Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana tidak memberikan. penjelasan mengenai pengertian pembuktian, KUHAP hanya memuat jenis-jenis

dokumen-dokumen yang mirip
IMPLIKASI YURIDIS PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA TERHADAP KEKUATAN PEMBUKTIAN. Ridwan Fakultas Hukum Universitas Mataram. Abstract

Kata kunci: Pencabutan keterangan, terdakwa. AKIBAT HUKUM TERHADAP PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA DI PENGADILAN 1 Oleh: Efraim Theo Marianus 2

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Pembuktian dalam Perkara Pidana. kebenaran suatu peristiwa, kemudian mendapat awalan pem dan akhiran an,

II. TINJAUAN PUSTAKA. nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam berperkara dimuka

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses

I. PENDAHULUAN. jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

Dian Dewi Pulungsari, Diyas Mareti Riswindani

Lex Crimen Vol. VII/No. 1 /Jan-Mar/2018. H. Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 185.

Lex Crimen Vol. VI/No. 2/Mar-Apr/2017. KETERANGAN AHLI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PUTUSAN HAKIM 1 Oleh : Nixon Wulur 2

TINJAUAN PUSTAKA. sumber utama dalam pembuktian. Mengatur macam-macam alat bukti yang sah

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

I. PENDAHULUAN. sebutan Hindia Belanda (Tri Andrisman, 2009: 18). Sejarah masa lalu Indonesia

I. PENDAHULUAN. pidana, dan pidana (sanksi). Di Indonesia, pengaturan hukum pidana materiil

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual

peradilan dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam hal ini, untuk

JURNAL KAJIAN TENTANG PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA DALAM PERSIDANGAN DAN IMPLIKASI YURIDISNYA TERHADAP KEKUATAN ALAT BUKTI

ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA. (Studi Kasus Di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Surakarta)

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

AKIBAT HUKUM PERALIHAN TANGGUNG JAWAB PENYIDIK ATAS BENDA SITAAN 1 Oleh : Noldi Panauhe 2

II TINJAUAN PUSTAKA. untuk mencari dan mendapatkan kebenaran yang selengkap-lengkapnya dan masyarakat tidak

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB I LATAR BELAKANG. yang diajukan oleh warga masyarakat. Penyelesaian perkara melalui

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

BADAN PEMERIKSA KEUANGAN SEBAGAI PEMBERI KETERANGAN AHLI DAN SAKSI DALAM KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB II KEDUDUKAN ANAK DIBAWAH UMUR SEBAGAI SAKSI DALAM HUKUM ACARA PIDANA

BAB III ANALISIS HUKUM MENGENAI PENGGUNAAN ALAT PENDETEKSI KEBOHONGAN PADA PROSES PERADILAN PIDANA DIHUBUNGKAN

EKSISTENSI SAKSI MAHKOTA SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PIDANA

PERANAN SAKSI YANG MENGUNTUNGKAN TERDAKWA DALAM PROSES PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA (STUDI PN PALU NOMOR 10/PID.SUS-TIPIKOR/2013/PN.

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana

BAB III PEMBUKTIAN DATA ELEKTRONIK DALAM PERKARA PIDANA

TUGAS II PENGANTAR ILMU HUKUM PENGARUH PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Permasalahan lalu lintas merupakan suatu masalah yang sering

BAB I PENDAHULUAN. proses acara pidana di tingkat pengadilan negeri yang berakhir dengan pembacaan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) seperti

HUKUM PEMBUKTIAN PIDANA. Karya Tulis Ilmiah

KEDUDUKAN KETERANGAN AHLI SEBAGAI ALAT BUKTI MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh : Hadi Alamri 2

BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

commit to user BAB I PENDAHULUAN

BAB II KETENTUAN PEMBUKTIAN DALAM HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA. tersentuh, jika ada putusan hakim yang menghukum orang yang tidak bersalah, atau

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya disamping. pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.

KAJIAN PEMBUKTIAN PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Surakarta)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penulisan skripsi ini dilakukan dengan menggunakan penelitian lapangan dengan

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini.

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara hukum, hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (3)

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

BAB III PENUTUP. terhadap saksi dan korban serta penemuan hukum oleh hakim.

BAB III IMPLEMENTASI KETERANGAN AHLI DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DI TINGKAT PENYIDIKAN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERANAN KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PERKARA PIDANA PENGADILAN NEGERI

BAB II VERSTEK DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang

BAB III FILOSOFI ASAS NE BIS IN IDEM DAN PENERAPANNYA DI PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid),

PEMBUKTIAN DAN PUTUSAN PENGADILAN DALAM ACARA PIDANA 1 Oleh: Susanti Ante 2

Lex Crimen Vol. V/No. 4/Apr-Jun/2016

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

GANTI RUGI ATAS KESALAHAN PENANGKAPAN, PENAHANAN PASCA PUTUSAN PENGADILAN 1 Oleh: David Simbawa 2

Lex Crimen Vol. VI/No. 8/Okt/2017

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DI KPPU KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Adanya hukum dan di buat tumbuh dan berkembang dalam masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. suatu perkara disandarkan pada intelektual, moral dan integritas hakim terhadap

I. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi

BAB II PENGATURAN ALAT BUKTI DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA

I. PENDAHULUAN. disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan

FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. penyidik maupun pemeriksaan di sidang pengadilan oleh hakim. Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dalam

I. PENDAHULUAN. pengeledahan, penangkapan, penahanan dan lain-lain diberi definisi dalam. Berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

Lex Privatum, Vol. IV/No. 2/Feb/2016

Transkripsi:

BAB II KETENTUAN HUKUM TERHADAP PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA DALAM PERSIDANGAN A. Tinjauan Umum Pembuktian Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana tidak memberikan penjelasan mengenai pengertian pembuktian, KUHAP hanya memuat jenis-jenis alat bukti yang sah menurut hukum, yang tertuang dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Walaupun KUHAP tidak memberikan pengertian mengenai pembuktian, akan tetapi banyak ahli hukum yang berusaha menjelaskan tentang arti dari pembuktian. Membuktikan ialah meyakinkan Hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu sengketa. 27 Proses pembuktian atau membuktikan mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran atas sesuatu peristiwa, sehingga dapat diterima akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut. 28 Pembuktian mengandung arti bahwa benar suatu peristiwa pidana telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya, sehingga harus mempertanggungjawabkannya. 29 Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan 27 Subekti. (2001). Hukum Pembuktian, Jakarta: Pradnya Paramitha, hal. 1 28 Martiman Prodjohamidjojo. (1984). Komentar atas KUHAP: Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Jakarta: Pradnya Paramitha, hal. 11 29 Darwan Prinst. (1998). Hukum Acara Pidana Dalam Praktik, Jakarta: Djambatan, hal. 133

ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang dan boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan. 30 Hukum pembuktian merupakan sebagian dari hukum acara pidana yang mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak dan menilai suatu pembuktian. 31 Ditinjau dari segi hukum acara pidana sebagaimana yang diatur dalam KUHAP, telah diatur pula beberapa pedoman dan penggarisan: 1. Penuntut umum bertindak sebagai aparat yang diberi wewenang untuk mengajukan segala daya upaya membuktikan kesalahan yang didakwakannya kepada terdakwa. 2. Sebaliknya terdakwa atau penasihat hukum mempunyai hak untuk melemahkan dan melumpuhkan pembuktian yang diajukan penuntut umum, sesuai dengan cara-cara yang dibenarkan undang-undang. 3. Terutama bagi hakim, harus benar-benar sadar dan cermat menilai dan mempertimbangkan kekuatan pembuktian yang diketemukan selama pemeriksaan persidangan. 32 30 M.Yahya Harahap. (2006). Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: Edisi Kedua, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 273 31 Hari Sasangka dan Lily Rosita. (2003). Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Bandung: Mandar Maju, hal. 10 32 M.Yahya Harahap, op.cit., hal. 274

1. Prinsip-Prinsip Pembuktian a. Hal-hal yang dimuat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Prinsip ini terdapat pada Pasal 184 ayat (2) KUHAP yang berbunyi: Halhal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan atau disebut dengan istilah notoire feiten. Secara garis besar fakta notoir dibagi menjadi dua golongan, yaitu: 1) Sesuatu atau peristiwa yang diketahui umum bahwa sesuatu atau peristiwa tersebut memang sudah demikian halnya atau semestinya demikian.yang dimaksud sesuatu misalnya, harga emas lebih mahal dari perak. yang dimaksud dengan peristiwa misalnya, pada tanggal 17 Agustus diadakan peringatan hari Kemerdekaan Indonesia. 2) Sesuatu kenyataan atau pengalaman yang selamanya dan selalu mengakibatkan demikian atau selalu merupakan kesimpulan demikian. Misalnya, arak adalah termasuk minuman keras yang dalam takaran tertentu bisa menyebabkan seseorang mabuk. 33 b. Kewajiban seorang saksi Kewajiban seseorang menjadi saksi diatur pada penjelasan Pasal 159 ayat (2) KUHAP yang menyebutkan: Orang yang menjadi saksi setelah dipanggil ke suatu sidang pengadilan untuk memberikan keterangan tetapi dengan menolak kewajiban itu ia dapat dikenakan pidana berdasarkan ketentuan undang-undang yang berlaku, demikian pula dengan ahli. 33 Hari Sasangka dan Lily Rosita, op.cit.,hal.20

c. Satu saksi bukan saksi (unus testis nullus testis) Prinsip ini terdapat pada Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang berbunyi: Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya. Menurut KUHAP, keterangan satu saksi bukan saksi tidak berlaku bagi pemeriksaan cepat. Hal ini dapat disimpulkan dari penjelasan Pasal 184 KUHAP sebagai berikut: Dalam acara pemeriksaan cepat, keyakinan hakim cukup didukung satu alat bukti yang sah. Jadi, ini berarti satu saksi, satu keterangan ahli, satu surat, satu petunjuk, atau keterangan terdakwa disertai keyakinan hakim cukup sebagai alat bukti untuk memidana terdakwa dalam perkara cepat. 34 d. Pengakuan terdakwa tidak menghapuskan kewajiban penuntut umum membuktikan kesalahan terdakwa. Prinsip ini merupakan penegasan dari lawan prinsip pembuktian terbalik yang tidak dikenal oleh hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia. Menurut Pasal 189 ayat (4) KUHAP yang berbunyi: Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti lain. e. Keterangan terdakwa hanya mengikat pada dirinya sendiri Prinsip ini diatur pada Pasal 189 ayat (3) KUHAP yang berbunyi: Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri. Ini 34 M. Yahya Harahap, op.cit.,hal. 267

berarti apa yang diterangkan terdakwa di sidang pengadilan hanya boleh diterima dan diakui sebagai alat bukti yang berlaku dan mengikat bagi diri terdakwa sendiri. Menurut asas ini, apa yang diterangkan seseorang dalam persidangan yang berkedudukan sebagai terdakwa, hanya dapat dipergunakan sebagai alat bukti terhadap dirinya sendiri. Jika dalam suatu perkara terdakwa terdiri dari beberapa orang, masing-masing keterangan setiap terdakwa hanya merupakan alat bukti yang mengikat kepada dirinya sendiri. Keterangan terdakwa A tidak dapat dipergunakan terhadap terdakwa B, demikian sebaliknya. 35 2. Teori-Teori atau Sistem Pembuktian Ada beberapa sistem atau teori pembuktian, yaitu antara lain: a. Sistem Atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Semata (Conviction In Time) Sistem ini menganut ajaran bahwa bersalah tidaknya terdakwa terhadap perbuatan yang didakwakan, sepenuhnya tergantung pada penilaian keyakinan hakim semata-mata. Jadi bersalah tidaknya terdakwa atau dipidana tidaknya terdakwa sepenuhnya tergantung pada keyakinan hakim. Keyakinan hakim tidak harus timbul atau didasarkan pada alat bukti yang ada. Sekalipun alat bukti sudah cukup kalau hakim tidak yakin, hakim tidak boleh menjatuhkan pidana, sebaliknya meskipun alat bukti tidak ada tapi kalau 35 Ibid., hal. 321

hakim sudah yakin, maka terdakwa dapat dinyatakan bersalah. Akibatnya dalam memutuskan perkara hakim menjadi subyektif sekali. Kelemahan pada sistem ini terletak pada terlalu banyak memberikan kepercayaan kepada hakim, kepada kesan-kesan perseorangan sehingga sulit untuk melakukan pengawasan. Hal ini terjadi di praktik Peradilan Prancis yang membuat pertimbangan berdasarkan metode ini, dan banyak mengakibatkan putusan bebas yang aneh. 36 b. Sistem Atau Teori Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim Atas Alasan Yang Logis (Conviction In Raisone) Sistem pembukt ian Conviction In Raisone masih juga mengutamakan penilaian keyakinan hakim sebagai dasar satu-satunya alasan untuk menghukum terdakwa, akan tetapi keyakinan hakim disini harus disertai pertimbangan hakim yang nyata dan logis, diterima oleh akal pikiran yang sehat. Keyakinan hakim tidak perlu didukung alat bukti sah karena memang tidak diisyaratkan, meskipun alat-alat bukti telah ditetapkan oleh undang-undang tetapi hakim bisa menggunakan alat-alat bukti di luar ketentuan undang-undang. Yang perlu mendapat penjelasan adalah bahwa keyakinan hakim tersebut harus dapat dijelaskan dengan alasan yang logis. Keyakinan hakim dalam sistem pembuktian convition in raisone harus dilandasi oleh reasoning atau alasan-alasan dan alasan itu sendiri harus reasonable yakni berdasarkan alasan-alasan yang dapat diterima oleh akal dan 36 A. Minkenhof, hal. 219, dikutip Andi Hamzah. (1985). Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, hal. 241

nalar, tidak semata-mata berdasarkan keyakinan yang tanpa batas. Sistem pembuktian ini sering disebut dengan sistem pembuktian bebas. c. Sistem Atau Teori Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif (Positief Wettelijk Bewijstheori) Sistem ini ditempatkan berhadap-hadapan dengan sistem pembuktian conviction in time, karena sistem ini menganut ajaran bahwa bersalah tidaknya terdakwa didasarkan kepada ada tiadanya alat-alat bukti sah menurut undangundang yang dapat dipakai membuktikan kesalahan terdakwa. Teori positif wetteljik sangat mengabaikan dan sama sekali tidak mempertimbangkan keyakinan hakim. Jadi sekalipun hakim yakin akan kesalahan yang dilakukan terdakwa, akan tetapi dalam pemeriksaan di persidangan pengadilan perbuatan terdakwa tidak didukung alat bukti yang sah menurut undang-undang maka terdakwa harus dibebaskan. Umumnya bila seorang terdakwa sudah memenuhi cara-cara pembuktian dan alat bukti yang sah menurut undang-undang maka terdakwa tersebut bisa dinyatakan bersalah dan harus dipidana. Kebaikan sistem pembuktian ini, yakni hakim akan berusaha membuktikan kesalahan terdakwa tanpa dipengaruhi oleh nuraninya sehingga benar-benar obyektif karena menurut cara-cara dan alat bukti yang di tentukan oleh undang-undang kelemahannya terletak bahwa dalam sistem ini tidak memberikan kepercayaan kepada ketetapan kesan-kesan perseorangan hakim yang bertentangan dengan prinsip hukum acara pidana. Sistem pembuktian positif yang dicari adalah kebenaran formal, oleh karena itu sistem pembuktian ini digunakan dalam hukum acara perdata. Positief wettelijk bewijstheori systeem di

benua Eropa dipakai pada waktu berlakunya Hukum Acara Pidana yang bersifat Inquisitor. Peraturan itu menganggap terdakwa sebagai objek pemeriksaan belaka; dalam hal ini hakim hanya merupakan alat perlengkapan saja. 37 d. Sistem Atau Teori Pembuktian Menurut Undang-undang Secara Negatif (Negatief Wettelijk Stelsel) Sistem pembuktian negatief wettelijk terletak antara dua sistem yang berhadap-hadapan, yaitu antara sistem pembuktian positif wettelijk dan sistem pembuktian conviction intime. Artinya hakim hanya boleh menyatakan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan apabila ia yakin dan keyakinannya tersebut didasarkan kepada alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Dalam sistem negatif wetteljik ada dua hal yang merupakan syarat untuk membuktikan kesalahan terdakwa, yakni: pertama, Wettelijk yaitu adanya alat-alat bukti yang sah dan ditetapkan oleh undang-undang dan kedua, Negatif, yaitu adanya keyakinan (nurani) dari hakim, sehingga berdasarkan bukti-bukti tersebut hakim meyakini kesalahan terdakwa. Antara alat-alat bukti dengan keyakinan diharuskan adanya hubungan causal (sebab akibat). Meskipun terdakwa telah terbukti menurut cara dan dengan alat-alat bukti sah menurut undang-undang, akan tetapi bila hakim tidak yakin akan kesalahan terdakwa, maka ia dapat saja membebaskan terdakwa. Sebaliknya bila hakim yakin akan kesalahan terdakwa, tetapi keyakinannya tidak didasarkan atas alatalat bukti sah menurut undang-undang, maka hakim harus menyatakan kesalahan 37 D. Simons. (1952). Beknopte handleiding tot het wetboek van strafvordering, Haarlem, de Erven F. Bohn, hal.114

terdakwa tidak terbukti. Sistem inilah yang dipakai dalam sistem pembuktian peradilan pidana di Indonesia. B. Tinjauan Umum Tentang Alat Bukti Keterangan Terdakwa 1. Dasar Hukum Alat Bukti Keterangan terdakwa a. Keterangan terdakwa (Pasal 184 huruf e dan Pasal 189 KUHAP). Alat bukti keterangan terdakwa diatur secara tegas oleh Pasal 189 KUHAP, sebagai berikut: 1) Keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang dilakukan atau yang ia ketahui sendiri atau ia alami sendiri. 2) Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya. 3) Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri. 4) Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain. b. Pemeriksaan terdakwa Pemeriksaan terdakwa diatur dalam pasal 175-178 KUHAP, antara lain: Pasal 175 berbunyi: Jika terdakwa tidak mau menjawab atau menolak untuk menjawab pertanyaan yang diajukan kepaadanya, hakim ketua sidang menganjurkan untuk menjawab dan setelah itu pemeriksaan dilanjutkan.

Pasal 176 berbunyi: Jika terdakwa bertingkah laku yang tidak patutsehingga menggangu ketertiban sidang, hakim ketua sidang menegurnya dan jika teguran itu tidak diindakan ia memerintahkan suapaya terdakwa dikeluarkan dari sidang, kemudian pemeriksaan sidang dilanjutkan tanpa hadirnya terdakwa. Dalam hal terdakwa secara terus-menerus bertingkahlaku yang tidak patut sehingga mengganggu ketertiban sidang, hakim ketua sidang, mengusahakan upaya sedemikian rupa sehingga putusan tetap dapat dijatuhkan dengan hadirnya terdakwa. Pasal 177 berbunyi: jika terdakwa atau saksi tidak paham bahasa Indonesia, haki ketua sidang menunjuk seorang juru bahasa yang bersumpah atau berjanji akan menterjemahkan dengan benar semua yang harus diterjemahkan. Dalam hal seorang tidak boleh menjadi saksi dalam suatu perkara ia tidak boleh pula menjadi juru bahasa dalam perkara itu. Pasal 178 berbunyi: Jika terdakwa atau saksi bisu dan/atau tuli serta tidak dapat menulis, hakim ketua sidang mengangkat sebagai penterjemah orang yang pandai bergaul dengan terdakwa atau saksi itu. Jika terdakwa atau saksi bisu dan /atau tuli tetapi dapat menulis, hakim ketua sidang menyampaikan semua pertanyaan atau teguran kepadanya secara tertulis dan kepadanya terdakwa atau saksi tersebut diperintahkan untuk menulis jawabannya dan selanjutnya semua pertanyaan serta jawaban harus dibacakan. 2. Pengertian Terdakwa dan Tersangka. Menurut Pasal 1 butir 15 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, terdakwa adalah seorang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan. Terdakwa adalah

orang yang karena perbuatan atau keadaannya berdasarkan alat bukti minimal didakwa melakukan tindak pidana kemudian dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan. 38 adalah: Dari rumusan di atas dapat disimpulkan, bahwa unsur-unsur dari terdakwa a. Diduga sebagai pelaku suatu tindak pidana; b. Cukup alasan untuk melakukan pemeriksaan atas dirinya di depan sidang pengadilan; c. orang yang sedang dituntut, ataupun d. Sedang diadili di sidang pengadilan. 39 Tersangka akan berubah tingkatannya menjadi terdakwa setelah ada bukti lebih lanjut yang memberatkan dirinya dan perkaranya sudah mulai disidangkan di Pengadilan. Kedudukannya harus dipandang sebagai subjek dan tidak boleh diperlakukan sekehendak hati oleh aparat penegak hukum karena ia dilindungi oleh serangkaian hak yang diatur dalam KUHAP. Tersangka sendiri menurut Pasal 1 butir 14 KUHAP adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. 3. Pengertian Alat Bukti Keterangan Terdakwa sebagai berikut: Alat bukti keterangan terdakwa diatur secara tegas oleh Pasal 189 KUHAP, a. Keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang 38 Adnan Paslyadja. (1997). Hukum Pembuktian, Jakarta: Pusat Diktat Kejaksaan Republik Indonesia, hal. 69 39 Darwan Prinst, op.cit., hal.14-15

perbuatan yang dilakukan atau yang ia ketahui sendiri atau ia alami sendiri. Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya. b. Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri c. Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain. Menurut Pasal 189 ayat (1) KUHAP di atas, keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang pengadilan tentang perbuatan yang ia lakukan atau ia ketahui sendiri atau alami sendiri. Sehingga secara garis besar keterangan terdakwa adalah: 1. apa yang terdakwa "nyatakan" atau "jelaskan" di sidang pengadilan, 2. apa yang dinyatakan atau dijelaskan itu ialah tentang perbuatan yang terdakwa lakukan atau mengenai yang ia ketahui atau yang berhubungan dengan apa yang terdakwa alami sendiri dalam peristiwa pidana yang sedang diperiksa. 40 Dari pengertian-pengertian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa syarat sah keterangan terdakwa harus meliputi: a. Apa yang terdakwa nyatakan di sidang pengadilan. b. Pernyataan terdakwa meliputi: 40 M. Yahya Harahap. (2006). Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP : Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: Edisi Kedua, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 319

(1) Yang terdakwa lakukan sendiri, (2) Yang terdakwa ketahui sendiri, (3) Yang terdakwa alami sendiri. Pasal 184 ayat (1) KUHAP mencantumkan keterangan terdakwa sebagai alat bukti yang kelima atau terakhir setelah alat bukti petunjuk. Hal ini berbeda dengan HIR yang menempatkan keterangan terdakwa pada urutan ketiga di atas petunjuk, hanya saja dalam HIR "keterangan terdakwa" seperti dimuat pada Pasal 184 ayat (1) KUHAP, menurut Pasal 295 butir 3 HIR disebut "pengakuan tertuduh". Perbedaan kedua istilah ini ditinjau secara yuridis, terletak pada pengertian "keterangan terdakwa" yang sedikit lebih luas dari istilah "pengakuan tertuduh", karena pada istilah "keterangan terdakwa" sekaligus meliputi "pengakuan" dan "pengingkaran", sedangkan dalam istilah "pengakuan tertuduh", hanya terbatas pada pernyataan pengakuan itu sendiri tanpa mencakup pengertian pengingkaran. 41 Sehingga dapat dilihat dengan jelas bahwa keterangan terdakwa sebagai alat bukti tidak perlu sama atau berbentuk pengakuan. Semua keterangan terdakwa hendaknya didengar. Apakah itu berupa penyangkalan, pengakuan, ataupun pengakuan sebagian dari perbuatan atau keadaan 42 edangkan alasan ditempatkannya keterangan terdakwa pada urutan ketiga diatas petunjuk dalam HIR, karena suatu petunjuk dapat diperoleh dari keterangan terdakwa, maka dalam hal yang demikian petunjuk hanya bisa diperoleh setelah lebih dahulu memeriksa terdakwa. 69 41 42 Ibid, hal.318 Andi Hamzah. (1997). Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, hal.

4. Asas Penilaian Keterangan Terdakwa Sudah tentu tidak semua keterangan terdakwa dinilai sebagai alat bukti yang sah. Untuk menentukan sejauh mana keterangan terdakwa dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang, diperlukan beberapa asas sebagai landasan berpijak, antara lain: a. Keterangan itu dinyatakan di sidang pengadilan Keterangan yang diberikan di persidangan adalah pernyataan berupa penjelasan yang diutarakan sendiri oleh terdakwa dan pernyataan yang berupa penjelasan atau jawaban terdakwa atas pertanyaan dari ketua sidang, hakim anggota, dan penuntut umum atau penasihat hukum. b. Tentang perbuatan yang terdakwa lakukan, ketahui, atau alami sendiri Pernyataan terdakwa meliputi: (1) Tentang perbuatan yang terdakwa lakukan sendiri. Terdakwa sendirilah yang melakukan perbuatan itu, dan bukan orang lain selain terdakwa. (2) Tentang apa yang diketahui sendiri oleh terdakwa. Terdakwa sendirilah yang mengetahui kejadian itu. Mengetahui disini berarti ia tahu tentang cara melakukan perbuatan itu atau bagaimana tindak pidana tersebut dilakukan. Bukan berarti mengetahui dalam arti keilmuan yang bersifat pendapat, tetapi semata-mata pengetahuan sehubungan dengan peristiwa pidana yang didakwakan kepadanya.

(3) Tentang apa yang dialami sendiri oleh terdakwa. Terdakwa sendirilah yang mengalami kejadian itu, yaitu pengalaman dalam hubungannya dengan perbuatan yang didakwakan. Namun apabila terdakwa menyangkal mengalami kejadian itu, maka penyangkalan demikian tetap merupakan keterangan terdakwa. (4) Keterangan terdakwa hanya merupakan alat bukti terhadap dirinya sendiri. Menurut asas ini, apa yang diterangkan seseorang dalam persidangan dalam kedudukannya sebagai terdakwa, hanya dapat dipergunakan sebagai alat bukti terhadap dirinya sendiri. Jika dalam suatu perkara terdakwa terdiri dari beberapa orang, masing-masing keterangan terdakwa hanya mengikat kepada dirinya sendiri. Dengan kata lain keterangan terdakwa yang satu tidak boleh dijadikan alat bukti bagi terdakwa lainnya. 43 5. Keterangan Terdakwa Saja Tidak Cukup Membuktikan Kesalahannya Asas ini ditegaskan dalam Pasal 189 ayat (4); "Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain". Pada hakikatnya asas ini hanya merupakan penegasan kembali prinsip batas minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP. Pasal 183 KUHAP telah menentukan asas pembuktian bahwa untuk menjatuhkan hukuman pidana 43 Op. Cit., hal. 320-321

terhadap seorang terdakwa, kesalahannya harus dapat dibuktikan; dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. 44 6. Keterangan Terdakwa di Luar Sidang (The Confession Outside the Court) Salah satu asas penilaian yang menentukan sah atau tidaknya keterangan terdakwa sebagai alat bukti adalah bahwa keterangan itu harus diberikan di sidang pengadilan. Dengan asas ini dapat disimpulkan, bahwa keterangan terdakwa yang dinyatakan di luar sidang pengadilan sama sekali tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti sah. Walaupun keterangan terdakwa yang dinyatakan di luar sidang pengadilan tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti, namun menurut ketentuan Pasal 189 ayat (2) KUHAP, keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat dipergunakan untuk "membantu" menemukan alat bukti di sidang pengadilan, dengan syarat keterangan di luar sidang didukung oleh suatu alat bukti yang sah, dan keterangan yang dinyatakan di luar sidang sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepada terdakwa. 45 Bentuk keterangan yang dapat dikualifikasi sebagai keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang ialah: a. keterangan yang diberikan dalam pemeriksaan penyidikan, b. dan keterangan itu itu dicatat dalam berita acara penyidikan, c. serta berita acara penyidikan itu ditandatangani oleh pejabat penyidik dan terdakwa. 44 Op.Cit., hal. 322 45 Op.cit., hal. 323

Kualifikasi di atas sesuai dengan ketentuan Pasal 75 ayat (1) huruf a jo. Ayat (3) KUHAP. 7. Nilai Kekuatan Pembuktian Keterangan Terdakwa Secara umum dapat dikatakan bahwa undang-undang tidak dapat menilai keterangan terdakwa sebagai alat bukti yang memiliki nilai pembuktian yang sempurna, mengikat, dan menentukan. Namun demikian, keterangan terdakwa tetap memiliki pengaruh terhadap proses persidangan. Adapun nilai kekuatan pembuktian alat bukti keterangan terdakwa dapat dirumuskan sebagai berikut: a) Sifat nilai kekuatan pembuktiannya adalah bebas Hakim tidak terikat pada nilai kekuatan yang terdapat pada alat bukti keterangan terdakwa, dan hakim bebas untuk menilai kebenaran yang terkandung di dalam keterangan terdakwa. Hakim dapat menerima atau menyingkirkan keterangan terdakwa sebagai alat bukti dengan jalan mengemukakan alasan-alasan disertai dengan argumentasi yang proporsional dan akomodatif. b) Harus memenuhi batas minimum pembuktian "Sebagaimana ketentuan Pasal 189 ayat (4) yang menyebutkan, keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain". Dari ketentuan ini jelas dapat disimak keharusan mencukupkan alat bukti keterangan terdakwa dengan sekurang-kurangnya satu lagi alat bukti yang lain, sehingga mempunyai nilai pembuktian yang cukup.

Penegasan Pasal 189 ayat (4) KUHAP, sejalan dan mempertegas asas batas minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP, yang menegaskan, bahwa tidak seorang terdakwa pun dapat dijatuhi pidana kecuali jika kesalahan yang didakwakan kepadanya telah dapat dibuktikan dengan sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah. c) Harus memenuhi asas keyakinan hakim Sekalipun kesalahan terdakwa telah terbukti sesuai dengan asas batas minimum pembuktian, tetapi masih perlu dibarengi dengan "keyakinan hakim", bahwa memang terdakwa yang bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Asas keyakinan hakim harus melekat pada putusan yang diambilnya sesuai dengan sistem pembuktian yang dianut Pasal 183 KUHAP yaitu "pembuktian menurut undang-undang secara negatif". Artinya, di samping dipenuhi batas minimum pembuktian dengan alat bukti yang sah, maka dalam pembuktian yang cukup tersebut harus dibarengi dengan keyakinan hakim bahwa terdakwalah yang bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya. 46 Ketentuan yang terkait dengan nilai kekuatan pembuktian keterangan terdakwa sebagaimana yang diutarakan di atas masih dapat ditambah dengan rumusan sebagai berikut: 1) Keterangan terdakwa yang diberikan di sidang pengadilan tentang perbuatan yang ia lakukan atau ia ketahui sendiri atau alami sendiri, 46 Op.cit., hal. 332-333.

merupakan alat bukti keterangan terdakwa yang sah menurut undangundang. 2) Keterangan terdakwa sekalipun bersifat pengakuan atas perbuatan pidana yang didakwakan, tetapi tidak didukung dengan alat bukti sah lainnya, tidak cukup untuk menyatakan terdakwa telah bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan karena tidak memenuhi batas minimumnya pembuktian. 3) Penyangkalan terdakwa melalui alat bukti lain dapat dibuktikan sebagai kebohongan dapat diterima sebagai alat bukti petunjuk. 4) Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang mengenai hal yang didakwakan sepanjang bersesuaian dengan alat bukti sah lainnya dapat berupa alat bukti petunjuk, setidak-tidaknya dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang. C. Ketentuan Hukum Terhadap Pencabutan Keterangan Terdakwa Dalam Persidangan Pencabutan keterangan terdakwa merupakan suatu proses, tata cara, atau perbuatan menarik kembali keterangan terdakwa yang telah dinyatakan sebelumnya di penyidikan (BAP), di dalam persidangan yang sidang berlangsung. Keterangan terdakwa diatur di dalam Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana bersama alat bukti lainnya yang mempunyai kekuatan pembuktian. Secara yuridis, pencabutan keterangan terdakwa diperkenankan dan/atau diperbolehkan hal ini dikarenakan terdakwa memiliki hak ingkar sebagaimana

yang diatur dalam Pasal 52 KUHAP dan keterangan di muka sidang merupakan keterangan yang sebenarnya. Sekalipun terdakwa memiliki hak untuk memberikan keterangan yang bebas di tingkat penyidikan atau pengadilan kepada penyidik atau kepada hakim dan berhak untuk tidak menjawab, ia masih memiliki hak untuk berbicara seputar proses penyidikan yang telah berlangsung dan bila ia berbicara yang tidak sebenarnya atau memberikan keterangan yang berbelit-belit maka hal ini akan menjadi alasan atau hal-hal yang memberatkan bagi terdakwa dalam putusan yang akan dijatuhkan hakim selain itu, jika terdakwa bertingkah laku yang tidak patut sehingga mengganggu ketertiban sidang. Hakim ketua sidang menegurnya dan jika teguran itu tidak diindahkan ia memerintahkan supaya terdakwa dikeluarkan dari ruang sidang dan pemeriksaan perkara pada waktu itu dilanjutkan tanpa hadirnya terdakwa. Bila dibandingkan dengan keterangan saksi atau keterangan ahli mereka tidak mempunyai hak ingkar justru mereka di sumpah sewaktu memberikan keterangan di dalam persidangan. Hak Ingkar ialah hak terdakwa yang kedudukannya dijamin oleh kitab undang-undang hukum acara pidana, hak ingkar itu dikasifikasikan sebagai suatu hak terdakwa untuk membantah keterangan yang tidak benar dan dapat mencabut keterangannya sendiri, di dalam penyidikan. Pencabutan keterangan terdakwa harus berdasarkan alat bukti dan alasan yang logis guna mendukung pencabutan keterangannya di persidangan. Akan tetapi dalam persidangan, majelis hakim harus mempertanyakan apa yang menjadi dasar dilakukannya pencabutan itu dan ia harus membuktikkannya. Umumnya, faktor-faktor yang menjadi dasar dilakukannya pencabutan itu antara lain :

1. bahwa didalam penyidikan terdakwa disiksa, dipukuli hal ini senada dengan Putusan Mahkamah Agung No. 381 K / Pid / 1995. 2 tidak didampingi oleh penasihat hukum. 3. tidak bisa membaca atau menulis sewaktu menandatangani berita acara pemeriksaan. 4. adanya unsur atau faktor psikologis yang berlebihan sewaktu dalam penyidikan. Penilaian alasan pencabutan keterangan terdakwa itu didasarkan atas alat bukti dan jika alasan pencabutan itu terbukti maka pencabutan itu bisa dikabulkan jika pencabutan itu tidak beralasan ia dapat ditolak, dan ini merupakan petunjuk atas kesalahan terdakwa didalam memberikan keterangan hal ini senada dengan apa yang tertuang dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia, dengan Putusan Mahkamah Agung tanggal 23 Februari 1960, No. 299 K / Kr / 1959 yang menjelaskan: pengakuan terdakwa di luar sidang yang kemudian di sidang pengadilan dicabut tanpa alasan yang berdasar merupakan petunjuk tentang kesalahan terdakwa. Putusan ini dapat ditarik kesimpulan, antara lain: a. pencabutan keterangan pengakuan yang dibenarkan hukum adalah pencabutan yang di landasi dengan dasar alasan yang logis. b. pencabutan tanpa dasar alasan, tidak dapat diterima. c. penolakan pencabutan keterangan pengakuan, mengakibatkan pengakuan tetap dapat dipergunakan sebagai pembantu atau petunjuk menemukan alat bukti. Yurisprudensi yang senada dengan putusan di atas, antara lain Putusan Mahkamah Agung tanggal 25 Pebruari 1960, No. 225 K / Kr / 1960, tanggal 25

Juni 1961, No. 6 K / Kr / 1961 dan tanggal 27 September 1961, No. 5 K / Kr / 1961 dan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 85 K / KR /1959 tanggal 27 September 1960, Putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 414 K / Pid / 1984 tanggal 11 Desember 1984, yang menegaskan bahwa, pengakuan yang diberikan di luar sidang tidak dapat dicabut kembali tanpa dasar alasan dan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 1043 K / Pid / 1987 tanggal 19 Agustus 1987 pada pokoknya menentukan bahwa pencabutan keterangan terdakwa di luar persidangan tanpa alasan yang benar menurut hukum merupakan petunjuk atas kesalahan terdakwa. Pencabutan keterangan terdakwa yang bisa dibuktikan maka prosedur pemeriksaan tidak memenuhi ketentuan hukum yang mengakibatkan proses penyidikannya cacat hukum dan surat dakwaannya batal hukum dan proses pemeriksaan pokok perkara ditunda dan dilakukan verifikasi terlebih dahulu. Ketentuan ini dapat berujung terjadinya putusan bebas dan berkas kembali ke penyidik untuk dilakukan pemeriksaan kembali. Proses pembuktian terhadap alasan pencabutan keterangan terdakwa itu diberikan kepada terdakwa atau penuntut umum. Hal ini bertujuan untuk mendukung apa yang menjadi dasar dilakukannya pencabutan itu, dan bagi penuntut sendiri dapat menguatkan apa yang menjadi dakwaannya dalam persidangan. Pada proses pembuktian ini hakim bersifat imparsial (tidak memihak) dimana diberikan kebebasan kepada kedua pihak untuk dapat membuktikannya dengan alat bukti yang ada. 47 47 Wawancara eksklusif dengan Ketua Majelis Hakim, Bapak Abdul Hadi Nasution, SH, pada tanggal 08 Juni 2010, pukul 11.36 WIB, di Gedung Utama PN-TTD