BAB I PENDAHULUAN. kewajiban untuk mewujudkan pendidikan nasional seperti yang tercantum dalam



dokumen-dokumen yang mirip
UNDANG UNDANG NO. 20 TH.2003 Tentang SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL

DASAR & FUNGSI. Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

DASAR & FUNGSI. PENDIDIKAN NASIONAL BERDASARKAN PANCASILA DAN UNDANG UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

2014 IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN BERBASIS KONTEKSTUAL PADA KETERAMPILAN MEMBUAT SPAKBOR KAWASAKI KLX 150 MENGGUNAKAN FIBERGLASS DI SMALB-B

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang dinamis dan syarat akan perkembangan, oleh karena itu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KLUNGKUNG NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN BIDANG PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN. yang mana didalamnya terdapat pembelajaran tentang tingkah laku, norma

2014 PEMBELAJARAN TARI YUYU KANGKANG DALAM PROGRAM LIFE SKILL DI SMK KESENIAN PUTERA NUSANTARA MAJALENGKA

I. PENDAHULUAN. proses pembelajaran. Keberadaan pendidikan yang sangat penting tersebut telah

REVIEW UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2003 TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan cara untuk mencerdaskan bangsa yang di atur dalam

Sesuai dengan tujuan pendidikan yang berbunyi :

UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1997 TENTANG PENYANDANG CACAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Galih Wiguna, 2014

BAB I PENDAHULUAN. melalui pendidikan sekolah. Pendidikan sekolah merupakan kewajiban bagi seluruh. pendidikan Nasional pasal 3 yang menyatakan bahwa:

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan suatu topik yang menarik untuk dibahas, karena

BAB I PENDAHULUAN. belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

, 2014 Program Bimbingan Belajar Untuk Meningkatkan Kebiasaan Belajar Siswa Underachiever Kelas Iv Sekolah Dasar Negeri Cidadap I Kota Bandung

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu tantangan terberat bagi bangsa Indonesia pada era globalisasi abad

I. PENDAHULUAN. Dalam mencapai tujuan, setiap organisasi dipengaruhi oleh perilaku

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL DI INDONESIA. Imam Gunawan

BAB I PENDAHULUAN. hidup yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan individu.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. untuk memajukan kesejahteraan bangsa. Pendidikan adalah proses pembinaan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi, politik, budaya, sosial dan pendidikan. Kondisi seperti ini menuntut

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sejarah dunia menunjukkan bahwa Sumber Daya Manusia (SDM)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Dalam UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bab. I, pasal 1:

BAB I PENDAHULUAN. Maha Esa dan berbudi pekerti luhur. Sebagaimana yang diamanatkan Undang-

BAB I PENDAHULUAN. kelamin, suku, ras, agama, dan aliran politik sesuai dengan minat dan kemampuan

BAB I PENDAHULUAN. nilai-nilai kehidupan guna membekali siswa menuju kedewasaan dan. kematangan pribadinya. (Solichin, 2001:1) Menurut UU No.

BAB I PENDAHULUAN. berbagai usaha telah dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan,

I. PENDAHULUAN. watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan setiap individu serta watak dan peradaban bangsa yang bermartabat

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1997 TENTANG PENYANDANG CACAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. untuk suatu profesi, tetapi mampu menyelesaikan masalah-masalah yang

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2003 TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

ANALISIS UNDANG-UNDANG SISDIKNAS NOMOR 20 TAHUN Oleh. I Kadek Arta Jaya, S.Ag.,M.Pd.H

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Sekretaris Jenderal MPR-RI, Undang-Undang Dasar 1945, Sekjen MPR-RI, Jakarta, hlm. 5 2

BAB VI PENUTUP. Optimalisasi Pendidikan Holistik di Sekolah Dasar untuk Mencapai

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

FAKTOR-FAKTOR STRATEGIK PEMEROLEHAN BAHASA ANAK TUNARUNGU ( Studi kasus di SLB B Karnnamanohara Yogyakarta ) T E S I S

BAB I PENDAHULUAN. yang sedang terjadi dengan apa yang diharapkan terjadi.

BAB I PENDAHULUAN. sebagai suatu sistem pada prinsipnya bukan hanya bertujuan untuk memenuhi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bayu Dwi Sulistiyo, 2014

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Kemajuan suatu negara ditentukan oleh Sumber Daya Manusia (SDM)

BAB I PENDAHULUAN. keharusan bagi bangsa Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. IPS adalah bidang studi yang mempelajari, menelaah, menganalisis gejala

BAB I PENDAHULUAN. potensi dirinya melalui proses pembelajaran ataupun dengan cara lain yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam kehidupan suatu negara, pendidikan memiliki peran strategis dalam

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. antara pendidikan dengan tingkat perkembangan bangsa tersebut yang

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan pendidikan nasional ditujukan untuk mewujudkan cita-cita

BAB I PENDAHULUAN. mencerdaskan kehidupan bangsa juga sekaligus meningkatkan harkat dan. peningkatan kehidupan manusia ke arah yang sempurna.

2015 MANFAAT HASIL BELAJAR MENYEDIAKAN LAYANAN ROOM SERVICE PADA KESIAPAN PRAKTIK KERJA INDUSTRI SMK ICB CINTA WISATA

BAB I PENDAHULUAN. bidang pendidikan, bidang sosial dan lain sebagainya, sehingga memberikan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. negara yang diinginkan serta tujuan pembentukan pemerintahan. Negara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berfungsi mengembangkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan serta

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tersebut sebenarnya dapat menjadi modal yang kuat apabila diolah dengan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan mempunyai peran yang sangat strategis dalam meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi

SLB TUNAGRAHITA KOTA CILEGON BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

SKRIPSI. Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat. Guna Mencapai Gelar Sarjana S-1 Program Studi Pendidikan Akuntansi

BAB I PENDAHULUAN. generasi yang cerdas dan berkarakter. Demikian pula dengan pendidikan di

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2013 NOMOR 23 SERI E

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. hidup (life skill atau life competency) yang sesuai dengan lingkungan kehidupan. dan kebutuhan peserta didik (Mulyasa, 2013:5).

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan karakter merupakan salah satu upaya kebijakan dari pemerintah

BAB 1 PENDAHULUAN. Pendidikan adalah sebuah salah satu upaya dalam mencerdaskan. kehidupan bangsa. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional juga

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA NOMOR 15 TAHUN 2010 TENTANG SISTEM PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. pribadi dalam menciptakan budaya sekolah yang penuh makna. Undangundang

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2013 TENTANG STANDAR KOMPETENSI LULUSAN PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH

Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Bab II pasal 3 tentang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-

KODE ETIK GURU INDONESIA PEMBUKAAN

KODE ETIK GURU INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan nasional yang diatur secara sistematis. Pendidikan nasional berfungsi

BAB I PENDAHULUAN. untuk memperoleh pendidikan dan yang ditegaskan dalam Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan harus berlangsung secara berkelanjutan. Dari sinilah kemudian muncul istilah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan suatu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Salah satu permasalahan yang dihadapi Bangsa Indonesia sampai

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum pendidikan mampu manghasilkan manusia sebagai individu dan

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN MAKE A MATCH UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN KERJASAMA SISWA SEKOLAH DASAR

BAB I PENDAHULUAN. sempurna sehingga ia dapat melaksanakan tugas sebagai manusia. Pendidikan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal mengemban tugas dan kewajiban untuk mewujudkan pendidikan nasional seperti yang tercantum dalam pasal 3 UU RI No.20, Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, yaitu pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Mahaesa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Kurikulum SLB. B N Tabanan, tahun 2010 nomor 2 tentang visi dan misi). Pada UU RI No.20, Tahun 2003 tentang sisitem pendidikan nasional, bab IV pasal 5 ayat (1) dinyatakan bahwa warga negara mempunyai hak yang sama untuk memeroleh pendidikan yang bermutu. Pada ayat (2) tertera bahwa w arga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan atau sosial berhak memeroleh pendidikan khusus. Hal ini sejalan dengan tujuan pendidikan di SLB B N Tabanan yang tertuang dalam visi dan misinya. Dalam visinya tertuang, yakni pelayanan prima yang khusus dalam mewujudkan suatu pendidikan, sedangkan misinya adalah (a) meningkatkan pelayanan prima, khusus dalam mewujudkan suatu pendidikan ; (b) mengembangkan harkat, bakat, dan 1

2 rasa ketakwaan terhadap Tuhan Yang Mahaesa untuk tujuan kemasyarakatan ; (c) meningkatkan potensi siswa untuk hidup mandiri dan memberi pada orang lain; (d) meningkatkan pengetahuan, kecerdasan dan sikap dalam tata pergaulan antarsesama ( Kurikulum SLB.B N Tabanan, tahun 2010 nomor 3). Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran peserta didik secara aktif untuk mengembangkan potensi dirinya, memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Tujuannya, antara lain adalah menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan, memperkaya khazanah ilmu pengetahuan, teknologi, kesenian, serta mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional (www.wikipedia.com). Sekolah merupakan sebuah lembaga yang memiliki peranan yang sangat strategis dalam pewarisan budaya, peningkatan kualitas sumber daya manusia, dan sebagai tempat pemberdayaan bagi anak tunarungu khususnya pada Sekolah Luar Biasa Bagian B Negeri Tabanan. Dalam hal ini sekolah tidak dapat dipisahkan keterkaitannya dengan pemerintah, masyarakat, dan instansi pendukung lainnya. Dalam pasal 27 ayat (2) Undang -Undang Dasar 1945 ditegaskan adanya satu jaminan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Berdasarkan isi ayat tersebut, secara implisit bahwa

3 setiap warga negara tanpa terkecuali (baik yang normal m aupun tunarungu) berhak mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Undang-Undang Nomor 4 Pasal 14 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, berbunyi perusahaan negara meliputi Badan Usaha Milik Negara (BUMN ) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), sedangkan perusahaan swasta termasuk di dalamnya koperasi di mana perusahaan harus mempekerjakan sekurangkurangnya satu orang penyandang cacat yang memenuhi persyaratan dan kualifikasi pekerjaan yang bersangkutan, untuk setiap seratus orang karyawan. Perusahaan yang menggunakan teknologi tinggi harus mempekerjakan sekurangkurangnya satu orang penyandang cacat yang memenuhi persyaratan dan kualifikasi pekerjaan yang bersangkutan walaupun jumlah karyawannya kurang dari seratus orang. Perlakuan yang sama diartikan sebagai perlakuan yang tidak diskriminatif termasuk di dalamnya kesamaan pengupahan untuk pekerjaan dan jabatan yang sama (Majalah Jakarta-Micom dalam www.disabilitas.com). Dalam konteks di atas, undang-undang tersebut telah mengatur adanya kuota satu persen bagi penyandang cacat dalam ketenagakerjaan, artinya ada kewajiban bagi perusahaan untuk mempekerjakan satu orang penyandang cacat untuk setiap seratus orang pegawai atau kurang dari seratus untuk yang menggunakan teknologi tinggi. Sudah jelas bahwa setiap perusahaan harus memberikan kesempatan pada penyandang cacat sehingga tidak ada alasan untuk tidak menerima penyandang cacat sebagai karyawan atau pegawai. Fenomena sosial yang terjadi dalam masyarakat saat ini terkait dengan undang-undang tersebut masih belum optimal dan anak tunarungu masih

4 dimarginalkan dalam pasar kerja dan terdapat perlakuan yang kurang adil (diskriminasi) yang kental terhadap anak tunarungu dalam kehidupan bermasyarakat dalam mendapatkan pekerjaan. Marginalisasi atau peminggiran adalah kondisi atau proses peminggiran seseorang atau kelompok dalam arus pekerjaan utama yang berakibat kemiskinan. Anak tunarungu dipinggirkan dari berbagai jenis kegiatan yang memerlukan keterampilan yang lebih. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya anak tunarungu yang menganggur/tidak bekerja, baik di lingkungan instansi pemerintahan, swasta, maupun perorangan, sehingga ketentuan dalam undang-undang tersebut dirasakan hanya sebatas formalitas semata dan menempatkan anak tunarungu dalam posisi yang terpinggirkan/termaginalkan. Implementasi penerapan sanksi hukum masih sangat lemah. Hak yang seharusnya dinikmati telah diserobot oleh masyarakat bukan haknya (Majalah Jakarta-Micom dalam www.disabilitas.com). Peraturan mempekerjakan penyandang cacat pada perusahaan dipandang sebelah mata. Adanya pandangan masyarakat pada anak tunarungu yang hanya mengandalkan naluri kemanusiaan, perasaan iba, kasihan, terharu, sakit, dan lemah menjadi hambatan dalam penerapan undang-undang ini. Sejalan dengan pola pikir di atas, Peter Coleridge (1997:xii) menyatakan adanya kultur bahwa penyandang cacat adalah manusia yang tidak beruntung, lemah, tidak mampu, menderita, memalukan, bahkan sebagai penyandang cobaan Tuhan, baik bagi mereka sendiri maupun keluarganya, lebih memperkuat proses penyisihan terhadap penyandang cacat dari lingkungan kehidupannya. Menurut Berger dan Nenhaus (Suharto, 1997 http://www.policy.hu/suharto/modul_a/ makindo_30.htm)

5, struktur penghubung ( mediating structures) yang memungkinkan kelompokkelompok lemah seperti anak tunarungu mengekspresikan aspirasi dan menunjukkan kemampuannya terhadap lingkungan sosial yang lebih luas kini cenderung melemah. Munculnya industrialisasi yang melahirkan spesialisasi kerja dan pekerjaan mobile telah melemahkan lembaga-lembaga yang dapat berperan sebagai struktur penghubung antara kelompok masyarakat lemah dengan masyarakat luas. Organisasi organisasi sosial, lembaga-lembaga keagamaan (masjid, gereja), dan lembaga keluarga yang secara tradisional merupakan lembaga alamiah yang dapat memberikan dukungan dan bantuan informal, pemecahan sosial, dan pemenuhan kebutuhan para anggotanya, cenderung semakin melemah peranannya. Oleh karena itu, sering kali sistem ekonomi yang diwujudkan dalam berbagai bentuk pembangunan proyek-proyek fisik, selain di satu pihak mampu meningkatkan kualitas hidup sekelompok orang, juga tidak jarang malah semakin meminggirkan kelompok-kelompok tertentu. Sennet dan Cabb ( Suharto 1972 http://www.policy.hu/suharto/modul_a/makindo_30.htm) menyatakan bahwa ketidakberdayaan ini disebabkan oleh beberapa faktor, seperti ketiadaan jaminan ekonomi, ketiadaan pengalaman dalam arena politik, ketiadaan akses terhadap informasi, ketiadaan dukungan finansial, ketiadaan pelatihan-pelatihan, dan adanya ketegangan fisik. Para teoritisi seperti Seeman dan Seligman (dalam Suharto, 2005) meyakini bahwa ketidakberdayaan yang dialami oleh sekelompok masyarakat merupakan akibat dari proses internalisasi yang dihasilkan dari interaksi mereka dengan masyarakat. Mereka menganggap diri mereka lemah dan

6 tidak berdaya karena masyarakat memang menganggapnya demikian. Seeman menyebut keadaan ini dengan istilah alienasi, sementara Seligman menyebutnya sebagai ketidakberdayaan yang dipelajari ( learned helpless) dan Learner menamakannya dengan istilah ketidakberdayaan surplus (surplus powerlessness. Suharto, 1997:212--213). Parsons dkk. (1994:112) menyatakan bahwa proses pemberdayaan umumnya dilakukan secara kolektif. Menurutnya, tidak ada literatur yang menyatakan bahwa proses pemberdayaan terjadi dalam relasi satu lawan satu antara pekerja sosial dan klien dalam setting pertolongan perseorangan. Meskipun pemberdayaan seperti ini dapat meningkatkan rasa percaya diri dan kemampuan dari klien. Hal ini bukanlah strategi utama pemberdayaan bagi anak tunarungu. Namun, tidak semua intervensi pekerjaan sosial dapat dilakukan melalui kolektivitas. Dalam beberapa situasi, strategi pemberdayaan dapat saja dilakukan secara individual, meskipun pada gilirannya strategi ini pun tetap berkaitan dengan kolektivitas, dalam arti mengaitkan klien dengan sumber atau sistem lain di luar dirinya. Pemberdayaan dilakukan terhadap sekelompok klien di mana dilakukan dengan menggunakan lembaga sebagai media intervensi dengan adanya pendidikan dan pelatihan. Salah satu lembaga tersebut adalah sekolah. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan tahun 2006 bersifat desentralistik, artinya sekolah diberikan kewenangan secara penuh untuk menyusun rencana pendidikan dengan mengacu pada standar yang telah ditetapkan (SI dan SKL) mulai dari tujuan, visi dan misi, struktur dan muatan kurikulum, beban belajar, kalender pendidikan,

7 hingga pengembangan silabusnya. Namun, kewenangan dan kebebasan sekolah tersebut dalam penyelenggaraan program pendidikannya harus disesuaikan dengan (1) kondisi lingkungan sekolah, (2) kemampuan peserta didik, (3) sumber belajar yang tersedia, dan 4) kekhasan daerah. Dalam pelaksanaannya, orang tua dan masyarakat dapat berperan dan terlibat secara aktif sebagai mitra sekolah dalam mengembangkan program pendidikannya. Kesalahan masyarakat dalam menafsirkan ajaran agama tentang konsep amal dan sedekah juga meletakkan penyandang cacat selalu ada pada posisi bawah dan hanya sebagai penerima amal dan sedekah. Realita di masyarakat, keluarga berkewajiban memelihara dan memenuhi kebutuhan anggotanya. Hal ini dapat menambah beban psikologis anak tunarungu menjadi merasa putus asa, minder, dan tidak berguna untuk hidup sehingga untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak sulit untuk dicapai. Bahkan. lebih parah lagi timbulnya masalah sosial, yaitu meningkatnya jumlah pengangguran. Salah satu penyebab terjadinya pengangguran adalah adanya kondisi peminggiran terhadap seseorang atau kelompok tertentu. Kelompok-kelompok tertentu seperti anak tunarungu yang mengalami diskriminasi dalam suatu masyarakat adalah orang-orang yang mengalami ketidakberdayaan. Keadaan dan perilaku mereka yang berbeda pada umumnya kerap kali dipandang sebagai sesuatu yang deviant (menyimpang). Mereka dalam hal ini penyandang cacat, yakni anak tunarungu sering kali kurang dihargai, bahkan dilabelkan sebagai orang yang malas, lemah yang disebabkan oleh dirinya sendiri. Padahal,

8 ketidakberdayaan mereka sering kali merupakan akibat dari adanya kekurangadilan dan diskriminasi dalam aspek-aspek kehidupan tertentu. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan ke dalam beberapa pertanyaan berikut ini. 1. Bagaimana bentuk upaya sekolah dalam pemberdayaan keterampilan vokasional bagi anak tunarungu pada Sekolah Luar Biasa bagian B Negeri di Kabupaten Tabanan? 2. Apa yang menjadi kendala dan cara mengatasi upaya sekolah dalam pemberdayaan keterampilan vokasional bagi anak tunarungu pada Sekolah Luar Biasa bagian B Negeri di Kabupaten Tabanan? 3. Apa dampak dan makna upaya sekolah dalam pemberdayaan keterampilan vokasional bagi anak tunarungu pada Sekolah Luar Biasa bagian B Negeri di Kabupaten Tabanan? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Kedua tujuan tersebut dapat dipaparkan sebagai berikut. 1.3.1 Tujuan umum Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemberdayaan keterampilan vokasional bagi anak tunarungu pada Sekolah Luar Biasa bagian B Negeri di Kabupaten Tabanan dalam memberikan pelatihan keterampilan bagi

9 siswanya untuk hidup mandiri dan mendapat penghidupan yang layak di masyarakat. 1.3.2 Tujuan khusus Secara khusus penelitian ini bertujuan sebagai berikut. 1. Untuk mengetahui bentuk upaya sekolah dalam pemberdayaan keterampilan vokasional bagi anak tunarungu pada Sekolah Luar Biasa bagian B Negeri di Kabupaten Tabanan. 2. Untuk mengetahui kendala-kendala dan cara mengatasi upaya sekolah dalam pemberdayaan keterampilan vokasional bagi anak tunarungu pada Sekolah Luar Biasa bagian B Negeri di Kabupaten Tabanan. 3. Untuk menginterpretasi dampak dan makna upaya sekolah dalam pemberdayaan keterampilan vokasional bagi anak tunarungu pada Sekolah Luar Biasa bagian B Negeri di Kabupaten Tabanan 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu manfaat teoretis dan manfaat praktis. Kedua manfaat tersebut dapat dipaparkan sebagai berikut. 1.4.1 Manfaat teoretis Secara teoretis hasil penelitian ini bermanfaat sebagai berikut. 1) Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk menambah khazanah pengetahuan baru yang berkaitan dengan pemberdayaan anak tunarungu. 2) Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan penelitian selanjutnya.

10 1.4.2 Manfaat praktis Secara praktis, hasil penelitian dapat bermanfaat sebagai berikut. 1) Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi kepada penentu kebijakan pada Sekolah Luar Biasa bagian B Negeri di Kabupaten Tabanan. 2) Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan serta pertimbangan bagi instansi pemerintah dan swasta untuk mengambil kebijakan dalam memperhitungkan anak tunarungu, baik dalam ketenagakerjaan maupun sektor dunia usaha. 3) Hasil penelitian ini sebagai merupakan satu cara untuk memberdayakan anak tunarungu melalui lembaga pendidikan.