PERKEMBANGAN PENGATURAN PUTUSAN SERTA-MERTA (UITVOERBAAR BIJ VOORRAAD) DARI PENDEKATAN KEADILAN DAN KEPASTIAN HUKUM

dokumen-dokumen yang mirip
PERKEMBANGAN PENGATURAN PUTUSAN SERTA-MERTA (UITVOERBAAR BIJ VOORRAAD) DARI PENDEKATAN KEADILAN DAN KEPASTIAN HUKUM

BAB I PENDAHULUAN. dimenangkan dan pihak yang dikalahkan. Terdapat dua pilihan bagi pihak yang. putusan serta-merta(uitvoerbaar Bij Voorraad).

hal 0 dari 11 halaman

BAB I PENDAHULUAN. menjelaskan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Oleh karena

PERMOHONAN PUTUSAN SERTA-MERTA ATAS GUGATAN SEWA MENYEWA

BAB II PUTUSAN SERTA MERTA DALAM KEPAILITAN. A. Tinjauan Umum Tentang Putusan Serta Merta

BAB I PENDAHULUAN. yang menentukan tingkah laku. Situasi yang demikian membuat kelompok itu

EKSEKUSI RIEL PUTUSAN HAKIM TERHADAP BENDA TIDAK BERGERAK

MASALAH PUTUSAN SERTA MERTA DALAM PRAKTEK DI PENGADILAN NEGERI (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Surakarta)

Oleh Ariwisdha Nita Sahara NIM : E BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Liberty, 1981), hal ), hal. 185.

EKSEKUSI TANAH TERHADAP PUTUSAN SERTA MERTA Muhammad Ilyas,SH,MH Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar

Oleh : A.A. Nandhi Larasati Ni Gusti Ayu Dyah Satyawati Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana

BAB IV. ANALISIS TERHADAP PUTUSAN NO. 0688/Pdt.G/2011/PA.Tbn TENTANG PENCABUTAN GUGATAN TANPA PERSETUJUAN TERGUGAT DALAM PERKARA CERAI GUGAT

HUKUM ACARA PERDATA BAB I PENDAHULUAN

SEKITAR EKSEKUSI. (oleh H. Sarwohadi, S.H., M.H. Hakim Tinggi PTA Bengkulu)

EKSEKUSI PUTUSAN PERKARA PERDATA

: KAJIAN YURIDIS PUTUSAN NIET ONTVANKELIJKE VERKLAAD HAKIM DALAM PERKARA NO.

SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 5 TAHUN 1975 TENTANG SITA JAMINAN (CONSERVATOIR BESLAG)

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan. Kehakiman mengatur mengenai badan-badan peradilan penyelenggara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Peranan hukum di dalam pergaulan hidup adalah sebagai sesuatu yang

HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA

oleh: Dr.H.M. Arsyad Mawardi, S.H.,M.Hum (Hakim Tinggi PTA Makassar) {mosimage}a. PENDAHULUAN

UPAYA PERLAWANAN HUKUM TERHADAP EKSEKUSI PEMBAYARAN UANG DALAM PERKARA PERDATA (Studi Kasus Pengadilan Negeri Surakarta)

BAB I PENDAHULUAN. membuat keseimbangan dari kepentingan-kepentingan tersebut dalam sebuah

SKRIPSI. Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum. Oleh:

BAB I PENDAHULUAN. putusan ini, hubungan antara kedua belah pihak yang berperkara ditetapkan untuk selamalamanya,

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

DIPONEGORO LAW JOURNAL Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016 Website :

BAB I PENDAHULUAN. beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukkan

BAB I PENDAHULUAN. Didalam Hukum Acara Perdata terdapat dua perkara, yakni perkara

BAB 4 PENERAPAN UITVOERBAAR BIJ VOORRAAD

TINJAUAN HUKUM PENYELESAIAN PERKARA PEMBATALAN AKTA HIBAH. (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta)

BAB II SUMBER HUKUM EKSEKUSI. mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) yang dijalankan

KAJIAN HUKUM PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA SENGKETA TANAH AKIBAT PERBUATAN MELAWAN HUKUM

PENTINGNYA PENCANTUMAN KETIDAKBERHASILAN UPAYA PERDAMAIAN (DADING) DALAM BERITA ACARA SIDANG DAN PUTUSAN

KEKUATAN HUKUM DARI HASIL MEDIASI DI PENGADILAN

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENETAPKAN SITA JAMINAN ATAS BENDA BERGERAK PADA PENYELESAIAN PERKARA PERDATA (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta)

BAB III UPAYA HUKUM DEBITOR PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG YANG DIAJUKAN OLEH KREDITOR

BAB I PENDAHULUAN. oleh pihak ketiga dalam suatu perkara perdata. Derden verzet merupakan

1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) sebagian besar materinya tidak

UPAYA HUKUM TERHADAP PUTUSAN SELA SERTA PENGARUHNYA TERHADAP SUATU PERKARA PERDATA (STUDI KASUS DI PENGADILAN NEGERI DENPASAR)

BAB IV ANALISIS DUALISME AKAD PEMBIAYAAN MUD{ARABAH MUQAYYADAH DAN AKIBAT HUKUMNYA

EKSEKUSI TERHADAP KEPUTUSAN HAKIM YANG MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM TETAP DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB III. Upaya Hukum dan Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara. oleh Pejabat Tata Usaha Negara

HAKIM SALAH MEMBAGI BEBAN BUKTI GAGAL MENDAPATKAN KEADILAN ( H. Sarwohadi, S.H.,M.H., Hakim Tinggi PTA Mataram )

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENETAPKAN DAPAT DITERIMANYA CONSERVATOIR BESLAG SEBAGAI PELAKSANAAN EKSEKUSI RIIL ATAS SENGKETA TANAH

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

TINJAUAN HUKUM TENTANG KENDALA-KENDALA EKSEKUSI YANG TELAH INKRACHT (Studi Pada Pengadilan Negeri Palu) TEGUH SURIYANTO / D

BAB II LANDASAN TEORI. diterbitkan oleh dan diakui karena (kekuasaan) nagara.

BAB IV PENUTUP. sebelumnya dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: pada dasarnya memiliki kesesuaian pada hal susunan

BAB IV PENUTUP. Perselisihan Hubungan Industrial yang Telah Berkekuatan Hukum Tetap

BAB IV. memutuskan dan mengadili perkara Nomor: 207/Pdt. G/2011/PA. Kdr. tentang

Kecamatan yang bersangkutan.

Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui kekuatan pembuktian alat bukti

: FUNGSI AKTA OTENTIK DALAM PERJANJIAN JUAL FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA ABSTRAK

SURAT EDARAN Nomor : 05 Tahun 1975

NILAI-NILAI POSITIF DAN AKIBAT HUKUM DISSENTING OPINION DALAM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG Match Day 9 ARBITRASE (2)

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

BAB I. Eksekusi pada hakekatnya tidak lain ialah realisasi daripada kewajiban pihak yang

EKSEKUSI PUTUSAN YANG BERKEKUATAN HUKUM TETAP

AKIBAT HUKUM PEMBATALAN TERHADAP AKTA PERDAMAIAN (ACTA VAN DADING) OLEH SALAH SATU PIHAK YANG BERPERKARA DI PENGADILAN

CARA MENGAJUKAN GUGATAN DAN PERUBAHAN GUGATAN DALAM PRAKTEK PERADILAN HUKUM ACARA PERDATA

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik

JAMINAN. Oleh : C

BAB I PENDAHULUAN. mengadili, memutuskan dan menyelesaikan perkara untuk menegakkan hukum

DERDEN VERZET (Oleh : Drs. H. M. Yamin Awie, SH. MH. 1 )

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUKUM ACARA PERDATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II VERSTEK DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF

Tulisan ini hendak menjabarkan kewajiban dari PT. Karyajati Megatama (Tiara Grosir) setelah adanya putusan Mahkamah Agung No. 208/K/TUN/2013..

PANDUAN WAWANCARA. proses mediasi terhadap perkara perceraian? b. Apa ada kesulitan dalam menerapkan model-model pendekatan agama?

BAB IV ANALISIS PUTUSAN PA PURWODADI TENTANG KUMULASI GUGATAN. A. Analisis terhadap Putusan PA Purwodadi tentang Kumulasi Gugatan

BAB I PENDAHULUAN. kepentingan diantara mereka. Gesekan-gesekan kepentingan tersebut biasanya menjadi sengketa hukum

TUGAS II PENGANTAR ILMU HUKUM PENGARUH PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PINJAM MEMINJAM. mempunyai sifat riil. Hal ini disimpulkan dari kata-kata Pasal 1754 KUH Perdata

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pengadilan Agama sebagai salah satu badan peradilan di Indonesia

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KUMULASI GUGATAN. Secara istilah, kumulasi adalah penyatuan; timbunan; dan akumulasi

KAPAN PUTUSAN NIET ONTVANKELIJKE VERKLAARD DAPAT DIAJUKAN ULANG?

TENTANG DUDUK PERKARANYA

SEKITAR PENYITAAN. (Oleh : H. Sarwohadi, S.H., M.H. Hakim Tinggi PTA Bengkulu)

RUANG LINGKUP EKSEKUSI PERDATA TEORI DAN PRAKTEK DI PENGADILAN AGAMA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01 TAHUN 2008 Tentang PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. menerima atau mendengarkan sumpah tersebut, apakah mempercayainya

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar hukum bagi suatu kepailitan (Munir Fuady, 2004: a. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU;

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

BAB I PENDAHULUAN. zoon politicon, yakni sebagai makhluk yang pada dasarnya. selalu mempunyai keinginan untuk berkumpul dengan manusia-manusia lainnya

E K S E K U S I (P E R D A T A)

ELIZA FITRIA

PENYELESAIAN PERKARA GUGATAN PIHAK KETIGA /DERDEN VERZET

[DEVI SELVIYANA, SH] BAB I PENDAHULUAN. hak dan kewajiban yang harus dihargai dan dihormati oleh orang lain.

BAB I PENDAHULUAN. secara umum akan tetapi individu juga harus melakukan suatu perbuatan yang

PENERAPAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NO. 01 TAHUN 2008 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN NEGERI MAKASSAR

Transkripsi:

JURNAL PERKEMBANGAN PENGATURAN PUTUSAN SERTA-MERTA (UITVOERBAAR BIJ VOORRAAD) DARI PENDEKATAN KEADILAN DAN KEPASTIAN HUKUM V. Brammy Pramudya Bhaktitama NPM : 100510351 Program Studi : Ilmu Hukum Program Kekhususan : Peradilan Dan Penyelesaian Sengketa Hukum UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA FAKULTAS HUKUM 2014

I. Judul : Perkembangan Pengaturan Putusan Serta-Merta (Uitvoerbaar bij voorraad) Dari Pendekatan Keadilan dan Kepastian Hukum II. Nama : V.Brammy Pramudya Bhaktitama, E. Sundari III. Program Studi : Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta IV. Abstract Uitvoerbaar bij voorraad is a special verdict, the verdict can be executed immediately without having to wait in-kracht and although there was resistance from opponents. On which the law is the provision of Article 180 paragraph 1 herzien Indonesis Reglement (HIR) and Article 191 paragraph 1 Reglement buitengewesten (RBg). But in practice uitvoerbaar bij voorraad cause number of problems when the final verdict determines otherwise. Mahkamah Agung gave a wide variety of settings through a Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) addressed to all judges in Pengadilan Negeri and Pengadilan Agama, there are seven SEMA circulated to overcome the problems. All SEMA will be compared with legal purpose that is certainty and fairness. Until the last one is SEMA No.3/2000 and No.4/2001 which used as a guide judges in imposing uitvoerbaar bij voorraad. In both of the SEMA actually contains strict provisions, but in its application to be tightened. Keyword : Verdict, Uitvoerbaar bij voorraad, Settings, Progress V. Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah Putusan dalam persidangan perdata adalah puncak dari suatu proses pencarian kebenaran hukum yang dilakukan hakim berdasarkan prinsipprinsip dan asas-asas hukum acara perdata. Putusan bersifat memenangkan atau mengalahkan suatu perkara. Pihak-pihak pada awalnya disebut pihak penggugat dan pihak tergugat, pada suatu putusan akan menjadi pihak yang dimenangkan dan pihak yang dikalahkan. Terdapat dua pilihan bagi pihak yang merasa dikalahkan yaitu menerima putusan tersebut atau mengajukan upaya hukum. Jika kedua belah pihak menerima putusan tersebut maka putusan tersebut dapat segera dieksekusi akan tetapi jika

pihak yang dikalahkan tersebut mengajukan upaya hukum atau dalam hal ini banding maka eksekusi menjadi tertunda. Terdapat pengecualiannya yaitu Pasal 180 ayat (1) HIR dan atau Pasal 191 ayat (1) RBG yang memberikan kesempatan agar putusan Pengadilan Negeri dapat langsung dieksekusi walaupun diajukan upaya hukum terhadap putusan tersebut atau dalam SEMA No.3 Tahun 2000 biasa disebut sebagai putusan serta-merta(uitvoerbaar Bij Voorraad). Dalam pelaksanaannya, putusan serta-merta(uitvoerbaar Bij Voorraad) ternyata dapat menimbulkan masalah ketika suatu putusan yang sudah terlanjur dieksekusi di tingkat pertama lalu dibatalkan di tingkat banding atau kasasi maka proses pengembalian seperti keadaan semula yang menjadi persoalan. Belum tentu obyek sengketa masih berada di tangan penggugat/pihak yang dimenangkan, apabila sudah dijual atau dipindahtangankan maka akan sulit dalam mengembalikan objek sengketa tersebut. Hal tersebut tentu dinilai merugikan bagi tergugat karena tergugat tidak mendapatkan kembali apa yang menjadi haknya. Berbanding terbalik dengan penggugat, putusan serta-merta justru menguntungkan bagi penggugat. Jika ditinjau dari cita-cita hukum, maka fenomena tersebut tidak sesuai dengan keadilan dan kepastian hukum. Terdapat pro-kontra terhadap putusan serta-merta. Menurut Bagir Manan putusan ini sering menimbulkan masalah karena bisa jadi putusan bandingnya berkebalikan dengan putusan tingkat pertama. Ini justru jadi bumerang bagi pengadilan karena nantinya pengadilan yang disalahkan. 1 Pendapat tersebut mengungkapkan bahwa putusan serta-merta sebenarnya tidak diperlukan lagi karena lebih banyak membawa masalah. Tetapi mengutip pendapat Subekti, sesungguhnya apabila Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung dapat melaksanakan tugasnya dengan cepat, yang dimaksud adalah apabila 1 http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol16473/seputar-gagasan-menghapus-putusan-sertamerta, diakses tanggal 12 februari 2014

dalam taraf banding atau kasasi perkara perdata dapat selesai dalam waktu maksimal 3(tiga) bulan, maka menurut Subekti putusan serta-merta tidak diperlukan. 2 Jika melihat pendapat tersebut, ada indikasi bahwa putusan serta-merta masih dibutuhkan mengingat Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung terlalu lama dalam menyelesaikan suatu perkara. Muncul berbagai Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) untuk mencoba mencegah dan mengatasi persoalan yang ada, SEMA yang pertama diedarkan adalah SEMA No.13 Tahun 1964. Setelah SEMA tersebut diedarkan lalu ada lagi SEMA yang mengatur lebih lanjut yaitu SEMA No. 5 Tahun 1969. Kemudian diedarkan lagi SEMA No.3 Tahun 1971 yang mencabut 2(dua) SEMA sebelumnya. Diatur lebih lanjut dalam SEMA No.6 Tahun 1975 dan SEMA No.3 Tahun 1978. Terakhir yang digunakan sebagai pedoman oleh hakim dalam menjatuhkan putusan sertamerta adalah SEMA No.3 Tahun 2000 dan SEMA No.4 Tahun 2001, sedangkan SEMA yang lainnya dinyatakan tidak berlaku lagi. Yang menjadi pokok pembahasan adalah apakah berbagai macam SEMA yang dikeluarkan dan dicabut Mahkamah Agung sudah memenuhi cita-cita hukum khususnya keadilan dan kepastian hukum? Berdasarkan dengan fenomena tersebut penulis bermaksud untuk melakukan penelitian dengan judul : Perkembangan Pengaturan Putusan Serta-Merta (Uitvoerbaar Bij Voorraad) dari Pendekatan Keadilan dan Kepastian Hukum B. Rumusan Masalah Bagaimana perkembangan pedoman putusan serta-merta (Uitvoerbaar Bij Voorraad) yang dilakukan Mahkamah Agung dilihat dari pendekatan keadilan dan kepastian hukum? 2 Subekti, 1982, Hukum Acara Perdata, Binacipta, Bandung, hlm. 151.

VI. Isi Makalah A. Tinjauan Umum Putusan Serta-merta(uitvoerbaar bij voorraad) dan Cita Hukum 1. Pengertian Putusan Serta-merta Putusan serta-merta adalah putusan pengadilan yang dapat dilaksanakan terlebih dahulu walaupun ada perlawanan dan atau upaya hukum lain dari pihak lawan. Putusan serta-merta(uit voerbaar bij voorraad) dalam praktik dapat dilaksanakan terlebih dahulu walaupun ada upaya hukum lain dari pihak tergugat(pihak lawan) berupa banding dan pelaksanaan keputusannya tidaklah harus menunggu jangka waktu 14 (empat belas) hari terhitung semenjak pengadilan mengeluarkan putusan. Putusan serta-merta dapat dilaksanakan sesegera mungkin setelah dikeluarkannya keputusan dari pengadilan terhadap sita jaminan yang menjadi objek sengketa untuk memenuhi prestasi pihak yang telah dirugikan dalam suatu perkara. Putusan serta-merta merupakan salah satu putusan yang istimewa dan dapat memenuhi asas yang ada dalam hukum acara perdata yang bersifat sederhana, cepat, dan biaya ringan (pasal 2 ayat (4) dan pasal ayat(2) UU No.48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman). 3 2. Cita Hukum Achmad Ali mengemukakan bahwa persoalan tujuan hukum dapat dikaji melalui 3 sudut pandang, masing-masing sebagai berikut : a. Dari sudut pandang ilmu hukum positif-normatif, atau- yuridis dogmatik, di mana tujuan hukum dititikberatkan pada segi kepastian hukumnya. 3 Sarwono, Sarwono, 2012, Hukum Acara Perdata Teori dan Praktik, Sinar Grafika, Jakarta. hlm. 104

b. Dari sudut pandang filsafat hukum, di mana tujuan hukum dititikberatkan pada segi keadilan. c. Dari sudut pandang sosiologi hukum, di mana tujuan hukum dititikberatkan pada segi kemanfaatannya. 4 3. Keadilan Tujuan hukum tertinggi adalah keadilan. Adil artinya meletakkan segala sesuatu sesuai dengan proporsinya. Lawan dari keadilan adalah kezaliman atau kesesatan. Dengan sesuatu secara proporsional, berarti keadilan adalah ketertiban dan kedisiplinan. Kesesatan merupakan tindakan yang melanggar proporsional, prinsip ketertiban dan kedisiplinan. Sebagaimana memakai sepatu di bawah kaki dan topi diatas kepala. Meletakkan dan menerapkan hukum sesuai dengan kesalahannya atas dasar bukti-bukti yang meyakinkan. Konsep keadilan sama dengan prinsip berpikir ilmiah, yang seharusnya objektif, empiris, dan konsisten, yaitu terdapat relevansi antara pernyataan dan kenyataan. 5 4. Kepastian Hukum Agar tercapai ketertiban masyarakat, maka diusahakan untuk mengadakan kepastian. Kepastian disini diartikan sebagai kepastian dalam hukum dan kepastian oleh karena hukum. Hal ini disebabkan, oleh karena pengertian hukum mempunyai dua segi. Segi yang pertama adalah bahwa ada hukum yang pasti bagi peristiwa-peristiwa yang konkrit, segi keduanya adalah, adanya suatu perlindungan hukum terhadap kesewenang-wenangan. Kepastian hukum tidaklah berarti semata-mata, bahwa untuk seluruh masyarakat (atau negara) didalam segala macam hal hanya ada satu macam peraturan. Mungkin wujud kepastian hukum adalah peraturan-peraturan Pemerintah Pusat yang berlaku umum 4 Achmad Ali, 2011, Menguak Tabir Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, hlm. 59. 5 Efran Helmi Juni, 2012, Filsafat Hukum, Pusaka Setia, Bandung, hlm.405.

di seluruh wilayah negara. Kemungkinan lainnya adalah, adanya peraturan umum yang hanya berlaku bagi suatu golongan di dalam masyarakat, atau yang hanya berlaku di suatu wilayah tertentu. 6 B. Tinjauan Peraturan Putusan Serta-merta (Uitvoerbaar Bij Voorraad) dalam HIR, RBg dan Rv dari segi keadilan dan kepastian 1. HIR dan RBg Dasar dari ketentuan tentang putusan serta-merta diatur oleh HIR Pasal 180 ayat (1) yang berbunyi sebagai berikut: Biarpun orang membantah keputusan hakim atau meminta banding, pengadilan boleh memerintahkan supaya keputusan hakim itu dijalankan dulu, jika ada suatu tanda alas hak yang otentik atau suatu surat yang menurut peraturan boleh diterima sebagai bukti, atau jika ada keputusan hukuman lebih dahulu dengan keputusan hakim yang sudah memperoleh kekuatan hukum yang pasti, atau jika dikabulkan tuntutan sementara, pula dalam hal perselisihan tentang bezit. Sedangkan bunyi Pasal 191 ayat(1) RBg tidak jauh berbeda dengan Pasal 181 ayat (1) HIR yaitu sebagai berikut: Pengadilan negeri dapat memerintahkan pelaksanaan putusannya meskipun ada perlawanan atau banding jika ada bukti yang otentik atau ada surat yang ditulis dengan tangan yang menurut ketentuanketentuan yang berlaku mempunyai kekuatan pembuktian, atau karena sebelumnya sudah ada keputusan yang mempunyai kekuatan hukum yang pasti, begitu juga jika ada suatu tuntutan sebagian yang dikabulkan atau juga mengenai sengketa tentang hak bezit. 6 Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah. 1982, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat. Rajawali. Jakarta. hlm.,32.

Kedua pasal tersebut pada dasarnya sama, yang membedakan hanyalah lapangan berlakunya. Jika HIR berlaku untuk seluruh masyarakat pulau Jawa dan Madura sedangkan RBg berlaku untuk luar pulau Jawa dan Madura. Kedua peraturan tersebut memberikan syarat yang sama yaitu terdapat 5 (lima) unsur syarat. Syarat tersebut antara lain adalah sebagai berikut : 1. Jika ada bukti autentik. 2. Ada surat bukti yang dapat diterima Undang-undang. 3. Telah ada putusan yang in kracht sebelumnya. 4. Dikabulkannya tuntutan sementara. 5. Tentang perselisihan bezit. Dari kelima syarat yang ditentukan dalam HIR dan RBg tersebut tidak ada syarat yang menyinggung tentang hal apabila putusan akhir menentukan sebaliknya, maka ketentuan tersebut tidak memberikan kepastian hukum. HIR dan RBg hanya mengatur mengenai hal diperbolehkannya memutus secara serta-merta tetapi tidak memberikan pengaturan apabila putusan akhir memutus sebaliknya dan tentang pengembalian obyek sengketa. 2. Rv Pasal 54 Rv menyatakan bahwa pelaksanaan putusan serta-merta walaupun banding atau ada perlawanan dapat diperintahkan apabila : a. Putusan didasarkan atas akta otentik. b. Putusan didasarkan atas akta bawah tangan yang diakui oleh pihak terhadap siapa akta tersebut digunakan, atau secara sah dianggap diakui, apabila perkara diputuskan dengan verstek. c. Telah ada penghukuman dengan suatu putusan, yang tidak dapat dilawan atau dibanding lagi. Apakah perintah ini diberikan dengan atau tanpa jaminan perseorangan diserahkan kepada pertimbangan hakim. Rv memberikan syarat-syarat tersebut dalam memberikan pedoman bagi hakim tentang putusan serta-merta. Jika melihat ketentuan tersebut memang hampir sama dengan ketentuan dalam HIR dan RBg, hanya poin b dan c saja yang lebih memberi ketegasan tentang akta dibawah tangan

dan tentang penghukuman dengan suatu putusan yang tidak dapat dilawan lagi, tetapi dalam Pasal 55 Rv terdapat ketentuan yang mengatur lebih khusus yaitu sebagai berikut: Pelaksanaan sementara keputusan-keputusan hakim meskipun ada banding atau perlawanan dapat diperintahkan dengan atau tanpa jaminan perseorangan, dalam hal-hal yang bersangkutan dengan : 1. Penyegelan dan pembukaan segel atau pendaftaran kekayaan. 2. Perbaikan-perbaikan yang mendesak. 3. Pengosongan barang yang disewakan, jika tidak ada bukti tertulis tentang sewa-menyewa yang masih berlaku, diperbaharui atau diperpanjang atau jika waktu sewanya sudah habis. 4. Pengangkatan orang-orang yang mengelola barang-barang sengketa, komisaris-komisaris dan penyimpan-penyimpan. 5. Penerimaan jaminan-jaminan dan jaminan lanjutan. 6. Pengangkatan wali, pengampu serta pengurus-pengurus lain serta pemberian pertanggungjawabannya. 7. Uang tahunan, atau pemberian nafkah dan pada umumnya pelunasan sejumlah uang tertentu. 8. Hak menguasai (bezitrecht). Dan selanjutnya dalam hal-hal yang khusus yang diperbolehkan atau ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Rv membatasi hanya kasus yang berhubungan dengan syarat-syarat tersebut yang dapat dimintakan putusan serta-merta. Ketentuan dalam Rv lebih berkepastian hukum dalam hal substantifnya saja khususnya Pasal 54 Rv, sedangkan Pasal 55 Rv walaupun telah dengan tegas menunjuk hal-hal tertentu saja yang dapat dijatuhkan putusan serta-merta tetapi dalam ketentuan tersebut tidak menjamin tentang adanya pemberian jaminan yang harus dipenuhi penggugat. Dari segi kepastian maka Rv lebih memberikan kepastian karena ketentuannya yang tegas dan tertentu, tetapi dari segi keadilan HIR dan RBg dengan Intruksi Mahkamah Agung lebih memberikan keadilan karena ketentuannya mewajibkan untuk memberikan jaminan.

2. Tinjauan Pedoman Putusan Serta-merta (Uitvoerbaar Bij Voorraad) dalam SEMA dari Segi Keadilan dan Kepastian. 1. Tinjauan Tentang SEMA Pasal 79 Undang-undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung menjelaskan bahwa Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam undang-undang ini. Ketentuan Pasal 79 Undang-undang Mahkamah Agung itu memberi sekelumit kekuasaan legislatif kepada Mahkamah Agung khusus untuk membuat peraturan (rule making power) terbatas bersifat pelengkap menyangkut cara penyelesaian suatu soal yang belum diatur dalam hukum acara demi kelancaran peradilan. 7 Dalam hal ini Mahkamah Agung berhak membuat SEMA untuk melengkapi atau memberi pedoman terhadap suatu ketentuan beracara. A. SEMA No. 13 Tahun 1964 SEMA No. 13 Tahun 1964 merupakan SEMA pertama yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung yang mengatur mengenai putusan serta-merta. Poin penting dari SEMA tersebut antara lain adalah sebagai berikut : a. Apabila dalam suatu perkara dimintakan banding, maka perkara itu menjadi mentah kembali. b. Apabila putusan itu telah terlanjur dilaksanakan untuk kepentingan penggugat, yang menang dalam perkara tersebut dan kemudian penggugat dikalahkan oleh pengadilan tinggi, maka akan ditemui banyak kesulitan untuk dapat mengambil obyek sengketa dalam keadaan semula. 7 Henry Panggabean, 2002, Fungsi Mahkamah Agung dalam Praktik Sehari-hari, Sinar Harapan, Jakarta, hlm. 142.

B. SEMA No.5 Tahun 1969 SEMA ini dikeluarkan dilatarbelakangi oleh karena SEMA sebelumnya yaitu SEMA No.13 tahun 1964 yang tidak diindahkan oleh para hakim di Indonesia. SEMA ini pada intinya adalah menegaskan kembali SEMA sebelumnya dan menambahkan bahwa Mahkamah Agung memberikan kewenangan sepenuhnya kepada Pengadilan Tinggi untuk memeriksa, mempertimbangkan dan memutus jika diajukan banding terhadap putusan serta-merta. C. SEMA NO.3 Tahun 1971 Mengingat dalam praktik pengadilan negeri tidak mengindahkan SEMA No. 3 Tahun 1964 dan SEMA No. 5 Tahun 1969 serta tetap mengeluarkan keputusan yang dapat dilaksanakan dengan serta-merta, maka Mahkamah Agung mengeluarkan SEMA No. 3 Tahun 1971 yang isinya menabut tentang SEMA No. 13 Tahun 1964 tanggal 10 Juli1964 dan SEMA No. 5 Tahun 1969 Tanggal 2 Juni Tahun 1969. 8 SEMA No. 3 Tahun 1971 pada intinya menginstruksikan kepada Ketua Pengadilan Negeri dan Ketua Pengadilan Agama di seluruh wilayah Indonesia agar para hakim dalam menjatuhkan putusan serta-merta harus memenuhi syarat-syarat dan atau ketentuan dalam Pasal 180 ayat (1) HIR dan Pasal 191 ayat (1) RBg. Tidak ada perkembangan nilai keadilan dan kepastian hukum dalam SEMA ini. D. SEMA No.6 Tahun 1975 SEMA ini menganjurkan kepada seluruh hakim pengadilan negeri dan pengadilan agama agar jangan menjatuhkan putusan serta-merta walaupun telah memenuhi syarat yang ada dalam Pasal 180 ayat (1) HIR kecuali dalam hal-hal yang tidak dapat 8 Sarwono, Op.cit, Hlm. 120

dihindarkan dapat mengeluarkan putusan serta-merta dengan tetap memperhatikan ketentuan : a. Apabila ada convervatoir beslag yang harga barang-barang yang disita tidak akan mencukupi untuk menutup jumlahnya yang digugat. b. Jika dipandang perlu dengan jaminan oleh pihak pemohon eksekusi yang seimbang dengan catatan-catatan tertentu. SEMA ini tidak memberikan kepastian, karena dalam SEMA ini tidak bisa mengikat kepada penggugat untuk memberikan jaminan. E. SEMA No.3 Tahun 1978 SEMA ini hanya Mempertegas SEMA sebelumnya, karena SEMA sebelumnya tidak diindahkan, sehingga tidak ada perkembangan nilai keadilan dan kepastian hukum F. SEMA No 3 tahun 2000 SEMA ini mencabut semua SEMA sebelumnya yang berkaitan dengan putusan serta-merta (uit voerbar bij voorraad). Bisa dikatakan putusan serta-merta memasuki babak baru, setelah 22 tahun Mahkamah Agung tidak membahasnya lagi akhirnya Mahakamah Agung membahasnya kembali.sema ini memberikan syarat terhadap hal-hal tertentu saja yang dapat dimintakan,antara lain dalam No.4 SEMA ini memberikan syarat : a. Gugatan didasarkan pada bukti surat auntentik atau surat tulisan tangan(handschrift) yang tidak dibantah kebenaran tentang isi dan tanda tangannya, yang menurut Undang-undang mempunyai kekuatan bukti. b. Gugatan tentang Hutang - Piutang yang jumlahnya sudah pasti dan tidak dibantah. c. Gugatan tentang sewa-menyewa tanah, rumah, gudang dan lain-lain, di mana hubungan sewa menyewa sudah habis/lampau, atau Penyewa terbukti melalaikan kewajibannya sebagai Penyewa yang beritikad baik.

d. Pokok gugatan mengenai tuntutan pembagian harta perkawinan (gono-gini) setelah putusan mengenai gugatan cerai mempunyai kekuatan hukum tetap. e. Dikabulkannya gugatan Provisionil, dengan pertimbangan agar hukum yang tegas dan jelas serta memenuhi Pasal 332 Rv. f. Gugatan berdasarkan Putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dan mempunyai hubungan dengan pokok gugatan yang diajukan. g. pokok sengketa mengenai bezitsrecht. Ditambah No. 7 dalam SEMA ini mewajibkan penggugat untuk memberikan jaminan yang nilainya setimpal dengan obyek sengketa membuat SEMA ini lebih ketat daripada kelima SEMA sebelumnya. G. SEMA No.4 Tahun 2001 VII. Kesimpulan SEMA ini hanya kembali menegaskan SEMA sebelumnya yaitu SEMA No.3 tahun 2000, khususnya tentang kewajiban pemberian jaminan bagi penggugat yang ingin putusannya segera dilaksanakan. Dari apa yang dibahas dipembahasan maka dapat disimpulkan SEMA yang berlaku sekarang yaitu SEMA No.3 Tahun 2000 dan SEMA No 4 Tahun 2001 lebih memberikan keadilan dan menjamin kepastian hukum dibandingkan dengan kelima SEMA sebelumnya. SEMA No.3 Tahun 2000 memberikan ketegasan tentang kewajiban pemberian jaminan dan hanya perkara-perkara tertentu yang dapat dilaksanakan putusan serta-merta. Disisi lain gagasan tindakan tegas yang akan dilakukan Mahkamah Agung jika ditemukan penyimpangan juga membuat SEMA tersebut lebih mengikat.

VIII. Daftar Pustaka A. Buku Achmad Ali, 2011, Menguak Tabir Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor Efran Helmi Juni, 2012, Filsafat Hukum, Pusaka Setia, Bandung Henry Panggabean, 2002, Fungsi Mahkamah Agung dalam Praktik Sehari-hari, Sinar Harapan, Jakarta Sarwono, 2012, Hukum Acara Perdata Teori dan Praktik, Sinar Grafika, Jakarta Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah. 1982, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat. Rajawali. Jakarta Subekti, 1982, Hukum Acara Perdata, Binacipta, Bandung, B. Website http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol16473/seputar-gagasanmenghapus-putusan-serta-merta, diakses tanggal 12 februari 2014 C. Peraturan Perundang-undangan Herzien Indonesis Reglement (HIR) Rechtsreglement buitengewesten (RBg) Reglement Rechtsvordering voor Europeanen (Rv) D. Surat edaran. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 13 Tahun 1964 Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 5 Tahun 1969 Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 Tahun 1971 Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 6 Tahun 1975 Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 Tahun 1978 Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 Tahun 2000 Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2001 Intruksi Mahkamah Agung No 348/K/5216/M Tahun 1958