yang bermasalah, mempunyai risiko tinggi, agar kematian ibu dan janin dapat dihindari. Bayi yang lahir dari ibu yang tidak melakukan ANC mempunyai kemungkinan 4 kali kematian neonatal daripada bayi yang lahir dari ibu yang melakukan ANC OR=4,49, CI:1,39-14,44 (Sukamti, 2011). 2.2.3.3 Tempat persalinan Banyak persalinan bayi dilakukan bukan pada fasilitas kesehatan dan tidak dilakukan oleh tenaga kesehatan yang terlatih (penolong persalinan). Kejadian ini banyak terjadi di negara berkembang, sedang proses persalinan yang dibantu tenaga kesehatan hanya 50 % dari semua wanita hamil (Lawn, McCarthy & Ross, 2001). Penelitian Sukamti (2011) mendapatkan tempat presentase terbesar adalah persalinan yang dilakukan di rumah yaitu 43,2%, persalinan di bidan praktek sebesar 29%, pertolongan persalinan di fasilitas kesehatan sebesar 56,5%. 2.2.3.4 Penolong persalinan Penolong persalinan oleh tenaga kesehatan merupakan pelayanan persalinan yang aman yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang kompeten (Depkes RI, 2009). Penanganan medis yang tepat dan memadai selama melahirkan dapat menurunkan risiko komplikasi yang bisa menyebakan kesakitan serius pada ibu dan bayinya (BPS, BKKBN, Kemenkes& ICF International, 2013). Komplikasi dan kematian ibu serta

22 neonatal terjadi pada masa persalinan, sehingga intervensi ditekankan pada kegiatan pertolongan persalinan yang aman yaitu oleh tenaga kesehatan (Depkes RI, 2001). Djaja (2009) pada penelitian tentang kematian neonatal di Indonesia mendapatkan bahwa proporsi ibu yang melahirkan ditolong oleh tenaga kesehatan meningkat dari 57,2% menjadi 73,6%. 2.2.3.4 Riwayat tindakan di rumah sakit Tindakan invasif di rumah sakit adalah tindakan atau prosedur yang dilakukan baik untuk membantu diagnosa maupun memonitor perjalanan penyakit dan terapi yang dapat menyebabkan pasien cukup rentan terkena infeksi nosokomial. Tindakan invasif antara lain prosedur diagnostik, pemasangan infus, kateter urine (Utama,2006). Pada penelitian Leal (2012), mendapatkan bayi yang mendapatkan ventilasi mekanik berpeluang untuk mengalami sepsis RR=2,71, 95%CI:1,56-4,69. Bayi yang mengalami komplikasi pernapasan berpeluang untuk mengalami sepsis 16,36 kali, 95%CI:3,39-78,91. Bayi yang memperoleh tindakan operasi berpeluang mengalami sepsis 28,97 kali 95%C:I6,99-120. Utomo (2010), mendapatkan faktor risiko bayi yang dilakukan suction berpeluang mengalami sepsis 1,89 kali (OR 1,895, 95%C:I2,180-3,303). Penelitian Lestari (2012) riwayat persalinan dengan tindakan sebesar 82,6% dan persalinan normal sebesar 82,3%. 2.2.3.5 Sumber rujukan Sumber rujukan merupakan faktor penting dalam penatalaksanaan sepsis karena selama periode rujukan menambah kemungkinan terjadinya paparan suhu lingkungan pada bayi selama perjalanan. Bayi sepsis mempunyai komplikasi

23 hipotermi lebih besar, apalagi bila system rujukan dilakukan kurang baik dan benar. Berdasarkan data di RSUD Kabupaten Tapanuli selatan selama tahun 2012 bayi yang dirujuk dengan sepsis sebesar 29,5%, (Simbolon, 2008). Lestari, dkk (2012) mendapatkan karakteristik bayi dengan sepsis neonatorum yang dirawat inap di RSUD Dr. Pirngadi Medan pada tahun 2010-2011, proporsi asal rujukan dari RS lain, rujukan dari bidan/klinik dan bukan rujukan yaitu masing masing 32,4%, 31,5% dan 36,1%. Rumah sakit umum pusat Sanglah pada bulan Agustus-Desember 2013 terdapat 124 rujukan, sedang pada bulan Januari-Mei 2013 sebesar 68 rujukan. Siswanto (2007) mendapatkan angka kematian bayi yang disebabkan infeksi atas septikimia terutama pada bayi dengan berat badan lahir rendah berdasarkan dirujuk dari luar atau tidak lebih banyak 2,2 kali pada kasus rujukan.