Abstract. Balinese society are bound by two village system, they are village

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang luas, besar, dan memiliki keanekaragaman

PROFIL DESA PAKRAMAN BULIAN. Oleh: I Wayan Rai, dkk Fakultas Olahraga dan Kesehatan, Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja

TEMBARAN DAERAH NOMOR:3 TAHUN:1988 SERI:DNO'3 PROPINSI DAERAH TINGKAT I BALI TENTANG

UNDANG-UNDANG DESA (UU No. 6 tahun 2014): Berkah ataukah Masalah Bagi Desa Adat. Oleh. Prof. Dr. Tjok Istri Putra Astiti,SH.MS

GUBERNUR BALI PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG LEMBAGA PERKREDITAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,

Bali. Pola Tata Ruang Tradisional

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG LEMBAGA PERKREDITAN DESA. 2.1 Sejarah Singkat Terbentuknya Lembaga Perkreditan Desa (LPD)

BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 63 TAHUN 2012 TENTANG FORUM KEWASPADAAN DINI MASYARAKAT DI KABUPATEN BADUNG

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG SUBAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,

TEORI KONFLIK DAN INTEGRASI SOSIAL

BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN BUPATI TANAH BUMBU NOMOR 33 TAHUN 2015 TENTANG

EKSISTENSI DESA ADAT DAN KELEMBAGAAN LOKAL: KASUS BALI

BAB V PENYAJIAN VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

PENYELESAIAN PERKARA OLEH LEMBAGA ADAT MENGENAI PERKELAHIAN ANTAR SESAMA KRAMA DESA YANG TERJADI DI DESA PAKRAMAN SARASEDA

BAB I PENDAHULUAN. dan menyelenggarakan kegiatan-kegiatan keagamaan, kepercayaan kepada leluhur

PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG

PENGATURAN KEARIFAN LOKAL DALAM PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG KEPARIWISATAAN BUDAYA BALI

LAPORAN PENELITIAN PERORANGAN MODAL SOSIAL DAN PERUBAHAN SOSIAL: STUDI SOSIOLOGI TERHADAP KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT YOGYAKARTA DAN BALI

EKSISTENSI AWIG-AWIG TERHADAP PENDUDUK PENDATANG DI DESA PAKRAMAN TEGALLALANG. Oleh :

MAJELIS ADAT PEKRAMAN PROVINSI LAMPUNG TAHUN 2016

PENEGAKAN AWIG-AWIG LARANGAN BERBURU BURUNG DI DESA PAKRAMAN KAYUBIHI, KECAMATAN BANGLI, KABUPATEN BANGLI

EKSISTENSI OTONOMI DESA PAKRAMAN PADA MASYARAKAT ADAT DI BALI

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 43 TAHUN 2006 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

EKSISTENSI LEMBAGA PERKREDITAN DESA SETELAH DIKELUARKANNYA UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG LEMBAGA KEUANGAN MIKRO

SENGKETA TANAH SETRA DAN PENYELESAIANNYA (STUDI KASUS SENGKETA BANJAR ADAT AMBENGAN DENGAN BANJAR ADAT SEMANA UBUD KABUPATEN GIANYAR)

PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG

OLEH Dr. NI NYOMAN SUKERTI, SH.,MH. BAGIAN HUKUM & MASYARAKAT FAKULTAS HUKUM

BAB I PENDAHULUAN. bisnis dan perpindahan lokasi kerja dari satu tempat ke tempat lain (Sears dalam

PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT

TUGAS AKHIR KONFLIK DI INDONESIA DAN MAKNA PANCASILA

PERANAN AWIG-AWIG DALAM MELESTARIKAN ADAT DAN BUDAYA DI BALI

BAB I PENDAHULUAN. 1 Awig-awig pesamuan adat Abianbase, p.1

BAB VI KESIMPULAN. tenggara Pulau Bali. Dari Pulau Bali, Nusa Lembongan hanya bisa ditempuh

KONFLIK SOSIAL Pengertian Konflik

PERANAN DESA PAKRAMAN DALAM MEMPERKUAT KETAHANAN SOSIAL BUDAYA MELALUI KONSEP AJARAN TRI HITA KARANA. Ni Wayan Suarmini * Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. Bali sebagai bagian dari Kebudayaan Indonesia yang bersifat Binneka Tunggal Ika (Berbedabeda

PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH TINGKAT I BALI NOMOR 3 TAHUN 1991 T E N T A N G PARIWISATA BUDAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LAPORAN PENELITIAN MENGGALI NILAI-NILAI DEMOKRASI LOKAL DAN PELEMBAGAAN PARTISIPASI PUBLIK DI BALI

BAB I PENDAHULUAN. adanya tradisi-tradisi yang telah dijalankan dari masa ke masa yang bersifat

BAB I PENDAHULUAN. sebuah permasalahan penataan ruang yang hampir dihadapi oleh semua

PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II BADUNG NOMOR 20 TAHUN 1994 TENTANG PENGUSAHAAN DAN RETRIBUSI OBYEK WISATA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Representasi Budaya Masyarakat Lokal dan Politik Identitas Desa Adat Kuta dalam

BAB I PENDAHULUAN. ranah pemerintah daerah seperti Desa Pakraman kebijakan tentang hak-hak

KEDUDUKAN SUAMI ISTRI TERHADAP HARTA BENDA PERKAWINAN DALAM HAL TERJADI PERCERAIAN: PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG PERKAWINAN DAN HUKUM ADAT BALI

BAB I PENDAHULUAN. keragaman tradisi, karena di negeri ini dihuni oleh lebih dari 700-an suku bangsa

TUGAS AGAMA KLIPING KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA, ANTAR SUKU, RAS DAN BUDAYA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 16 TAHUN 2007 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN KABUPATEN DAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG,

BAB I PENDAHULUAN Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. menentukan arah/kebijakan pembangunan. 2

PERAN LEMBAGA ADAT DALAM PENGELOLAAN WISATA BAHARI (Studi Kasus Di Pantai Pandawa Desa Adat Kutuh Badung-Bali)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANYUWANGI,

ABSTRACT The Position Switch Religion of Krama Villager who Staying In the Village area at Katung Village Territory, Kintamani, Bangli

LEONARD PITJUMARFOR, 2015 PELATIHAN PEMUDA PELOPOR DALAM MENINGKATKAN WAWASAN KESANAN PEMUDA DI DAERAH RAWAN KONFLIK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ada beberapa kajian lain yang berkaitan dengan penelitian Partisipasi

Kata Kunci: LPD, pertumbuhan laba, pertumbuhan aset.

PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT

BAB II KONFLIK DALAM KACAMATA RALF DAHRENDORF. keterlibatan konflik yang di dalamnya terdapat waktu, tenaga, dana, dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

PERANAN AWIG-AWIG DESA PAKRAMAN DALAM MENCEGAH TINDAK PIDANA PENCURIAN BENDA SAKRAL DI DESA PELAGA KECAMATAN PETANG KABUPATEN BADUNG

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 51 TAHUN 2016 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN PURA AGUNG BESAKIH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB 1 PENDAHULUAN. Konstruksi identitas jender, Putu Wisudantari Parthami, 1 FPsi UI, Universitas Indonesia

PENYELESAIAN SENGKETA ADAT BERBASIS KEARIFAN LOKAL DALAM KONSTRUKSI MASYARAKAT YANG IDEAL

KONSEP TRI HITA KARANA DALAM SUBAK

KEPUTUSAN RAPAT ANGGOTA BANJAR DHARMA AGUNG KUPANG NOMOR : 1/KEP/R.ANGG/2013 TENTANG ANGGARAN DASAR BANJAR DHARMA AGUNG KUPANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASIR NOMOR 3 TAHUN 2000 TENTANG PEMBERDAYAAN, PELESTARIAN, PERLINDUNGAN DAN PENGEMBANGAN ADAT ISTIADAT DAN LEMBAGA ADAT

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Bentrok antara kedua desa, yaitu Desa Balinuraga dengan Desa Agom, di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Maha Esa kepada setiap makhluknya. Kelahiran, perkawinan, serta kematian

SANKSI PACAMIL DI DESA BLAHBATUH GIANYAR DITINJAU DARI PENDIDIKAN KARAKTER

Jurnal Ilmiah Dinamika Sosial Volume 1, Nomor 2, Agustus 2017 ISSN:

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan. World Health Organization (WHO) memperkirakan pada tahun 2030

BUPATI BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG

LAPORAN PENELITIAN TIM PENELITI/PELAKSANA

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 30 TAHUN 2015 TENTANG KEWASPADAAN DINI MASYARAKAT GUBERNUR BALI,

BAB I PENDAHULUAN. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika secara de facto mencerminkan multi budaya

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 10 TAHUN 2015 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era sekarang ini tanah merupakan kekayaan dan modal dasar dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkawinan merupakan hal yang sakral dilakukan oleh setiap manusia

I. PENDAHULUAN. instruksi, mengolah data sesuai dengan instruksi dan mengeluarkan hasilnya

BAB I PENDAHULUAN. 275 juta orang pada tahun Sebagian besar penduduk Indonesia hidup dari

BAB IV ANALISIS POLA KOMUNIKASI ANTARBUDAYA ETNIS LAMPUNG DAN BALI DALAM MEMELIHARA KERUKUNAN HIDUP BERMASYARAKAT

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 4 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA

SKRIPSI. Disusun oleh: I Dewa Gede Aditya Dharma Putra NIM PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

Makalah Manajemen Konflik

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DAN DESA ADAT Tinjauan Tentang Sampah dan Pengelolaan Sampah

KOORDINASI ANTARA DESA DINAS DAN DESA PAKRAMAN DALAM DINAMIKA PENANGANAN TERHADAP PENDUDUK PENDATANG DI BALI

BAB I PENDAHULUAN. Tiap-tiap hukum merupakan suatu sistem yaitu peraturan-peraturannya

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 18 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERDAYAAN,PELESTARIAN DAN PENGEMBANGAN ADAT ISTIADAT DAN LEMBAGA ADAT

WALIKOTA DENPASAR PERATURAN DAERAH KOTA DENPASAR NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN

BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Pengertian Konflik

PERANG TOPAT 2015 KABUPATEN LOMBOK BARAT Taman Pura & Kemaliq Lingsar Kamis, 26 November 2015

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 4 TAHUN 2003 TENTANG PEMERINTAHAN MUKIM DALAM PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

BAB II KONFLIK DALAM PERSPEKTIF DAHRENDORF. melekat dalam setiap kehidupan sosial. Hal-hal yang mendorong timbulnya

Putu Sukma Kurniawan Jurusan Akuntansi Program S1 Universitas Pendidikan Ganesha ABSTRACT

JAMINAN TANAH WARIS DI LUAR DESA TENGANAN PEGRINGSINGAN

BAB I PENDAHULUAN. budaya. Pada dasarnya keragaman budaya baik dari segi etnis, agama,

IMPLEMENTASI AJARAN TRI HITA KARANA PADA SEKAA TARUNA PAGAR WAHANA DI DESA ADAT PELAGA KECAMATAN PETANG, KABUPATEN BADUNG

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Transkripsi:

MENINGKATNYA INTENSITAS KONFLIK DESA PAKRAMAN DI BALI Anak Agung Istri Ngurah Dyah Prami Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana 1021005005 E-mail: dyahprami@yahoo.co.id Abstract Balinese society are bound by two village system, they are village administration (village official) and traditional village (desa pakramaan). In practice, the two systems villages are often overlap. Thus, it is not uncommon cause of conflict in society. This condition is worsened by the full authority for Pakraman to manage its resources based on the Bali Provincial Regulation No. 3 of 2001 on Pakraman. In an effort to resolve conflicts need for conflict management in the form of deliberation to reach a deal. Keywords: conflict, traditional village. Pendahuluan Di Indonesia pada umumnya dan di Bali pada khususnya telah banyak terjadi konflik yang bernuansa aspek sosial budaya, baik antarindividu, antarkelompok, maupun antardesa. Pada umumnya yang menjadi penyebab terjadinya konflik adat adalah terjadinya perbedaan dalam mempersepsikan dan menyingkapi pelaksanaan aturan adat. Selain itu, konflik adat juga disebabkan karena adanya rasa tidak puas terhadap sistem adat yang berlaku dalam 1

masyarakat, serta terjadinya konflik kepentingan antaranggota masyarakat desa adat. Konflik pada dasarnya selalu ada dalam kehidupan masyarakat. Menurut teori konflik, kesatuan dalam masyarakat terbentuk oleh adanya sistem yang dipaksakan (Ritzer& Douglas, 2011: 154). Konflik dipandang sebagai aspek penting untuk melahirkan suatu perubahan. Konflik dan disintegrasi yang terjadi dalam masyarakat didorong oleh adanya persamaan dan perbedaan kepentingan sosial (Setiadi dan Kolip, 2011: 347). Konflik tidak selalu dapat diselesaikan dengan damai. Terkadang, konflik justru berakhir dengan kekerasan. Terdapat beberapa macam bentuk konflik, diantaranya konflik gender, konflik rasial dan antarsuku, konflik antarumat agama, konflik antargolongan, konflik kepentingan, konflik antarpribadi, konflik antarkelas sosial, dan konflik negara. Di Bali, konflik kepentingan bernuansa adat yang terjadi di daerah Bangli, Gianyar, dan Karangasem dipicu adanya ketidaksepakatan terhadap pelaksanaan upacara kematian yang dipengaruhi hubungan sosial yang kurang harmonis. Konflik kepentingan yang berkedok konflik adat sering kali terjadi dalam masyarakat Bali. Terkadang, adat juga digunakan sebagai alat untuk memberikan sanksi terhadap kelompok yang lemah dan menunjukkan kekuasaan dan wewenangnya. Konflik adat juga dapat disebabkan adanya perebutan aset desa maupun aset lainnya yang memiliki nilai ekonomi, konflik penentuan tapal batas desa baik secara administrasi maupun secara adat, pemekaran desa, dan konflik yang disebabkan oleh tradisi yang terlalu mengikat. 2

Masyarakat Bali memiliki keunikan karena menggunakan dua bentuk desa, yaitu desa adat dan desa administrasi. Dengan berlakunya otonomi daerah, payung hukum yang secara tegas melindungi dan mengatur desa pakraman adalah Perda Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman. Perda ini merupakan pengganti dari Perda Nomor 06 Tahun 1986 tentang Kedudukan, Fungsi, dan Peranan Desa Adat sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam Provinsi Tingkat I Bali, yang dipandang tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Berdasarkan perda tersebut, istilah desa adat diganti menjadi desa pakraman. Perda Provinsi Bali Nornor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman menentukan sebagai berikut: Desa pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun-temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga atau Kahyangan Desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri (pasal 1 no urut 4). Banjar Pakraman adalah kelompok masyarakat yang merupakan bagian Desa Pakrarnan (Pasal 1 nomor urut 4). Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa desa pakraman merupakan organisasi masyarakat Hindu Bali yang berdasarkan kesatuan wilayah tempat tinggal bersama dan spiritual keagamaan yang paling mendasar bagi pola hubungan dan pola interaksi sosial masyarakat Bali. Pasal 5 Perda Provinsi Bali No 3 Tahun 2001 menyatakan bahwa desa pakraman mempunyai tugas sebagai berikut. 1. Membuat awig-awig (aturan desa). 3

2. Mengatur krama desa (masyarakat desa). 3. Mengatur pengelolaan harta kekayaan desa. 4. Bersama-sama pemerintah melaksanakan pembangunan di segala bidang terutama di bidang keagamaan, kebudayaan, dan kemasyarakatan. 5. Membina dan mengembangkan nilai-nilai budaya bali dalam rangka memperkaya, melestarikan, dan rnengembangkan kebudayaan nasional pada umumnya dan kebudayaan daerah pada khususnya berdasarkan paras-paros, sagilik-saguluk, salunglung-sabayantaka (musyawarah-mufakat). 6. Mengayomi krama desa (masyarakat desa). Pasal 6 Perda Provinsi Bali No 3 Tahun 2001 menyatakan bahwa desa pakraman mempunyai wewenang sebagai berikut. 1. Menyelesaikan sengketa adat dan agama dalam lingkungan wilayahnya dengan tetap membina kerukunan dan toleransi antarkrama desa (warga desa) sesuai dengan awig-awig (aturan adat) dan adat kebiasaan setempat. 2. Turut serta menentukan setiap keputusan dalam pelaksanaan pembangunan yang ada di wilayahnya, terutama yang berkaitan dengan Tri Hita Karana. 3. Tidak melakukan perbuatan melanggar hukum di dalam dan di luar desa pakraman. Dari Perda ini paling tidak dapat ditemukan enam unsur pokok yang membentuk desa pakraman, yaitu. 1. Kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali. 2. Mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun. 4

3. Dalam ikatan Kahyangan Tiga (Kahyangan Desa). 4. Mempunyai wilayah tertentu. 5. Mempunyai harta kekayaan sendiri. 6. Berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Dari keenam unsur itu dapat dipahami bahwa perda tersebut berupaya menegaskan bahwa sistem sosial masyarakat (desa pakraman) Bali bercorak Hindu. Substansi awig-awig desa pakraman juga dikatakan dijiwai oleh agama Hindu yang merupakan penjabaran dari falsafah Tri Hita Karana, yaitu (1)Parhyangan sebagai kongkretisasi tempat pemujaan kepada Sang Hyang Widhi Wasa yang mengatur kegiatan manusia dalam melakukan hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa dalam wujud upacara keagamaan; (2) Pawongan sebagai perwujudan hubungan manusia dengan sesamanya dalam melaksanakan berbagai kegiatan sosial; dan (3) Palemahan atau wilayah berupa perwujudan hubungan manusia dengan alam yang menjadi tempat pemukiman dan sumber kehidupan masyarakat. Akan tetapi, ada kelemahan dari Perda No. 3 Tahun 2001 karena dalam perda tersebut tidak secara tegas menjelaskan mengenai cakupan wilayah desa adat dengan desa administrasi. Kondisi inilah yang seringkali menjadi pemicu terjadiya konflik adat di Bali. Selain itu, perda tersebut belum mengatur kedudukan sekaa taruna (organisasi pemuda) sebagai organisasi yang hidup dan berkembang di banjar adat. Sebagai payung hukum desa pakraman, perda tersebut juga masih memungkinkan munculnya multitafsir. Oleh karena itu, Perda ini hendaknya dipandang sebagai landasan yuridis formal bagi eksistensi desa 5

pakrama di Bali. Selebihnya, peranan dan fungsi desa pakraman dalam mengatur kehidupan krama adat harus dikembalikan pada otonomi desa pakraman yang meletakkan awig-awig sebagai sumber aturan yang harus diikuti di wilayah desa pakraman tersebut. Pembahasan Perda Provinsi Bali Nornor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman menyebutkan bahwa desa pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun-temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga atau Kahyangan Desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri (pasal 1 no urut 4). Banjar pakraman adalah kelompok masyarakat yang merupakan bagian desa pakrarnan (Pasal 1 nomor urut 4). Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa desa pakraman merupakan organisasi masyarakat Hindu Bali yang berdasarkan kesatuan wilayah tempat tinggal bersama dan spiritual keagamaan yang paling mendasar bagi pola hubungan dan pola interaksi sosial masyarakat Bali. Hanya saja, Perda No. 3 Tahun 2001 tidak membahas secara tegas bahwa di Bali selain desa pakraman juga terdapat desa dinas, dimana masing-masing mempunyai wewenang tersendiri. Sehingga melalui perda tersebut, seolah menggambarkan bahwa di Bali hanya diberlakukan satu sistem desa yakni desa pakraman. Perda No. 3 Tahun 2001 juga memberikan otonomi yang sangat besar pada desa pakraman sehingga kondisi tersebut sangat berpotensi dalam 6

memperkeruh berbagai konflik adat yang terjadi di Bali. Konflik dengan intensitas kecil pun sangat berpotensi dalam memicu terjadinya konflik yang lebih besar lagi. Sehingga bila ditinjau situasi di Bali saat ini sering kali terjadi konflik yang berlebih hanya dipicu permasalahan yang cukup sederhana. Kasus Konflik antara Desa Adat Kemoning dengan Budaga menjadi salah satu contoh nyata konflik adat yang berakhir dengan kekerasan. Terbunuhnya seorang warga menjadi bukti bahwa otoritas penuh yang dimiliki desa pakraman memicu terjadinya arogansi dari anggota masyarakat desa pakraman. Padahal pada awalnya konflik tersebut diindikasi diawali dengan adanya perebutan tanah kuburan, Pura Dalem, beserta Pura Prajapati yang pada awalnya diempon (dikelola) oleh kedua desa tersebut beserta Desa Adat Galiran dan Gunung Niang. Karena konflik yang terjadi tidak dapat diselesaikan dengan musyawarah mufakat antaranggota masyarakat desa adat, akhirnya konflik berujung pada kekerasan dan petikaian. Kasus ini menjadi bukti bahwa terjadinya disfungsi dalam sistem pengelolaan desa pakraman (desa adat) terkait dengan desa administrasi yang tidak berjalan beriringan. Dari ilustrasi di atas menggambarkan bagaimana sesungguhnya pengaruh perda terhadap konsistensi dan pemahaman masyarakat terhadap tugas dan fungsi dari desa pakraman. Desa pakraman dan desa dinas merupakan pilar-pilar utama dalam kehidupan masyarakat Bali. Desa pekraman yang biasanya dikaitkan dengan keberadaan Pura Kahyangan Tiga (Pura Puseh, Dalem, dan Bale Agung) menjadi identitas yang sangat penting bagi masyarakat Bali. Hal itu kemudian 7

menjadi alasan mengapa konflik adat di Bali kebanyakan berkaitan dengan tanah kuburan. Konflik adat seperti itu pula yang menjadi penyebab pecahnya konflik antara Desa Kemoning dengan Desa Budaga di Klungkung. Pada awalnya konflik disebabkan adanya kesalahpahaman antarkedua desa berkaitan dengan upacara keagamaan yang berlangsung di Pura Dalem setempat. Kemudian kesalahpahaman ini terus berlanjut dengan adanya pembubaran panitia pelaksana upacara tersebut dan adanya pengakuan terhadap tanah kuburan yang sebelumnya di gunakan oleh kedua belah pihak secara bersama-sama. Kemudian peristiwa pembubaran ini menjadi titik awal dari gerakan massa, hingga pada akhirnya konflik ini pecah menjadi pertikaian berdarah. Pada pertikaian ini, masalah yang menjadi awal terjadinya konflik menjadi meluas. Yang berawal dari kesalahpahaman kini meluas menjadi perebuatan tapal batas. Diduga dalam kasus ini dilatarbelakangi oleh motif ekonomi. Sebab, bersamaan dengan itu Pemprov Bali sedang mewacanakan untuk melakukan pemekaran desa pakraman. Desa pakraman yang mengalami pemekaran akan memperoleh dana sebesar 50 juta untuk administrasi. Akan tetapi, persyaratan dari pemekaran ini adalah desa adat tersebut harus memiliki Pura Kahyangan Tiga, LPD, serta kuburan sendiri. Hal itulah yang kemudian menjadikan salah satu dari desa pakraman yang bertikai ini berupaya untuk mengakui segala bentuk aset desa pakraman yang pada awalnya dimiliki bersama. Akhirnya konflik yang terjadi antara dua desa pakraman ini dapat diredam setelah adanya keterlibatan tokoh masyarakat di 8

Klungkung dan pembuktian yang dilakukan oleh Majelis Utama Desa Pakraman akan keberadaan Pura Kahyangan Tiga dan tanah kuburan menjadi kepemilikan bersama. Kendatipun upaya perdamaian yang dilakukan oleh Pemda Klungkung dan tokoh masyarakat setempat telah mampu meredam konflik yang ada, tetapi nyatanya hal tersebut belum sepenuhnya mampu membentuk kesatuan masyarakat secara utuh. Hal in nampak dari sikap masyarakat di dua desa tersebut yang masih belum mau berbaur satu dengan yang lainnnya. Begitu pula dalam upacara keagamaan yang masih harus berhadapan dengan potensi konflik yang mungkin saja sewaktu-waktu dapat memuncak. Jika di lihat dalam konteks sosiologis, konflik yang terjadi di Desa Kemoning dan Budaga merupakan efek dari kebijakan yang ada di Provinsi Bali yang berkaitan dengan keberadaan Desa Pakraman dan Desa Dinas yang seolah dalam pelaksanaannya saling tumpang tindih. Kondisi ini pada akhirnya berpengaruh terhadap pemahaman serta kondisi di masyarakat. Ketidakteraturan di dalam sistem sosial akan memunculkan kebingungan di dalam masyarakat. Kondisi yang demikian sangat mudah memicu terjadinya potensi konflik di dalam masyarakat. Untuk itu kemudian patut diperhatikan bagaimana korelasi antara sistem yang ada dalam masyarakat terhadap kemunculan dari beberapa konflik adat di Bali. Konflik dapat berdampak pada perubahan dalam sebuah struktur. Selain itu, konflik juga berdampak pada bertambah kuatnya rasa solidaritas kelompok, hancurnya kesatuan kelompok, adanya perubahan kepribadian individu, 9

hancurnya nilai-nlai dan norma sosial yang ada, hilangnya harta benda, dan adanya korban jiwa (Setiadi dan Kolip, 2011: 377). Untuk menghindarkan konflik dari dampak negatif, perlu adanya kesadaran dari masing-masing pihak yang berkonflik untuk melaksanakan musyawarah sehingga memperoleh kesepakatan. Kesimpulan Konflik adat yang terjadi di Bali dipengaruhi oleh perbedaan pemahaman terhadap aturan yang berlaku bagi masyarakat ada. Lemahnya Perda No. 3 Tahun 2001 dengan memberikan otonomi yang berlebih pada desa pakraman tidak pula mampu untuk mengayomi warga desa pakraman agar senantiasa memperoleh kesejahteraan. Selain lemahnya pengawasan terhadap pelaksanaan Perda No. 3 Tahun 2001, konflik adat yang terjadi di Bali juga dipengaruhi oleh tumpang tindihnya pelaksanaaan antara pemerintahan desa adat dengan desa dinas (secara administrasi). Kondisi inilah yang menimbulkan salah tafsir dalam masyarakat. Untuk menjembatani permasalahan tersebut, perlu kiranya dilakukan tinjauan ulang dan revisi dari perda bersangkutan sehingga nantinya dapat dihasilkan perda yang benar-benar mampu mengayomi masyarakat dengan berbagai aspek kehidupannya yang sangat kompleks. Adanya kedudukan dua desa yakni desa pakraman dan desa dinas perlu dipertimbangangkan kembali sehingga masingmasing dapat melakukan hak dan kewajibannya masing-masing dengan harapan bahwa desa di Bali kembali pada garis keharmonisan dan keseimbangan seperti yang diharapkan. 10

Daftar Pustaka Koentjaraningrat. 1999. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan. Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2011. Teori Sosiologi Modern. Yogyakarta: Kencana. SARAD/104/Desember 2008 Setiadi, Elly M dan Usman Kolip. 2011. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Kencana http://www.parisada.org/index.php?option= com content&task=view&id 11