VICTIMISASI KRIMINAL TERHADAP PEREMPUAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Negara merupakan sebuah kesatuan wilayah dari unsur-unsur negara, 1 yang

- Secara psikologis sang istri mempunyai ikatan bathin yang sudah diputuskan dengan terjadinya suatu perkawinan

BAB I PENDAHULUAN. tidak bisa menangani masalahnya dapat mengakibatkan stres. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. Setiap tindak pidana kriminal di samping ada pelaku juga akan

PELAKSANAAN PERLINDUNGAN KHUSUS TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN PENCABULAN MENURUT UU NO. 23 TAHUN 2002

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam hubungan antara manusia satu dengan yang lain sering kali

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN DAN PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN DOMESTIK

I. PENDAHULUAN. kebijakan sosial baik oleh lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif maupun

I. PENDAHULUAN. dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 yang menyatakan sebagai berikut bahwa : Pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. dasar dari susunan masyarakat, untuk itulah lahir Undang-undang Nomor 1

BAB I PENDAHULUAN. tegas dalam pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. segala perbuatan melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji,

BAB I PENDAHULUAN. hukum tidak berdasar kekuasaan belaka. 1 Permasalahan besar dalam. perkembangan psikologi dan masa depan pada anak.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Viktimologi adalah suatu pengetahuan ilmiah/ studi yang mempelajari suatu

I. PENDAHULUAN. Korban dalam suatu tindak pidana, dalam Sistim Hukum Nasional, posisinya tidak

I. PENDAHULUAN. berlainan tetapi tetap saja modusnya dinilai sama. Semakin lama kejahatan di ibu

PEREMPUAN DAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. Oleh: Chandra Dewi Puspitasari

PERLINDUNGAN TERHADAP KELOMPOK RENTAN PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONTEKS HAK ASASI MANUSIA

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Banyak pihak merasa prihatin dengan maraknya peristiwa kekerasan

BAB I PENDAHULUAN. kejahatan. Meskipun pengaturan tentang kejahatan di Indonesia sudah sangat

I. PENDAHULUAN. Saat ini tindak pidana perkosaan merupakan kejahatan yang cukup mendapat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa. Tujuan

BAB I PENDAHULUAN. ciptaan makhluk hidup lainnya, Hal tersebut dikarenakan manusia diciptakan dengan disertai

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB I PENDAHULUAN. oleh pemerintah dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di

BAB I PENDAHUULUAN. terjadi tindak pidana perkosaan. Jika mempelajari sejarah, sebenarnya jenis tindak

KEJAHATAN DAN PELANGGARAN TERHADAP NYAWA DAN TUBUH ORANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN. karena itu sering timbul adanya perubahan-perubahan yang dialami oleh bangsa

BAB III KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PRESPEKTIF HUKUM POSITIF (UNDANG-UNDANG R.I NOMOR 23 TAHUN 2004)

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Institute for Criminal Justice Reform

Kalender Doa Agustus 2015 Berdoa Bagi Wanita Korban Kekerasan Rumah Tangga

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB III DESKRIPSI PASAL 44 AYAT 4 UU NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG KETENTUAN PIDANA KEKERASAN SUAMI KEPADA ISTERI DALAM RUMAH TANGGA

BAB I PENDAHULUAN. persoalan yang cukup menyita waktu, khususnya persoalan pribadi yang

I. TINJAUAN PUSTAKA. kekerasan itu tidak jauh dari kebiasaan kita. Berdasarkan Undang-undang (UU) No. 23 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. Dalam suatu kehidupan berbangsa dan bernegara tentumengenal yang

PERSPEKTIF GENDER DALAM UNDANG-UNDANG KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. Oleh: Wahyu Ernaningsih

BAB III PENGANIAYAAN YANG BERAKIBAT LUKA BERAT DALAM KUHP

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB I PENDAHULUAN. meyakinkan adanya potensi atau kemungkinan (possibility) seorang korban

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dian Kurnia Putri, 2014

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. menyatakan Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Adapun tujuan

BUPATI BANGKA SELATAN PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

BAB I PENDAHULUAN. yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa. memberikan jaminan bahwa orang berhak membentuk suatu keluarga guna

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Tindak Pidana Perkosaan dan Korban Perkosaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekarang ini masyarakat sangat membutuhkan peran Polisi sebagai pelindung

Muchamad Ali Safa at INSTRUMEN NASIONAL HAK ASASI MANUSIA

PERANAN KORBAN KEJAHATAN (VICTIM) DALAM TERJADINYA SUATU TINDAK PIDANA KEJAHATAN DITINJAU DARI SEGI VICTIMOLOGI

BAB I PENDAHULUAN. sosial yang khususnya berkaitan dengan hukum, moralitas serta ketidakadilan.

I. PENDAHULUAN. dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh dan, berkembang, dan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DALAM PENEGAKAN HUKUM

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Dewasa ini dalam pembaharuan hukum, indonesia telah melahirkan

"PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEREMPUANSEBAGAI KORBAN TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DI KABUPATEN LUWU TIMUR" BAB I PENDAHULUAN

Bab I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebenarnya bukan hal yang baru

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG. A. Pengaturan Tindak Pidana Perdagangan Orang Menurut KUHP

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

II. TINJAUAN PUSTAKA. dimana keturunan tersebut secara biologis berasal dari sel telur laki-laki yang kemudian

PERANAN KORBAN KEJAHATAN (VICTIM) DALAM TERJADINYA SUATU TINDAK PIDANA KEJAHATAN DITINJAU DARI SEGI VICTIMOLOGI

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan yang terjadi memperlihatkan bahwa pelaku perkosaan cenderung

BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI KEKERASAN YANG DILAKUKAN OLEH SUAMI TERHADAP ISTRI. A.Kajian Hukum Mengenai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana atau delik berasal dari bahasa Latin delicta atau delictum yang di

Bab XIV : Kejahatan Terhadap Kesusilaan

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PENCABULAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK. 1. Ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana.

TINJAUAN PUSTAKA. tengah-tengah masyarakat telah memberikan dampak negatif bagi

HUBUNGAN ANTARA ASERTIFITAS DENGAN KECENDERUNGAN MENGALAMI KEKERASAN EMOSIONAL PADA PEREMPUAN YANG BERPACARAN SKRIPSI

BAB II. PENGATURAN TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP ANAK DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA A. Tindak Pidana Kekerasan Dalam Hukum Pidana

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Kekerasan adalah perbuatan yang dapat berupa fisik maupun non fisik,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Beberapa batasan umur sebagai pengertian mengenai anak menurut peraturan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kekerasan secara umum sering diartikan dengan pemukulan,

PERMASALAHAN KESEHATAN WANITA DALAM DIMENSI SOSIAL DAN UPAYA MENGATASINYA. By : Basyariah Lubis, SST, MKes

BAB III FAKTOR PENYEBAB TERJADI KORBAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI DI KABUPATEN ACEH BARAT

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri-ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan pengarahan dalam rangka menjamin

PENGECUALIAN LARANGAN ABORSI BAGI KORBAN PERKOSAAN SEBAGAI JAMINAN HAK-HAK REPRODUKSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Perlindungan Anak

BAB I PENDAHULUAN. sesutu tentang tingkah laku sehari-hari manusia dalam masyarakat agar tidak

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BUPATI PATI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI,

BAB I PENDAHULUAN. yang didukung oleh umat beragama mustahil bisa terbentuk rumah tangga tanpa. berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak bukanlah untuk dihukum tetapi harus diberikan bimbingan dan

I. PENDAHULUAN. Anak adalah amanat sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana. hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. pada era reformasi adalah diangkatnya masalah kekerasan dalam rumah tangga

Transkripsi:

VICTIMISASI KRIMINAL TERHADAP PEREMPUAN Oleh : SAGUNG PUTRI M.E PURWANI ( Bagian Hukum Pidana ) ABSTRAK Kejahatan tidak mungkin ada tanpa adanya pelaku dan korban. Victimologi sebagai bidang ilmu yang lebih menyoroti korban maka victimisasi kriminal terhadap perempuan, akan lebih menyoroti perempuan sebagai korban suatu kejahatan. Perempuan adalah mahluk yang dianggap mempunyai fisik dan psikis yang lemah sehingga selalu bergantung pada orang lain, dianggap bodoh, dianggap pasti akan kalah jika berhadapan dengan kekuatan dan kekuasaan karena tidak ada yang melindung. Victimisasi criminal terhadap perempuan akan lebih menyoroti perempuan sebagai korban karena korban juga mempunyai peranan penting untuk mendorong timbulnya atau terjadinya kejahatan, baik disadari atau tidak disadari, victimisasi criminal terhadap perempuan juga terjadi karena sikap dan prilakunya sendiri yang melampaui batas kewajaran seperti berpenampilan terlalu vulgar, memakai perhiasan yang berlebihan dan dianggap mempunyai serta didukung oleh siruasi dan kondisi pada saat kejahatan berlangsung, seperti berada di tempat yang rawan. Kata kunci : Victimisasi Kriminal, Perempuan, Victimologi. A. PENDAHULUAN Setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Apapun model dan bentuk kekerasan yang dilakukan baik itu berupa ancaman kekerasan, penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan adalah merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan. Walaupun telah diundangkannya Undang- Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga serta telah pula diratifikasi. Konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita yang termuat dalam. Undang-Undang Republik Indonesia No.7 Tahun 1984, namun dalam kenyataannya kasus kekerasan terhadap perempuan masih tetap banyak terjadi. Diakui bahwa angka tindak kekerasaan terhadap laki-laki jauh lebih tinggi dibandingkan terhadap perempuan, tetapi perlu diingat pula bahwa kedudukan wanita disebagian dunia ini tidak mampu sejajar dengan laki-laki. Dalam kondisi yang tidak menguntungkan seperti ini, jika dikaitkan dengan tindak kekerasan atau viktimisasi kriminal terhadap perempuan dapat dipahami bahwa kerentaan perempuan secara kodrati (dalam aspek jasmaniah ) membuat rasa takut perempuan terhadap kejahatan ( fear of crime ) jauh lebih tinggi dibandingkan dengan apa yang dirasakan oleh kaum laki-laki, karena derita yang dialami perempuan baik pada saat kekerasan terjadi maupun setelah terjadinya tindak kekerasan yang pada kenyataannya perempuan jauh lebih traumatis dari pada yang dialami oleh kaum laki-laki seperti: korban kekerasan dalam rumah tangga, korban sebagai akibat perkosaan, korban sebagai akibat poligami maupun sebagai korban kejahatan lainnya. Trauma yang lebih besar ini umumnya terjadi bila kekerasan ini dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai hubungan khusus dengan dirinya, seperti : paman, suami, pacar, teman kencan, dan orang-orang yang berkaitan dengan pekerjaannya seperti, atasan maupun teman sekerjanya, demikian pula dengan orang-orang yang mempunyai kekuatan ataupun kekuasaan. Apapun bentuknya, dilihat dari tindak kekerasan terhadap perempuan mempunyai Kertha Patrika Vol. 33 No. 1, Januari 2008 1

dampak yang sangat traumatis bagi perempuan itu sendiri, baik itu dikaitkan maupun tidak dikaitkan dengan kodratnya sebagai perempuan. Berdasarkan hal tersebut diatas, maka masalah yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah ingin membahas permasalahan viktimisasi kriminal kekerasan terhadap perempuan berkaitan dengan pandangan, pemikiran dalam viktimologi mengapa perempuan selalu menjadi korban kekerasan?. A. PEMBAHASAN 1. Viktimologi Perlu dijelaskan terlebih dahulu perumusan viktimologi yang akan digunakan untuk membahas masalah kekerasan terhadap perempuan dalam tulisan ini. Viktimologi adalah suatu pengetahuan ilmiah/ studi yang mempelajari suatu viktimisasi (kriminal) sebagai suatu permasalahan manusia yang merupakan suatu kenyataan sosial (Arif Gosita:2004 ; 38) Dikaji dari rumusan tersebut suatu ruang lingkup yang menjadi perkataan viktimologi dan juga kriminologi adalah hal-hal yang berkaitan dengan: 1. Berbagai viktimisasi kriminal atau kriminalitas. 2. Teori-teori etiologi viktimisasi kriminal. 3. Para peserta yang terlibat dalam terjadinya suatu viktimisasi kriminal atau kriminalitas seperti para korban, pelaku, pengamat, pembuat Undang- Undang, polisi, jaksa, hakim, pengacara dan sebagainya. 4. Reaksi terhadap suatu viktimisasi kriminal 5. Respons terhadap suatu viktimisasi kriminal seperti argumentasi kegiatan-kegiatan penyelesaian suatu viktimisasi atau viktimologi, usaha-usaha prefensi, represi, tindak lanjut (ganti kerugian dan pembuatan peraturan hukumnya). (Arif Gosita: 2004; 39) Dilihat dari ruang lingkup seperti tersebut diatas, jika dibandingkan antara viktimologi dengan kriminologi, maka dapat diketahui bahwa keduanya mempunyai obyek studi yang sama, yaitu pelaku dan korban. Sedangkan perbedaannya yaitu viktimologi lebih menekankan pada korban sedangkan kriminologi pada pelaku. Sehingga lebih lanjut yang dibahas dalam tulisan ini adalah perempuan sebagai korban dalam tindak kekerasan atau kejahatan, walaupun sebenarnya tidak ada timbul viktimisasi kriminal (viktimitas) atau kejahatan (kriminalitas) tanpa adanya pihak korban dan pelaku. Karena masing-masing merupakan kompenen suatu interaksi (mutlak) yang hasil interaksinya adalah suatu viktimisasi kriminal (kriminalitas). Perlu diketahui bahwa suatu viktimisasi kriminal atau kriminalitas itu adalah: 1. Merupakan masalah manusia yang sebenarnya secara dimensional. 2. Merupakan suatu hasil interaksi akibat adanya suatu interaksi anatar fenomena yang ada dan saling mempengaruhi. 3. Merupakan tindakan seseorang (individu) yang dipengaruhi oleh suatu struktur sosial tertentu dari suatu masyarakat tertentu. Jadi yang dimaksud dengan viktimisasi kriminal kekerasan adalah tindakan-tindakan yang melawan hukum yang dilakukan dengan sengaja oleh seseorang terhadap orang lain, baik untuk kepentingan diri sendiri atau orang lain dan yang menimbulkan penderitaan mental, fisik dan sosial. Seperti telah dikemukakan diatas bahwa setiap permasalahan manusia adalah merupakan hasil interaksi sebagai akibat adanya suatu interaksi antara fenomena yang ada dan saling mempengaruhi, maka hal ini dapat pula berlaku untuk suatu viktimisasi kriminal yaitu berupa kekerasan yang dilakukan oleh dan terhadap kaum perempuan. Sehingga dengan demikian dapat dicari dan dipahami faktor-faktor yang dominan pengaruhnya pada adanya suatu viktimisasi kriminal serta akan dapat diteliti pula semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak kekerasan pada terjadinya suatu kejahatan dan tidak hanya memperhatikan pelaku saja tetapi perlu pula memperhatikan pihak korban, pengamat (saksi), pembuat Undang-Undang, polisi, jaksa, hakim, orang tua, anak dan sebagainya. 2. Tindak kekerasan dan bentuk-bentuknya Yang dimaksud dengan tindak kekerasan disini adalah tindak pidana yang telah dirumuskan dalam Kitab Undang-Undang Pidana (KUHP) sebagai berikut: - Pasal 89: perbuatan membuat seseorang dalam keadaan pingsan. Kertha Patrika Vol. 33 No. 1, Januari 2008 2

- Pasal 285: perkosaan: memaksa seorang perempuan untuk melakukan persetubuhan dengan dirinya diluar perkawinan. - Pasal 289: memaksa orang lain untuk melakukan tindakan-tindakan melanggar kesusilaan atau membiarkan orang lain untuk melakukan tindakan melanggar kesusilaan. - Pasal 335: memaksa orang lain melakukan sesuatu, tidak melakukan sesuatu atau membiarkan sesuatu melawan hukum. - Pasal 351, 353, 354, 355, (penganiayaan berat) - Pasal 352: (penganiayaan ringan) (Arif Gosita: 2004; 43) Tindak kekerasan yang tertuang dalam KUHP tersebut lebih banyak merupakan tindak kekerasan secara fisik. Apabila dilihat dari segi korban maka rumusan mengenai tindak kekerasan ini sangat umum sifatnya seperti pornografi (Pasal 282, dst), Pasal 290 tentang perbuatan cabul, Pasal 338 tentang pembunuhan dan Pasal 328 tentang penculikan. Sedangkan pengertian kejahatan dengan kekerasan yang diberikan oleh B. Mardjono Reksodiputro dapat diketahui bahwa dalam pengertian kejahatan kekerasan ada dua faktor penentu yaitu : - Adanya penggunaan kekerasan - Dan adanya tujuan untuk mencapai tujuan pribadi yang bertentangan dengan orang lain. (B. Mardjono Reksodiputro: 1982; 2) Ketentuan pidana yang secara khusus menyangkut perempuan hanyalah yang berkaitan dengan perkosaan (Pasal 282), pengguguran kandungan tanpa seijin perempuan yang bersangkutan (Pasal 347), perdagangan perempuan (Pasal 287) dan melarikan perempuan (Pasal 332). Disamping tindak kekerasan seperti disebutkan diatas, beberapa tindak kekerasan fisik lainnya seperti incest, marital rape dan sosial harassment, ternyata tidak diberikan sanski pidana sehingga walaupun terjadi viktimisasi kriminal terhadap perempuan terkadang pelakunya tidak dapat dilakukan tindakan hukum. Sedangkan tindak kekerasan non fisik yang dapat terjadi pada perempuan dan ada sanksi pidananya misalnya penghinaan dimuka umum (Pasal 310, dst), apabila dalam kenyataannya benar-benar terjadi pasal ini sangat jarang digunakan untuk menjerat pelakunya karena sering terbentur pada budaya dan struktur masyarakatnya, termasuk persepsi perempuan itu sendiri terhadap kedudukannya dalam masyarakat. Yang menjadi permasalahan sekarang adalah apabila penyebab rasa sakit atau luka itu bukan yang dikehendaki oleh pelaku tetapi lebih merupakan cara untuk mencapai tujuan yang dapat dibenarkan maka dalam kasus tersebut tidak terdapat penganiayaan, tetapi lebih merupakan penghukuman dalam batas-batas keperluan secara terbatas yang dilakukan oleh para orang tua, oleh guru atau oleh orang lain. Dan dalam hal seperti ini yang lebih sering menjadi korban adalah anak-anak gadis, perempuan dewasa yang termasuk golongan lemah mental, fisik dan sosial yang peka terhadap ancaman kekerasan baik dari dalam maupun dari luar keluarganya. Ancaman kekerasan yang datang dari luar keluarganya atau rumahnya seringkali dapat dihindari karena dapat dilihat oleh lingkungannya. Namun ancaman kekerasan yang terjadi dalam rumahnya yang sering dilakukan oleh anggota keluarganya sendiri sulit dapat dilihat oleh orang luar seperti KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) yang dialami oleh istri, ibu, anak perempuan, pembantu rumah tangga perempuan. Korban seperti ini sering tidak berani melapor, antara lain karena ikatan-ikatan keluargaan, nila-nilai sosial tertentu, nama baik (prestise) keluarga maupun dirinya atau korban merasa khawatir apabila si pelaku melakukan balas dendam. Kesulitan-kesulitan seperti inilah yang diperkirakan akan muncul apabila korban melapor. Para pelaku dan korban dari suatu viktimisasi kriminal kerap kali pernah berhubungan atau saling mengenal satu sama lainnya terlebih dahulu. Jadi masing-masing adalah fungsional atau mempunyai peran tertentu pada adanya atau timbulnya suatu kejahatan atau viktimisasi kriminal tertentu. 3. Perempuan sebagai korban tindak kekerasan Walaupun viktimologi dan kriminologi dapat dikatakan sama yaitu antara pelaku dan korban masingmasing merupakan komponen-komponen suatu interaksi yang hasilnya adalah suatu viktimisasi kriminal atau kriminalitas tetapi tetap saja antara viktimologi dan kriminologi dapat dibedakan apabila dilihat dari Kertha Patrika Vol. 33 No. 1, Januari 2008 3

obyeknya yaitu viktimologi pengamatannya lebih kepada korban sedangkan kriminologi lebih kepada pelaku kejahatan. Seperti yang diungkapkan oleh Von Hentig dalam bukunya The Criminal and His Victim yang dikutip dari Arif Gosita: bahwa korban sangat berperanan dalam timbulnya kejahatan karena si korban tidak hanya sebab dan dasar proses terjadinya kriminalitas tetapi juga memainkan peranan penting dalam usaha mencari kebenaran, dan mengerti masalah kejahatan, delikuensi dan deviasi. (Arif Gosita: 2004; 63) Menurut The Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power, Perserikatan Bangsa-Bangsa (1985), bahwa yang dimaksud dengan korban (victim) adalah orang-orang yang secara individual atau kolektif telah mengalami penderitaan, meliputi penderitaan fisik atau mental, penderitaan emosi, kerugian ekonomis atau pengurangan substansial hak-hak asasi melalui perbuatan-perbuatan atau pembiaraan-pembiaraan (omisionaris) yang melanggar hukum pidana yang berlaku dinegara-negara anggota yang meliputi juga peraturan hukum yang lmealrang penyalahgunaan kekuasaan. (Arif Gosita: 2004; 44) Isitilah korban yang dimaksudkan disini juga meliputi keluarga langsung korban, orang-orang yang menderita akibat melakukan intervensi untuk membantu korban yang dalam kesulitan atau mencegah viktimisasi. Berkaitan dengan korban kejahatan ini John A. Mack menulis ada tiga tipologi keadaan sosial dimana seseorang dapat menjadi korban kejahatan yaitu: - calon korban sama sekali tidak mengetahui akan terjadi kejahatan, ia sama sekali tidak ingin jadi korban bahkan selalu berjaga-jaga atau waspada terhadap kemungkinan terjadi kejahatan. - calon korban tidak ingin menjadi korban, tetapi tingkah laku korban atau gerak-geriknya seolaholah menyetujui untuk menjadi korban. - calon korban tahu ada kemungkinan terjadi kejahatan, dan ia sendiri tidak ingin jadi korban tetapi tingkah laku seolah-olah menunjukkan persetujuannya untuk menjadi korban. (John A. Mack: 1974; 130) Sedangkan menurut Herman Manntienn yang mengutip pendapat B. Mendelsohn membedakan lima macam korban berdasarkan derajat kesalahannya yaitu : a. Yang sama sekali tidak bersalah b. Yang jadi korban karena kelakuannya c. Yang sama salahnya dengan pelaku d. Yang lebih bersalah dari pelaku e. Dimana korban adalah satu-satunya yang bersalah (Arif Gosita:1983;44) Jadi dari penjelasan diatas dapat dikatakan bahwa pengaruh si korban menentukan timbulnya kejahatan sebagai manifestasi dari sikap dan tingkah laku korban sebelum saat dan sesudah kejadian. Oleh karena itu pihak korban dapat berperanan dalam keadaan sadar atau tidak sadar secara langsung atau tidak langsung, sendiri atau bersama-sama, secara aktif maupun pasif yang bergantung pada situasi dan kondisi sebelum saat dan sesudah kejadian berlangsung. Secara logika tidak akan ada orang yang mau menjadi korban dari suatu kejahatan. Tetapi kondisi-kondisi tertentu dapat menyebabkan calon korban ikut berperan serta sehingga terjadilah kejahatan dan dia sendiri yang menjadi korban. Sepintas orang tidak dapat melihat peranan korban dalam hal terjadinya kejahatan. Bahkan si korban sendiri seringkali tidak menyadari bahwa dirinyalah yang sebenarnya memegang peranan penting pada saat ia menjadi korban kajahatan. Demikian juga Von Hentig telah lama menulis bahwa ternyata pada korbanlah yang kerap kali merangsang untuk melakukan kejahatan, membuat seseorang menjadi penjahat. (J. E. Sahetapy dan B. Mardjono Reksodiputro,1982;9) Dari paparan diatas dapat diketahui bahwa siapa saja dapat menjadi dan atau menimbulkan korban. Dengan kata lain dapat pula dikatakan bahwa semua manusia potensial untuk menjadi korban dan sebaliknya pula semua orang dapat menimbulkan korban. Atau jika ingin memahami para pembuat korban atau penjahat dengan baik, menurut proporsi yang sebenarnya, maka harus pula memahami korban dan begitu sebaliknya. Artinya jika ingin mengetahui faktor-faktor apa yang dapat menyebabkan perempuan menjadi korban kejahatan kekerasan atau viktimisasi criminal maka perlu pula mengetahui faktor-faktor apa yang dapat dipakai alasan dan pelaku menjadikan perempuan sebagai korban?. Kertha Patrika Vol. 33 No. 1, Januari 2008 4

Dikatakan tanpa korban tidak mungkin terjadi suatu kejahatan atau viktimisasi criminal. Jadi pihak korban merupakan partisipan utama memainkan peranan penting untuk terjadinya viktimisasi kriminal tersebut, bahkan juga setelah kejahatan tersebut dilaksanakan. Pihak korban dapat berperan dalam keadaan sadar atau tidak sadar, secara langsung atau tidak langsung, sendiri atau bersama-sama, bertanggung jawab atau tidak secara aktif atau pasif dengan motivasi positif atau negatif. Semuanya adalah bergantung pada situasi dan kondisi pada saat kejahatan tersebut berlangsung. Jadi dapat dikatakan bahwa perempuan sebagai korban yang juga dapat sebagai partisipan utama untuk terjadinya viktimisasi criminal memainkan berbagai macam peranan tergantung pada situasi dan kondisi saat itu, walaupun dalam kenyataannya tidak mudah membedakan secara tajam setiap peran yang dimainkan pihak korban. Sikap dan perilaku pihak korban dalam hal ini prempuan sebagai korban dengan didukung oleh situasi dan kondisi tertentu pada saat itu dapat merangsang pihak pelaku untuk melakukan viktimisasi kriminal terhadap perempuan tersebut. Pihak perempuan sebagai korban itu dapat tidak melakukan suatu tindakan, tidak ingin dijadikan korban atau dapat mengatakan tidak menyangka akan dijadikan korban, tetapi sikap dan perilaku serta keadaan yang ada pada perempuan itulah yang merangsang atau mendorong pelaku untuk melakukan viktimisasi criminal. Adapun sikap dan perilaku serta situasi dan kondisi tersebut antara lain karena fisik prempuan dianggap lemah sesudah diperdaya baik karena bodoh, cacat mental atau jiwa atau cacat tubuh, mereka yang dianggap sebagai musuh karena adanya rasa dendam, terlalu pamer dengan perhiasannya atau barang-barang yang dimilikinya. Bisa juga sikap perilaku dan penampilan perempuan itu sendiri sehingga menimbulkan kebencian, rasa iri, muak akhirnya muncullah tindakan yang merugikan perempuan sebagai korban. Dapat pula terjadi karena perempuan sebagai korban berada pada daerah yang rawan atau karena dianggap tidak akan berani melakukan perlawanan sebagai pembalasan yang memadai sehingga kelemahan ini sering dimanfaatkan seenaknya oleh sipelaku yang merasa dirinya lebih kuat, lebih berkuasa dari pada pihak korban. Seperti misalnya dalam keluarga, perempuan sebagai istri sering menjadi korban kekerasan yang dilakukan oleh suami karena istri dianggap sangat bergantung pada suami. Hal inilah yang dipakai sebagai salah satu alasan diundangkannya Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), dan kekerasan yang dimaksudkan disini tidak hanya kekerasan fisik tetapi juga kekerasan psikis, kekerasan seksual atau juga penelantaran rumah tangga. Demikian pula halnya dengan kondisi perempuan sebagai buruh, pembantu rumah tangga ataupun sebagai pegawai atau karyawan yang secara individual mempunyai kedudukan yang lebih lemah dibandingkan dengan pihak majikan sehingga majikan dapat melakukan tindakan seenaknya seperti penganiayaan, pebudakan dan perampasan hak asasinya, yang semua tindakan ini adalah termasuk kejahatan atau viktimisasi kriminal. Dalam pergaulan anatara pria dan wanita juga sering ada kecenderungan berlangsungnya hubungan seks yang dipaksakan oleh salah satu pihak sehingga terjadilah kejahatan perkosaan baik yang dilakukan oleh pelaku individual maupun kolektif. Hal ini terjadi karena pihak korban yaitu perempuan memungkinkan terjadinya salah penafsiran dari pihak pelaku mengenai sikap dan perilaku korban dalam pergaulan tersebut yang mengakibatkan terjadinya kejahatan perkosaan. Demikian pula yang menyangkut para pelacur baik mereka itu termasuk kedalam kelompok heteroseksual maupun homoseksual, sebagai pihak yang menawarkan jasa yang mengundang pihak pemakai untuk datang kepadanya dan memanfaatkan dirinya untuk pemuasan seksual pemakai dengan bayaran. Tetapi dalam kenyataanya undangan tersebut seringkali pula memberi peluang untuk terjadinya kejahatan terhadap dirinya seperti pemerasan, penganiayaan, pencurian dan penipuan. Seperti dikatakan oleh Von Hentig yang dikutip dari Ninik Widiyanti dan Julius Waskita, bahwa ternyata pada korbanlah yang kerap kali merangsang seseorang untuk melakukan kejahatan dan membuat orang menjadi penjahat. (Ninik Widiyanti dan Julius Waskita:1987;133) Jadi perempuan koban kejahatan atau viktimisasi kriminal sebenarnya adalah juga sebagai penyebab atau memegang peranan penting dalam terjadinya kejahatan atau viktimisasi kriminal yang menimpa dirinya baik itu disadari ataupun tidak disadari, langsung ataupun tidak langsung. Semuanya terjadi sebagai akibat adanya sikap Kertha Patrika Vol. 33 No. 1, Januari 2008 5

dan perilaku dai perempuan misalnya berpakaian yang vulgar, memakai accesoris yang terlalu mencolok, berjalan ditempat yang rawan atau ditempat sepi tanpa teman, karena menyakiti hati pelaku sehingga ada niatnya untuk balas dendam dan lain sebagainya. B. PENUTUP 1. Simpulan Beberapa simpulan dapat ditarik dari pemaparan uraian diatas antara lain : - Tindak kekerasan terhadap perempuan agaknya dapat terjadi karena peran perempuan itu sendiri dalam terjadinya viktimisasi kriminal. - Sikap dan perilaku perempuan disertai dengan situasi dan kondisi tertentu saat itu, merangsang dan mendorong seseorang untuk melakukan viktimisasi pada dirinya. 2. Saran Adapun saran yang dapat disampaikan pada tulisan ini adalah: agar para perempuan tidak selalu menjadi orang yang turut berperan untuk terjadinya viktimisasi pada dirinya maka sebaiknya bersikap dan berperilakulah yang baik dan tidak terlalu demonstratif serta tingkatkan pengetahuan dan ilmu pengetahuan sehingga tidak lagi dianggap kaum yang lemah, bodoh dan tidak terlalu tergantung pada orang lain. Bersikaplah lebih sopan, sederhana, mandiri dan menjadi orang pintar dalam segala hal. Disamping perlunya pemerintah khususnya aparat penegak hukum lebih bijaksana pula dalam menangani kasus kejahatan atau viktimisasi kriminal yang menimpa perempuan, sebagai usaha untuk menanggulangi meningkatnya viktimisasi kriminal terhadap perempuan. DAFTAR PUSTAKA Arif Gosita : 2004. Masalah Korban Kejahatan (Kumpulan Karangan) Pemahaman Perempuan dan Kekerasan, Jakarta : PT. Bhuwana Ilmu Populer. Arif Gosita : 2004. Masalah Korban Kejahatan (Kumpulan Karangan) Kedudukan Korban di Dalam Tindak Pidana, Jakarta : PT. Bhuwana Ilmu Populer. B. Mardjono Reksodiputro :1982. Beberapa Catatan Tentang Penganiayaan Sebagai Kejahatan Kekerasan. Sahetapy J.E dan B. Mardjono Reksodiputro : 1982. Parodal Dalam Kriminologi, Jakarta : Rajawali. Ninik Widiyanti, Julius Waskita : 1987, Kejahatan Dalam Masyarakat dan Pencegahannya, Jakarta : Bina Aksara. Kertha Patrika Vol. 33 No. 1, Januari 2008 6