POLIGAMI DALAM PERPEKTIF HUKUM ISLAM DALAM KAITANNYA DENGAN UNDANG-UNDANG PERKAWINAN Oleh: Nur Hayati ABSTRAK

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Hukum Islam poligami diatur dalam Al-Qur an surah An-Nissa ayat 3

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB I PENDAHULUAN. seorang pria dan seorang wanita yang dikaruniai sebuah naluri. Naluri

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1960), hal Sayuti Thalib, Hukum Keluarga Indonesia, Cet. 5, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986), hal. 48.

BAB 1 PENDAHULUAN. sejak jaman dahulu hingga saat ini. Karena perkawinan merupakan suatu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia sebagai makhluk Tuhan adalah makhluk pribadi sekaligus

IZIN POLIGAMI AKIBAT TERJADI PERZINAAN SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DI PENGADILAN AGAMA YOGYAKARTA

BAB I. Persada, 1993), hal Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, cet.17, (Jakarta:Raja Grafindo

BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN PERMOHONAN IZIN POLIGAMI TERHADAP WANITA HAMIL DI LUAR NIKAH DI PENGADILAN AGAMA MALANG

BAB IV ANALISIS DATA. A. Analisis Terhadap Prosedur Pengajuan Izin Poligami Di Pengadilan Agama

TINJAUAN TEORITIS ASAS MONOGAMI TIDAK MUTLAK DALAM PERKAWINAN. Dahlan Hasyim *

IllN KAWIN BAGI SUAMI YANG AKAN BERISTERI lebih DARI SEORANG. Wahyono Darmabrata

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan

2002), hlm Ibid. hlm Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang,

BAB IV. A. Analisis Terhadap Putusan Hakim Tentang Pemberian Izin Poligami Dalam Putusan No. 913/Pdt.P/2003/PA. Mlg

BAB I PENDAHULUAN. (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ke-Tuhanan Yang. atau hala-hal yang tidak diinginkan terjadi.

BAB I PENDAHULUAN. meneruskan kehidupan manusia dalam rangka menuju hidup sejahtera.

IJIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL

BAB II TINJAUAN UMUM PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

BAB IV ANALISIS PUTUSAN HAKIM TENTANG IZIN POLIGAMI

AKIBAT HUKUM PERKAWINAN SIRI DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN. Oleh Sukhebi Mofea*) Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan yang ada di negara kita menganut asas monogami. Seorang pria

FH UNIVERSITAS BRAWIJAYA

BAB IV. Setelah mempelajari putusan Pengadilan Agama Sidoarjo No. 2355/Pdt.G/2011/PA.Sda tentang izin poligami, penulis dapat

BAB IV. ANALISIS DASAR DAN PERTIMBANGAN MAJELIS HAKIM DALAM PENETAPAN PENGADILAN AGAMA BLITAR NO. 0187/Pdt.P/2014/PA.BL

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama

Oleh : TIM DOSEN SPAI

BAB II KONSEP PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN sembarangan. Islam tidak melarangnya, membunuh atau mematikan nafsu

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1989, dan telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006,

BAB I PENDAHULUAN. bentuknya yang terkecil, hidup bersama itu dimulai dengan adanya sebuah keluarga.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. keluarga yang bahagia dan kekal sesuai dengan Undang-undang Perkawinan. Sudah

BAB II TINJAUAN TENTANG PERKAWINAN POLIGAMI. dimana kata poly berarti banyak dan gamien berarti kawin. Kawin banyak disini

BAB I PENDAHULUAN. pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1983 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL

BAB I PENDAHULUAN. memiliki tuntutan kebutuhan yang makin maju dan sejahtera, tuntutan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. kaidah kaidah perkawinan dengan kaidah kaidah agama.

b. Salah satu pihak menjadi pemabok, pemadat, atau penjudi yang sukar disembuhkan,

BAB I PENDAHULUAN. Hidup bersama di dalam bentuknya yang terkecil itu dimulai dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN. poligami dalam bentuknya yang beragam telah ada dalam tahap-tahap awal dari

RAHMAD HENDRA FAKULTAS HUKUM UNRI

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Perdata dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

KAJIAN YURIDIS TERHADAP PERKAWINAN KEDUA SEORANG ISTRI YANG DITINGGAL SUAMI MENJADI TENAGA KERJA INDONESIA (TKI) KE LUAR NEGERI


BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. poligami yang diputus oleh Pengadilan Agama Yogyakarta selama tahun 2010

KEDUDUKAN HUKUM ANAK LUAR KAWIN YANG DIAKUI. Oleh: Mulyadi, SH., MH. ( )

BAB I PENDAHULUAN. hidup yang dipilih manusia dengan tujuan agar dapat merasakan ketentraman dan

SAHNYA PERKAWINAN MENURUT HUKUM POSITIF YANG BERLAKU DI INDONESIA. Oleh : Akhmad Munawar ABSTRAK

Prinsip Perkawinan Menurut Hukum Islam dan Undang-undang No. 1/1974 (Study analisis tentang Monogami dan poligami) Siti Ropiah

BAB I PENDAHULUAN. kelaminnya (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarikmenarik

4. Bahwa alasan Pemohon untuk berpoligami adalah:

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1983 TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL

Oleh: IRSAM DIAN BACHTIAR C

BAB I PENDAHULUAN. perbedaan aturan terhadap suatu perkawinan.

P U T U S A N Nomor 0264/Pdt.G/2011/ PA.Skh BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Manusia selalu ingin bergaul (zoon politicon) 1 bersama manusia lainya

BAB I PENDAHULUAN. Manusia memerlukan mitra untuk mengembangkan kehidupan yang layak bagi

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Al-Qur'an disebutkan bahwa hidup berpasang-pasangan, hidup. sebagaimana firman-nya dalam surat Az-zariyat ayat 49 :

ialah sebagai Negara yang berdasarkan pancasila, sila pertamanya ialah

BAB I PENDAHULUAN. jalan pernikahan. Sebagai umat Islam pernikahan adalah syariat Islam yang harus

BAB I PENDAHULUAN. menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 2 Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sarana untuk bergaul dan hidup bersama adalah keluarga. Bermula dari keluarga

BAB I PENDAHULUAN. atau di kota. Namun banyak manusia yang sudah mempunyai kemampuan baik

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, suami istri memikul suatu tanggung jawab dan kewajiban.

BAB I PENDAHULUAN. itu, harus lah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai azas pertama

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia dalam setiap perjalanan hidupnya, sudah pasti memiliki

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia pada dasarnya mempunyai kodrat, yaitu memiliki hasrat untuk

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Islam mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT dan hubungan

BAB IV ANALISIS TERHADAP PROSES PENYELESAIAN WALI ADHAL DI. PENGADILAN AGAMA SINGARAJA NOMOR. 04/Pdt.P/2009/PA.Sgr

Prosiding SNaPP2014Sosial, Ekonomi, dan Humaniora ISSN EISSN Sri Turatmiyah

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA)

BAB I PENDAHULUAN. kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 1 Sedangkan menurut

BAB I PENDAHULUAN. dalammenjadikan dan menciptakan alam ini. Perkawinan bersifat umum,

REVISI UNDANG-UNDANG PERKAWINAN

BAB IV HUKUM KELUARGA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB III IMPLIKASI HAK KEWARISAN ATAS PENGAKUAN ANAK LUAR

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku untuk semua

PUTUSAN. Nomor : 0397/Pdt.G/2013/PA.Plg. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. dan perilaku hidup serta perwujudannya yang khas pada suatu masyarakat. Hal itu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memahami informasi tentang dunia atau lingkungan melalui penglihatan, penghayatan

BAB V PENUTUP. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai perkawinan poligami

BAB I PENDAHULUAN. 1 Kompilasi Hukum Islam, CV. Nuansa Aulia, 2013, hlm. 2. 2

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Perkawinan ini menjadi sebuah ikatan antara seorang laki-laki dan seorang

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1975 dan Peraturan Menteri Agama Nomor 3 dan 4 Tahun 1975 bab II

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP ALASAN-ALASAN MENGAJUKAN IZIN PERCERAIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN KANTOR PEMERINTAHAN KABUPATEN GRESIK

BAB I PENDAHULUAN. merupakan hak asasi bagi setiap orang, oleh karena itu bagi suatu Negara dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. pengaturan-nya. Namun berbeda dengan mahluk Tuhan lainnya, demi menjaga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Poligami memang merupakan ranah perbincangan dalam keluarga

Perkawinan Sesama Jenis Dalam Persfektif Hukum dan HAM Oleh: Yeni Handayani *

ASPEK YURIDIS HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN POLIGAMI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN NURFIANTI / D

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia sebagai makhluk sosial yang tidak dapat lepas dari hidup

polus yang artinya banyak, dan gamein atau gamous, yang berarti kawin atau perkawinan.

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan-kebutuhan lainnya diharapkan terpenuhi, yaitu kebutuhan untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perempuan pastilah yang terbaik untuk mendampingi lelaki, sebagaimana

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang

Transkripsi:

POLIGAMI DALAM PERPEKTIF HUKUM ISLAM DALAM KAITANNYA DENGAN UNDANG-UNDANG PERKAWINAN Oleh: Nur Hayati Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonusa Esa Unggul ABSTRAK Dalam perkawinan, sudah selayaknya jika pada saat bersamaan, seorang pria hanya memiliki seorang wanita sebagai istrinya, begitupun seorang wanita, hanya memiliki seorang pria sebagai suaminya. Namun ternyata, disamping asas monogami tersebut, juga dikenal poligami dan poliandri. Poligami yaitu seorang laki-laki beristri lebih dari satu orang perempuan dalam waktu yang sama. Sedangkan yang dimaksud dengan poliandri adalah seorang wanita mempunyai lebih dari satu orang suami pada saat bersamaan. Hukum perkawinan Indonesia, selain berdasarkan pada Undang-Undang, juga didasarkan pada prinsip prinsip yang berlaku dalam agama.. dengan demikian, dalam hal suami akan beristeri lebih dari satu orang, maka pertama tama harus diperhatikan syarat dan prosedur yang ditentukan undang-undang. Kedua, harus diperhatikan ketentuan agama. Ketiga harus pula diperhatikan ketentuan moral. Dalam hal poligami, terhadap seorang yang agamanya melarang poligami, maka ia tidak dapat berpoligami berdasarkan Undang- Undang. Hal ini disebabkan karena sahnya perkawinan ditentukan berdasarkan hukum agamanya masing masing. Dengan demikian, dalam agama yang melarang poligami, tentunya perkawinan kedua tersebut menjadi tidak sah. Dalam hukum Islam, poligami dimungkinkan walaupun dengan syarat syarat yang ketat. Maka, dalam hal seorang yang beragama Islam ingin melakukan poligami, hal tersebut dimungkinkan, asalkan memenuhi ketentuan hukum Islam dan ketentuan Undang-Undang. Dalam hal ini, antara ketentuan poligami berdasarkan hukum Islam dan ketentuan poligami berdasarkan Undang-Undang, harus berjalan seiring, tanpa saling mempertentangkan. Key Words: Poligami, Hukum Islam, Undang-Undang I. PENDAHULUAN Dalam kehidupannya, manusia sebagai mahluk hidup memiliki naluri untuk mempertahankan jenisnya atau melanjutkan keturunannya. Sebagai mahluk yang berbudaya, tentunya untuk mendapatkan keturunan tersebut dilakukan dengan cara tertentu, berupa perkawinan. Tidak seperti halnya hewan, yang dalam upaya memperoleh keturunan dilakukan dengan sesukanya, tanpa didahului upacara perkawinan., pada dasarnya menyangkut dua aspek. Pertama, aspek duniawi, dalam hubungannya dengan pergaulan hidup bermasyarakat, yang dalam kaitannya dengan bidang hukum dikenal dengan aspek perdata. Kedua, Lex Jurnalica/ Vol. 3/ No. 1 / April 2005 38

aspek religius, dalam hubungannya dengan pergaulan antara manusia dan penciptanya, yang tertuang dalam ajaran agama. Pengaturan perkawinan dalam hukum negara, acapkali berbeda antara negara yang satu dengan lainnya. Ada yang memandang perkawinan dari sudut perdatanya saja, ada juga yang memandang dari sudut perdata dan agama. Di Indonesia, pengaturan tentang perkawinan terdapat dalam Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 (yang untuk selanjutnya disebut dengan Undang-Undang ), dimana yang dimaksud perkawinan sebagaimana terdapat dalam pasal 1 Undang-Undang, ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari definisi tersebut, nampak bahwa pengaturan perkawinan di Indonesia, disamping memandang aspek perdata, juga memperhatikan aspek agama. Dalam perkawinan, sudah selayaknya jika pada saat bersamaan, seorang pria hanya memiliki seorang wanita sebagai istrinya, begitupun seorang wanita, hanya memiliki seorang pria sebagai suaminya. Dalam perkawinan, asas tersebut dikenal dengan asas monogami. Namun ternyata, disamping asas monogami tersebut, juga dikenal poligami dan poliandri. Poligami yaitu seorang lakilaki beristri lebih dari satu orang perempuan dalam waktu yang sama. Sedangkan yang dimaksud dengan poliandri adalah seorang wanita mempunyai lebih dari satu orang suami pada saat bersamaan. Di Indonesia, asas yang dianut oleh Undang-Undang adalah monogami. Namun, prinsip monogami yang dianut tidak bersifat mutlak, karena dengan alasan dan syarat tertentu, undang undang memberikan kesempatan bagi suami untuk beristri lebih dari seorang Berdasarkan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang, yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan didukung oleh ayat (2) pasal yang sama, yang menyatakan bahwa Tiap Tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangundangan yang berlaku, maka nampak bahwa sahnya perkawinan, ditentukan oleh hukum agama, dan disamping itu, juga harus memenuhi hukum negara, berupa pencatatan perkawinan. Lex Jurnalica/ Vol. 3/ No. 1 / April 2005 39

Mengingat hukum perkawinan di Indonesia tidak hanya memandang perkawinan dari sudut perdata, maka perihal poligami pun, sebaiknya juga ditinjau dari sudut pandang agama. Kompleksitas dari pengaturan poligami menurut hukum negara dan hukum agama tersebut, kemudian melatarbelakangi ketertarikan penulis untuk mengangkat permasalah tersebut dalam makalah ini. Namun, karena keterbatasan yang penulis miliki, maka kajian poligami dari sudut agama, dibatasai hanya pada Agama Islam. II. POLIGAMI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM A. ASAS PERKAWINAN DALAM HUKUM ISLAM Asas perkawinan dalam hukum Islam adalah monogami. Hal ini dapat dilihat dari penafsiran Al- Qur an Surat Annisa, ayat 3 (Q.IV :3), yang menyatakan bahwa kalau kamu tidak adil diantara isteri-isteri kamu itu, seyogyanya hanyalah kamu kawini seorang perempuan saja,.kawin dengan seorang perempuan itulah yang paling dekat bagi kamu untuk kamu tidak berbuat aniaya Dari uraian tersebut diatas, nampak bahwa pada prinsipnya asas perkawinan dalam hukum Islam adalah monogami. Hal ini dapat dilihat pada kata seyogyanya hanyalah kamu kawini seorang perempuan saja. Namun, dari kata tersebut, nampak bahwa asas monogami itu hanya merupakan anjuran. Dalam hal ini, hukum Islam tidak melarang poligami, namun ditetapkan syarat bahwa dalam poligami tersebut harus adil. Pertanyaan selanjutnya yang muncul adalaah apakah arti adil dalam persepsi hukum Islam tersebut?. Dalam menilai arti adil itu, tidak ada kesepakatan mengenai arti keadilan yang dapat dijadikan definisi Banyak teori tentang keadilan yang dikembangkan oleh para ahli filsafat hukum. Dari teori keadilan yang dikembangkan Plato dan Aristoteles, hingga teori keadilan yang kontemporer yang dikembangkan oleh Rawls dan Hart. Dari semua teori tersebut, tidak ada kesamaan tentang pengertian adil. Dalam penyimpangan asas monogami, arti adil menjadi sangat penting, karena ia merupakan tolak ukur diperbolehkannya penyimpangan dari asas monogami. Bahkan, ketidakadilan dalam penyimpangan asas monogamai, dapat mengakibatkan seseorang berbuat aniaya. Dalam hukum Islam, perbuatan aniaya tidak dibenarkan, dan karenanya merupakan dosa. Lex Jurnalica/ Vol. 3/ No. 1 / April 2005 40

B. POLIGAMI DALAM HUKUM ISLAM Walaupun hukum perkawinan Islam berasaskan monogami, poligami bukanlah hal yang sama sekali dilarang. Dalam beberapa keadaan, dapat diadakan penyimpangan terhadap asas monogami. Namun, penyimpangan terhadap asas monogami tersebut, harus memenuhi beberapa ketentuan, diantaranya adalah: 1. Bertujuan untuk mengurus anak yatim Dalam membahas Q. IV :3, hendaknya tidak dibahas secara berdiri sendiri, tetapi perlu dihubungkan dengan ketentuan lain dalam Al-Qur an, mengingat Al-Qur an itu isinya merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Dalam membahas Q.IV :3 ini, perlu dihubungkan dengan Q.IV: 127 yang berbunyi: Mereka bertanya kepadamu hai Muhammad, mengenbai perempuan yang tertentu(yang boleh dikawini disamping istri yang telah ada sebagaimana dimaksud Q.IV: 3). Katakanlah, hai Muhammad, perempuan tertentu itu ialah perempuan yang ada hubungannya dengan anak yatim itu tadi Berdasarkan uraian diatas, maka tidak semua wanita dapat dijadikan istri kedua (dan seterusnya) dari seorang lelaki. Dalam hal ini, apabila seorang laki-laki akan berpoligami, maka wanita yang akan dinikahinya itu haruslah ibu dari anak yatim, dimana pernikahan tersebut pada dasarnya untuk melindungi si anak yatim. Jadi dalam konsep hukum Islam, dalam berpoligami, seorang pria tidak boleh menikahi wanita lajang. Ia dalam berpoligami hanya dapat menikahi ibu dari anak yatim saja. 2. Pembatasan Jumlah Istri. Dalam berpoligami, hukum Islam membatasi jumlah istri yang boleh dinikahi. Disebutkan bahwa seoarang pria dapat menikahi 2, 3 sampai 4 orang wanita pada waktu yang bersamaan. Dalam hal ini, jumlah wanita yang dapat dinikahi dalam waktu bersamaan paling banyak 4 orang. 3. Akan Sanggup Adil diantara isteri-isterinya itu Dalam berpoligami, seorang pria harus dapat berbuat adil kepada ister-isterinya. Syarat ini menjadi sangat penting, karena terpenuhinya syarat ini merupakan unsure utama dalam poligami berdasarkan hukum Islam 4. Jangan Ada Hubungan Saudara antara isterinya dengan calon istri yang akan dinikahinya. Berdasarkan Surat Annisa ayat 23, dikatakan bahwa wanita yang hendak dijadikan isteri-isteri janganlah Lex Jurnalica/ Vol. 3/ No. 1 / April 2005 41

wanita yang bersaudara.. dalam arti saudara ini, bukan hanya saudara seayah dan seibu, tetapi juga saudara seayah saja atau saudara seibu saja. Bahkan, penafsirannya diperluas sampai saudara sesusuan 5. Dengan Wanita mana poligami boleh dilakukan Mengenai wanita yang boleh dikawini, terdapat dua pendapat yaitu: a. Ibu dari anak yatim. Pendapat yang mengatakan bahwa wanita yang boleh dinikahi oleh seorang pria yang akan berpoligami adalah ibu dari anak yatim ini, berdasarkan pada Q.IV : 3 yang dihubungkan dengan Q.IV :127. prof. Hazairin menganut bendapat ini dengan mengatkan bahwa berpoligami itu oleh seorang laki-laki hanya dapat dilakukan antara isterinya yang telah ada dengan ibu anak yatim yang dipeliharaoleh lakilaki itu b. Wanita yang dinikahi tersebutlah yang anak yatim Pendapat ini mengatakan bahwa wanita yang akan dikawini berikutnya oleh seorang pria yang akan berpoligami boleh dengan wanita mana saja, tidak harus ibu dari anak yatim. Dalam kaitannya Q. IV:3 dengan Q.IV: 127, maka anak yatim yang dimaksud adalah wanita yang dinikahi tersebut Berdasarkan uraian diatas meskipun poligami dimungkinkan, namun terdapat syarat-syarat khusus yang harus dipenuhi. Dalam hal ini, syarat untuk berpoligami bukanlah syarat yang ringan. Dengan demikian, berdasarkan hukum Islam, poligami sebaiknya dihindari karena perbuatan poligami lebih dekat dengan perbuatan aniaya dan perbuatan aniaya adalah dosa. III. POLIGAMI DALAM PERSPEKTIF UNDANG UNDANG NOMOR I TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN A. ASAS PERKAWINAN DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN Berdasarkan ketentuan pasal 3 ayat (1) Undang-Undang yang berbunyi pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami, dapat disimpulkan bahwa Undang-Undang menganut asas monogami. Rumusan ini sedikit berbeda dengan bunyi pasal 27 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang berbunyi Dalam waktu yang sama seorang laki hanya diperbolehkan mempunyai satu orang Lex Jurnalica/ Vol. 3/ No. 1 / April 2005 42

perempuan sebagai istrinya, seorang perempuan hanya satu orang laki sebagai suaminya. Rumusan dalam kedua ketentuan sebagaimana tersebut diatas, pada hakekatnya adalah sama, namun terdapat sedikit perbedaan pada kata Dalam waktu yang sama yang terdapat pada pasal 27 KUH Perdata. Pada Undang-Undang kata Dalam waktu yang sama tersebut tidak lagi disebut. Dalam hal ini, penulis berpendapat bahwa ketiadaan kata Dalam waktu yang sama tidak membuat pengertian tersebut kabur. Dalam Undang-Undang hanya disebutkan bahwa seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Dari pengertian seorang istri maupun seorang suami itu tersebut, sudah mewakili dalam waktu yang bersamaan, karena jika seorang laki isterinya meninggal, kemudian menikah lagi, maka ia tetap hanya mempunyai seorang istri. Wanita yang pertama dinikahinya tersebut, tidak lagi disebut istri, tetapi mantan istri. Hanya wanita yang dinikahi kedua yang dapat disebut istri. Jadi, dalam hal ini, pengertian yang terdapat pada pasal 3 ayat (1) Undang-Undang sudah tepat. Asas monogami yang dianut oleh Undang-Undang sebagaimana tersebut diatas, dapat disimpangi dengan ketentuan pasal 3 ayat (2) yang berbunyi pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak pihak yang bersangkutan namun, meskipun dibuka kemungkinan untuk menyimpangi asas monogami, undang undang pun memberikan batasanbatasan yang harus dipatuhi. B. POLIGAMI DALAM UNDANG- UNDANG PERKAWINAN 1. Poligami Sebagai Penyimpangan Asas Monogami Undang-Undang pada prinsipnya menganut asas monogami. Namun, penyimpangan terhadap asas tersebut dimungkinkan oleh pasal 3 ayat (2) Undang-Undang yang menyatakan bahwa Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak pihak yang bersangkutan. Dalam hal ini, poligami bukan merupakan asas perkawinan dalam Undang-Undang. Bukan pula dengan adanya kemungkinan berpoligami dalam asas monogami lantas disebut bahwa Undang-Undang Lex Jurnalica/ Vol. 3/ No. 1 / April 2005 43

mengganut asas monogami dengan pengecualian. Dalam hal ini, asas yang dianut dalam Undang-Undang tetap asas monogami. Namun, bisa terjadi penyimpangan terhadap asas tersebut, dimana penyimpangan tersebut disahka oleh hukum. Dalam poligami, kehendak untuk berpoligami tidak semata mata merupakan keinginan suami, tetapi merupakan kehendak para pihak. Dalam hal ini, prosesnya bukanlah suami mengajukan permintaan atau izin kepada isteri, kemudian isteri mengizinkan atau menolak perkawinan kedua dan seterusnya tersebut, melainkan isteri dan suami serta anak anak yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut sepakat memberi izin kepada suami untuk beristri lebih dari satu orang atau menikah lagi. 2. Syarat Poligami Mengingat poligami berdasarkan Undang-Undang hanya merupakan penyimpangan dari asas monogami yang diperkenanankan, maka undang undang pun menentukan persyaratan khusus yang harus dipenuhi apabila seorang pria ingin berpoligami. Syarat syarat tersebut terdiri dari: a. syarat yang sifatnya komulatif Dalam alasan yang bersifat komulatif ini, untuk dapat berpoligami, cukup hanya harus dipenuhi satu syarat saja. Yang termasuk syarat poligami sebagaimana terdapat dalm pasal 4 ayat (2) Undang-Undang adalah: 1. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri 2. isteri medapat cacat badan atau penyakit yang tidak bisa disembuhkan 3. isteri tidak dapat melahirkan keturunan Dalam syarat fakultatif sebagaimana tersebut diatas, syarat kedua yang menyatakan bahwa isteri yang mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak bisa disembuhkan merupakan salah sebab seorang suami dapat berpoligami, dirasa kurang tepat. Dalam hal ini, mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak bisa disembuhkanbukanlah kehendak isteri. Apa yang dialami oleh isteri tersebut, sebenarnya sudah merupakan penderitaan baginya. Namun ternyata, penderitaan tersebut, kemudian dapat dijadikan alasan bagi suami untuk beisteri lebih dari seorang. Apabila hal ini dikaitkan dengan pasal 33 Undang- Undang yang menyatakan bahwa suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberikan bantuan lahir bathin, Lex Jurnalica/ Vol. 3/ No. 1 / April 2005 44

yang satu kepada yang lain, maka terdapat kontradiksi. Berdasarkan pasal 33 Undang- Undang, suami isteri harus saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberikan bantuan lahir bathin, yang satu kepada yang lain. Tetapi, pada saat isteri menderita penyakit atau cacad badan yang tidak dapat disembuhkan, suami bukannya mendampingi dan memberi semangat, tetapi malah menikah lagi. Pernikahan kedua dan seterusnya dari suami tersebut, tentunya akan menambah penderitaan isterinya, karena pada dasarnya, wanita tidak akan rela suminya menikah lagi. b. Syarat yang sifatnya fakultatif Terhadap syarat syarat yang sifatnya komulatif, maka semua syarat tersebut harus terpenuhi dalam hal seorang pria ingin berpoligami. Syarat tersebut diatur dalam pasal 5 Undang- Undang, yang berupa: 1. adanya persetujuan dari isteri 2. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup ister-isteri dan anak-anak mereka 3. adanya jaminan bahwa suani akan berlaku adil terhadap isteri isteri dan anak mereka. Dalam syarat komulatif sebagaimana tersebut diatas, persetujuan isteri tersebut, harus bersifat netral tanpa paksaan maupun ancaman dari suami. Disamping itu, suami harus dapat menjamin bahwa ia mampu memenuhi keperluan hidup dari isteri-isteri dan anak-anaknya. Dalam hal ini, suami tidak boleh mentelantarkan salah satu isteri maupun anaknya. Mengenai syarat ketiga dimana suami harus mampu belaku adil, maka dalam setiap tindakannya, suami harus dapat bersikap adil, tidak hanya secara lahir tetapi juga bathin. 3. Peran Pengadilan Dalam Poligami Dalam Undang-Undang, poligami berusaha diminimalisir sejauh mungkin. Dalam hal ini, untuk dapat berpoligami, seorang suami harus terlebih dulu mendapat izin pengadilan. Dalam hal seorang suami ingin beristeri lagi, maka ia harus mengajukan permohonan ke pengadilan untuk beristeri lebih dari seorang dengan disertai alasan alasannya. Pengadilan kemudian akan memeriksa apakah alasan alasan yang diajukan tersebut berdasar hukum atau tidak. Dalam pemeriksaan pengadilan tersebut, pengadilan harus mwmanggil dan mendengarkan isteri isteri yang bersangkutan guna kepentingan pemeriksaan. Dalam hal ini, pemeriksaan pengadilan harus dilakukan selambat lambatnya 30 hari sejak permohonan beserta lampirannya Lex Jurnalica/ Vol. 3/ No. 1 / April 2005 45

diterima. Apabila pengadilan berpendapat cukup alasan bagi pemohon untuk beristeri lebih dari seorang, maka pengadilan memutuskan untuk memberi izin beristeri lebih dari seorang. Namun, dalam hal pengadilan menilai tidak cukup alasan untuk beristeri lebih dari seorang, maka pengadilan akan menolak permohonan pemohon. suami yang kedua, dan seterusnya itu, baru dapat dilangsungkan setelah mendapat izin dari pengadilan. Syarat formil atau tata cara pelangsungan perkawinan untuk beristeri lebih dari seorang adalah sama dengan tata cara pelangsungan perkawinan untuk pertamakalinya. IV. KAITAN HUKUM AGAMA DAN HUKUM NEGARA DALAN UNDANG-UNDANG PERKAWINAN Berdasarkan pasal 1 Undang- Undang yang menyebutkan bahwa perkawinan, ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dan juga pasal 2 ayat (1) Undang-Undang yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agama dan kepercaayaannya itu, maka dapat disimpulkan bahwa hukum perkawinan di Indonesia, selain berdasarkan hukum negara sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang, juga berdasarkan hukum agama. Hukum perkawinan Indonesia, selain berdasarkan pada Undang- Undang, juga didasarkan pada prinsip prinsip yang berlaku dalam agama.. dengan demikian, dalam hal suami akan beristeri lebih dari satu orang, maka pertama tama harus diperhatikan syarat dan prosedur yang ditentukan undang-undang. Kedua, harus diperhatikan ketentuan agama. Ketiga harus pula diperhatikan ketentuan moral Sebagaimana diuraikan pada bagian sebelumnya, hukum agama dan hukum negara harus berjalan bersamaan, tanpa harus dipertentangkan satu dengan lainnya. Dalam hal poligami, terhadap seorang yang agamanya melarang poligami, maka ia tidak dapat berpoligami berdasarkan Undang- Undang. Hal ini disebabkan karena sahnya perkawinan ditentukan berdasarkan hukum agamanya masing masing. Dengan demikian, dalam agama yang melarang poligami, tentunya perkawinan kedua tersebut menjadi tidak sah, dalam hal ini, secara agama, Lex Jurnalica/ Vol. 3/ No. 1 / April 2005 46

perkawinan tersebut tidak diakui keabsahannya. Dengan demikian, karena berdasarkan hukum agama tidak sah, maka berdasarkan pasal 2 ayat (1) unang undang perkawinan, maka perkawinan tersebut menjadi tidak sah. Dalam hukum Islam, poligami dimungkinkan walaupun dengan syarat syarat yang ketat. Maka, dalam hal seorang yang beragama Islam ingin melakukan poligami, hal tersebut dimungkinkan, asalkan memenuhi ketentuan hukum Islam dan ketentuan Undang-Undang. Dalam hal ini, antara ketentuan poligami berdasarkan hukum Islam dan ketentuan poligami berdasarkan Undang-Undang, harus berjalan seiring, tanpa saling mempertentangkan. Undang-Undang Dan Peraturan Pelaksanaannya, (Jakarta: CV. Gitama Jaya, 2003) Feiblemen, James K, Jusrice, Law and Culture(Dordrecht: Matinus Publisher, 1985), Thalib Sayuti, Hukum Kekeluargaan Indonesia (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986) Khairandy, Ridwan Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak(Jakarta: Progaram Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003) DAFTAR PUSTAKA Darmabrata, Wahyono dan Surini Ahlan Sjarif Hukum Dan Keluarga Di Indonesia, (Jakarta: Rizkita, 2002) Darmabrata, Wahyono Tinjauan Undang-Undang NO. 1 Tahun 1974 tentang Beserta Lex Jurnalica/ Vol. 3/ No. 1 / April 2005 47

Lex Jurnalica/ Vol. 3/ No. 1 / April 2005 48