BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
AKUNTANSI ASURANSI SYARIAH. Elis Mediawati, S.Pd.,S.E.,M.Si.

BAB I PENDAHULUAN. terjadi. Tidak hanya untuk kepentingan pribadi dan keluarga, tetapi

ASURANSI KONVENSIONAL DAN ASURANSI SYARIAH: PERBEDAAN DALAM LINGKUP AKUNTANSI

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan investasi yang di selenggarakan sesuai dengan syariah.

BAB I PENDAHULUAN. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, itulah cita-cita Negara dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pandang yang berbeda-beda. Definisi definisi tersebut antara lain : dapat terjadi dengan cara membayar premi asuransi.

Sharing (berbagi resiko). Cara pembayarannya sesuai dengan kebutuhan

BAB IV ANALISIS SISTEM BAGI HASIL PRODUK ASURANSI HAJI MITRA MABRUR. A. Pembiayaan Dana Haji Mitra Mabrur AJB Bumiputera 1912 Syari ah

Asuransi Syariah. Insurance Goes To Campus. Oleh: Subchan Al Rasjid. Universitas Muhammadiyah Malang Malang, 17 Oktober 2013

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Pertumbuhan Industri Asuransi Jiwa Di Indonesia

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN

PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /POJK.05/2015 TENTANG

INSURANCE OUTLOOK 2016: NAVIGATING FINANCIAL MARKET VOLATILITY Jakarta, 24 November 2015

PT PRUDENTIAL LIFE ASSURANCE KONSEP SYARIAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2014 TENTANG PERASURANSIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Mengenal Hukum Asuransi di Indonesia. Oleh: Mustari Soleman Masiswa Fakultas Hukum Univ.Nasional

BAB II LANDASAN TEORI. Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian, definisi asuransi adalah:

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2014 TENTANG PERASURANSIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB IV PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan uraian serta analisis hasil penelitian yang telah dikemukakan

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PENERAPAN SISTEM MUD{A>RABAH MUSYA>RAKAH PADA PT. ASURANSI TAKAFUL KELUARGA SURABAYA

BAB I PENDAHULUAN. 2014, hlm.viii. 2 Nurul Ichsan Hasan, Pengantar Perbankan Syariah, Gaung Persada Pers Group, Cet ke-1, Jakarta, 2014, hlm.100.

ASURANSI SYARIAH A. Pengertian Asuransi

BAB IV ANALISIS. A. Pelaksanaan Akad Tabarru Pada PT. Asuransi Takaful Keluarga

ASURANSI. Prepared by Ari Raharjo

SALINAN NOMOR 18 /PMK.010/2010 TENTANG PENERAPAN PRINSIP DASAR PENYELENGGARAAN USAHA ASURANSI DAN USAHA REASURANSI DENGAN PRINSIP SYARIAH

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 23 /POJK.05/2015 TENTANG PRODUK ASURANSI DAN PEMASARAN PRODUK ASURANSI

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 73 /POJK.05/2016 TENTANG TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK BAGI PERUSAHAAN PERASURANSIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Artinya: Dialah Allah yang mengamankan mereka dari ketakutan.

AKUNTANSI DAN KEUANGAN SYARIAH

TINJAUAN PUSTAKA. Perbedaan Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. dan dana pensiun. (Tariqullah Khan dan Habib Ahmed, 2008: 48) (2012), tiga diantaranya merupakan asuransi jiwa syariah.

BAB 1V REASURANSI PADA TABUNGAN INVESTASI DI BANK SYARIAH BUKOPIN SIDOARJO DITINJAU DARI HUKUM ISLAM

BAB I PENDAHULUAN. yang membuat pemanfaatan lembaga keuangan baik bank maupun non bank sulit

I. PENDAHULUAN. akan bangkit kembali setelah tahun 2006 yang penuh kesulitan akibat berbagai

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2014 TENTANG PERASURANSIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. alat analisis. Hal ini disebabkan karena di masa datang penuh dengan

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Islam yang menjadi bagian tak terpisahkan dari agama Islam

PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 23/POJK.05/2015 TENTANG PRODUK ASURANSI DAN PEMASARAN PRODUK ASURANSI

LAPORAN AKHIR Desentralisasi/ Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi

BAB V PEMBAHASAN. A. Operasional Produk Mitra Mabrur Plus. masyarakat sebagai calon peserta asuransi.

PERUSAHAAN ASURANSI ATA 2014/2015 M6/IT /NICKY/

ASURANSI. Created by Lizza Suzanti 1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada saat ini umat Islam dihadapkan pada persoalan-persoalan

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupan khususnya kehidupan ekonomi sangat besar baik itu

Komparasi Undang-undang

PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 28/POJK.05/2014 TENTANG PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN PERUSAHAAN PEMBIAYAAN

BAB I PENDAHULUAN. pasar modal syariah. Masalah asymmetric information yang dihadapi oleh industri

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Perusahaan adalah perusahan pembiayaan dan perusaha

BAB I PENDAHULUAN. penyesuaian diri, namun penyesuaian diri tersebut tidak melepaskan diri dari. fitrah manusia yang selalu beradapan dengan risiko.

BAB III PELAKSANAAN SISTEM MUD{A>RABAH MUSYA>RAKAH PADA PT. ASURANSI TAKAFUL KELUARGA SURABAYA

STIE DEWANTARA Manajemen Asuransi, Pegadaian & Anjak Piutang

BAB IV ANALISIS. A. Pengelolaan dana tabarru pada AJB Bumiputra 1912 kantor cabang

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMEGANG POLIS ASURANSI JIWA DALAM AKAD WAKALAH BIL UJRAH PRODUK UNIT LINK SYARIAH

BAB I PENDAHULUAN. dapat menimpa mereka. Dalam industri jasa yang bergerak di bidang sektor. satu yang paling banyak diatur lewat regulasi pemerintah.

BAB I PENDAHULUAN. menguntungkan, tetapi mungkin pula sebaliknya. Manusia mengharapkan

BAB I PENDAHULUAN. syariah sebagai salah satu lembaga keuangan nonbank yang penting peranannya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. mekanisme asuransi atau pertanggungan. Undang-Undang Republik Indonesia

PRAKTIK ASURANSI SYARIAH DALAM PERSPEKTIF FATWA DEWAN SYARIAH NASIONAL-MAJELIS ULAMA INDONESIA DAN KOMPILASI HUKUM EKONOMI SYARIAH

BAB I PENDAHULUAN. Hakikat kehidupan manusia tidak dapat terlepaskan dari risiko. Risiko

BAB IV. keuangan dengan bingkai syariah Islam yang berkaitan dengan masalah. keuangan perusahaan. Secara garis besar, fungsi-fungsi perusahaan bisa

BAB I PENDAHULUAN. persiapan yang dibuat oleh sekelompok orang yang masing-masing

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 31 /POJK.05/2016 TENTANG USAHA PERGADAIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PENDANAAN DANA PENSIUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Risiko akan selalu ada dan mengikuti kehidupan manusia. Salah satu. pembangunan, terbakarnya bangunan dan lain sebagainya.

BAB 4 ANALISIS DAN BAHASAN

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang

SOSIALIASI ASURANSI Dalam Rangka Penggunaan Transaksi Non Tunai Dalam Asuransi TKI. Jakarta, Februari 2015

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1992 TENTANG USAHA PERASURANSIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN PERUSAHAAN MODAL VENTURA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap manusia dalam hidupnya tidak terlepas dari risiko, bahaya atau kerugian

BAGIAN I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG

BAB II LANDASAN TEORI. dengan sudut pandang yang mereka gunakan dalam asuransi. Adapun definisi

TINJAUAN PUSTAKA Asuransi

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN

I. PENDAHULUAN. Asuransi pada dasarnya merupakan persiapan yang dibuat oleh sekelompok orang

SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 34 /POJK.05/2015 TENTANG PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN PERUSAHAAN MODAL VENTURA

PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG

BAB I. KETENTUAN UMUM

Unsur Fatwa Ketentuan dalam fatwa Implementasi di AJB tijarah tabarru

BAB 1 PENDAHULUAN. Sejalan dengan perkembangan zaman yang semakin modern ini yang. dilakukan dengan adanya perantara dalam kegiatannya.

BAB I PENDAHULUAN. aspek keadilan dalam bertransaksi. Bank berdasarkan prinsip syariah atau

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

PENGATURAN PENGAWASAN OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK) TERHADAP PERUSAHAAN ASURANSI SYARI AH MENURUT HUKUM POSITIF JURNAL ILMIAH

LAMPIRAN IV SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 18 /SEOJK.05/2016 TENTANG PELAPORAN PRODUK ASURANSI BAGI PERUSAHAAN ASURANSI SYARIAH DAN


PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG KESEHATAN KEUANGAN PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah :

- 1 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

- 2 - PASAL DEMI PASAL. Pasal 1. Pasal 2. Cukup jelas. Pasal 3. Cukup jelas.

BAB I PENDAHULUAN. Konsep keuangan berbasis syariah Islam (Islamic finance) dewasa ini telah

- 3 - PASAL DEMI PASAL. Pasal 1 Cukup jelas.

BAB IV HASIL PENELITIAN. A. Penerapan Prinsip Syariah Dalam Akad/Kontrak Pada Asuaransi. Jiwa Bersama (AJB) Syariah Cabang Yogyakarta.

STUDI KOMPERATIF PRINSIP ASURANSI JIWA TAKAFUL DAN ASURANSI JIWA KONVENSIONAL A COMPARATIVE STUDY ON THE LIFE INSURANCE OF TAKAFUL AND CONVENTIONAL

BAB I PENDAHULUAN. kelebihan dana dengan masyarakat yang kekurangan dana, sedangkan bank

2017, No MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG KRITERIA DAN PENERBITAN DAFTAR EFEK SYARIAH. BAB I KETENTUAN UMUM Pa

BAB IV. IMPLEMENTASI FATWA DSN-MUI No 52/DSN-MUI/III/2006 TENTANG AKAD WAKALAH BIL UJRAH PADA ASURANSI MOBIL

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 11/PMK.010/2011 TENTANG KESEHATAN KEUANGAN USAHA ASURANSI DAN USAHA REASURANSI DENGAN PRINSIP SYARIAH

Transkripsi:

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Perbedaan Asuransi Konvensional dan Asuransi Syariah Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian Perbedaan Asuransi Konvensional dan Asuransi Syariah menurut Novi Puspitasari (2011: 39-46) dikaji dalam tiga bagian yaitu perbedaan konsep fundamental, perbedaan pengelolaan risiko, dan perbedaan prinsipprinsip. Perbedaan Asuransi Konvensional Asuransi Syariah 1. Perbedaan konsep Perjanjian jual-beli Kegiatan tolongmenolong fundamental 2. Perbedaan Mengalihkan risiko Berbagi risiko pengelolaan risiko 3. Perbedaann prinsipprinsip a. Insurable Interest b. Utmost Good Faith (Kejujuran Sempurna) c. Indemnity d. Subrogation e. Contribution (Kontribusi) f. Proximate Cause (Kausa Proksimal) a. Prinsip Tauhid b. Prinsip Keadilan c. Prinsip Tolong Menolong d. Prinsip Amanah e. Prinsip Saling Ridha ( An Taradhin) f. Prinsip Menghindari Riba g. Prinsip Menghindari Maysir h. Prinsip Menghindari Gharar 53

54 i. Prinsip Menghindari Risywah j. Berserah Diri dan Ikhtiar k. Saling Bertanggung Jawab l. Saling Melindungi dan Berbagi Kesusahan Konsep fundamental Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional adalah berbeda. Konsep fundamental yang diulas adalah pengertian atau definisi dan sistem pengelolaan risiko dari kedua jenis Asuransi tersebut. Dalam Fatwa DSN-MUI No. 21/DSNMUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah, konsep fundamental Asuransi Syariah adalah kegiatan tolong-menolong di antara Peserta Asuransi Syariah dan tidak bertujuan komersil. Sementara itu, konsep dasar Asuransi Konvensional adalah jual beli antara Peserta dan perusahaan sebagaimana dijelaskan dalam Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, konsep fundamental Asuransi Konvensional adalah jual beli antara Peserta dengan perusahaan Asuransi (Novi Puspitasari, 2011: 39-40). Sehingga dalam perbedaan konsep fundamental ini, Asuransi Syariah menggunakan prinsip tolong-menolong yang bersifat sosial daripada komersil, sedangkan Asuransi Konvensional menggunakan prinsip jual beli yang bersifat komersil saja. Perbedaan konsep dasar Asuransi Syariah dengan Asuransi Konvensional ini berakibat pada perbedaan prinsip pengelolaan risiko. Prinsip pengelolan risiko Asuransi Syariah adalah berbagi risiko (risk sharing), yaitu risiko ditanggung bersama sesama Peserta asuransi. Sementara itu prinsip pengelolaan risiko Asuransi Konvensional adalah transfer risiko (risk transfer) yaitu prinsip risiko dengan cara mentransfer atau

55 memindahkan risiko Peserta Asuransi ke perusahaan asuransi. Hal ini sesuai dengan pendapat Sumanto, dkk (2009) yang menyatakan bahwa Asuransi Konvensional pada dasarnya merupakan konsep pengelolaan risiko dengan cara mengalihkan risiko yang mungkin timbul dari peristiwa tertentu yang tidak diharapkan kepada orang lain yang sanggup mengganti kerugian yang diderita dengan imbalan premi (Novi Puspitasari, 2011: 40-41). Dalam perbedaan pengelolaan risiko, dapat diketahui bahwa Asuransi Syariah mengelola risiko dengan cara membagi risiko karena atas dasar prinsip tolong-menolong, sedangkan Asuransi Syariah mengelola risiko dengan cara membagi risiko karena memang bertujuan untuk mencari keuntungan. Pengelolaan Asuransi Syariah menggunakan prinsip-prinsip sebagai berikut (Novi Puspitasari, 2011: 41-45): a. Prinsip Tauhid b. Prinsip Keadilan c. Prinsip Tolong-Menolong d. Prinsip Amanah e. Prinsip Saling Ridha ( An Taradhin) f. Prinsip Menghindari Riba g. Prinsip Menghindari Maysir h. Prinsip Menghindari Gharar i. Prinsip Menghindari Risywah j. Berserah Diri dan Ikhtiar k. Saling Bertanggung Jawab l. Saling Melindungi dan Berbagi Kesusahan Sementara itu, pengelolaan Asuransi Konvensional menggunakan prinsip-prinsip sebagai berikut (Novi Puspitasari, 2011: 45-46): a. Insurable Interest b. Utmost Good Faith (Kejujuran Sempurna) c. Indemnity d. Subrogation e. Contribution (Kontribusi)

56 f. Proximate Cause (Kausa Proksimal) Berdasarkan perbedaan prinsip-prinsip tersebut, dapat disimpulkan bahwa Asuransi Konvensional bersifat untuk mencari keuntungan semata dengan pemberian ganti rugi dari Penanggung terhadap suatu kerugian yang diderita oleh Tertanggung. Sedangkan Asuransi Syariah bersifat sosial, tauhid dan tolong-menolong terhadap sesama serta menghindari perbuatan yang dilarang dalam syariah yaitu riba, maysir, gharar, dan risywah. Adapun perbedaan antara Asuransi Konvensional dan Asuransi Syariah menurut Muhammad Syakir Sula (2004: 326-328) adalah sebagai berikut: No. Asuransi Konvensional Asuransi Syariah 1. Dalam konsep konvensional, Dalam konsep Islam, Asuransi Asuransi adalah perjanjian adalah sekumpulan orang-orang antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak Penanggung yang saling membantu, saling menjamin, dan bekerja sama, mengikatkan diri kepada dengan cara masing-masing Tertanggung, dengan menerima mengeluarkan dana tabarru. premi asuransi, untuk memberikan pergantian kepada Tertanggung. 2. Asuransi Konvensional berasal dari masyarakat Babilonia 4000- Asuransi Syariah berasal dari al- `aqilah, kebiasaan suku Arab 3000 SM yang dikenal dengan jauh sebelum Islam datang. perjanjian Hammurabi. Pada Kemudian disahkan oleh tahun 1668 M di Coffe House Rasulullah menjadi hukum London berdirilah Lloyd of Islam, bahkan telah dituangkan London sebagai cikal-bakal dalam konstitusi pertama di Asuransi Konvensional. dunia (Konstitusi Madinah) yang dibuat langsung oleh Rasulullah. 3. Asuransi Konvensional Asurnasi syariah bersumber

57 bersumber dari pikiran manusia tidak hanya peraturan yang dan kebudayaan. Asuransi dibuat manusia atau hukum Konvensional berdasarkan pada positif, akan tetapi juga hukum positif, hukum alam, dan berdasarkan pada Al-Quran, contoh-contoh yang ada Hadist, Ijma, dan Qiyas. sebelumnya. Misalnya, Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. 4. Asuransi Konvensional tidak selaras dengan syariah Islam karena adanya maysir, gharar, dan riba yang diharamkan dalam mu amalah. Asuransi Syariah bersih dari adanya maysir, gharar, dan riba. 5. Asuransi Konvensional tidak Diawasi oleh DPS yang diawasi oleh Dewan Pengawas berfungsi untuk mengawasi Syariah (DPS), sehingga dalam pelaksanaan operasional praktiknya ditemukan hal-hal perusahaan agar terbebas dari yang bertentangan dengan praktik-praktik muamalah yang prinsip-prinsip syariah. bertentangan dengan prinsipprinsip syariah. 6. Asuransi Konvensional Asuransi Syariah terdiri atas dua menggunakan akad jual-beli. akad yaitu akad tabarru dan akad tijari. 7. Dari segi jaminan (risk), Asuransi Syariah menggunakan Asuransi Konvensional sharing of risk, di mana terjadi menggunakan transfer of risk, di proses saling menanggung mana terjadi transfer risiko dari antara satu Peserta dengan Tertanggung kepada Peserta lainnya (ta`awun). Penanggung. 8. Dari segi pengelolaan, dalam Asuransi Syariah pada produk-

58 Asuransi Konvensional tidak ada produk saving (life) terjadi pemisahan dana, yang berakibat pemisahan dana, yaitu dana pada terjadinya dana hangus tabarru, derma dan dana (untuk produk saving-life). Peserta, sehingga tidak mengenal istilah dana hangus. Untuk term insurance (life) dan general insurance semuanya bersifat tabarru. 9. Asuransi Konvensional bebas Asuransi Syariah, investasi dapat melakukan investasi dalam dilakukan sesuai dengan batas-batas ketentuan ketentuan perundang-undangan, perundang-undangan, dan tidak sepanjang tidak bertentangan terbatasi pada halal dan dengan prinsip-prinsip syariah haramnya obyek atau sistem investasi yang digunakan. Islam. Di samping itu, dalam melakukan investasi, Asuransi bebas dari riba dan tempattempat investasi yang terlarang. 10. Asuransi Konvensional, dana Asuransi Syariah, dana yang yang terkumpul dari premi terkumpul dari Peserta dalam Peserta seluruhnya menjadi bentuk iuran atau kontribusi, milik perusahaan. Perusahaan merupakan milik Peserta, bebas menggunakan dan Asuransi Syariah hanya sebagai menginvestasikan ke mana saja. pemegang amanah dalam mengelola dana tersebut 11. Asuransi Konvensional, unsur premi terdiri dari tabel mortalita Asuransi Syariah, iuran atau kontribusi terdiri dari unsur (mortality tables), bunga tabarru dan tabungan (yang (interest), biaya-biaya Asuransi tidak mengandung unsur riba). (cost of insurance). 12. Loading pada Asuransi Pada sebagian Asuransi Syariah,

59 Konvensional cukup besar terutama diperuntukkan bagi komisi agen, bisa menyerap premi tahun pertama dan kedua. Karena itu, nilai tunai pada tahun pertama dan kedua biasanya belum ada (masih hangus), 13. Asuransi Konvensional, sumber biaya klaim adalah dari rekening perusahaan, sebagai konsekuensi Penanggung terhadap Tertanggung. Dari praktiknya tampak benar bahwa Asuransi Konvensional merupakan bisnis murni dan tidak ada nuansa spiritualnya. 14. Sistem akuntansi yang dianut Asuransi Konvensional adalah konsep akuntansi accrual basis, yaitu proses akuntasi yang mengakui terjadinya peristiwa atau keadaan nonkas. Di samping Asuransi Konvensional juga mengakui pendapatan, peningkatan aset, expenses, leabilities dalam jumlah tertentu yang baru akan diterima dalam waktu yang akan datang. loading (komisi agen) tidak dibebankan pada Peserta tetapi dari dana pemegang saham. Akan tetapi, sebagian yang lainnya mengambilkan dari sekitar 20-30% saja dari premi tahun pertama. Dengan demikian, nilai tunai tahun pertama sudah terbentuk. Asuransi Syariah, sumber pembiayaan klaim diperoleh dari rekening tabarru, di mana Peserta saling menanggung. Jika salah satu Peserta mendapat musibah, Peserta lainnya ikut menanggung bersama risiko tersebut. Asuransi Syariah menganut konsep akuntansi cash basis, mengakui apa yang benar-benar telah ada, sedangkan accrual basis dianggap bertentangan dengan syariah karena mengakui adanya pendapatan, harta, beban atau utang yang akan terjadi di masa yang akan datang. Sementara apakah itu benarbenar dapat terjadi hanya Allah yang tahu.

60 15. Asuransi Konvensional, keuntungan yang diperoleh dari surplus underwriting, komisi reasuransi, dan hasil investasi seluruhnya adalah keuntungan perusahaan. 16. Secara garis besar misi utama Asuransi Konvensional adalah misi ekonomi. Asuransi Syariah, profit yang diperoleh dari surplus underwriting, komisi reasuransi dan hasil investasi, bukan seluruhnya menjadi milik perusahaan, tetapi dilakukan bagi hasil dengan Peserta. Adapun misi yang diemban oleh Asuransi Islam adalah misi akidah, misi ibadah, misi ekonomi, dan misi pemberdayaan umat. Berdasarkan pendapat Novi Puspitasari dan juga Muhammad Syakir Sula mengenai perbedaan Asuransi Konvensional dan Asuransi Syariah memang hampir terdapat kesamaan walaupun menurut pendapat Muhammad Syakir Sula perbedaannya lebih banyak. Oleh karena itu, penulis dapat menyimpulkan bahwa: 1. Asuransi Konvensional berdasarkan hukum positif saja. Sedangkan Asuransi Syariah tidak hanya hukum positif, akan tetapi juga menggunakan prinsip syariah. Hal ini juga sesuai dengan pendapat Ahmad Musadad (2012: 93) bahwa dalam Asuransi Syariah selain menggunakan hukum positif, tetapi juga menggunakan Fatwa DSN- MUI yang keputusannya berdasarkan pada Al-Quran, Hadist, Ijma, dan Qiyas; 2. Asuransi Konvensional berasal dari masyarakat Babilonia 4000-3000 SM yang dikenal dengan perjanjian Hammurabi. Sedangkan Asuransi Syariah berasal dari al-`aqilah, kebiasaan suku Arab jauh sebelum Islam datang; 3. Asuransi Konvensional tidak selaras dengan syariah Islam karena adanya maysir, gharar, riba, dan riswah yang diharamkan dalam

61 mu amalah. Asuransi Syariah bersih dari adanya maysir, gharar, riba, dan riswah; 4. Asuransi Konvensional menggunakan konsep perjanjian jual-beli yang bersifat komersil. Sedangkan Asuransi Syariah menggunakan kegiatan tolong-menolong yang bersifat sosial dan ibadah daripada komersil. Hal ini seperti pendapat Hafidz Abdurrahman dan Yahya Abdurrahman (2014: 151-155), aqad dalam Asuransi Syariah adalah aqad tolongmenolong dan saling menanggung, yaitu semua peserta Asuransi Syariah menjadi penjamin satu sama lainya. Bila salah satu meninggal yang lain menanggungnya, dan seterusnya. Sedangkan Asuransi Konvensional aqad-nya berkaitan dengan perjanjian atas jaminan pertanggungan; 5. Asuransi Konvensional dalam pengelolaan risiko dengan cara mengalihkan risiko. Sedangkan Asuransi Syariah dengan cara berbagi risiko; 6. Asuransi Konvensional tidak diawasi oleh DPS sehingga dalam praktiknya ditemukan hal-hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah. Sedangkan Asuransi Syariah diawasi oleh DPS yang berfungsi untuk mengawasi pelaksanaan operasional perusahaan agar terbebas dari praktik-praktik muamalah yang bertentangan dengan prinsipprinsip syariah. Hal tersebut juga sesuai dengan pendapat Ahmad Musadad (2012: 98) bahwa Asuransi Konvensional hanya diawasi oleh OJK dan tidak diawasi oleh DPS. Sedangkan Asuransi Syariah selain diawasi oleh OJK, juga diawasi oleh DPS. 7. Asuransi Konvensional bebas melakukan investasi dalam batas-batas ketentuan perundang-undangan, dan tidak terbatasi pada halal dan haramnya obyek atau sistem investasi yang digunakan, sehingga hal ini bertentangan dengan prinsip syariah. Sedangkan Asuransi Syariah, investasi dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan perundangundangan, sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah

62 Islam. Di samping itu, dalam melakukan investasi, Asuransi Syariah bebas dari riba dan tempat-tempat investasi yang terlarang. 8. Terdapat perbedaan prinsip-prinsip yaitu dalam Asuransi Konvensional menggunakan prinsip insurable interest, utmost good faith, indemnity, subrogation, contribution, proximate cause. sedangkan Asuransi Syariah mengunakan prinsip tauhid, prinsip keadilan, prinsip tolong menolong, prinsip amanah, prinsip saling ridha, prinsip menghindari riba maysir, gharar, dan risywah, berserah diri dan ikhtiar, saling bertanggung jawab, serta saling melindungi dan berbagi kesusahan. Prinsip Asuransi Syariah tersebut seperti pendapat yang ditulis oleh Mohamad Abdul Hamid, dkk dalam International Journal of Advances in Management and Economics berikut: mengenai prinsip syariah sebagai In principle, takaful is a financial transaction based on the principles of cooperation, responsibility, assurance, protection and assistance between groups of participants, which represent a form of mutual insurance. Under the takaful scheme, takaful participant (also known as policy holders in insurance) contributes a certain proportion of the full amount of his contribution as tabarru. The donations from all participants are accumulated into a common fund called tabarru fund or risk fund, from which compensation or indemnification is given to participants suffering a defined loss. It is a policy of mutual cooperation, solidarity and brotherhood against unpredicted risk or catastrophes, in which the parties involved, are expected to contribute genuinely. Terjemahan bebas: Pada prinsipnya, takaful adalah transaksi keuangan berdasarkan prinsip-prinsip kerjasama, tanggung jawab, jaminan, perlindungan dan bantuan antara kelompok Peserta, yang mewakili bentuk Asuransi mutual. Di bawah skema takaful, Peserta takaful (juga dikenal sebagai pemegang polis asuransi) memberikan kontribusi proporsi tertentu dari jumlah penuh dari kontribusinya sebagai tabarru'. Sumbangan dari seluruh Peserta diakumulasi ke dalam dana umum yang disebut dana tabarru 'atau dana risiko, dari mana kompensasi atau ganti rugi diberikan kepada Peserta menderita kerugian didefinisikan. Ini adalah kebijakan saling kerjasama, solidaritas dan persaudaraan

63 terhadap risiko yang tidak diperkirakan atau bencana, di mana pihak yang terlibat, diharapkan dapat memberikan kontribusi benar. 9. Selain itu, dalam Asuransi Konvensional tidak ada zakat, infaq, dan shodaqoh. Sedangkan dalam Asuransi Syariah, perusahaan wajib mengeluarkan zakat dari keuntungannya, dan dianjurkan untuk mengeluarkan dana infaq dan shodaqoh (Ahmad Musadad, 2012: 96). Peraturan perundang-undangan mengenai Asuransi yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian telah disahkan pada tanggal 17 Oktober 2014. Undang-undang baru tersebut, menggantikan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Usaha Perasuransian yang dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan industri perasuransian. Terdapat beberapa perubahan pokok dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian ini dengan undang-undang yang lama, yaitu perubahan judul, dari semula Usaha Perasuransian menjadi Perasuransian. Selain nama yang berubah, ada penambahan bab dan pasal yang cukup banyak, yaitu dari semula 28 pasal menjadi 92 pasal. Untuk bab, dari semula 13 bab menjadi 18 bab. Untuk pengaturan teknis dari pelaksanaannya akan dituangkan dalam bentuk POJK (Peraturan Otoritas Jasa Keuangan) (http://aaui.or.id/index.php/news-event/seminar-hari-kedua-di-indonesia-ren dezvous/120-undang-undang-nomor-40-tahun-2014, diakses pada 19 April 2016). Meningkatnya jumlah bab dan pasal tersebut lantaran terdapat pengaturan baru di sektor Asuransi yang menyesuaikan dengan perkembangan industri perasuransian saat ini. Pada undang-undang yang lama, bentuk badan hukum usaha perasuransian adalah perusahaan perseroan (Persero), koperasi, perseroan terbatas (PT) dan usaha bersama. Selain itu, pada undang-undang yang lama, usaha konsultan aktuaria merupakan salah satu bidang usaha perasuransian yang izin usahanya didirikan oleh menteri. Sedangkan di undang-undang yang baru, konsultan aktuaria tidak lagi merupakan usaha perasuransian, tetapi merupakan salah satu profesi penyedia jasa bagi perusahaan

64 perasuransian. Konsultas aktuaria harus terdaftar di OJK. Perbedaan lainnya berkaitan dengan bentuk badan hukum. Terkait kepemilikan perusahaan perasuransian, pada undang-undang yang lama, untuk perusahaan perasuransian yang didirikan oleh warga negara Indonesia (WNI) dan/atau badan hukum Indonesia, tidak diatur kepemilikan dari badan hukum Indonesia menjadi pendiri perusahaan perasuransian. Untuk perusahaan perasuransian patungan, juga tidak diatur kriteria perusahaan asing yang menjadi induk dari perusahaan perasuransian patungan tersebut. Selain itu, juga tidak diatur kepemilikan warga negara asing yang menjadi pemilik dari perusahaan Asuransi patungan tersebut. Selain perbedaan yang disebutkan di atas, perbedaan yang paling mencolok adalah dalam undang-undang yang baru terdapat aturan-aturan mengenai Asuransi Syariah. Sehingga terdapat beberapa versi mengenai pengertian Asuransi tersebut. Dari berbagai pengertian mengenai asuransi, terdapat perbedaan yang menonjol di antaranya adalah pengertian yang terdapat pada Pasal 246 KUHD dan Pasal 1174 KUHPerdata hanya tertuju pada Asuransi Konvensional yang hanya berorientasi pada profit semata, selain itu aspek gharar dan maysir sangat terlihat jelas. Karena dalam redaksinya terdapat klausul mengenai perjanjian untung-untungan. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian dalam Pasal 1 angka 1 juga tidak jauh berbeda dengan pengertian Asuransi yang ada pada Pasal 246 KUHD dan Pasal 1174 KUHPerdata. Pengertian Asuransi dalam undang-undang yang lama mewakili pengertian Asuransi Konvensional. Dalam redaksinya menyebutkan Penanggungan dilakukan terhadap kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan. Klausul mengenai keuntungan yang diharapkan memiliki makna lain bahwa keuntungan tersebut masih belum berwujud. Hal inilah yang sangat identik dengan gharar. Seperti pendapat Hafidz Abdurrahman dan Yahya Abdurrahman (2014: 155-156), dalam hal menyangkut gharar, Asuransi Konvensional

65 terdapat gharar dalam hal sumber dana pembayaran klaim. Peserta tidak mengetahui dari mana dana pertanggungan berasal manakala ia meninggal atau mendapat musibah sebelum premi yang harus dibayarkan terpenuhi. Masyarakat mengetahui bahwa dana diperoleh dari sebagian bunga dari penyimpanan uang premi di bank konvensional. Dapat dikatakan, bahwa dalam Asuransi Konvensional selain gharar juga terdapat riba. Selain itu, unsur maysir dalam praktek Asuransi Konvensional adalah bila Tertanggung mengundurkan diri sebelum jangka waktu pertanggungan habis, tidak akan mendapat apa-apa karena uang premi hangus. Kalaupun bisa diambil hanyalah sedikit, sehingga merugikan Tertanggung. Sedangkan dalam Asuransi Syariah, sejak awal nasabah diberitahu darimana dana yang diterimanya bila meninggal atau mendapat musibah, dan jika peserta meninggal sebelum masa jatuh temponya habis, kekurangan pertanggungan akan diambil dari rekening khusus atau tabarru. Coba lihat contoh di bawah ini. Misal: Waktu pertanggungan 10 tahun; Premi 1 juta per tahun; Dua persen (2%) dimasukkan ke rekening khusus (tabarru ) yaitu 2% x Rp 1 juta = 20 ribu, sehingga rekening peserta menjadi Rp 980 ribu setahun. Maka, dalam 10 tahun terkumpul Rp 9,8 juta. Karena dititipkan ke perusahaan asuransi, peserta berhak mendapat keuntungan bagi hasil, misalnya 70:30, 70 persen untuk peserta dan 30 persen untuk perusahaan asuransi. Apabila peserta meninggal dunia pada tahun kelima, maka dana pertanggungannya sebagai berikut: Rekening peserta selama lima tahun = 5 x Rp 980 ribu = Rp 4,9 juta Dana bagi hasil, misalnya Rp 400 ribu Sisa premi yang belum dibayar 5 x Rp 1 juta Rp 5 juta Sisa premi diambil dari dana tabarru

66 Sehingga jika peserta mengundurkan diri pada tahun kelima, ia akan mendapat kembali uang sebesar Rp 5,3 juta yang terdiri dari rekening peserta Rp 4,9 juta dan bagi hasil selama 5 tahun Rp 400 ribu. Hadirnya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian memuat pengertian Asuransi Syariah maupun Asuransi Konvensional yang memiliki kesamaan. Hal yang membedakan lebih kepada aturan-aturan tambahan dalam Asuransi Syariah yaitu Asuransi Syariah selain menggunakan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian juga harus menggunakan Fatwa DSN-MUI sebagai pijakan hukum. Selain itu, aspek yang ditonjolkan dalam Asuransi Syariah adalah aspek tolongmenolong dan perlindungan. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian dibuat untuk mengakomodir perkembangan industri perasuransian di Indonesia. Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, selain mengatur Asuransi Konvensional diatur pula Asuransi Syariah. Maka dari itu, penulis ingin menjabarkan serta membandingkan pengaturan Asuransi Konvensional dan Asuransi Syariah menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. Penjabaran akan dibuat dengan tabel seperti berikut: No. Asuransi Konvensional Asuransi Syariah 1. Pasal 1 angka 1 Pasal 1 angka 2 Asuransi adalah perjanjian Asuransi Syariah adalah antara dua pihak, yaitu kumpulan perjanjian, yang perusahaan Asuransi dan terdiri atas perjanjian antara pemegang polis, yang menjadi perusahaan Asuransi Syariah dasar bagi penerimaan premi dan pemegang polis dan oleh perusahaan Asuransi perjanjian di antara para sebagai imbalan untuk: pemegang polis, dalam rangka a. memberikan penggantian pengelolaan kontribusi kepada Tertanggung atau berdasarkan prinsip syariah guna

67 pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita Tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti; atau b. memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya Tertanggung atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya Tertanggung dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana. 2. Tidak menggunakan prinsip syariah saling menolong dan melindungi dengan cara: a. memberikan penggantian kepada Peserta atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita Peserta atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti; atau b. memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya Peserta atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya Peserta dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana. Pasal 1 angka 3 Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perasuransian berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang

68 3. Pasal 1 angka 5 Usaha Asuransi Umum adalah usaha jasa pertanggungan risiko yang memberikan penggantian kepada Tertanggung atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita Tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti. syariah. Pasal 1 angka 8 Usaha Asuransi Umum Syariah adalah usaha pengelolaan risiko berdasarkan Prinsip Syariah guna saling menolong dan melindungi dengan memberikan penggantian kepada Peserta atau pemegang pas karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita Peserta atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti. 4. Pasal 1 angka 6 Usaha Asuransi Jiwa adalah usaha yang menyelenggarakan jasa penanggulangan risiko yang memberikan pembayaran kepada pemegang polis, Tertanggung, atau pihak lain yang berhak dalam hal Tertanggung meninggal dunia atau tetap hidup, atau pembayaran lain kepada pemegang polis, Tertanggung, atau pihak lain yang berhak Pasal 1 angka 9 Usaha Asuransi Jiwa Syariah adalah usaha pengelolaan risiko berdasarkan Prinsip Syariah guna saling menolong dan melindungi dengan memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggal atau hidupnya Peserta, atau pembayaran lain kepada Peserta atau pihak lain yang berhak pada waktu tertentu yang diatur dalam perjanjian, yang besarnya telah ditetapkan

69 pada waktu tertentu yang diatur dalam perjanjian, yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana. 5. Pasal 1 angka 7 Usaha ReAsuransi adalah usaha jasa pertanggungan ulang terhadap risiko yang dihadapi oleh perusahaan asuransi, perusahaan penjaminan, atau perusahaan reasuransi lainnya. 6. Pasal 1 angka 15 Perusahaan Asuransi adalah perusahaan Asuransi umum dan perusahaan Asuransi jiwa. 7. Pasal 1 angka 20 Dana Asuransi adalah kumpulan dana yang berasal dari premi yang dibentuk untuk memenuhi kewajiban yang timbul dari polis yang diterbitkan atau dari klaim asuransi. 8. Pasal 1 angka 23 Tertanggung adalah Pihak yang menghadapi risiko sebagaimana dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana. Pasal 1 angka 10 Usaha ReAsuransi Syariah adalah usaha pengelolaan risiko berdasarkan Prinsip Syariah atas risiko yang dihadapi oleh perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan penjaminan syariah, atau perusahaan ReAsuransi Syariah lainnya. Pasal 1 angka 16 Perusahaan Asuransi Syariah adalah perusahaan Asuransi umum syariah dan perusahaan Asuransi jiwa syariah. Pasal 1 angka 21 Dana Tabarru' adalah kumpulan dana yang berasal dari kontribusi para Peserta, yang mekanisme penggunaannya sesuai dengan perjanjian Asuransi Syariah atau perjanjian ReAsuransi Syariah. Pasal 1 angka 24 Peserta adalah Pihak yang menghadapi risiko sebagaimana

70 diatur dalam perjanjian Asuransi atau perjanjian reasuransi. diatur dalam perjanjian Asuransi Syariah atau perjanjian ReAsuransi Syariah. 9. Pasal 1 angka 29 Premi adalah sejumlah uang yang ditetapkan oleh Perusahaan Asuransi atau perusahaan reasuransi dan disetujui oleh Pemegang Polis untuk dibayarkan berdasarkan perjanjian Asuransi atau perjanjian reasuransi, atau sejumlah uang yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mendasari program Asuransi wajib untuk memperoleh manfaat. 10. Pasal 2 (1) Perusahaan Asuransi umum hanya dapat menyelenggarakan: a. Usaha Asuransi Umum, termasuk lini usaha Pasal 1 angka 30 Kontribusi adalah sejumlah uang yang ditetapkan oleh Perusahaan Asuransi Syariah atau perusahaan ReAsuransi Syariah dan disetujui oleh Pemegang Polis untuk dibayarkan berdasarkan perjanjian Asuransi Syariah atau perjanjian ReAsuransi Syariah untuk memperoleh manfaat dari. Dana Tabarru' dan/atau dana investasi Peserta dan untuk membayar biaya pengelolaan atau sejumlah uang yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mendasari program Asuransi wajib untuk memperoleh manfaat. Pasal 3 (1) Perusahaan Asuransi umum syariah hanya dapat menyelenggarakan: a. Usaha Asuransi Umum Syariah,

71 Asuransi kesehatan dan lini usaha Asuransi kecelakaan diri; dan b. Usaha ReAsuransi untuk risiko Perusahaan Asuransi Umum lain. (2) Perusahaan Asuransi jiwa hanya dapat menyelenggarakan Usaha Asuransi Jiwa termasuk lini usaha anuitas, lini usaha Asuransi kesehatan, dan lini usaha Asuransi kecelakaan diri. (3) Perusahaan reasuransi hanya dapat menyelenggarakan Usaha Reasuransi. termasuk lini usaha Asuransi kesehatan berdasarkan Prinsip Syariah dan lini usaha Asuransi kecelakaan diri berdasarkan Prinsip Syariah; dan b. Usaha ReAsuransi Syariah untuk risiko Perusahaan Asuransi Umum Syariah lain. (2) Perusahaan Asuransi jiwa syariah hanya dapat menyelenggarakan Usaha Asuransi Jiwa Syariah termasuk lini usaha anuitas berdasarkan Prinsip Syariah, lini usaha Asuransi kesehatan berdasarkan Prinsip Syariah, dan lini usaha Asuransi kecelakaan diri berdasarkan Prinsip Syariah. (3) Perusahaan ReAsuransi Syariah hanya dapat menyelenggarakan Usaha ReAsuransi Syariah. Berdasarkan penjabaran pengaturan Asuransi Konvensional dan Asuransi Syariah menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian di dalam tabel diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa:

72 1. Asuransi Konvensional adalah perjanjian antara dua pihak, yaitu perusahaan Asuransi dan pemegang polis, yang menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan asuransi. Sedangkan Asuransi Syariah adalah kumpulan perjanjian, yang terdiri atas perjanjian antara perusahaan Asuransi Syariah dan pemegang polis dan perjanjian di antara para pemegang polis, dalam rangka pengelolaan kontribusi berdasarkan prinsip syariah guna saling menolong. Dalam hal ini, Asuransi Syariah menggunakan prinsip tolong-menolong, sedangkan Asuransi Konvensional hanya terdapat perjanjian antara perusahaan Asuransi dan pemegang polis. 2. Asuransi Konvensional tidak menggunakan prinsip syariah, sedangkan Asuransi Syariah menggunakan prinsip syariah. Sehingga dalam praktiknya, Asuransi Konvensional bertentangan dengan prinsip syariah seperti gharar, riba dan maysir. Sedangkan Asuransi Syariah terbebas dari hal tersebut. 3. Jenis usaha Asuransi Konvensional baik Asuransi umum, Asuransi jiwa, dan reasuransi tidak menggunakan prinsip syariah dan prinsip tolong-menolong. Sedangkan dalam jenis usaha Asuransi Syariah baik Asuransi umum syariah, Asuransi jiwa syariah, dan ReAsuransi Syariah menggunakan prinsip syariah dan prinsip tolong-menolong. 4. Penyebutan mengenai pihak yang menghadapi risiko, dalam Asuransi Konvensional disebut Tertanggung, sedangkan dalam Asuransi Syariah disebut Peserta. 5. Penyebutan mengenai jumlah uang yang harus disetor ke perusahaan asuransi, dalam Asuransi Konvensional disebut premi, sedangkan dalam Asuransi Syariah disebut kontribusi. 6. Penyebutan mengenai kumpulan dana yang berasal dari premi dan/atau kontribusi, dalam Asuransi Konvensional disebut dana asuransi, sedangkan dalam Asuransi Syariah disebut dana tabarru.

73 Selain hal tersebut di atas, dalam hal suatu perusahaan Asuransi atau perusahaan reasuransi yang memiliki unit syariah maka harus berdasarkan Pasal 87 Undang-Undang Nomor 40 Tentang Perasuransian, yaitu: (1) Dalam hal Perusahaan Asuransi atau perusahaan reasuransi memiliki unit syariah dengan nilai Dana Tabarru' dan dana investasi Peserta telah mencapai paling sedikit 50% (lima puluh %) dari total nilai Dana Asuransi, Dana Tabarru', dan dana investasi Peserta pada perusahaan induknya atau 10 (sepuluh) tahun sejak diundangkannya Undang-Undang ini, Perusahaan Asuransi atau perusahaan reasuransi tersebut wajib melakukan pemisahan unit syariah tersebut menjadi Perusahaan Asuransi Syariah atau perusahaan ReAsuransi Syariah; (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemisahan unit syariah dan sanksi bagi Perusahaan Asuransi dan; (3) perusahaan reasuransi yang tidak melakukan pemisahan unit syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Sehingga berdasarkan ketentuan tersebut, perusahaan Asuransi maupun perusahaan reasuransi yang memiliki unit syariah diharapkan segera melakukan pemisahan unit syariah tersebut menjadi perusahaan Asuransi Syariah maupun perusahaan ReAsuransi Syariah yang berdiri sendiri. Berdasarkan data di atas, penulis menyimpulkan bahwa, pengaturan Asuransi Konvensional dan Asuransi Syariah dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian masih memiliki kekurangan yakni: 1. Pengaturan Asuransi Syariah masih hampir sama dengan Asuransi Konvensional, hanya yang membedakan adalah Asuransi Syariah ditambah dengan penggunaan prinsip syariah dan prinsip tolong- menolong, bahkan asas-asas maupun prinsipprinsip pelaksanaan Asuransi baik yang konvensional maupun syariah belum diatur dalam undang-undang tersebut; 2. Pengaturan Asuransi Syariah masih di dalam satu undang-undang dan tidak dipisah tersendiri dalam undang-undang khusus. Oleh sebab itu, Asuransi Syariah perkembangannya menjadi lebih

74 lambat daripada Asuransi Konvensional. Padalah sebagai salah satu sistem Asuransi nasional memerlukan berbagai sarana pendukung agar dapat memberikan kontribusi yang maksimum bagi pengembangan ekonomi maksimum. Salah satu sarana pendukung utamanya adalah adanya pengaturan yang memadai dan sesuai dengan karakteristik Asuransi Syariah yakni dengan dibentuknya undang-undang khusus Asuransi Syariah: dan 3. Selain hal itu, dalam undang-undang tersebut belum menyebutkan lembaga pengawas bagi Asuransi Syariah yakni Dewan Pengawas Syariah (DPS). Namun, hanya menyebutkan bahwa baik Asuransi Konvensional dan Asuransi Syariah sama-sama dibawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagaimana diatur dalam Pasal 57 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. B. Faktor-Faktor yang Mendorong Perkembangan Asuransi Konvensional dan Asuransi Syariah di Indonesia Memang Allah telah menyiapkan bahan mentah, namun bukan bahan matang. Manusia masih perlu mengolah, mencari, dan mengikhtiarkannya. Dalam hal ini manusia ditugaskan hanya mengatur bagaimana cara mengelola kehidupannya agar mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Adapun salah satu caranya adalah dengan menyiapkan bekal (proteksi) untuk kepentingan di masa yang akan datang agar segala sesuatu yang bernilai negatif, baik dalam bentuk musibah, kecelakaan, kebakaran ataupun kematian, dapat diminimalisir kerugiannya. Hal ini semacam dicontohkan oleh Nabi Yusuf secara jelas dalam menakwilkan mimpi Raja Mesir tentang tujuh ekor sapi betina yang gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus. Apa yang dilakukan oleh Nabi Yusuf tersebut merupakan pelajaran berharga bagi manusia pada saat ini yang secara ekonomi dituntun untuk mengadakan persiapan secara matang untuk menghadapi masa-masa yang sulit jikalau menimpanya pada waktu yang akan datang. Praktik Asuransi

75 ataupun bisnis pertanggungjawaban dewasa ini mengadopsi nilai-nilai dari nilai-nilai Nabi Yusuf tersebut dan juga penjelasan Al-Qur an dan Al-Hadist. Orang yang melibatkan diri ke dalam Asuransi ini adalah merupakan salah satu ikhtiar untuk menghadapi masa depan dan masa tua (Khusniati Rofiah, 2013: 150). Apabila ditelusuri dari buku-buku klasik asuransi, Asuransi Konvensional berasal dari kebiasaan masyarakat Babylonia (4000-3000 SM), yang dikenal dengan Perjanjian Hammurabi, yang dikumpulkan oleh raja Babylonia dalam 282 ketentuan (Code of Hammurabi) pada tahun 2250 SM. Perjanjian ini kemudian berkembang menjadi praktik Perjanjian Bottomry (Bottomry Contract) sekitar tahun 1600-1000 SM yang dipraktikkan di masyarakat Yunani. Praktik perjanjian ini kemudian berkembang di Roma, India, Italia, Eropa, dan Amerika (Muhammad Syakir Sula, 2004: 296). Lembaga Asuransi Syariah sendiri pun sebenarnya juga sudah ada sejak awal Islam, namun praktik dan pengembangannya baru dilakukan akhirakhir ini. Pada saat ini kajian tentang Asuransi Syariah dan praktiknya terusmenerus dilakukan di berbagai negara, termasuk di Indonesia, dengan harapan masyarakat dunia khususnya umat Islam dapat memahami dengan baik praktik Asuransi yang berdasarkan syariah Islam. Perkembangan perusahaan Asuransi berlandaskan Islam di Indonesia terkait dengan beroperasinya bank syariah sehingga diperlukan kehadiran jasa Asuransi Syariah. (Novi Puspitasari, 2011: 39). Industri Asuransi di Indonesia saat ini pun mengalami pertumbuhan yang cukup pesat dalam beberapa tahun terakhir ini. Hal ini dibuktikan dengan jumlah perusahaan Asuransi baik yang konvensional maupun syariah mengalami peningkatan. Berdasarkan Laporan OJK per 31 Desember 2015, jumlah perusahaan Asuransi Konvensional yang meliputi Asuransi jiwa sejumlah 50 perusahaan, Asuransi umum sejumlah 76 perusahaan, reasuransi sejumlah 6 perusahaan, Asuransi wajib sejumlah 3 perusahaan, dan Asuransi sosial sejumlah 2 perusahaan (http://www.ojk.go.id/id/kanal/iknb/berita-dankegiatan/publikasi/pages/daftar-perusahaan-asuransi-umum,-jiwa,-reasu

76 ransi,-asuransi-wajib-dan-asuransi-sosial.aspx, diakses tanggal 20 April 2016). Sedangkan Asuransi Syariah yang meliputi Asuransi Jiwa Syariah sejumlah 5 perusahaan, Asuransi Umum Syariah sejumlah 3 perusahaan, Unit Usaha Syariah Asuransi Jiwa sejumlah 19 perusahaan, Unit Usaha Syariah Asuransi Umum sejumlah 25 perusahaan, dan Unit Syariah ReAsuransi sejumlah 3 perusahaan. (http://www.ojk.go.id/id/kanal/ iknb/berita-dankegiatan/publikasi/pages/daftar-perusahaan-asuransi-umum-jiwa-dan-rea suransi-dengan-prinsip-syariah.aspx, diakses tanggal 20 April 2016). Berdasarkan data tersebut, jumlah total perusahaan Asuransi Konvensional sejumlah 137 perusahaan dan perusahaan Asuransi Syariah sejumlah 55 perusahaan. Jumlah perusahaan keduanya terdapat selisih yang sangat jauh, yaitu sejumlah 82 perusahaan lebih banyak perusahaan Asuransi Konvensional. Sehingga dapat dikatakan bahwa jumlah perusahaan Asuransi Syariah tidak sampai setengah dari jumlah perusahaan Asuransi Konvensional. Penulis dapat menyimpulkan bahwa Asuransi Konvensional dan Asuransi Syariah sama-sama mengalami peningkatan dalam hal jumlah perusahaan yang telah ada. Namun, jumlah perusahaan Asuransi Syariah masih kalah jauh dari jumlah perusahaan Asuransi Konvensional. Hal ini membuktikan bahwa perkembangan Asuransi Syariah masih lambat daripada Asuransi Konvensional. Kondisi tersebut tentu dipengaruhi oleh beberapa faktor yang menyebabkan pertumbuhan Asuransi Syariah lebih lambat daripada pertumbuhan Asuransi Konvensional. Hasil analisis terhadap berbagai data dan prediksi pertumbuhan industri Asuransi menjelaskan bahwa industri Asuransi di Indonesia sebetulnya mengalami perkembangan yang signifikan dari tahun ke tahun. Namun, industri tersebut harus ditingkatkan karena penetrasinya masih rendah. Asuransi Syariah juga mengalami pertumbuhan yang tinggi. Masyarakat makin banyak memiliki pilihan Asuransi yang sesuai dengan kebutuhannya. Hasil analisis dan elaborasi berbagai data perkembangan industri Asuransi di Indonesia menunjukkan bahwa pertumbuhan Asuransi

77 secara natural didorong oleh perkembangan Pendapatan Domestik Bruto (PDB), struktur demografi serta pendidikan masyarakat (Hendrisman Rahim, 2013: 16). Selain tiga faktor tersebut juga masih terdapat faktor pendorong lainnya yang dapat mendorong perkembangan industri Asuransi di Indonesia. Faktor-faktor yang dapat mendorong perkembangan Asuransi di Indonesia baik yang konvensional dan syariah dapat dilihat dalam Tabel 4. di bawah ini. Tabel 4. Faktor-Faktor Pendorong Asuransi di Indonesia No. Faktor Pendorong Asuransi Konvensional Asuransi Syariah 1. Regulasi Peraturan Perundangundangan. Al-Quran, Hadist, Fatwa DSN-MUI, dan Peraturan Perundangundangan. 2. PDB Ekonomi Indonesia pada tahun 2015 tumbuh 4,79%. Pertumbuhan ini menurun bila dibandingkan dengan tahun 2014 sebesar 5,02%. Namun, dari sisi produksi, pertumbuhan tertinggi dicapai oleh Lapangan Usaha Jasa Keuangan dan Asuransi sebesar 12,52%. 3. Demografi dalam Penduduk miskin pada bulan September 2015 sebanyak 28,51 juta orang (11,13%). Jumlah Pendapatan per tersebut menurun 0,08 juta orang bila Kapita dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2015 yang sebesar 28,59 juta orang (11,22%). 4. Rasio Ketergantungan Rasio ketergantungan tahun 1971 sebesar 86,8 dan tahun 2014 kondisinya semakin membaik dengan rasio ketergantungan sebesar 48,9.

78 5. Tingkat Masyarakat yang berpendidikan hingga perguruan Pendidikan tinggi dari 2009 hingga 2013 mengalami peningkatan. Penduduk yang berpendidikan hingga perguruan tinggi pada tahun 2009 sebesar 6,40%, dan tahun 2013 sebesar 6,9%. 6. Pandangan Berprinsip untuk Berprinsip syariah Masyarakat mengalihkan risiko. sesuai dengan ajaran agama Islam dan untuk saling tolong-menolong sesama manusia, serta mencari keuntungan. 7. Pendirian Lebih dulu ada sebelum Ada setelah Asuransi Asuransi Syariah, yaitu Konvensional, yaitu pada tahun 1853. pada tahun 1994. Sumber: 1. BPS (2016) 2. Hendrisman Rahim (2013) Berdasarkan tabel di atas, akan penulis jelaskan lebih lanjut sebagai berikut: 1. Regulasi Faktor yang menjadi pendorong tingkat pertumbuhan industri perasuransian adalah faktor regulasi dan kebijakan pemerintah. Regulasi adalah sesuatu yang tidak bebas nilai karena di dalam proses pembuatannya pasti terdapat tarik menarik kepentingan yang kuat antara kepentingan publik, pemilik modal dan pemerintah. Undang- Undang sebagai produk hukum tidak berada di ruang hampa. Ia merupakan hasil dari proses politik dan ekonomi sehingga karakternya diwarnai konfigurasi kekuatan politik dan ekonomi yang melahirkannya (Masduki, 2007:49). Asuransi Konvensional dan Asuransi Syariah diatur dalam suatu peraturan perundangan-undangan yakni Undang-Undang Nomor 40

79 Tahun 2014 tentang Perasuransian. Namun, untuk Asuransi Syariah juga berlandaskan Al-Quran, Al-Hadist, dan Fatwa DSN-MUI. Pada hakikatnya Asuransi Syariah adalah saling bertanggung jawab, saling bekerjasama dan saling melindungi satu sama lain, sebagaimana dalam Surat Al-Maidah (5) ayat 2 dan QS. Al-Baqarah (2) ayat 177. Asuransi Konvensional dan Asuransi Syariah dari segi hukum positif, sebelum hadirnya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian mendasarkan legalitasnya pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian. Namun, undangundang ini kurang mengakomodir Asuransi Syariah di Indonesia karena tidak mengatur keberadaan Asuransi berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Kemudian dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) yaitu Fatwa DSN-MUI Nomor: 21/DSN- MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah. Tetapi Fatwa DSN-MUI tersebut tidak memiliki kekuatan hukum dalam Hukum Nasional karena tidak termasuk dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia (Suyanto, 2010: 88). Terkait proyeksi pertumbuhan industri Asuransi ke depannya, terdapat beberapa regulasi baru yang mempengaruhi, meliputi: a. Semenjak bulan Januari 2013, seluruh industri keuangan di Indonesia, termasuk dengan sektor Asuransi berada dibawah lembaga Otoritas Jasa Keuangan berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Lembaga ini bertugas untuk melakukan pengawasan terhadap transparansi keuangan dan kegiatan operasional seluruh lembaga keuangan, mempertahankan dan memelihara kestabilan perekonomian, serta melindungi kepentingan Tertanggung dan masyarakat (Hendrisman Rahim, 2013: 15); b. Untuk mengakomodasi Asuransi Syariah di Indonesia dalam suatu undang-undang, maka pada tahun 2014 telah disahkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian

80 yang menggantikan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Perasuransian sebagai dasar hukum Asuransi Syariah di Indonesia (Hendri Tanjung, 2014: 287). Hadirnya undangundang Asuransi yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian yang menggantikan Undang- Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian yang sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan jaman. Dengan lahirnya undang-undang baru yang mengatur tentang Asuransi di Indonesia, maka diharapkan dapat mengakomodir Asuransi baik konvensional dan syariah sesuai dengan perkembangan industri Asuransi Indonesia saat ini. Penulis menyimpulkan bahwa regulasi yang ada sangat mempengaruhi perkembangan industri Asuransi di Indonesia. Asuransi sebelum hadirnya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian masih mendasarkan legalitasnya pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian. Undang-undang tersebut kurang mengakomodir Asuransi Syariah. Namun, sebelum ada undang-undang baru yang mengaturnya, Asuransi Syariah tetap mendasarkan legalitasnya pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian. Oleh karena itu, dalam menjalankan usaha Asuransi Syariah menggunakan pedoman yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) yaitu Fatwa DSN-MUI Nomor: 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah. Tetapi Fatwa DSN-MUI tersebut tidak memiliki kekuatan hukum dalam Hukum Nasional karena tidak termasuk dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Peraturan perundang-undangan yang mengatur Asuransi Syariah baru dibuat pada tahun 2014 yaitu dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. Oleh karena itu, sebelum tahun 2014 tentu perkembangan Asuransi Syariah berjalan lambat daripada

81 perkembangan Asuransi Konvensional karena undang-undang yang mengaturnya baru ada pada tahun 2014. Hadirnya undang-undang Asuransi yang baru, baik Asuransi Konvensional dan Asuransi Syariah dapat berkembang lebih pesat lagi. Tetapi, Asuransi Syariah perkembangannya tetap masih jauh daripada Asuransi Konvensional setelah adanya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. Menurut pakar Asuransi Syariah, Dr. Jafril Khalil, bahwa meskipun sudah keluar undang-undang Asuransi yang terbaru pada 2014 yaitu Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, yang sudah mengakomodir kebutuhan industri Asuransi Syariah di tanah air. Namun demikian, masyarakat pelaku industri Asuransi Syariah masih sangat membutuhkan undang-undang Asuransi Syariah yang tersendiri. Undang-Undang Asuransi Syariah tetap sangat dibutuhkan. Karena dengan adanya undang-undang tersebut kita akan bisa dengan baik menata industri Asuransi Syariah ini dengan jauh lebih baik dan optimal. Menurut Jafril, di negara-negara tetangga seperti Malaysia, Brunei dan bahkan juga Singapura, mereka sudah mempunyai undangundang khusus Asuransi Syariah tersebut. Menurut Jafril, di negaranegara tersebut Asuransi Syariah bisa maju, karena terdorong atau terdukung dengan undang-undang tersebut (http://keuangansyariah.mysharing.com/industri-asuransi-syariahsangat-membutuhkan-undang-undang-asuransi-syariah/ diakses tanggal 27 Mei 2016). Seperti halnya faktor pendorong perkembangan Perbankan Syariah karena adanya pengesahan produk perundangan yang memberikan kepastian hukum dan meningkatkan aktivitas pasar perbankan syariah yakni Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Halim Alamsyah, 2012: 3). Sehingga diperlukan undang-undang yang mengatur secara khusus Asuransi Syariah sama halnya undang-undang khusus Perbankan Syariah, agar industri Asuransi Syariah dapat berkembang secara optimal. Namun,

82 belum adanya undang-undang khusus yang mengatur tentang Asuransi Syariah, sehingga Asuransi Syariah tetap belum bisa bersaing secara optimal dengan Asuransi Konvensional. Apabila ada undang-undang Asuransi Syariah tersendiri, dimungkinkan Asuransi dapat lebih berkembang dan sejajar dengan konvensional. 2. Produk Domestik Bruto (PDB) Pentingnya peran PDB terhadap peningkatan permintaan Asuransi jiwa berkaitan dengan indikator kesejahteraan penduduk dan perkembangan kegiatan perekonomian makro. PDB menggambarkan tingkat pengeluaran seluruh komponen yang terdapat dalam kegiatan perekonomian makro, seperti konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah, serta sektor ekspor dan impor. Semakin tinggi tingkat pengeluaran dan konsumsi yang dilakukan penduduk, maka akan mendorong peningkatan pendapatan per kapita. Kemudian selanjutnya peningkatan pendapatan per kapita akan berpengaruh terhadap fungsi permintaan Asuransi jiwa. Hal ini disebabkan karena tumbuhnya tingkat pendapatan per kapita akan memberikan keleluasaan penduduk untuk mengatur dan mengelola risiko. Sehingga peningkatan pendapatan per kapita secara berkesinambungan akan menggeser fungsi permintaan Asuransi jiwa, kemudian selanjutnya akan meningkatkan jumlah premi Asuransi jiwa, serta pada akhirnya tingkat penetrasi premi Asuransi jiwa terhadap PDB (life insurance penetration) akan meningkat (Hendrisman Rahim, 2013: 16). Tingkat pertumbuhan PDB Indonesia menurut laporan Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2016, menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan Indonesia dalam tiga tahun terakhir (periode 2013-2015) cenderung untuk menurun. Lihat Grafik 1.

PERSENTASE 83 Grafik 1. Pertumbuhan PDB 2013-2015 5,8 5,6 5,4 5,2 5 4,8 4,6 4,4 2013 2014 2015 TAHUN Sumber: BPS Berdasarkan data tersebut, laju pertumbuhan PDB dari tahun 2013 hingga tahun 2015 terlihat menurun. Laju pertumbuhan PDB pada tahun 2013 adalah sebesar 5,56%, tahun 2014 sebesar 5,02%, serta tahun 2015 sebesar 4,79%. Perekonomian Indonesia tahun 2015 yang diukur berdasarkan PDB atas dasar harga berlaku mencapai Rp11.540,8 triliun dan PDB perkapita mencapai Rp45,2 juta atau US$3,377.1. Ekonomi Indonesia pada tahun 2015 tumbuh 4,79% melambat bila dibanding tahun 2014 sebesar 5,02%. Walaupun laju pertumbuhan PDB agak menurun, namun pertumbuhan Asuransi masih tumbuh dengan jumlah tertinggi dilihat dari PDB sisi produksi. Bila dilihat dari sisi produksi, pertumbuhan tertinggi dicapai oleh Lapangan Usaha Jasa Keuangan dan Asuransi sebesar 12,52%. Struktur ekonomi Indonesia secara spasial Tahun 2015 didominasi oleh kelompok provinsi di Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Kelompok provinsi di Pulau Jawa memberikan kontribusi terbesar terhadap PDB, yakni sebesar 58,29%, diikuti oleh Pulau Sumatera sebesar 22,21%, dan Pulau Kalimantan 8,15% https://www.bps.go.id/website/ pdf_publikasi/laporan-bulanan-data-sosial-ekonomi-april-2016.pdf,