KAJIAN DYNAMIC CORE ADSORPTION TEST PADA PROSES OIL WELL STIMULATION MENGGUNAKAN SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT BERBASIS MINYAK SAWIT

dokumen-dokumen yang mirip
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1.

I. PENDAHULUAN. Potensi Indonesia sebagai produsen surfaktan dari minyak inti sawit sangat besar.

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. SURFAKTAN MES DARI JARAK PAGAR

METODOLOGI PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

KAJIAN LABORATORIUM MENGENAI PENGARUH SALINITAS, PERMEABILITAS DAN KONSENTRASI SURFAKTAN TERHADAP PEROLEHAN MINYAK PADA PROSES INJEKSI SURFAKTAN

I. PENDAHULUAN. Metil ester sulfonat (MES) merupakan surfaktan anionik yang dibuat melalui

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

STUDI LABORATORIUM PENGARUH KONSENTRASI SURFAKTAN POLIMER TERHADAP RECOVERY FACTOR DENGAN BERBAGAI SALINITAS

BAB I PENDAHULUAN. baku baru yang potensial. Salah satu bahan yang potensial untuk pembuatan surfaktan adalah

KINERJA SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT (MES) SEBAGAI OIL WELL STIMULATION AGENT AKIBAT PENGARUH SUHU, LAMA PEMANASAN, DAN KONSENTRASI ASAM (HCl)

I. PENDAHULUAN. Metil ester sulfonat (MES) merupakan golongan surfaktan anionik yang dibuat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kelapa sawit (Elaeis Guineesis Jacq) merupakan salah satu tanaman perkebunan

KEMAMPUAN SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT (MES) SEBAGAI OIL WELL STIMULATION AGENT

Perbandingan aktivitas katalis Ni dan katalis Cu pada reaksi hidrogenasi metil ester untuk pembuatan surfaktan

Seminar Nasional Cendekiawan 2015 ISSN:

Emulsi Metil Ester Sulfonat dari CPO

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Minyak jelantah merupakan minyak goreng yang telah digunakan beberapa kali.

SINTESIS METIL ESTER SULFONAT MELALUI SULFONASI METIL ESTER MINYAK KEDELAI UNTUK APLIKASI CHEMICAL FLOODING

KEMAMPUAN SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT (MES) SEBAGAI OIL WELL STIMULATION AGENT

KARAKTERISASI SURFAKTAN POLIMER PADA SALINITAS PPM DAN SUHU 85 C

LAPORAN AKHIR PENGARUH WAKTU SULFONASI DALAM PEMBUATAN SURFAKTAN MES (METHYL ESTER SULFONATE) BERBASIS MINYAK KELAPA SAWIT KASAR (CPO)

PENGARUH RASIO MOL REAKTAN DAN LAMA SULFONASI TERHADAP KARAKTERISTIK METHYL ESTER SULFONIC (MES) DARI METIL ESTER MINYAK SAWIT

BAB III RANCANGAN PENELITIAN

Kelompok B Pembimbing

KELAKUAN FASA CAMPURAN ANTARA RESERVOAR-INJEKSI-SURFAKTAN UNTUK IMPLEMENTASI ENHANCED WATER FLOODING

BAB I PENDAHULUAN. Dalam beberapa tahun terakhir, metode pengurasan minyak tahap lanjut

LAPORAN AKHIR. Diajukan Sebagai Persyaratan Untuk Menyelesaikan Pendididikan Diploma III Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Sriwijaya.

II. TINJAUAN PUSTAKA A. SURFAKTAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. PERSIAPAN CORE SINTETIK

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tinjauan Pustaka. Enhanced oil recovery adalah perolehan minyak dengan cara menginjeksikan bahanbahan yang berasal dari luar reservoir (Lake, 1989).

HASIL DAN PEMBAHASAN. dicatat volume pemakaian larutan baku feroamonium sulfat. Pembuatan reagen dan perhitungan dapat dilihat pada lampiran 17.

Bab 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

KAJIAN PENGARUH SUHU DAN LAMA REAKSI SULFONASI PADA PEMBUATAN METHYL ESTER SULFONIC ACID

Seminar Nasional Cendekiawan 2015 ISSN: STUDI LABORATORIUM PENGARUH KONSENTRASI SURFAKTAN TERHADAP PENINGKATAN PEROLEHAN MINYAK

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Prarancangan Pabrik Metil Ester Sulfonat dari Crude Palm Oil berkapasitas ton/tahun BAB I PENGANTAR

KAJIAN KINERJA SURFAKTAN MES (METIL ESTER SULFONAT) DARI JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) UNTUK ENHANCED WATERFLOODING

Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Diagram alir pengepresan biji jarak dengan pengepres hidrolik dan pengepres berulir (Hambali et al. 2006).

KAJIAN LABORATORIUM MENGENAI KETERBASAHAN BATUAN PADA RESERVOIR YANG MENGANDUNG MINYAK PARAFIN PADA PROSES IMBIBISI

BAB II INJEKSI UAP PADA EOR

KAJIAN PROSES PRODUKSI SURFAKTAN MES DARI MINYAK SAWIT DENGAN MENGGUNAKAN REAKTAN H 2 SO 4. Oleh : SAIFUDDIN ABDU F

STUDI KESTABILAN BUSA MENGENAI PENGARUH SUHU DAN ELEKTROLITSERTA KONSENTRASI SURFAKTAN DENGAN DAN TANPA MINYAK

LAPORAN AKHIR PENGARUH RASIO REAKTAN DAN WAKTU SULFONASI TERHADAP KARAKTERISTIK METIL ESTER SULFONAT BERBASIS MINYAK KELAPA SAWIT

Lampiran 2. Prosedur Uji Kinerja Formula Surfaktan APG untuk Enhanced Water Flooding

A. Sifat Fisik Kimia Produk

PROBLEM OPEN-ENDED OSN PERTAMINA 2014 BIDANG KIMIA

FORMULASI SURFAKTAN SMES SEBAGAI ACID STIMULATION AGENT UNTUK APLIKASI DI LAPANGAN KARBONAT OK VERRY PURNAMA

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Lindi hitam (black liquor) merupakan larutan sisa pemasak yang

Lampiran 1. Pohon Industri Turunan Kelapa Sawit

PENGARUH SUHU DAN RASIO REAKTAN DALAM PEMBUATAN METIL ESTER SULFONAT DENGAN AGEN PENSULFONASI NAHSO 3 BERBASIS MINYAK KELAPA SAWIT

III. METODOLOGI A. Bahan dan Alat 1. Alat 2. Bahan

Pengaruh Konsentrasi Surfaktan dan Permeabilitas pada Batuan Sandstone terhadap Perolehan Minyak dalam Proses Imbibisi (Laboratorium Study)

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMASI FISIKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

OPTIMASI PROSES PEMBUATAN METIL ESTER SULFONAT DARI MINYAK INTI SAWIT ABSTRACT

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

KAJIAN PENGARUH KONSENTRASI H 2 SO 4 DAN SUHU REAKSI PADA PROSES PRODUKSI SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT (MES) DENGAN METODE SULFONASI ABSTRACT

PENGARUH PENGGUNAAN BAHAN ALTERNATIF METIL ESTER DARI MINYAK JELANTAH PADA SINTESIS METIL ESTER SULFONAT (MES) SEBAGAI OIL WELL STIMULATION AGENT

Bab IV Model dan Optimalisasi Produksi Dengan Injeksi Surfaktan dan Polimer

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian Teknologi Hasil

PENGARUH PENAMBAHAN GARAM ANORGANIK, PELARUT ALKOHOL DAN ALKALI TERHADAP FORMULA SURFAKTAN MES AIR FORMASI MINYAK (STUDI KASUS LAPANGAN SANDSTONE)

LAPORAN AKHIR. PENGARUH SUHU DAN KATALIS CaO PADA SINTESIS METIL ESTER SULFONAT (MES) BERBASIS CRUDE PALM OIL (CPO) DENGAN AGEN H2SO4

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Prarancangangan Pabrik HPAM dari Monomer Acrylamide Kapasitas ton/tahun

ANALYSIS OF CEMENT QUANTITY IN RESERVOIR ROCK TO OIL RECOVERY THROUGH IMBIBITION PROCESS WITH NON-IONIC SURFACTANT (LABORATORY STUDY)

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Surfaktan

III. METODOLOGI PENELITIAN

PENINGKATAN PEROLEHAN MINYAK DENGAN INJEKSI GAS CO 2 DAN SURFAKTAN SECARA SEREMPAK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Emulsi Minyak

Deterjen yang pertama dibuat adalah garam natrium dari lauril hidrogen sulfat. Saat ini : kebanyakan deterjen adalah garam dari asam sulfonat

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tandan Buah Segar (TBS) 100 % Brondolan 66,05 % Olein 18,97 % Gambar 1. Neraca massa pengolahan kelapa sawit

D. Tinjauan Pustaka. Menurut Farmakope Indonesia (Anonim, 1995) pernyataan kelarutan adalah zat dalam

PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA PENINGKATAN NILAI TAMBAH MINYAK JARAK PAGAR MENJADI SURFAKTAN MES UNTUK APLIKASI SEBAGAI OIL WELL STIMULATION AGENT

Seminar Nasional Cendekiawan ke 3 Tahun 2017 ISSN (P) : Buku 1 ISSN (E) :

II. TINJAUAN PUSTAKA

Seminar Nasional Cendekiawan 2015 ISSN:

KEGIATAN OPERASI DAN PRODUKSI MINYAK DAN GAS BUMI DI PT. MEDCO E&P INDONESIA ( S&C SUMATERA ) FIELD SOKA

Studi Penggunaan Katalis Padat Pada Pembuatan Metil Ester Sulfonat (MES) Dari Metil Ester Berbasis Minyak Sawit

Bab 3 MODEL MATEMATIKA INJEKSI SURFACTANT POLYMER 1-D

Transesterifikasi parsial minyak kelapa sawit dengan EtOH pada pembuatan digliserida sebagai agen pengemulsi

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Surfaktan

SIFAT PERMUKAAN SISTEM KOLOID PANGAN AKTIVITAS PERMUKAAN

Seminar Nasional Cendekiawan 2015 ISSN:

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

STUDI PENENTUAN RANCANGAN FLUIDA INJEKSI KIMIA

SINTESIS SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT DARI PALM OIL METHYL ESTER DAN NATRIUM METABISULFIT DENGAN PENAMBAHAN KATALIS KALSIUM OKSIDA

HASIL DAN PEMBAHASAN

4 Pembahasan Degumming

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

APLIKASI SURFAKTAN DARI MINYAK SAWIT UNTUK PEMBUANGAN DEPOSIT WAX PADA PERFORASI DAN SISTEM PIPA SUMUR PRODUKSI (STUDI KASUS SUMUR MINYAK XP)

Transkripsi:

KAJIAN DYNAMIC CORE ADSORPTION TEST PADA PROSES OIL WELL STIMULATION MENGGUNAKAN SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT BERBASIS MINYAK SAWIT Oleh RIA MARIA F34102004 2006 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

KAJIAN DYNAMIC CORE ADSORPTION TEST PADA PROSES OIL WELL STIMULATION MENGGUNAKAN SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT BERBASIS MINYAK SAWIT SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Oleh RIA MARIA F34102004 2006 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR KAJIAN DYNAMIC CORE ADSORPTION TEST PADA PROSES OIL WELL STIMULATION MENGGUNAKAN SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT BERBASIS MINYAK SAWIT SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Oleh RIA MARIA Dilahirkan pada tanggal 25 Juli 1985 di Bekasi Disetujui, Bogor, 4 September 2006 Dr. Ir. Erliza Hambali, MSi Dosen Pembimbing

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul : KAJIAN DYNAMIC CORE ADSORPTION TEST PADA PROSES OIL WELL STIMULATION MENGGUNAKAN SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT BERBASIS MINYAK SAWIT adalah karya asli saya sendiri, dengan arahan dosen pembimbing akademik, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Bogor, 4 September 2006 Yang membuat Pernyataan Ria Maria F34102004

RIWAYAT HIDUP Penulis di lahirkan di Bekasi pada tanggal 25 Juli 1985 dari keluarga pasangan Unang dan Yanwah. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara yaitu Rice Isabella dan Ribka Sthio Wasti. Penulis menyelesaikan Sekolah Dasar pada tahun 1996 di SDN I Lemahabang, kemudian lulus sekolah menengah pertama pada tahun 1999 di SLTPN I Cikarang, dan pada tahun 2002 penulis menyelesaikan sekolah menengah atas di SMUN I Cikarang. Penulis melanjutkan studi ke IPB melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) pada program studi Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pada tanggal 1 Juli 2005 sampai dengan 27 Agustus 2005, penulis melaksanakan Praktek Lapang di PT. Liza Herbal International untuk mempelajari penerapan GMP (Good Manufacturing Practices) di perusahaan tersebut. Selama kuliah, penulis aktif di Unit Kegiatan Mahasiswa Persekutuan Mahasiswa Kristen Institut Pertanian Bogor. Selain itu, penulis juga dipercaya menjadi Koordinator Asisten Mata Kuliah Dasar Umum Pendidikan Agama Kristen di Institut Pertanian Bogor dan asisten praktikum mata kuliah Teknologi Emulsi di Departemen Teknologi Industri Pertanian pada tahun 2005.

RIA MARIA. F34102004. Kajian Dynamic Core Adsorption Test pada Proses Oil Well Stimulation Menggunakan Surfaktan Metil Ester Sulfonat Berbasis Minyak Sawit. Di bawah bimbingan : Erliza Hambali. 2006. RINGKASAN Setelah recovery primer dan sekunder pada reservoir minyak bumi, terdapat sisa minyak yang terperangkap oleh tekanan kapiler karena adanya tegangan antarmuka antara minyak dan air. Efisiensi pendesakan minyak tersebut dapat ditingkatkan dengan menurunkan tegangan antarmuka antara minyak dan air. Surfaktan adalah agen aktif permukaan yang memiliki dua gugus molekul yaitu lipofob (suka air) dan hidrofob (suka minyak). Sebagai agen aktif permukaan, surfaktan dapat menurunkan nilai tegangan antarmuka antara minyak dan air karena ketika surfaktan dilarutkan dalam air dan bersinggungan dengan minyak, surfaktan tidak hanya larut dalam air, tetapi juga larut dalam minyak. Penelitian ini mengkaji total recovery minyak dan core adsorpsi dari injeksi stimulation agent berbasis surfaktan metil ester sulfonat. Tahap pertama dalam penelitian ini adalah memproduksi metil ester sulfonat dengan mereaksikan metil ester dan sodium bisulfit, dengan rasio mol metil ester dan sodium bisulfit 1 : 1,5 pada suhu reaksi 100 0 C dan lama reaksi 4,5 jam. Kondisi proses sulfonasi merujuk kepada Pore (1976) dan berdasarkan formula terbaik Hidayati (2006). Selanjutnya metil ester sulfonat dicampur dengan minyak tanah, cocoamida dan mutual solvent yang kemudian disebut agen stimulasi. Komposisi stimulation agent ini berdasarkan formula terbaik Nugroho (2005) dan Saputro (2005) yang terdiri atas 70% metil ester sulfonat, 20% minyak tanah, 7% cocoamida dan 3% mutual solvent. Pada konsentrasi larutan stimulation agent 0,5% dan 1% dengan tingkat salinitas 10.000 ppm, 20.000 ppm, dan 30.000 ppm, tegangan antarmuka minyakair dapat diturunkan sampai 10-4 dyne/cm. Hal ini berarti bahwa agen stimulasi dapat meningkatkan perolehan minyak dari dalam batuan. Jadi langkah selanjutnya dari penelitian ini adalah uji pendesakan minyak dan adsorpsi surfaktan. Pada injeksi surfaktan dengan konsentrasi 0,5%, total minyak yang dapat diperoleh berkisar antara 43,33% sampai 65% dan pada konsentrasi surfaktan 1%, nilai recovery yang didapat berkisar antara 43,33% sampai 74,12%. Perbedaan nilai recovery ini disebabkan karakteristik batuan reservoar yang berbeda seperti porositas dan permeabilitas serta kandungan mineral clays dalam batuan.

RIA MARIA. F34102004. Study of Dynamic Core Adsorption Test in Oil Well Stimulation Process Use Methyl Ester Sulphonate Surfactant Based Palm Oil. Supervised by : Erliza Hambali. 2006. SUMMARY In oil reservoir, after primary recovery and secondary recovery, residual oil is trapped by the capillary pressure developed by interfacial tension between oil and water in the pore space. The important point is that residual oil is trapped in the pore space by interfacial tension. To improve displacement efficiency is to reduce interfacial tension between oil and water. Surfactant is surface active agent chemical that has two types of properties; lypofob (like water) and hydrofob (like oil). As surface active agent, surfactant can reduce the value of interfacial tension between oil and water because when surfactant is dissolved into water and contacts with oil, surfactant is not only soluble in the water, but also it is soluble in the oil. This research study about the total oil recovery and core adsorption from stimulation agent injection which base on surfactant methyl ester sulphonate. The first step in this research is production of methyl ester sulphonate by reacting methyl ester and sodium bisulphite, with molar ratio of methyl ester and sodium bisulphite is 1 : 1.5 at 100 0 C during 4.5 hours. Condition of sulphonation process refer to Pore (1976) and based on the best formula of Hidayati (2006). Then methyl ester sulphonate is mixed with kerosene, cocoamida and mutual solvent, which named stimulation agent. The composition of this stimulation agent is based on the best formula of Nugroho (2005) and Saputro (2005). It consist of 70% methyl ester sulphonate, 20% kerosene, 7% Cocoamida and 3% mutual solvent. In 0.5 % and 1 % concentration of stimulation agent solution and salinity levels 10000 ppm, 20000 ppm and 30000 ppm interfacial tension oil-water is reduce until 10-4 dyne/cm. This means that the stimulation agent can recovered all oil in the core. So the next step in this research is test the oil displacement and surfactant adsorption from this stimulation agent. At 0.5% surfactant concentration injection, recovery value of residual oil is between 43.33% until 65% and at 1% surfactant concentration injection, recovery value of residual oil is between 43.33% until 74.12%. The difference of recovery value is caused by the difference of core characteristic such as porosity and permeability and core lithology.

KATA PENGANTAR Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yesus Kristus, atas berkat, hikmat dan kasih-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul Kajian Dynamic Core Adsorption Test pada Proses Oil Well Stimulation Menggunakan Surfaktan Metil Ester Sulfonat Berbasis Minyak Sawit, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Departemen Teknologi Industri Pertanian. Skripsi ini merupakan hasil penelitian yang penulis laksanakan di Departemen Teknologi Industri Pertanian IPB, SBRC (Surfactant Bioenergy and Research Center) IPB, Laboratorium Enhanced Oil Recovery, PPPTMGB Lemigas Jakarta, dan Laboratorium Enhanced Oil Recovery, Departemen Teknik Perminyakan, Fakultas Ilmu Kebumian dan Teknologi Mineral, Institut Teknologi Bandung yang dilakukan mulai bulan Februari sampai Juli 2006. Selama pelaksanaan dan penulisan skripsi ini, penulis banyak sekali mendapatkan bantuan baik secara moral maupun material dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Segenap keluarga (Papa, Mama, Cici, Keke, Kiki, Ii, Ema, dan Fanny) yang telah banyak memberikan dukungan baik materiil maupun rohani. 2. Dr. Ir. Erliza Hambali, MSi, selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan arahan dan bimbingan selama pelaksanaan penelitian dan penulisan skripsi ini. 3. Dr. Ir. Endang Warsiki, MT dan Prayoga Suryadarma, STp,MT, selaku dosen penguji dalam ujian skripsi yang telah memberikan kritik dan saran. 4. Ir. Agus Pratomo, MT., atas kesempatan, bimbingan, dan bantuan minyak mentah yang diberikan kepada penulis selama melakukan penelitian. 5. Prof. Dr. Ir. Pudji Permadi, atas bimbingan dan bantuan yang diberikan kepada penulis selama melakukan penelitian di Institut Teknologi Bandung. 6. Ir. Edward M.L. Tobing, MSc., atas bimbingan dan bantuan yang diberikan kepada penulis selama melakukan penelitian di PPPTMGB Lemigas. 7. PPPTMGB Lemigas yang telah memberikan core dan izin kepada penulis untuk melaksanakan penelitian terutama kepada Bapak Tunggal, Bapak Ego,

Bapak Sugiharjo, Ibu Suwartiningsih, Ibu Letty dan Bapak Mahmud serta laboran lemigas lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu. 8. Ibu Rini, Pak Gunawan, Pak Sugiardi, Ibu Sri, Ibu Ega beserta staf dan laboran lainnya yang telah memberikan bantuan pada saat penelitian. 9. Pak Yosafat, Joni, Pak Idi, Bang David, Dwi dan Saras atas bantuannya kepada penulis selama penelitian di ITB. 10. Mba Siti, Mas Tulus, Mas Anas, Mas Slamet dan Ibu Sri Hidayati atas bantuannya kepada penulis pada saat penelitian. 11. Rekan-rekan TIN angkatan 39 atas kerjasamanya selama ini terutama untuk Kristin dan Paulina. Penulis menyadari bahwa draft skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu saran dan kritik yang sifatnya membangun sangat diharapkan bagi kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya penulis berharap laporan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan. Bogor, Agustus 2006 Penulis

DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... iii DAFTAR TABEL... v DAFTAR GAMBAR... vi DAFTAR LAMPIRAN... vii I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG... 1 B. TUJUAN... 3 C. RUANG LINGKUP... 3 D. MANFAAT... 3 II. TINJAUAN PUSTAKA A. ENHANCED OIL RECOVERY... 4 B. OIL WELL STIMULATION AGENT... 7 C. CORE ADSORPTION... 8 D. SURFAKTAN... 9 E. METIL ESTER SULFONAT... 10 III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT... 13 1. Bahan... 13 2. Alat... 13 B. METODE PENELITIAN... 13 1. Persiapan Bahan... 14 2. Analisa IFT... 15 3. Analisa Dynamic Core Adsorption... 15 C. RANCANGAN PERCOBAAN... 15

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISASI MES DARI MINYAK SAWIT... 17 B. KINERJA OIL WELL STIMULATION AGENT DALAM MENURUNKAN TEGANGAN ANTAR MUKA... 17 C. DYNAMIC CORE ADSORPTION TEST PADA PROSES OIL WELL STIMULATION... 20 1. Persiapan Batuan... 21 2. Porositas dan Permeabilitas... 22 3. Penjenuhan Batuan Oleh Air Formasi... 23 4. Penginjeksian Fluida... 24 5. Adsorpsi Surfaktan... 33 V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN... 38 B. SARAN... 38 DAFTAR PUSTAKA... 39 LAMPIRAN... 43

DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Perkembangan luas dan volume produksi minyak sawit di Indonesia... 2 Tabel 2. Ukuran dan volume dari batuan reservoar yang digunakan... 22 Tabel 3. Porositas dan permeabilitas batuan reservoar... 23 Tabel 4. Jumlah minyak dan saturasi minyak yang terdapat dalam batuan reservoar... 26 Tabel 5. Perolehan minyak dan saturasi minyak yang terdapat dalam batuan reservoar setelah injeksi air... 28 Tabel 6. Perlakuan konsentrasi surfaktan yang diinjeksikan pada berbagai tingkat salinitas... 30 Tabel 7. Perolehan minyak dan saturasi minyak yang terdapat dalam batuan reservoar setelah injeksi surfaktan... 30 Tabel 8. Panjang gelombang dan absorbansi larutan surfaktan setelah injeksi... 36

DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Diagram penelitian yang dilakukan... 13 Gambar 2. Oil well stimulation agent... 18 Gambar 3. Grafik nilai IFT... 19 Gambar 4. Reaksi pembentukan di-salt... 20 Gambar 5. Batuan reservoar... 21 Gambar 6. Proses penjenuhan batuan reservoar oleh air formasi... 24 Gambar 7. Skema penginjeksian fluida... 25 Gambar 8. Mekanisme injeksi surfaktan secara mikro... 32 Gambar 9. Histogram total recovery dari proses stimulasi kimia... 33

DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Pohon industri kelapa sawit... 44 Lampiran 2. Diagram alir pembuatan metil ester sulfonat... 45 Lampiran 3. Perhitungan mol reaktan metil ester dan natrium bisulfit... 46 Lampiran 4. Prosedur uji tegangan antarmuka (IFT) dengan metode spinning drop tensiometer... 49 Lampiran 5. Prosedur uji dynamic core adsorption... 51 Lampiran 6. Hasil analisis tegangan antarmuka pada berbagai salinitas dan konsentrasi stimulation agent... 56 Lampiran 7. Kriteria pemilihan kandidat sumur minyak untuk stimulasi surfaktan... 57 Lampiran 8. Spektrum absorbansi konsentrasi surfaktan setelah injeksi surfaktan... 58 42

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Minyak bumi sebagai sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui, mengalami penurunan produktivitas dari tahun ke tahun. Pada tahun 2004, produksi minyak Indonesia sebesar 1,13 juta barel per hari dan menurun pada tahun 2005 menjadi 1,06 juta barel per hari (Anonim, 2005). Salah satu penyebab penurunan produktivitas minyak bumi adalah adanya minyak yang terperangkap oleh tekanan kapiler setelah proses recovery tahap primer dan sekunder. Surfaktan sebagai agen aktif permukaan, mampu menurunkan tegangan antar muka minyak air sehingga minyak yang terperangkap dalam reservoar dapat didesak keluar. Sampai saat ini surfaktan yang digunakan pada umumnya masih berbasis petrokimia. Sehubungan dengan meningkatnya harga minyak bumi maka akan terjadi kenaikan harga surfaktan petroleum sehingga perlu dicari bahan baku surfaktan yang lebih murah dan bersifat dapat diperbaharui. Penurunan tegangan antar muka minyak air oleh surfaktan petroleum sulfonat berkisar antara 10-2 10-3 dyne/cm (Tim Lemigas, 1990). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Nugroho (2005); Saputro (2005); Pamungkas (2005), surfaktan metil ester sulfonat berbasis minyak sawit sebagai bahan aktif dalam pembuatan oil well stimulation agent mampu menurunkan tegangan antar muka minyak air sampai dengan 10-3 dyne/cm. Hal ini menunjukkan bahwa surfaktan metil ester sulfonat berbasis minyak sawit dapat menggantikan surfaktan petroleum sulfonat. Indonesia merupakan negara penghasil minyak sawit terbesar kedua di dunia, dan diperkirakan akan menjadi yang terbesar pada tahun 2020. Perkembangan luas dan volume produksi minyak sawit di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1. Potensi yang sangat besar ini merupakan keunggulan komparatif bagi Indonesia dalam pengembangan produk-produk surfaktan yang sampai saat ini masih dipenuhi oleh produk-produk impor. Pengembangan surfaktan berbasis kelapa sawit akan meningkatkan nilai

tambah bagi produk minyak sawit itu sendiri. Surfaktan MES merupakan salah satu hasil pengembangan surfaktan berbasis minyak sawit. Tabel 1. Perkembangan luas dan volume produksi minyak sawit di Indonesia Tahun Luas Areal (ha) Produksi minyak Perkebunan Perkebunan Total sawit (ton) Besar Rakyat 1996 1.146.300 738.900 1.885.200 4.898.658 1997 1.739.100 813.200 2.552.300 5.385.458 1998 1.878.100 890.500 2.768.600 5.640.154 1999 2.397.800 1.038.300 3.436.100 5.949.183 2000 2.548.900 1.093.700 3.642.600 6.217.425 2001 2.704.500 1.144.400 3.848.900 6.945.166 2002 3.143.127 1.254.847 4.397.973 8.069.462 2003 3.557.180 1.502.820 5.060.000 9.600.000 2004 4.491.500 1.897.500 6.389.000 11.500.000 2005* 5.340.000 3.660.000 9.000.000 13.600.000 Sumber : Badan Pusat Statistik (2005) * proyeksi Kondisi batuan yang heterogen karena adanya mineral clays (montmorilonite, dan kaolinite) serta perbedaan permeabilitas dan porositas, merupakan kondisi yang harus diperhatikan dalam usaha peningkatan perolehan minyak. Efektifitas surfaktan dalam meningkatkan perolehan minyak dipengaruhi oleh sifat fisik batuan dan fluida serta adsorpsi larutan surfaktan oleh batuan. Oleh karena itu, maka perlu di kaji lebih mendalam aplikasi MES pada core adsorpsi untuk melihat efektivitas surfaktan MES terhadap peningkatan perolehan minyak bumi. Selama ini telah dilakukan penelitian terhadap efektifitas penginjeksian surfaktan untuk meningkatkan perolehan minyak seperti yang dilakukan : Tim Lemigas (1989), meneliti penambahan 2,3 % cosurfactant ke dalam core pada salinitas 21.000 ppm menghasilkan recovery sebesar 78,58 % untuk core A dan core B 66,45 % dari sisa minyak sesudah proses injeksi air. Kumulatif recovery secara keseluruhan dari percobaan ini adalah 90,92 % dan 88,23 %; Affiati (1992), menggunakan 2,3 % surfaktan Leonox A dan 2,3 % cosurfactant Isobutanol mampu meningkatkan perolehan minyak secara kumulatif sampai dengan 99,40 %; Makmur dan Nuraini (2005), menginjeksikan 2,3 % surfaktan petroleum sulfonat ke dalam core dan

memperoleh total recovery sebanyak 61,30 %. Surfaktan yang digunakan pada ketiga penelitian di atas merupakan surfaktan petroleum sulfonat berbasis minyak bumi sehingga seiring dengan peningkatan harga minyak bumi maka biaya recovery nya pun semakin mahal. Salah satu alternatif untuk mengurangi biaya proses recovery adalah dengan menggunakan surfaktan yang berbahan dasar minyak nabati yaitu metil ester sulfonat. B. TUJUAN Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji besarnya adsorpsi surfaktan pada core serta pengaruhnya terhadap peningkatan perolehan minyak (recovery). C. RUANG LINGKUP Ruang lingkup penelitian ini adalah : 1. Persiapan bahan baku (pembuatan MES dan oil well stimulation agent). 2. Pengujian nilai tegangan antar muka (IFT) pada 0,5 % dan 1 % larutan stimulation agent terhadap salinitas 10.000, 20.000 dan 30.000 ppm. 3. Karakterisasi core yang digunakan. 4. Analisa dynamic core adsorption test. D. MANFAAT PENELITIAN Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk mengembangkan pengetahuan di bidang surfaktan terutama surfaktan berbasis minyak sawit dan pemanfaatannya sebagai oil well stimulation agent.

II. TINJAUAN PUSTAKA A. ENHANCED OIL RECOVERY (EOR) Proses recovery minyak bumi dapat dikelompokkan atas tiga fase, yaitu fase primer (primary phase), fase sekunder (secondary phase) dan fase tersier (tertiary phase). Pada fase primer diterapkan proses alami yang tergantung pada kandungan energi alam pada reservoir dan proses stimulasi menggunakan metode asam (acidizing), metode fracturing, dan metode sumur horizontal (horizontal wells). Pada fase sekunder diterapkan proses immiscible gas flood dan water flood. Metode pada fase tersier sering juga disebut sebagai metode enhanced oil recovery (EOR). Metode EOR didefinisikan sebagai suatu metode yang melibatkan proses penginjeksian material yang dapat menyebabkan perubahan dalam reservoir seperti komposisi minyak, suhu, rasio mobilitas, dan karakteristik interaksi batuan-fluida. Metode EOR dapat dikelompokkan berdasarkan material yang diinjeksikan ke reservoir yaitu metode panas (air panas, steam stimulation, steamflood, fireflood), metode kimia (polimer, surfaktan, alkali), metode solvent-miscible (pelarut hidrokarbon, CO 2, N 2, gas hidrokarbon, campuran gas alam), dan lainnya (busa, mikrobial). Meskipun metode EOR kadang disebut sebagai recovery tersier, namun bukan berarti metode EOR ini diterapkan setelah fase sekunder. Beberapa metode EOR dapat diterapkan setelah fase primer atau bahkan saat proses pencarian minyak (discovery)(gomaa,1997). Menurut Lake (1987), reservoir-reservoir minyak bumi berbeda dalam hal kondisi geologis alamnya, kandungan air dalam reservoir, dan sebagainya. Berdasarkan hal tersebut, metode optimum untuk merecovery minyak bumi dalam jumlah yang maksimum pada suatu reservoir berbeda terhadap reservoir yang lain. Beberapa reservoir secara alami bersifat padat dan memperlihatkan permeabilitas yang rendah yang diakibatkan oleh kandungan endapan Lumpur dan lempung yang tinggi serta ukuran butiran yang kecil. Pada beberapa kasus, permeabilitas yang rendah terjadi pada daerah sekitar sumur bor yang mengalami penyumbatan selama proses pengeboran (drilling) berlangsung.

Sumur yang mengalami kerusakan akibat pengeboran dan ditambah dengan reservoir yang padat akibat kandungan mineralnya memperlihatkan laju produksi yang rendah sehingga sering menjadi tidak ekonomis. Kondisi ini tetap akan ada walaupun tekanan reservoir tinggi. Pada kondisi ini pemberian tekanan menggunakan injeksi fluida tidak akan memberikan keuntungan. Injeksi tekanan akan menjadi terlalu tinggi akibat permeabilitas reservoir yang rendah, walaupun demikian produktifitas sumur minyak tersebut dapat ditingkatkan melalui metode stimulasi (Economides dan Nolte, 1989). Kerusakan formasi sumur minyak bumi telah menyebabkan menurunnya produktivitas sumur minyak. Kerusakan formasi disebabkan oleh menurunnya permeabilitas sumur akibat berubahnya sifat kebasahan batuan (wettability) menjadi oil wet, tekanan kapiler yang tinggi, water blocking, particle blocking, dan emulsion blocking (Allen, 1982; Mulyadi, 2000). Wettability merupakan ukuran yang menjelaskan apakah permukaan dari batuan memiliki kemampuan lebih mudah terlapisi oleh film minyak atau oleh film air. Surfaktan dapat menyusup ke daerah antarmuka antar cairan dengan batuan dan dapat merubah kutub dari permukaan batuan, sehingga akan merubah wettability dari batuan tersebut (Ashayer et al., 2000). Sifat batuan yang cenderung basah air disebut water wet sedangkan sifat batuan yang cenderung basah minyak disebut oil wet. Pada kondisi water wet batuan diselubungi oleh air, sedangkan pada kondisi oil wet batuan cenderung diselubungi oleh minyak. Pada kondisi oil wet, keberadaan minyak yang menyelubungi batuan menyebabkan meningkatnya ketebalan dari lapisan film pada batuan reservoir sehingga menyebabkan berkurangnya laju alir fluida minyak dan minyak terperangkap di dalam batuan. Kondisi oil wet dapat mengurangi permeabilitas sumur hingga 15-85 % atau dengan rata-rata penurunan 40% (Mulyadi, 2002). Tekanan kapiler adalah tekanan yang timbul karena adanya perbedaan tegangan antar muka dari dua fluida yang immiscible (tidak saling melarut) pada daerah penyempitan pori-pori batuan. Tingginya tekanan kapiler berbanding terbalik dengan jari-jari kapilernya dan berbanding lurus dengan tegangan antar muka. Tekanan kapiler yang tinggi akan menghambat aliran

fluida minyak sehingga minyak akan tertinggal di dalam pori-pori (Allen dan Roberts, 1993). Water blocking merupakan kondisi dimana pori-pori reservoir tertutup oleh air formasi dalam jumlah yang banyak. Water blocking terjadi karena air yang mobile akibat adanya gaya kapilaritas air. Sifat air ini menyebabkan air akan memby-passed minyak dan menyebabkan minyak tertinggal di dalam pori-pori sebagai by-passed oil. Permasalahan ini dapat pulih dengan sendirinya namun membutuhkan waktu berbulan-bulan atau bahkan bertahuntahun. Water blocking dapat diatasi dengan menginjeksikan 1-3 % surfaktan ke dalam formasi (Allen dan Roberts, 1993; Mulyadi, 2002). Particle blocking atau penyumbatan pori-pori oleh partikel-partikel tertentu (lempung halus dan lumpur) merupakan masalah umum yang sering dijumpai pada reservoir. Particle blocking dapat diatasi dengan melarutkan partikel-partikel penyumbat dengan menggunakan surfaktan jenis tertentu. Menurut Allen dan Roberts (1993), surfaktan anionik dapat melarutkan lempung pada larutan asam. Umumnya asam yang digunakan untuk menstimulasi sumur minyak adalah asam klorida (HCl) dengan kadar keasaman berkisar antara 5-15%. Melalui penginjeksian asam ke dalam formasi reservoir yang padat dan mengalami kerusakan, diharapkan asam tersebut akan bereaksi dengan beberapa mineral dan menciptakan pori-pori dan saluran pori yang lebih besar sehingga permeabilitas meningkat (McCune, 1976). Pada sumur minyak sering terdapat emulsi yang mengganggu proses produksi minyak bumi atau sering disebut emulsion block. Menurut Mulyadi (2000), emulsion block merupakan emulsi kental minyak dan air terbentuk pada lubang reservoir yang dapat mengurangi produksi minyak bumi. Emulsion block dapat dihancurkan dengan cara menyuntikkan oil well stimulation agent ke dalam reservoir. Oil well stimulation agent mampu menghancurkan emulsi dengan cara menghilangkan kestabilan emulsi (Allen dan Roberts, 1993).

B. OIL WELL STIMULATION AGENT Stimulasi sumur minyak bumi (Oil Well Stimulation) merupakan salah satu metode EOR yang ditujukan untuk meningkatkan produktivitas sumur minyak bumi. Metode stimulasi yang dapat dilakukan adalah dengan menginjeksikan bahan kimia kedalam reservoir yang dikenal dengan stimulasi kimia (Chemical Stimulations). Stimulasi kimia didefinisikan sebagai upaya perangsangan sumur minyak bumi dengan melibatkan penginjeksian bahan kimia agar dapat memproduksi minyak seoptimal mungkin dari cadangan yang diperkirakan cukup potensial. Metode stimulasi kimia yang umum digunakan di industri minyak bumi adalah metode stimulasi asam (acidizing). Disamping metode stimulasi asam, untuk saat ini juga dikembangkan stimulasi dengan menggunakan surfaktan sebagai bahan injeksi (Gomaa, 1997). Oil well stimulation agent atau bahan penstimulasi sumur minyak bumi adalah sebuah bahan kimia yang digunakan untuk proses stimulasi minyak (oil well stimulation) pada reservoir di sumur minyak. Salah satu faktor yang menunjang keberhasilan proses oil well stimulation agent, adalah usaha untuk menurunkan tegangan antar muka (interfacial tension) dengan terbentuknya mikroemulsi fasa tengah atau minimal emulsi fasa atas. Mikroemulsi yang terbentuk akan menghasilkan tegangan antar muka yang rendah. Terbentuknya mikroemulsi fasa tengah memerlukan konsentrasi surfaktan yang lebih tinggi. Hal-hal yang mempengaruhi pembentukan mikroemulsi adalah kadar salinitas, berkurangnya panjang rantai hidrokarbon, meningkatnya perbandingan brine/minyak, meningkatnya perbandingan larutan surfaktan/minyak, suhu, konsentrasi surfaktan, dan meningkatnya berat molekul surfaktan (Tim Lemigas, 2002). Tegangan antar muka akan membuat permukaan sekecil mungkin yaitu dengan membentuk gelembung yang berdiri sendiri sehingga kontinuitas fasa minyak menjadi terbatas dan ikatan antar gelembung dengan air semakin kecil dengan demikian tegangan antar muka minyak air menjadi berkurang. Molekul surfaktan juga berinteraksi dengan permukaan batuan yang akan menyebabkan tegangan adhesi antara gelembung minyak dengan batuan

reservoir berkurang. Gaya kapiler pada daerah penyempitan pori-pori juga berkurang sehingga sisa minyak yang terperangkap dalam pori-pori batuan dapat didesak dan diproduksikan. C. CORE ADSORPTION Menurut McCabe et al. (1999), adsorpsi adalah proses pemisahan di mana komponen tertentu dari suatu fase fluida berpindah ke permukaan zat padat yang menyerap. Biasanya partikel-partikel kecil zat-penyerap ditempatkan di dalam suatu hamparan tetap, dan fluida lalu dialirkan melalui hamparan itu sampai zat padat itu mendekati jenuh dan pemisahan yang dikehendaki tidak dapat lagi berlangsung. Aliran itu lalu dipindahkan ke hamparan kedua sampai adsorben jenuh tadi dapat diganti atau diregenerasi. Proses lain yang biasa dilaksanakan ialah pertukaran ion (ion exchange). Bernasconi et al.(1995), menjelaskan bahwa adsorpsi adalah suatu proses pemisahan bahan dari campuran gas atau cair, bahan yang harus dipisahkan ditarik oleh permukaan sorben padat dan diikat oleh gaya-gaya yang bekerja pada permukaan tersebut. Adsorpsi surfaktan pada batuan reservoar merupakan parameter yang harus dipertimbangkan dalam injeksi surfaktan. Hal ini merupakan masalah yang serius yang akan mengakibatkan berkurangnya slug surfaktan pada saat injeksi surfaktan berlangsung (Hargowiseso, 2004). Berdasarkan Wesson dan Harwell (2000), adsorpsi surfaktan oleh batuan reservoar dapat dikurangi dengan menginjeksikan surfaktan yang memiliki muatan yang sama dengan muatan batuan. Menurut Makmur dan Sudibjo (2000), mekanisme terjadinya adsorpsi adalah sebagai berikut : surfaktan yang dilarutkan dalam air yang merupakan mikroemulsi, diinjeksikan dalam reservoir akan mempengaruhi tegangan antar permukaan minyak dan air, disamping itu surfaktan juga bersinggungan secara langsung dengan permukaan butiran-butiran batuannya. Waktu terjadi persinggungan ini molekul-molekul surfaktan (RSO 3 H) akan ditarik oleh molekul-molekul batuan reservoir dan diendapkan disekitar permukaan batuannya, proses ini terus berlangsung hingga mencapai titik kejenuhan.

Semakin pekat konsentrasi surfaktan yang digunakan dalam proses injeksi maka semakin besar pula adsorpsi yang diakibatkannya. D. SURFAKTAN Surfaktan (surface active agent) merupakan bahan kimia yang berpengaruh pada aktifitas permukaan. Surfaktan memiliki kemampuan untuk larut dalam air dan minyak. Molekul surfaktan terdiri dari dua bagian yaitu gugus yang larut dalam minyak (hidrofob) dan gugus yang larut dalam air (hidrofil). Surfaktan yang memiliki kecenderungan untuk larut dalam minyak dikelompokkan dalam surfaktan oil soluble, sedangkan yang cenderung larut dalam air dikelompokkan sebagai surfaktan water soluble (Allen dan Roberts, 1993). Menurut Piispanen (2002), bagian polar surfaktan dipengaruhi oleh gaya elektrostatik (ikatan hidrogen, ikatan ionik, interaksi dipolar) sehingga dapat berikatan dengan molekul seperti air dan senyawa ion. Gugus non-polar surfaktan berikatan dengan struktur non-polar dengan dukungan gaya van der walls. Surfaktan dibagi menjadi empat kelompok penting dan digunakan secara meluas pada hampir semua sektor industri modern. Jenis-jenis surfaktan tersebut adalah surfaktan anionik, surfaktan kationik, surfaktan nonionik dan surfaktan amfoterik (Rieger, 1985). Surfaktan anionik adalah molekul yang bermuatan negatif pada bagian hidrofilik atau aktif permukaan (surfaceactive). Sifat hidrofilik disebabkan karena keberadaan gugus ionik yang sangat besar, seperti gugus sulfat atau sulfonat. Surfaktan kationik adalah senyawa yang bermuatan positif pada gugus hidrofiliknya atau bagian aktif permukaan (surface-active). Sifat hidrofilik umumnya disebabkan karena keberadaan garam amonium, seperti quaternery ammonium salt (QUAT). Surfaktan nonionik adalah surfaktan yang tidak bermuatan atau tidak terjadi ionisasi molekul. Sifat hidrofilik disebabkan karena keberadaan gugus oksigen eter atau hidroksil. Surfaktan amfoterik adalah surfaktan yang bermuatan positif dan negatif pada molekulnya, dimana muatannya bergantung kepada ph, pada ph rendah akan bermuatan negatif dan pada ph tinggi bermuatan positif (Matheson, 1996).

Menurut Matheson (1996), kelompok surfaktan yang penggunaannya terbesar (dalam jumlah) adalah surfaktan anionik. Karakteristiknya yang hidrofilik disebabkan karena adanya gugus ionik yang cukup besar, yang biasanya berupa grup sulfat atau sulfonat. Beberapa contoh surfaktan anionik yaitu linear alkilbenzen sulfonat (LAS), alkohol sulfat (AS), alkohol eter sulfat (AES), alfa olefin sulfonat (AOS), parafin (secondary alkane sulfonate, SAS), dan metil ester sulfonat (MES). Sifat-sifat surfaktan adalah mampu menurunkan tegangan permukaan, tegangan antarmuka, meningkatkan kestabilan partikel yang terdispersi dan mengontrol sistem emulsi (misalnya oil in water (o/w) atau water in oil (w/o)). Di samping itu, surfaktan akan terserap ke dalam permukaan partikel minyak atau air sebagai penghalang yang akan mengurangi atau menghambat penggabungan (coalescence) dari partikel yang terdispersi (Rieger, 1985). Menurut Swern (1979), kemampuan surfaktan untuk meningkatkan kestabilan emulsi tergantung dari kontribusi gugus polar (hidrofilik) dan gugus non polar (lipofilik). Pada konsentrasi yang memadai, surfaktan yang awalnya merupakan elektrolit biasa, mulai membentuk asosiasi antar molekul/micelles. Keadaan ini terjadi pada konsentrasi yang disebut dengan Critical Micelle Concentration (CMC). Pada kondisi ini terjadi proses pembentukan emulsi yang menghasilkan analogi kelarutan/solubilization non equilibrium dan memberikan IFT yang rendah. Kelarutan ini tidak akan terjadi jika konsentrasi surfaktan dibawah kondisi CMC, sedangkan jika konsentrasi surfaktan ditingkatkan setelah terjadi titik CMC maka akan terbentuk agregat dan tidak menurunkan nilai IFT lebih rendah lagi (Mitsui, 1997). E. METIL ESTER SULFONAT Surfaktan metil ester sulfonat (MES) termasuk golongan surfaktan anionik, yaitu surfaktan yang bermuatan negatif pada gugus hidrofiliknya atau bagian aktif permukaan (surface-active). Struktur kimia metil ester sulfonat (MES) adalah sebagai berikut (Watkins, 2001):

Menurut Watkins (2001) jenis minyak yang dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan metil ester sulfonat (MES) adalah kelompok minyak nabati seperti minyak kelapa, minyak sawit, minyak inti sawit, stearin sawit, minyak kedelai, atau lemak sapi (tallow). Menurut Swern (1979), panjang molekul sangat kritis untuk keseimbangan kebutuhan gugus hidrofilik dan lipofilik. Apabila rantai hidrofobik terlalu panjang, akan terjadi ketidakseimbangan, terlalu besarnya afinitas untuk gugus minyak atau lemak atau terlalu kecilnya afinitas untuk gugus air. Hal ini akan ditunjukkan oleh keterbatasan kelarutan di dalam air. Demikian juga sebaliknya, apabila rantai hidrofobiknya terlalu pendek, komponen tidak akan terlalu bersifat aktif permukaan (surface active) karena ketidakcukupan gugus hidrofobik dan akan memiliki keterbatasan kelarutan dalam minyak. Pada umumnya panjang rantai terbaik untuk surfaktan adalah asam lemak dengan 10-18 atom karbon. Menurut Matheson (1996), metil ester sulfonat (MES) memperlihatkan karakteristik dispersi yang baik, sifat detergensi yang baik terutama pada air dengan tingkat kesadahan yang tinggi (hard water) dan tidak adanya fosfat, ester asam lemak C 14, C 16 dan C 18 memberikan tingkat detergensi terbaik, serta bersifat mudah didegradasi (good biodegradability). Dibandingkan petroleum sulfonat, surfaktan MES menunjukkan beberapa kelebihan diantaranya yaitu pada konsentrasi MES yang lebih rendah daya deterjensinya sama dengan petroleum sulfonat, dapat mempertahankan aktivitas enzim yang lebih baik, toleransi yang lebih baik terhadap keberadaan kalsium, dan kandungan garam (disalt) lebih rendah. Proses produksi surfaktan MES dilakukan dengan mereaksikan metil ester dengan agen sulfonasi. Menurut Bernardini (1983) dan Pore (1993), pereaksi yang dapat dipakai pada proses sulfonasi antara lain asam sulfat (H 2 SO 4 ), oleum (larutan SO 3 di dalam H 2 SO 4 ), sulfur trioksida (SO 3 ), asam sulfamat (NH 2 SO 3 H), dan asam klorosulfonat (ClSO 3 H). Untuk menghasilkan kualitas produk terbaik, beberapa perlakuan penting yang harus

dipertimbangkan adalah rasio mol, suhu reaksi, konsentrasi grup sulfat yang ditambahkan, waktu netralisasi, jenis dan konsentrasi katalis, ph dan suhu netralisasi (Foster, 1996).

III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan Bahan-bahan yang digunakan untuk uji kinerja surfaktan MES adalah air, crude oil, NaCl, mutual solvent (buthyl celosolve/egmbe), Dietanolamida, minyak tanah dan core, sedangkan bahan-bahan untuk produksi MES meliputi metil ester dari minyak kelapa sawit, NaHSO 3, metanol, dan NaOH. 2. Alat Peralatan untuk analisis kinerja surfaktan MES meliputi spinning drop interfacial tensiometer, ultraporosimeter, ruska universal permeameter gas, pompa tekanan tinggi, tabung reaksi, gelas ukur, gelas piala, timbangan analitik, dan magnetic stirrer. Peralatan yang digunakan untuk produksi MES meliputi reaktor sulfonasi skala laboratorium, separator, tangki pemurnian, fume hood, termometer, timbangan analitik, sentrifuge, peralatan gelas, evaporator, pipet dan seperangkat alat untuk uji adsorpsi. B. METODE PENELITIAN Penelitian ini dimulai dengan melakukan persiapan bahan yang meliputi pembuatan MES dan oil well stimulation agent dilanjutkan dengan analisa. Analisa yang dilakukan adalah IFT, dengan menggunakan spinning drop interfacial tensiometer dan dynamic core adsorption. Diagram alir penelitian disajikan pada Gambar 1.

Diagram penelitian yang dilakukan Mulai Persiapan Bahan Analisa IFT Analisa Dynamic Core Adsorption Akhir Gambar 1. Diagram penelitian yang dilakukan 1. Persiapan Bahan a. Pembuatan surfaktan MES Pembuatan surfaktan MES dilakukan melalui proses sulfonasi metil ester dengan reaktan NaHSO 3, Kondisi proses yang digunakan pada tahap pembuatan MES merujuk pada Pore (1993) dan berdasarkan formula terbaik Hidayati (2005). Rasio mol metil ester dan reaktan NaHSO 3 adalah 1 : 1,5, suhu reaksi 100 0 C dan lama reaksi 4,5 jam. Proses pemurnian dilakukan dengan menambahkan metanol sebanyak 30%(v/v) pada suhu 50 0 C selama 1,5 jam dan dilanjutkan dengan proses netralisasi menggunakan NaOH 20%. Diagram alir proses produksi MES dapat dilihat pada Lampiran 2. b. Pembuatan oil well stimulation agent Oil well stimulation agent dibuat berdasarkan formula terbaik Nugroho (2005) dan Saputro (2005) yaitu : 70% bahan aktif (MES), 20% pelarut (minyak tanah), dan 10% bahan aditif (7% dietanolamida dan 3% mutual solvent).

2. Analisa Interfacial Tension (IFT) Stimulation Agent yang dihasilkan kemudian dianalisis terhadap nilai tegangan antarmuka pada konsentrasi 0,5% dan 1 %(b/b) dengan berbagai tingkat salinitas yaitu 10.000 ppm, 20.000 ppm, dan 30.000 ppm menggunakan alat spinning drop tensiometer. Prosedur analisa dapat dilihat pada Lampiran 4. 3. Analisa Dynamic Core Adsorption Analisa dynamic core adsorption pada konsentrasi surfaktan 0,5% dan 1% dengan berbagai tingkat salinitas yaitu 10.000 ppm, 20.000 ppm, dan 30.000 ppm. Prosedur analisa dapat dilihat pada Lampiran 5. C. RANCANGAN PERCOBAAN Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah rancangan acak lengkap faktorial dengan dua faktor yaitu : a. Faktor Konsentrasi Surfaktan (C) dengan 2 taraf : 0,5 % dan 1 % b. Faktor Salinitas (S) dengan 3 taraf : 10.000, 20.000, dan 30.000 ppm Model matematika yang digunakan : Yijk = + Ci + Sj + (CS)ij + k(ij) Keterangan : Yijk = Respon atau nilai pengamatan pada ulangan ke-k, konsentrasi ke-i dan salinitas ke-j = Efek umum rata-rata yang sebenarnya Ci = Efek yang sebenarnya pada faktor C, taraf ke-i (i = 1, 2) Sj = Efek yang sebenarnya pada faktor S, taraf ke-j (j = 1, 2, 3) (CS)ij = Pengaruh interaksi faktor C ke-i dan faktor S ke-j k(ij) = Error atau kekeliruan Penggunaan rancangan acak lengkap faktorial dengan dua faktor pada penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui pengaruh dari tingkat konsentrasi surfaktan dan salinitas juga interaksi antara kedua faktor tersebut

terhadap nilai tegangan antar muka antara minyak dan air. Selanjutnya dengan uji lanjut Duncan akan diketahui tingkat beda nyata dari nilai tegangan antar muka yang dihasilkan pada masing-masing tingkat salinitas.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISASI MES DARI MINYAK INTI SAWIT Metil ester sulfonat (MES) merupakan salah satu jenis surfaktan anionik. Metil ester sulfonat baik digunakan untuk stimulasi pada batuan reservoar berjenis sandstone karena muatan gugus hidrofiliknya yang negatif. Pada penelitian ini, surfaktan metil ester sulfonat yang dihasilkan mampu menurunkan nilai tegangan antarmuka minyak-air dari nilai normal IFT minyak-air 30 dyne/cm (Tim Lemigas, 2002) menjadi 1,34 x 10-2 dyne/cm, atau sekitar 99,96%. Hal ini menunjukkan kinerja MES dalam menurunkan tegangan antarmuka minyak-air sangat baik. B. KARAKTERISASI OIL WELL STIMULATION AGENT Tegangan antar muka antara minyak-air merupakan salah satu parameter penting untuk menunjukkan kinerja oil well stimulation agent. Tegangan antar muka merupakan nilai yang menunjukkan seberapa besar kekuatan tarik antar molekul yang berbeda pada dua cairan yang polaritasnya berbeda. Oil well stimulation agent yang digunakan pada penelitian ini merupakan formulasi terbaik dari Nugroho (2005) dan Saputro (2005) terdiri atas 70% bahan aktif (MES), 20% pelarut (minyak tanah), dan 10% bahan aditif (7% dietanolamida dan 3% mutual solvent). Pada formula yang sama, Saputro (2005) melakukan pengujian kinerja stimulation agent pada konsentrasi 3% dan berbagai tingkat salinitas, nilai tegangan antar muka minyak-air berkisar antara 1,44 x 10-3 dyne/cm hingga 2,34 x 10-3 dyne/cm. Sebagai lanjutan dari penelitian Saputro (2005), maka pada penelitian ini dilakukan pengukuran nilai tegangan antar muka dengan konsentrasi stimulation agent yang lebih rendah yaitu 0,5% dan 1% untuk mengurangi biaya proses stimulasi. Pengukuran tegangan antar muka minyak-air dilakukan dengan menggunakan alat spinning drop interfacial tensiometer dengan kemampuan mengukur IFT sampai 10-4 dyne/cm. Pada Gambar 2 disajikan data rata-rata nilai tegangan antar muka dari oil well stimulation agent yang diuji pada konsentrasi 0,5% dan 1% (b/b) terhadap berbagai tingkat salinitas.

IFT (dyne/cm) 0.0009 0.0008 0.0007 0.0006 0.0005 0.0004 0.0003 0.0002 0.0001 Surfaktan 1% Surfaktan 0,5% 0 10000 20000 30000 Salinitas (ppm) Gambar 2. Grafik nilai IFT Hasil pengukuran tegangan antarmuka dari berbagai tingkat salinitas pada konsentrasi 0,5% larutan oil well stimulation agent menunjukkan kisaran antara 2,45 x 10-4 dyne/cm hingga 8,38 x 10-4 dyne/cm sedangkan pada konsentrasi 1 % larutan oil well stimulation agent menunjukkan kisaran antara 2,23 x 10-4 dyne/cm hingga 8,14 x 10-4 dyne/cm (Lampiran 6.a). Berdasarkan analisa keragaman terhadap nilai tegangan antarmuka pada tingkat kepercayaan 99% menunjukkan bahwa tingkat salinitas memberikan pengaruh sangat nyata terhadap perubahan nilai tegangan antarmuka sedangkan faktor konsentrasi surfaktan tidak berpengaruh nyata demikian juga interaksi antara keduanya tidak berpengaruh nyata (Lampiran 6.b). Uji lanjut Duncan juga menunjukkan bahwa nilai tegangan antarmuka antara salinitas 10.000 ppm, 20.000 ppm, dan 30.000 ppm memberikan nilai yang sangat berbeda nyata (Lampiran 6.c). C. KARAKTERISASI BATUAN Kemampuan batuan reservoar untuk mengadsorpsi fluida dipengaruhi oleh porositas dan permeabilitas dari batuan tersebut. Semakin besar porositas dan

permeabilitasnya maka semakin banyak pula fluida yang dapat diadsorpsi ke dalamnya (Monicard, 1980). 1. Porositas Porositas merupakan suatu ukuran perbandingan antara volume poripori batuan terhadap volume batuan keseluruhan yang dinyatakan dalam persen (Monicard, 1980). Batuan yang memiliki porositas besar mampu mengadsorpsi fluida lebih banyak dan lebih cepat karena distribusi pori dalam batuan semakin besar. Hasil pengukuran porositas dari batuan reservoar dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Porositas batuan reservoar No. Sampel ID Porositas (%) 1 65B 18,11 2 2I 19,74 3 E1 21,28 4 40B 21,37 5 30B 23,99 6 19B 35,35 Penelitian ini menggunakan 6 batuan reservoar dengan kisaran porositas antara 18,11% sampai dengan 35,35%. Berdasarkan hasil pengukuran porositas, urutan sampel dari porositas terkecil sampai terbesar adalah 65B, 2I, E1, 40B, 30B, dan 19B. Batuan reservoar 65B memiliki porositas terkecil daripada batuan sampel lainnya yaitu sebesar 18,11%, hal ini berarti bahwa distribusi pori dalam batuan reservoar lebih sedikit dibandingkan sampel lainnya sehingga batuan ini memiliki kemampuan mengadsorpsi fluida lebih rendah daripada sampel lainnya. Batuan reservoar 19B memiliki porositas terbesar daripada batuan sampel lainnya yaitu sebesar 35,35%, hal ini berarti bahwa distribusi pori dalam batuan reservoar lebih banyak dibandingkan sampel lainnya sehingga batuan ini memiliki kemampuan mengadsorpsi fluida lebih tinggi daripada sampel lainnya. 2. Permeabilitas Permeabilitas merupakan kemampuan dari suatu batuan untuk melewatkan suatu fluida melalui pori-pori batuan. Pada penelitian ini,

permeabilitas yang diukur adalah permeabilitas absolut yaitu permeabilitas dari suatu batuan dengan hanya ada satu macam fluida yang mengalir, yaitu udara. Semakin besar nilai permeabilitas batuan, semakin mudah fluida mengalir melalui pori-pori batuan reservoar. Permeabilitas suatu batuan dinyatakan dalam satuan darcy. Darcy adalah kemudahan untuk mengalirkan 1 cc fluida per detik dengan viskositas 1 cp, pada tekanan 1 atm melalui area 1 cm 2 sejauh 1 cm (Monicard, 1980). Hasil pengukuran permeabilitas dari batuan reservoar dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Permeabilitas batuan reservoar No. Sampel ID Permeabilitas (milidarcy) 1 65B 172,53 2 40B 301,32 3 2I 314,05 4 30B 316,43 5 E1 1950,80 6 19B 2665,11 Permeabilitas batuan reservoar dari urutan terkecil sampai terbesar adalah 65B, 40B, 2I, 30B, E1, dan 19B. Batuan reservoar yang memiliki permeabilitas terendah adalah 65B yaitu sebesar 172,53 milidarcy, sedangkan batuan reservoar 19B memiliki permeabilitas tertinggi yaitu sebesar 2665,11 milidarcy. Hal ini berarti bahwa kemampuan batuan reservoar 19B untuk melewatkan fluida melalui pori-pori batuannya lebih mudah dan cepat daripada batuan reservoar lainnya yaitu E1, 30B, 2I, 40B, dan 65B. D. PENDESAKAN MINYAK OLEH AIR Air formasi terdapat pada batuan sedimen sebelum dilakukan pengeboran di reservoar. Air formasi merupakan salah satu unsur yang penting di dalam reservoar, karena tanpa air formasi minyak bumi tidak dapat terkumpul (Wilhite, 1986). Pada penelitian ini air formasi yang digunakan adalah air formasi buatan yang hanya mengandung garam NaCl. Salinitas dari air formasi buatan adalah 10.000 ppm, 20.000 ppm, dan 30.000 ppm karena menurut Sugiardjo (2002)

dan Pithapurwala et al. (1986), air formasi sumur minyak di Indonesia memiliki kadar garam bervariasi antara 2000 ppm sampai dengan 30.000 ppm NaCl (b/b). Salinitas adalah besarnya kandungan garam-garam yang terdapat di dalam air formasi. Pada praktek di lapangan, injeksi air dilakukan dengan tujuan untuk mendesak minyak agar dapat diproduksi, karena pada tahap ini minyak sudah tidak mampu lagi untuk mengalir kepermukaan disebabkan oleh melemahnya kemampuan reservoar untuk berproduksi secara alamiah. Air yang diinjeksikan ke dalam batuan reservoar adalah air yang memiliki tingkat salinitas sama dari air yang menjenuhi batuan reservoar pada awal penelitian ini. Penginjeksian kembali air formasi ke dalam batuan reservoar mampu mendesak minyak yang terperangkap di dalam pori-pori batuan karena adanya kompatibilitas antara air yang diinjeksikan dan air yang terperangkap dalam pori-pori batuan sehingga minyak sebagai fase yang tidak larut air dapat terdorong keluar akibat adanya air sebagai fase pendorong yang diadsorpsi oleh pori-pori batuan reservoar. Akan tetapi, pada proses injeksi air ini perlu diwaspadai kemungkinan adanya interaksi antara air injeksi dan batuan reservoar yang dapat merusak formasi batuan reservoar itu (Sugihardjo, 2004). Berikut ini adalah data perolehan minyak setelah injeksi air, disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Perolehan minyak yang terdapat dalam batuan reservoar setelah injeksi air No Sampel ID Salinitas (ppm) Volume Minyak Awal (ml) Perolehan Minyak Setelah Injeksi Air (ml) Recovery Setelah Injeksi Air (%) 1 30B 1,6 0,5 31,25 10.000 2 40B 1,6 0,35 21,88 3 65B 1,0 0,4 40 20.000 4 E1 2,8 0,6 21,43 5 2I 2,5 0,5 20 30.000 6 19B 2,0 0,8 40 Nilai recovery dari proses penginjeksian air ini selanjutnya digunakan sebagai nilai standar untuk mengukur kinerja surfaktan dalam recovery minyak. Recovery minyak dari penginjeksian air digunakan sebagai blanko

yang mewakili konsentrasi surfaktan 0%. Histogram dari nilai recovery proses penginjeksian air ke dalam batuan disajikan pada Gambar 3. 40 35 Nilai recovery (%) 30 25 20 15 10 5 Sampel 1 Sampel 2 0 10000 20000 30000 Salinitas (ppm) Gambar 3. Recovery minyak setelah injeksi air Dari data di atas, akibat keheterogenan karakteristik batuan maka setiap batuan memiliki nilai recovery yang berbeda setelah injeksi air. Perbedaan porositas dan permeabilitas dari setiap batuan reservoar merupakan salah satu penyebab perbedaan nilai recovery. Oleh karena itu, maka pada penelitian ini, nilai recovery hasil injeksi air dipakai sebagai blanko. E. PENDESAKAN MINYAK OLEH SURFAKTAN Menurut Sudibyo (1992), metoda EOR dengan injeksi surfaktan termasuk proses kimiawi dimana larutan surfaktan sebagai zat aktif permukaan mempunyai kemampuan untuk menurunkan tegangan antar permukaan minyak-air ketingkat harga yang sangat rendah. Akibatnya apabila proses ini diterapkan pada media berpori, gaya kapiler yang bekerja pada daerah penyempitan pori-pori akan berkurang sehingga sisa minyak yang terperangkap pada pori-pori batuan akan lebih mudah didesak serta dapat diproduksi kembali. Faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi pendesakan surfaktan antara lain: konsentrasi surfaktan, salinitas, jenis surfaktan, adsorpsi batuan dan lithologi batuan (Sudibyo, 1992; Tim Lemigas 1989; Affiati, 1992;

Makmur dan Nuraini, 2005). Pada penelitian ini aspek yang dikaji terbatas pada pengaruh konsentrasi surfaktan, salinitas, dan adsorpsi batuan. 1. Konsentrasi surfaktan Menurut Makmur dan Nuraini (2005), dengan naiknya konsentrasi surfaktan dalam larutan, harga tegangan antarmuka (IFT) dari campuran minyak-air-surfaktan menurun sampai pada suatu konsentrasi tertentu. Larutan surfaktan dengan konsentrasi surfaktan optimum menghasilkan harga tegangan antarmuka minyak-air-surfaktan terendah. Setelah itu harga tegangan antarmuka akan naik lagi dengan bertambahnya konsentrasi larutan surfaktan. Pada Tabel 5 ditampilkan hasil penginjeksian surfaktan dengan 2 taraf konsentrasi yaitu 0,5% dan 1% pada salinitas 10.000, 20.000, dan 30.000 ppm. Tabel 5. Nilai recovery injeksi surfaktan No. Sampel ID Salinitas (ppm) Konsentrasi Surfaktan (%) Recovery Setelah Injeksi Air (%) Recovery Setelah Injeksi Surfaktan (%) Nilai Recovery Injeksi Surfaktan (%) 1 30B 0,5 31,25 90,91 59,66 10.000 2 40B 1 21,88 96,00 74,12 3 65B 0,5 40,00 83,33 43,33 20.000 4 E1 1 21,43 90,91 69,48 5 2I 0,5 20,00 85,00 65,00 30.000 6 19B 1 40,00 83,33 43,33 Pada histogram nilai recovery dapat kita lihat bahwa pada salinitas 10.000 ppm dengan konsentrasi surfaktan 0,5% dan 1%, efisiensi recovery dari surfaktan dapat dilihat pada Gambar 4. Pada salinitas 10.000 ppm, peningkatan konsentrasi surfaktan mampu meningkatkan nilai recovery minyak yang terdapat di dalam batuan dari 59,66% pada konsentrasi surfaktan 0,5% menjadi 74,12% pada konsentrasi surfaktan 1%. Pada salinitas 20.000 ppm peningkatan konsentrasi surfaktan juga meningkatkan nilai recovery dari 43,33% pada konsentrasi surfaktan 0,5% menjadi 69,48% pada konsentrasi surfaktan 1%. Akan tetapi, pada salinitas 30.000 ppm terjadi penurunan nilai recovery dari 65% pada konsentrasi surfaktan 0,5% menjadi 43,33% pada konsentrasi surfaktan