BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan, pendidikan dan mengasihi serta menghargai anak-anaknya (Cowie

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak akan dapat bertahan hidup sendiri.

INTENSITAS TERKENA BULLYING DITINJAU DARI TIPE KEPRIBADIAN EKSTROVERT DAN INTROVERT

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Maraknya kasus-kasus kekerasan yang terjadi pada anak-anak usia sekolah

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini menyajikan hal-hal yang menjadi latar belakang penelitian,

BAB I PENDAHULUAN. Individu sebagai makhluk sosial membutuhkan interaksi dengan lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. A. LatarBelakangMasalah. dalam mengantarkan peserta didik sehingga dapat tercapai tujuan yang

BAB I PENDAHULUAN. ukuran fisik, tapi bisa kuat secara mental (Anonim, 2008). Bullying di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekolah adalah suatu lembaga tempat menuntut ilmu. Selain itu sekolah

BULLYING. I. Pendahuluan

I. PENDAHULUAN. Kata kekerasan sebenarnya sudah sangat sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari,

BAB I PENDAHULUAN. terselenggara apabila dipengaruhi oleh suasana kondusif yang diciptakan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Guna mencapai tujuan tersebut, diperlukan kondisi belajar yang kondusif

H, 2016 HUBUNGAN ANTARA REGULASI EMOSI DAN KONTROL DIRI DENGAN PERILAKU BULLYING

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini sering kita dengar tentang banyaknya kasus kekerasan yang

BAB 1 PENDAHULUAN. lingkungan sekolah, banyak siswa yang melakukan bullying kepada siswa lainnya

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Masa remaja merupakan suatu fase perkembangan antara masa kanakkanak

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sekolah merupakan lembaga formal yang dirancang untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. LatarBelakang. individu khususnya dibidang pendidikan. Bentuk kekerasan yang sering dilakukan

I. PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa manusia menemukan jati diri. Pencarian. memiliki kecenderungan untuk melakukan hal-hal diluar dugaan yang

BAB I PENDAHULUAN. masalah yang ringan seperti mencontek saat ujian, sampai pada perkelahian

BAB I PENDAHULUAN. aspek kehidupan terutama dalam bidang pendidikan. Terselenggaranya layanan

BAB I PENDAHULUAN. siswa sendiri. Bahkan kekerasan tidak hanya terjadi di jenjang pendidikan tinggi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. batas kewajaran. Kekerasan yang mereka lakukan cukup mengerikan, baik di

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Saat ini berbagai masalah tengah melingkupi dunia pendidikan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan periode baru didalam kehidupan seseorang, yang

BAB I PENDAHULUAN. Nilai-nilai keagamaan yang diajarkan, di pesantren bertujuan membentuk

BAB I PENDAHULUAN. meneruskan perjuangan dan cita-cita suatu negara (Mukhlis R, 2013). Oleh karena

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekolah merupakan sebuah lembaga atau tempat yang dirancang untuk

BAB I RENCANA PENELITIAN. formal, pendidikan dilakukan oleh sebuah lembaga yang dinamakan sekolah,.

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar

BAB I PENDAHULUAN. mengatakan mereka telah dilukai dengan senjata. Guru-guru banyak mengatakan

BAB I PENDAHULUAN. bullying selalu terjadi bahkan sudah menjadi sebuah tradisi. Bullying

BAB I PENDAHULUAN. Bullying juga didefinisikan sebagai kekerasan fisik dan psikologis jangka

SELF ESTEEM KORBAN BULLYING (Survey Kepada Siswa-siswi Kelas VII SMP Negeri 270 Jakarta Utara)

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan zaman yang semakin pesat ini membawa dampak ke berbagai

BAB I PENDAHULUAN. kognitif, dan sosio-emosional (Santrock, 2007). Masa remaja (adolescence)

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. yang kompleks yang merupakan hasil interaksi berbagai penyebab dari keadaan

BAB I. Pendahuluan. I.A Latar Belakang. Remaja seringkali diartikan sebagai masa perubahan. dari masa anak-anak ke masa dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

Pengertian tersebut didukung oleh Coloroso (2006: 44-45) yang mengemukakan bahwa bullying akan selalu melibatkan ketiga unsur berikut;

BAB II TINJUAN PUSTAKA

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. Mengingat pentingnya pendidikan pemerintah membuat undang-undang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Remaja merupakan generasi penerus bangsa di masa depan, harapanya

BAB I PENDAHULUAN. patut di junjung tinggi serta harus mendapatkan hak-haknya tanpa harus

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Bullying. ketidaknyamanan fisik maupun psikologis terhadap orang lain. Olweus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. 2010). Hal tersebut sejalan dengan Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang

BAB I PENDAHULUAN. aspek kehidupan terutama dalam bidang pendidikan. Terselenggaranya

dijahili, diejek, atau ketika mendapat kekerasan dari temannya (Coloroso, 2007). Berkaitan dengan hal tersebut dapat dilihat pada kasus-kasus yang ter

BAB I PENDAHULUAN. Pengaruh Kelompok Teman Sebaya (Peer Group) Terhadap Perilaku Bullying Siswa Di Sekolah

BAB I PENDAHULUAN. berperilaku dan segala sifat yang membedakan antara individu satu dengan individu

BAB I PENDAHULUAN. Salah satunya adalah krisis multidimensi yang diderita oleh siswa sebagai sumber

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

PENGARUH BULLYING TERHADAP PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK PADA SISWA KELAS X SMA NEGERI 05 KEDIRI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hasil proyeksi sensus penduduk 2011, jumlah penduduk Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tempat yang terdekat dari remaja untuk bersosialisasi sehingga remaja banyak

2016 EFEKTIVITAS STRATEGI PERMAINAN DALAM MENGEMBANGKAN SELF-CONTROL SISWA

Upaya Mengurangi Perundungan melalui Penguatan Bystanders di SMP B Yogyakarta

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kesehatan mental adalah keadaan dimana seseorang mampu menyadari

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan Kontrol..., Agam, Fakultas Psikologi 2016

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Iceu Rochayatiningsih, 2013

Bullying: Tindak Kekerasan Antara Siswa Laki-Laki Dan Siswa Perempuan Dalam Perspektif Jender di SMA Negeri 2 Ambon

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang Masalah. Sadar akan hakikatnya, setiap manusia Indonesia di muka bumi ini selalu

BAB I PENDAHULUAN. keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian. pengertian yang baku hingga saat ini. Bullying berasal dari bahasa inggris,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Bullying. itu, menurut Olweus (Widayanti, 2009) bullying adalah perilaku tidak

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah adalah suatu lembaga tempat menuntut ilmu pendidikan.

JURNAL THE EFECTIVENESS OF SOCIODRAMA TECHNIQUE TO MINIMIZE HIGH BULLYING BEHAVIOR AT EIGHT GRADE OF SMPN 2 PAPAR ACADEMIC YEAR 2016/2017

I. PENDAHULUAN. bullying. Prinsipnya fenomena ini merujuk pada perilaku agresi berulang yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah.

PENGARUH KONSELING KELOMPOK DENGAN MENGGUNAKAN TEKNIK MENULIS JURNAL UNTUK MENGURANGI PERILAKU BULLYING

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bahwa aksi-aksi kekerasan baik individual maupun massal sudah merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. peserta didik. Banyak yang beranggapan bahwa masa-masa sekolah adalah masa

BAB I PENDAHULUAN. masalah penyesuaian diri lainnya Damon dkk (dalam Santrock, 2003). Menurut

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Dari uraian yang telah disampaikan dari Bab I sampai Bab IV, maka dapat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nurlaela Damayanti, 2013

BAB III METODE PENELITIAN. teori yang dikembangkan oleh Coloroso (2006:43-44), yang mengemukakan

MEDIA ANTI BULLYING : PEMBIMBINGAN ANAK USIA DINI PADA TAMAN KANAK-KANAK DI KOTA SINGARAJA

PELATIHAN PEMBUATAN MEDIA BIMBINGAN KONSELING BERMUATAN ANTI BULLYING UNTUK ANAK USIA DINI PADA GURU-GURU TK DI KOTA SINGARAJA

BAB I PENDAHULUAN. siswa atau murid di lingkungan sekolahnya. Masalah yang sering muncul

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menimbulkan konflik, frustasi dan tekanan-tekanan, sehingga kemungkinan besar

BAB I PENDAHULUAN. memperoleh penyelesaian yang lebih baik. Walaupun demikian, masih banyak

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. karena remaja akan berpindah dari anak-anak menuju individu dewasa yang akan

BAB I PENDAHULUAN. lain, saling memberikan pengaruh antara satu dengan yang lain dan ingin

TESIS Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Magister Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling

BAB I PENDAHULUAN. terhadap kesehatan mental individu. Bullying bisa berupa berbagai bentuk dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia sepanjang rentang kehidupannya memiliki tahap-tahap

BAB I PENDAHULUAN. seorang individu mengalami peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Dimasa ini

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. suatu bangsa, apabila rakyat cerdas maka majulah bangsa tersebut. Hal ini senada

BAB I PENDAHULUAN. terjadi akhir-akhir ini sangat memprihatinkan. Perilaku Agresi sangat

BULLYING & PERAN IBU Penyuluhan Parenting PKK Tumpang, 29 Juli 2017

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu ukuran pencapaian sebuah bangsa yang diajukan oleh UNICEF adalah seberapa baik sebuah bangsa memelihara kesehatan dan keselamatan, kesejahteraan, pendidikan dan mengasihi serta menghargai anak-anaknya (Cowie & Jennifer, 2009). Hal inilah yang diharapkan dapat diimplementasikan secara nyata terutama dalam lingkungan sekolah, sehingga dengan demikian sekolah akan menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi anak-anak untuk melakukan segala aktivitas belajar sehari hari. Arahan untuk memelihara kesehatan dan keselamatan, kesejahteraan, pendidikan dan mengasihi serta menghargai anak-anak guna menciptakan sebuah bangsa yang dikatakan berhasil, perlu diadopsi oleh dunia pendidikan termasuk Sekolah Menengah Atas. Arahan dari UNICEF tersebut sejalan dengan usaha negara dalam melindungi anak-anaknya di lingkungan sekolah yang dituangkan dalam Undang-undang Perlindungan Anak No.23 Tahun 2002 pasal 54 yang berisi: Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya. Dengan kata lain, siswa mempunyai hak untuk mendapat pendidikan dalam lingkungan yang aman dan bebas dari rasa takut. Pengelola sekolah dan pihak lain yang

2 bertanggung jawab dalam penyelengaraan pendidikan mempunyai tugas untuk melindungi siswa dari intimidasi, penyerangan, kekerasan atau gangguan. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan tentang peranan sekolah sebagai lembaga yang membantu lingkungan keluarga, oleh karena itu sekolah bertugas mendidik dan mengajar serta memperbaiki dan memperhalus tingkah laku anak didik yang dibawa dari keluarganya. Idealnya sekolah merupakan tempat untuk menuntut ilmu yang dapat memberi rasa nyaman dan kegembiraan tersendiri bagi siswanya, karena di lingkungan sekolah inilah anak akan bertemu dengan teman sebayanya. Pada kenyataannya, lingkungan sekolah bagi seorang pelajar ternyata tidak selalu menyenangkan, malah sebaliknya bisa membuat stress, cemas dan takut. Beberapa tahun belakangan ini telah terjadi suatu fenomena di kalangan anakanak sekolah. Fenomena ini ditandai dengan perilaku mengejek dan mengucapkan kata kasar dan kekerasan fisik kepada orang lain dengan maksud menyakiti orang lain yang dianggap lebih lemah, dan dilakukan dengan berulang-ulang. Hal ini akan berdampak semakin parah jika ejekan, atau penyerangan secara personal dan mempermalukan orang lain dilakukan di depan umum (Ross, 1998). Dalam bahasa Indonesia istilah untuk fenomena ini dinamakan intimidasi, atau dalam istilah yang lebih populer disebut sebagai bullying. Bullying dalam dunia pendidikan merujuk pada perilaku agresif yang dilakukan berulang-ulang oleh seorang atau sekelompok siswa yang memiliki kekuasaan, terhadap siwa atau siswi lain yang lebih lemah, dengan tujuan menyakiti orang tersebut (Olweus, 2005; Coloroso, 2006). Perilaku agresi ini

3 sendiri dapat berupa ejekan, hinaan, atau ucapan kata-kata kasar kepada siswa yang lain. Di Indonesia sendiri, kasus bullying sudah terjadi sejak lama, baik melalui kegiatan yang benama perpeloncoan, ospek, maupun kegiatan masa orientasi siswa. Bullying merupakan bentuk agresivitas antar siswa yang memiliki dampak paling negatif bagi korbannya. Hal ini disebabkan adanya ketidakseimbangan kekuasaan. Pelaku yang berasal dari kalangan siswa/siswi yang merasa lebih senior melakukan tindakan tertentu kepada korban yaitu siswa/siswi yang lebih yunior dan mereka merasa tidak berdaya karena tidak dapat melakukan perlawanan. Siswa yang tertindas umumnya tidak memiliki keberanian untuk melawan temannya yang lebih kuat sehingga mereka lebih banyak diam ketika dijahili, diejek, atau ketika mendapat kekerasan dari temannya (Coloroso, 2006). Saripah (2010) menyebutkan bahwa tidak semua bentuk kekerasan dapat dikatakan sebagai bullying. Kekerasan akan masuk ke dalam kategori bullying jika perilaku tersebut memiliki ciri-ciri: (1) purposeful; (2) imbalance of power; dan (3) continual. Huneck (2006; dalam Yayasan Sejiwa, 2007) mengungkapkan bahwa 10 sampai 16 persen siswa Indonesia melaporkan mendapat ejekan, cemoohan, pengucilan, pemukulan, tendangan ataupun didorong, sedikitnya sekali dalam seminggu. Peristiwa bullying di sekolah dicatat oleh Komisi Perlindungan Anak terjadi sebanyak 472 kasus pada tahun 2009, meningkat 20 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang berjumlah 362 kasus (Detiknews, 17 November 2009). Yayasan Semai Jiwa Amini (2008) mencatat tingkat bullying yang terjadi di tiga

4 kota besar di Indonesia yaitu, Yogyakarta, Surabaya, dan Jakarta yaitu sebesar 67,9 persen di tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA), dan 66,1 persen di tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP). Selanjutnya hasil studi pendahuluan yang dilakukan Saripah (2010) terhadap 526 orang siswa Sekolah Dasar (SD) di lima Kabupaten dan Kota di Jawa Barat menunjukkan bullying menjadi masalah terbesar yang dihadapi siswa Sekolah Dasar (SD) dalam bidang sosial, yakni sebesar 42,59 persen. Sebanyak 224 siswa mengaku sering diganggu, diejek, dimintai uang dan dikucilkan oleh teman atau kakak kelasnya. Sementara itu, siswa yang membentuk kelompok atau gang di sekolah mencapai 130 orang atau 24,71 persen. Hasil observasi awal yang diperoleh dari SMA menunjukkan terdapat beberapa siswa yang melakukan bullying terhadap siswa lain, dan beberapa siswa membentuk kelompok sendiri. Konselor sekolah juga menginformasikan bahwa pihak sekolah berulang kali mendapati kasus siswa yang mengaku sering diganggu, diejek, dikucilkan, bahkan beberapa diantaranya mengaku sering dimintai uang oleh teman atau kakak kelasnya. Fenomena bullying yang kian marak dapat dilihat diri data yang dirilis Pusat Data dan Informasi, Komisi Nasional Perlindungan Anak tahun 2011 menyebutkan angka kekerasan pada tahun 2011 menunjukkan kenaikan yang cukup signifikan sekaligus mengkhawatirkan. Untuk jumlah pengaduan yang masuk, peningkatannya mencapai 98 persen pada tahun 2011, yaitu 2.386 pengaduan dari 1.234 laporan pada tahun 2010 (Kompas, 23 Desember 2011).

5 Gerungan (2002; dalam Saripah, 2010) mengemukakan faktor yang memengaruhi terjadinya bullying antara lain adalah karena latar belakang keluarga dan pola asuh orang tua. Terdapat korelasi antara pola pengasuhan orang tua yang tidak tepat dan pembentukan perilaku agresif pada anak. Penggunaan hukuman fisik, hukuman yang tidak konsisten dan dan pemanjaan yang berlebihan berkaitan dengan perilaku agresif anak (Parsons, 2005). Dengan kata lain siswa yang kerap mendapat hukuman fisik dari orang tua, atau pemanjaan yang berlebihan oleh orang tua dapat meningkatkan perilaku agresif anak sehinga memicu terjadinya perilaku bullying. Faktor lain yang memicu terjadinya bullying menurut Parsons (2005) adalah perbedaan sosial ekonomi. Siswa yang memiliki perbedaan lain dalam hal sosial ekonomi, cenderung lebih rentan terhadap pelecehan. Craig & Pepler (1997) mengemukakan bahwa anak yang berasal dari strata ekonomi/kelompok sosial yang terpinggirkan atau dipandang negatif oleh lingkungan, rentan mengalami bullying. Dalam kasus bullying di sebuah sekolah di Jakarta, Prijanto (Kompas, 31 Oktober 2011) menyebutkan bahwa setelah diteliti, pelaku bullying biasanya dilakukan oleh anak-anak orang kaya. Hasil penelitian lain menemukan terdapat konsistensi perbedaan gender pada perilaku agresivitas, terutama school bullying. Pada usia 9 samapai 11 tahun, anak laki-laki menunjukkan peningkatan agresivitas dan dominasi dibandingkan dengan anak perempuan pada usia yang sama (Offord, Boyle & Racine, 1991 dalam Bee, 1994). Kekerasan fisik yang dilakukan anak laki-laki cenderung lebih

6 banyak tiga atau empat kali dibandngkan dengan anak perempuan (Parsons, 2005). Faktor-faktor tersebut diperkirakan mendukung terjadinya tindakan bullying di SMA. Hal ini didukung data dari konselor sekolah tentang adanya kesenjangan ekonomi di antara siswa. Selain itu siswa juga berasal dari latar belakang keluarga yang berbeda-beda. Dilihat dari segi dampak yang ditinggalkannya, bullying meninggalkan dampak negatif bagi pihak yang ada di dalamnya, baik yang melakukan bully maupun yang menjadi korban bully itu sendiri. Dampak negatif tersebut berupa kesulitan dalam bergaul, tertekan, merasa takut datang ke sekolah, sulit konsentrasi, bahkan depresi dan berkeinginan untuk bunuh diri (Olweus, 1993; Djuwita, 2006; dalam Saripah, 2010). Dalam sebuah peristiwa bullying, pelaku dan korban sama-sama merupakan elemen kunci yang perlu mendapatkan perhatian khusus. Perilaku bully, baik pelaku maupun korbannya adalah awal bagi perilaku/tindak kekerasan dan menampilkan hubungan yang signifikan antara perilaku ini dengan aktivitas kriminal pada kehidupan dewasa. Sekitar 24,60 persen anak yang teridentifikasi sebagai pelaku bullying tecatat sebagai pelaku kriminal pada masa dewasanya (Banks, 1997). Dampak negatif yang disebabkan oleh bullying menyebabkan pentingnya untuk mengenali perilaku ini. Masalah bullying perlu dipahami sebagai suatu masalah serius oleh semua pihak, guru, orang tua dan siswa (pelaku maupun korban) dan pihak terkait lainnya, karena kekerasan antar pelajar ini bersifat merusak baik korban maupun

7 pelaku. Di Indonesia beberapa upaya pencegahan bullying antar pelajar ini telah dilakukan oleh berbagai pihak, dari mulai sekolah itu sendiri, LSM, lembaga pemerintah, dan juga lembaga internasional. Salah satu cara yang dilakukan adalah menyelenggarakan pelatihan dengan tema anti kekerasan. Pemerintah sendiri sejauh ini telah menetapkan berbagai Undang-undang dan peraturan dalam mengatur masalah kesejahteraan anak. Sejumlah buku juga menawarkan beragam saran untuk menghilangkan perilaku bullying di sekolah, mulai dari penerapan sanksi keras, sampai penyelesaian tanpa menyalahkan siapa pun. Mengingat pentingnya upaya untuk menanggulangi perilaku bullying di kalangan siswa, maka perlu adanya suatu solusi lain yang efektif untuk menanggulanginya, dan salah satu solusi yang dapat dilakukan adalah melalui pendidikan khususnya bimbingan dan konseling. Bimbingan dan konseling memiliki beberapa teknik yang dapat digunakan untuk membantu individu dalam mengatasi masalah tersebut, di antaranya adalah: bimbingan kelompok, konseling individual, dan konseling kelompok (Prayitno, 1999). Berkaitan dengan salah satu karakteristik usia anak Sekolah Menengah Atas yaitu lebih cenderung berkelompok (gank) maka penelitian ini menggunakan konseling kelompok dalam menanggulangi perilaku bullying dengan teknik role playing. Role playing dalam penelitian adalah mendramatisasi tingkah laku untuk mengurangi perilaku bullying dengan cara memainkan peran dalam sebuah cerita, sehingga memungkinkan siswa untuk memahami dan menafsirkan perannya

8 masing-masing, serta pencarian solusi terhadap masalah yang dihadapi. Dalam pelaksanaannya, peneliti berperan sebagai fasilitator, serta membantu siswa membina hubungan dengan orang lain, mengembangkan empati, bertanggung jawab, dan mengendalikan diri. Role playing yang dirancang bertujuan untuk melatih siswa mengelola emosinya, sehingga perilaku bullying di kalangan siswa dapat ditanggulangi. B. Identifikasi dan Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah dapat diidentifikasi permasalahan sebagai berikut. Bullying di sekolah merupakan suatu bentuk kekerasan yang terjadi di kalangan siswa dan bertujuan untuk menyakiti siswa yang lebih lemah. Bagi korban, dampak adalah munculnya luka secara fisik maupun psikis, sehingga korban sering kali hidup dalam kekhawatiran dan ketidak nyamanan di sekolah. Bagi pelaku bullying itu sendiri, kebiasaan ini memunculkan anggapan bahwa mereka lebih berkuasa dan memiliki kontrol terhadap korban. Terdapat tiga hal yang menjadi pemicu terjadinya bullying di sekolah, antara lain: (1) pola asuh orang tua yang cenderung membiasakan hukuman fisik yang tidak konsisten dan memanjakan anak secara berlebihan; (2) perbedaan sosial ekonomi dan; (3) jenis kelamin, anak laki-laki cenderung labih sering melakukan bullying. Fenomena bullying pada siswa memerlukan sebuah pendekatan yang tepat untuk menanggulangi perilaku bullying agar fenomena ini dapat ditanggulangi

9 sehingga sekolah akan menjadi tempat yang nyaman bagi semua pihak. Bullying merupakan masalah yang kompleks dan tidak hanya memiliki solusi tunggal yang efektif untuk menanggulanginya (Mellow, 2008; Sciarra, 2004; dalam Saripah, 2010). Oleh karena itu bimbingan melalui teknik role playing juga dipandang sebagai modus yang tepat untuk menanggulangi bullying. Melakukan bimbingan melalui teknik role playing untuk menanggulangi perilaku bullying, membutuhkan sebuah teknik yang baik dan sesuai dengan kebutuhan siswa, sehingga tujuan yang diinginkan dapat tercapai dengan optimal. Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka secara umum permasalahan penelitian dirumuskan dalam pertanyaan sebagai berikut. 1. Bagaimana pola perilaku bullying di SMA dilihat dari aspek jenis kelamin dan tingkat sosial ekonomi keluarga? 2. Teknik role playing seperti apa yang paling sesuai untuk menanggulangi perilaku bullying siswa? 3. Bagaimana efektivitas bimbingan melalui teknik role playing dalam menanggulangi perilaku bullying siswa? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan memperoleh gambaran mengenai hal-hal berikut. 1. Mendeskripsikan pola perilaku bullying di SMA dilihat dari aspek sosial ekonomi keluarga, dan jenis kelaminnya.

10 2. Merumuskan teknik role playing yang paling sesuai untuk menanggulangi perilaku bullying siswa. 3. Mengukur dan mendeskripsikan efektivitas bimbingan dengan teknik role playing dalam menanggulangi perilaku bullying siswa. D. Signifikansi dan Manfaat Penelitian Signifikansi penelitian untuk menanggulangi perilaku bullying pada siswa sekolah menengah atas didasarkan pada kebutuhan dan pemikiran sebagai berikut. 1. Setiap perilaku agresif, apapun bentuknya, pasti memiliki dampak buruk bagi korbannya. Seringkali anak-anak yang menjadi korban bullying tidak mengetahui cara menghadapi perilaku agresif pelaku bullying. 2. Layanan BK memiliki tantangan dalam mengatasi masalah yang kerap menimpa anak masa remaja, tapi juga memiliki peluang untuk mengatasi masalah tersebut. Di satu sisi, fenomena bullying selalu menjadi perhatian khusus di sekolah-sekolah dan telah diupayakan solusi untuk menanggulanginya, namun di sisi lain, bullying tetap ada dan tidak dapat dihilangkan, bahkan fenomena ini cenderung meluas. 3. Perilaku bullying merupakan awal bagi tindak kekerasan dan aktivitas kriminal pada kehidupan dewasa. Hal ini terjadi karena siswa dapat belajar untuk mengintimidasi dengan berbagai cara, termasuk dengan mendapat perlakuan yang keras, menyaksikan perbuatan yang kejam, atau mendapatkan imbalan atas perlakuan yang agresif.

11 Hasil penelitian diharapkan mempunyai manfaat sebagai berikut. 1. Manfaat teoretik Hasil penelitian diharapkan mempunyai manfaat dalam pengembangan ilmu maupun pelaksanaan bimbingan dan konseling, khususnya dalam jalur pendidikan formal. 2. Manfaat empirik Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat bagi praktisi dalam menangani bullying di lingkungan sekolah. Secara spesifik, hasil penelitian ini diharapkan menjadi masukan bagi: (a) pihak sekolah dalam hal ini kepala sekolah, agar memberikan ruang yang seluas-luasnya kepada konselor di sekolah dalam rangka menanggulangi perilaku bullying siswa; (b) konselor agar mampu mampu melakukan bimbingan melalui teknik role playing sebagai salah satu alternatif yang terbukti efektif dalam usaha menanggulangi perilaku bullying siswa;; (c) peneliti selanjutnya, dapat menggunakan hasil penelitian ini sebagai rujukan dalam penelitian yang berkaitan dengan penanggulangan perilaku bullying. E. Asumsi Penelitian 1. Bullying sebagai sebuah pola perilaku agresif yang disengaja dilakukan dengan motif tertentu. Bullying merupakan salah satu bentuk tindak kekerasan atas dasar perasaan dan pemikiran kekuasaan dengan cara memanfaatkan sisi lemah korban baik secara fisik maupun psikologis (Saripah, 2010).

12 2. Selain bersifat preventif (mencegah), bimbingan dan konseling kelompok bersifat remediation (penyembuhan) dalam sebuah masalah atau kesulitan pada diri individu dengan dilaksanakan secara kelompok (Natawijaya, 1987). 3. Role playing merupakan intervensi yang dikembangkan yang berkaitan dengan penggunaan sistematis dari metode bermain oleh seorang konselor untuk membawa peningkatan dalam kemampuan siswa sampai kemampuan yang optimal di sekolah. Role playing berguna untuk mengatasi kesulitan anak, mengembangkan pola perilaku adaptif, mengendalikan agresifitas, meningkatkan kemampuan berempati, mengelola emosi, bertanggung jawab, memiliki interpersonal skill yang baik dan mampu memecahkan masalah secara efektif dan bijaksana (Van Fleet, 2001). F. Metode Peneitian Penelitian bertujuan untuk mendeskripsikan efektivitas bimbingan melalui teknik role playing dalam menanggulangi perilaku bullying siswa. Berdasarkan tujuan tersebut, maka metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian eksperimen untuk mengetahui pengaruh suatu tindakan terhadap obyek yang diamati dan menguji hubungan sebab akibat. Metode eksperimen bertujuan meneliti ide (baik praktik maupun prosedur) untuk melihat pengaruhnya terhadap hasil atau variabel dependen.

13 Desain dalam penelitian mengarah pada desain penelitian eksperimen semu (quasi experimental designs) yang dilakukan tanpa randomisasi (Sugiyono, 2010), namun masih menggunakan kelompok kontrol. Desain eksperimen kuasi memasukkan manipulasi satu atau lebih pada variabel bebas.