BAB II TANGGUNG JAWAB AHLI WARIS TERHADAP PENGURUSAN HARTA KEKAYAAN ORANG HILANG ( MAFQUD )

dokumen-dokumen yang mirip
Lex Privatum, Vol.I/No.5/November/2013

BAB I PENDAHULUAN. hidup atau sudah meninggal, sedang hakim menetapkan kematiannya. Kajian

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK PENGALIHAN NAMA ATAS HARTA WARIS SEBAB AHLI WARIS TIDAK PUNYA ANAK

BAB IV DASAR PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP PUTUSAN WARIS BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB I PENDAHULUAN. Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam, Fajar Interpratama Offset, Jakarta, 2004, hlm.1. 2

BAB I PENDAHULUAN. meninggal dunia. Apabila ada peristiwa hukum, yaitu meninggalnya seseorang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARIS DAN AHLI WARIS

BAB I PENDAHULUAN. untuk selamanya. Tetapi adakalanya karena sebab-sebab tertentu bisa

Waris Tanpa Anak. WARISAN ORANG YANG TIDAK MEMPUNYAI ANAK Penanya: Abdul Salam, Grabag, Purworejo. (disidangkan pada hari Jum'at, 10 Februari 2006)

Standar Kompetensi : 7. Memahami hukum Islam tentang Waris Kompetensi Dasar: 7.1 Menjelaskan ketentuan-ketentuan hukum waris 7.2 Menjelaskan contoh

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan kewajiban orang lain untuk mengurus jenazahnya dan dengan

BAB IV ANALISIS TERHADAP PENGUASAAN TIRKAH AL-MAYYIT YANG BELUM DIBAGIKAN KEPADA AHLI WARIS

BAB I PENDAHULUAN. Agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW merupakan agama

AZAS-AZAS HUKUM WARIS DALAM ISLAM

BAB IV ANALISIS TERHADAP PRAKTEK PEMBAGIAN WARISAN KEPADA AHLI WARIS PENGGANTI

II. TINJAUAN PUSTAKA. Salah satu bentuk pengalihan hak selain pewarisan adalah wasiat. Wasiat

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan, baik yang berhubungan dengan Allah, maupun yang berhubungan

BAB I PENDAHULUAN. Segi kehidupan manusia yang telah diatur Allah dapat dikelompokkan

BAB V PERSAMAAN DAN PERBEDAAN WASIAT KEPADA NON MUSLIM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP HIBAH SEBAGAI PENGGANTI KEWARISAN BAGI ANAK LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN DI DESA PETAONAN

PERBANDINGANN ANTARA HUKUM WARIS BARAT DENGAN HUKUM WARIS ISLAM

BAB IV. PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN NOMOR 732/Pdt.G/2008/PA.Mks DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

BAB IV ANALISIS HUKUM WARIS ISLAM TERHADAP PRAKTEK PEMBAGIAN WARIS DI KEJAWAN LOR KEL. KENJERAN KEC. BULAK SURABAYA

BAB II LANDASAN TEORI. Secara etimologi, al mal berasal dari kata mala yang berarti condong atau

A. LATAR BELAKANG. Dari seluruh hukum yang ada dan berlaku dewasa ini di samping hukum

BAB III ANALISIS PASAL 209 KHI TENTANG WASIAT WAJIBAH DALAM KAJIAN NORMATIF YURIDIS

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HARTA WARISAN

pusaka), namun keduanya tidak jumpa orang yang mampu menyelesaikan perselisihan mereka. Keutamaan Hak harta Simati

HAK ANAK ANGKAT TERHADAP HARTA PENINGGALAN ORANG TUA ANGKAT MENURUT HUKUM ISLAM

BAB I PENDAHULUAN. Berbicara tentang warisan menyalurkan pikiran dan perhatian orang ke arah suatu

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARISAN

IMA>MIYAH TENTANG HUKUM MENERIMA HARTA WARISAN DARI

BAB II KONSEP WARIS DAN HAK WARIS

BAB IV ANALISIS. A. Analisis Akibat Hukum Pengabaian Nafkah Terhadap Istri. Menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974.

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG HARTA DALAM PERKAWINAN ISLAM. harta kerabat yang dikuasai, maupun harta perorangan yang berasal dari harta

BAB II PEMBAGIAN WARISAN DALAM HAL TERJADINYA POLIGAMI MENURUT PERSPEKTIF HUKUM WARIS ISLAM

MASALAH HAK WARIS ATAS HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN KEDUA MENURUT HUKUM ISLAM

BAB I PENDAHULUAN. seluruh alam, dimana didalamnya telah di tetapkan ajaran-ajaran yang sesuai

BAB IV ANALISIS PENDAPAT IMAM AL-SYAFI I TENTANG KEWARISAN KAKEK BERSAMA SAUDARA. A. Analisis Pendapat Imam al-syafi i Tentang Kewarisan Kakek Bersama

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP SENGKETA AHLI WARIS DALAM PENGGUNAAN TANAH YAYASAN AL-HIKMAH

HUKUM WARIS ISLAM DAN PERMASALAHANNYA

BAB IV. dalam perkara nomor : 1517/Pdt.G/2007/PA.Sda mengenai penolakan gugatan

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB I PENDAHULUAN. pusaka peninggalan mayit kepada ahli warisnya. 1

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP JAMINAN HUTANG BERUPA AKTA KELAHIRAN ANAK DI DESA WARUREJO KECAMATAN BALEREJO KABUPATEN MADIUN

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PRAKTIK PENJATUHAN TALAK SEORANG SUAMI MELALUI TELEPON DI DESA RAGANG KECAMATAN WARU KABUPATEN PAMEKASAN

PEMBAHASAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

PEMBAGIAN HARTA WARISAN DALAM PERKAWINAN POLIGAMI PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

TINJAUAN MAQASHID AL-SYARI AH SEBAGAI HIKMAH AL-TASYRI TERHADAP HUKUM WALI DALAM PERNIKAHAN

Analisis Hukum Islam Terhadap Pembagian Waris Dalam Adat Minang (Studi Kasus Di Desa Biaro Gadang, Sumatera Barat)

Amir Syarifudin, Garis-Garis Besar FIQIH, (Jakarta:KENCANA. 2003), Hal-141. Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Ushul Fiqih, (Jakarta: AMZAH.

Masih Ada Hutang, Bagaimana Nasib Almarhum Ayah Kami?

BAB I PENDAHULUAN. istri dan anak-anaknya, ini didasarkan pada Surat Al-Baqarah ayat 233. Yang

BAB IV PEMBAGIAN WARIS AHLI WARIS PENGGANTI. A. Pembagian waris Ahli Waris Pengganti Menurut Kompilasi Hukum Islam

BAB IV ANALISIS. A. Ahli Waris Pengganti menurut Imam Syafi i dan Hazairin. pengganti menurut Hazairin dan ahli waris menurut Imam Syafi i, yaitu:

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP HIBAH SELURUH HARTA KEPADA ANAK ANGKAT DI DESA JOGOLOYO KECAMATAN SUMOBITO KABUPATEN JOMBANG

A. Analisis Terhadap Metode Penerapan Nilai Tanah Waris di Pulau Bawean. pembagian dengan cara hukum waris Islam. Kedua; pembagian waris dengan

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK JUAL BELI EMAS DI TOKO EMAS ARJUNA SEMARANG

AZAS-AZAS HUKUM WARIS DALAM ISLAM

BAB I PENDAHULUAN. Pada waktu manusia dilahirkan ke dunia ini telah tumbuh tugas baru

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PEMBAGIAN WARIS BERDASARKAN KONDISI EKONOMI AHLI WARIS DI DESA KRAMAT JEGU KECAMATAN TAMAN KABUPATEN SIDOARJO

S I L A B U S A. IDENTITAS MATA KULIAH NAMA MATA KULIAH : HUKUM WARIS ISLAM STATUS MATA KULIAH : WAJIB KODE MATA KULIAH : JUMLAH SKS : 2

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhannya telah mampu merombak tatanan atau sistem kewarisan yang

BAB I PENDAHULUAN. seorang pria atau seorang wanita, rakyat kecil atau pejabat tinggi, bahkan penguasa suatu

BAB IV PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN KEWARISAN TUNGGU TUBANG ADAT SEMENDE DI DESA MUTAR ALAM, SUKANANTI DAN SUKARAJA

BAB IV ANALISIS MENGENAI PANDANGAN IMAM SYAFI I TENTANG STATUS WARIS ANAK KHUNTSA MUSYKIL

BAB IV ANALISIS PERSAMAAN DAN PERBEDAAN KETENTUAN PASAL 182 KHI DAN PERSPEKTIF HAZAIRIN TENTANG BAGIAN WARIS SAUDARA PEREMPUAN KANDUNG

BAB IV ANALISIS DATA. A. Analisis Terhadap Praktek Pinjam Pakai Sepeda Motor

BAB IV ANALISIS PUTUSAN SENGKETA WARIS SETELAH BERLAKUNYA PASAL 49 HURUF B UU NO. 3 TAHUN 2006 TENTANG PERADILAN AGAMA

BAB III ANALISIS DAN PEMBAHASAN. A. Sejarah Penyusunan Buku II Tentang Kewarisan Dalam Kompilasi

BAB I PENDAHULUAN. setiap manusia akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian.

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TENTANG PENARIKAN KEMBALI HIBAH OLEH AHLI WARIS DI DESA SUMOKEMBANGSRI KECAMATAN BALONGBENDO KABUPATEN SIDOARJO

BAB I PENDAHULUAN. hukum yang selanjutnya timbul dengan adanya peristiwa kematian

ija>rah merupakan salah satu kegiatan muamalah dalam memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. Islam telah mengatur setiap aspek kehidupan manusia baik yang. menyangkut segala sesuatu yang langsung berhubungan dengan Allah SWT

BAB I PENDAHULUAN. hartanya kepada para ahli warisnya. Hal ini tidak bisa dipungkiri atau diingkari oleh

WARIS ISLAM DI INDONESIA

BAB IV ANALISIS PERNIKAHAN DALAM MASA IDDAH. A. Analisis Pemikiran Pernikahan dalam Masa Iddah di Desa Sepulu Kecamatan

KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM KEWARISAN

BAB I PENDAHULUAN. Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris, PT. Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2002, hlm. 4.

PEMBAGIAN WARISAN. Pertanyaan:

BAB I PENDAHULUAN. waris, dalam konteks hukum Islam, dibagi ke dalam tiga golongan yakni: 3

BAB V. KOMPARASI PEMBAGIAN WARIS DAN WASIAT DALAM PERSPEKTIF KHI, CLD KHI DAN KUHPerdata

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB IV ANALISIS TERHADAP TIDAK ADANYA HAK WARIS ANAK PEREMPUAN PADA MASYARAKAT KARO DI DESA RUMAH BERASTAGI KECAMATAN BERASTAGI KABUPATEN KARO

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkawinan merupakan sunnah Rasul yang dilakukan oleh kaum muslim

Article Review. : Jurnal Ilmiah Islam Futura, Pascasarjana UIN Ar-Raniry :

Seribu Satu Sebab Kematian Manusia

KEADILAN DALAM HUKUM WARIS ISLAM Oleh : SURYATI Dosen Fakultas Hukum Universitas Wijayakusuma Purwokerto

BAB VI ANALISIS DATA. PELAKSANAAN EKSEKUSI HARTA BERSAMA DALAM PERKARA PERDATA NO 0444/Pdt.G/2012/PA.Tnk

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARIS. Kata waris berasal dari kata bahasa Arab mirats. Bentuk jamaknya adalah

I. PENDAHULUAN. maupun manfaat untuk dimiliki oleh penerima wasiat sebagai pemberian yang

BAB IV ANALISIS PENDAPAT MAZHAB H{ANAFI DAN MAZHAB SYAFI I TENTANG STATUS HUKUM ISTRI PASCA MULA> ANAH

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kamus bahasa arab, diistilahkan dalam Qadha yang berarti

MEMBANGUN KELUARGA YANG ISLAMI BAB 9

BAB II. Tinjauan Teori Mengenai Hukum Waris Islam. A. Tinjauan Umum Tentang hukum Waris Islam

IDDAH DALAM PERKARA CERAI TALAK

Pengertian Mawaris. Al-miirats, dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata waritsa-yaritsuirtsan-miiraatsan.

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK AKAD UTANG PIUTANG BERHADIAH DI DESA SUGIHWARAS KECAMATAN CANDI KABUPATEN SIDOARJO

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, baik bagi

Transkripsi:

23 BAB II TANGGUNG JAWAB AHLI WARIS TERHADAP PENGURUSAN HARTA KEKAYAAN ORANG HILANG ( MAFQUD ) A. Dasar - Dasar Kewarisan Hukum Islam 1. Pengertian Kewarisan Hukum Islam Hukum waris Islam adalah aturan yang mengatur pengalihan harta dari seorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya. 30 Hal ini berarti menentukan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, porsi bagian, masing-masing ahli waris, menentukan harta peninggalan dan harta warisan bagi orang yang meninggal dunia. Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagian masing-masing 31. Secara terminologis, hukum kewarisan Islam adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemiliknya harta peninggalan (tirkah) 32 pewaris, menentukan siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagian masingmasing. 33 Menurut Prof. Muhammad Amin Suma, hukum kewarisan Islam adalah hukum yang mengatur peralihan pemilikan harta peninggalan pewaris, menetapkan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris, menentukan berapa bagian masingmasing ahli waris, dan mengatur kapan pembagian harta kekayaan pewaris 30 Zainuddin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, Hal 33. 31 Lihat Pasal 171 huruf a Kompilasi Hukum Islam 32. Lihat Pasal 171 huruf d Kompilasi Hukum Islam 33 Mardani, Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2014,Hal 1. 23

24 dilaksanakan. 34 Sedangkan menurut M.Idris Ramulyo, wirasah atau hukum waris Islam adalah hukum yang mengatur segala masalah yang berhubungan dengan pewaris, ahli waris, harta peninggalan, serta pembagian yang lazim disebut hukum faraidh. 35 Ilmu waris disebut juga ilmu faraidh, diambil dari kata mafrudha yang terdapat dalam QS AN-Nisa [ 4 ] : 7, Mafrudha pada ayat diatas diartikan bagian yang telah ditetapkan (bagian yang telah dipastikan kadarnya). Menurut al-imam Takiyuddin Abi Bakar bin Muhammad al-husain, faraidh adalah bagian yang telah ditentukan oleh syariat kepada yang berhak menerimanya, hal ini sesuai dengan hadis Nabi Muhammad Saw : sesungguhnya Allah Azza wazalla telah memberikan kepada orang yang berhak akan haknya, ingatlah tidak ada wasiat kepada ahli warisnya. Menurut al-qalyubi dan al-umairah, faraidh adalah ilmu tentang masalah bagian kewarisan. Faraidh merupakan jamak dari kata faridhah yaitu suatu bagian yang telah ditentukan. Sedangkan, pengertian ilmu faraidh menurut as-syarbini yaitu ilmu yang berhubungan dengan pembagian harta warisan, pengetahuan tentang cara menghitung yang dapat menghasilkan pembagian harta warisan, dan pengetahuan tentang bagianbagian yang wajib dari harta peninggalan untuk setiap orang yang berhak menerimanya. Dari beberapa defenisi diatas maka secara singkat ilmu faraidh atau 34 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam Di Dunia Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, Hal 108. 35 M.Idris Ramulyo, Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara Perdata Peradilan Agama, Iin Hill Co : Jakarta, 1991, Hal 42

25 ilmu waris ialah ilmu yang mengatur peralihan harta orang yang telah meninggal kepada orang yang masih hidup berdasarkan ketentuan syariat Islam ( Al-Quran, As- Sunah, ijma, ulama dan ijtihad ulama ). Hukum kewarisan Islam pada dasarnya bersumber kepada beberapa ayat Alquran dan hadis Rasullullah yang terdiri dari ucapan, perbuatan dan hal-hal yang ditentukan Rasullullah. Dalam Al-quran yang paling banyak ditemui dasar atau sumber hukum kewarisan itu dalam surat An-Nisaa. Dalam surat An-Nisaa, yang mengatur mengenai kewarisan antara lain dalam ayat 1-14, 29, 32, 33 dan 176. Dimana dalam ayat-ayat tersebut dijelaskan dengan jelas bahwa hukum-hukum waris adalah ketentuan dari Allah 36. 2. Rukun Dan Syarat Mendapatkan Warisan a. Rukun Waris Rukun waris yaitu : 1. Harta Warisan ( Mauruts atau Tirkah) Harta warisan (mauruts) yaitu harta benda yang ditinggalkan oleh pewaris yang akan diterima oleh para ahli waris setelah diambil untuk biaya-biaya perawatan, melunasi utang-utang dan melaksanakan wasiat si pewaris. Dan yang dimaksud dengan tirkahyaitu apa-apa yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia yang dibenarkan oleh syariat untuk dipusakai oleh para ahli 36 Mochtar Naim, Kompendium Himpunan Ayat-Ayat Al-Quran Yang Berkaitan Dengan Hukum, Hasanah, Jakarta,2001, Hal 352.

26 waris. Apa-apa yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia harus diartikan sedemikian luas agar dapat mencakup kepada : 37 a. Kebendaan dan sifat-sifat yang mempunyai nilai kebendaan. Misalnya : benda bergerak, benda tidak bergerak, piutang- piutang si pewaris, surat-surat berharga, diyat, dan lain-lain yang dipandang sebagai pemiliknya. b. Hak-hak kebendaan Termasuk kelompok ini hak monopoli untuk memungut hasil dari jalan raya, sumber air minum, dan lain-lain c. Benda-benda yang berada ditangan orang lain 38 Misalnya : barang gadaian, dan barang-barang yang sudah dibeli dari orang lai, tetapi belum diserahterimakan kepada orang yang sudah meninggal. d. Hak-hak yang bukan kebendaan Misalnya : hak syuf ah, yaitu hak beli yang diutamakan bagi tetangga, dan memanfaatkan barang yang diwasiatkan atau diwakafkan. Menurut Kompilasi Hukum Islam, harta warisan adalah harta bawaan ditambah harta bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selam asakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah, 37 Factur Rahman, Ilmu Waris, AL-Ma arif Tth, Bandung, Hal 33. 38 M.Ali Hasan, Hukum Warisan Dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1996, Hal 13

27 pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat. 39 Sedangkan yang dimaksud dengan harta peninggalan yaitu harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik berupa harta benda yang menjadi miliknya maupun haknya. Berdasarkan defenisi diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa harta warisan merupakan harta netto ( harta bersih ), setelah dipotong biaya-biaya keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah, biaya pembayaran hutang, dan pembayaran wasia pewaris. Dan harta warisan itu dapat berbentuk harta benda milik pewaris dan hak-haknya. 2. Pewaris ( Muwarrist) Pewaris Yaitu orang yang meninggal dunia, baik mati haqiqi maupun mati hukmy. 40 Mati hukmy ialah suatu kematian yang dinyatakan oleh putusan hakim atas dasar beberapa sebab, walaupun sesungguhnya ia belum mati sejati. 41 Menurut Kompilasi Hukum Islam, pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan pengadilan agama, meninggalkan harta ahli waris dan harta peninggalan. 42 Berdasarkan defenisi diatas, maka syarat terjadinya waris mewarisi adalah adanya orang yang meninggal dunia yang disebut muwarrist, baik secara haqiqi maupun secara hukmy. 39 Lihat Pasal 171 Huruf e Kompilasi Hukum Islam. 40 Mardani, op,cit., Hal 26. 41 Fatchur Rahman, op.cit, Hal 36. 42 Lihat Pasal 171 huruf b Kompilasi Hukum Islam.

28 3. Ahli waris ( Warist ) Yaitu orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. 43 Berdasarkan defenisi diatas, maka syarat ahli waris yaitu : a. Mempunyai hubungan darah dengan pewaris, misalnya anak kandung, orang tua pewaris, dan seterusnya. b. Mempunyai hubungan perkawinan ( suami/istri pewaris). c. Mempunyai hubungan satu agama dengan pewaris. d. Tidak terhalang untuk mendapatkan warisan, misalnya ia pembunuh pewaris. Ketiga rukun waris diatas harus terpenuhi secara keseluruhan, bila tidak terpenuhi salah satunya, waktu waris mewarisi tidak dapat dilaksanakan. Seseorang yang meninggal dunia yang tidak mempunyai ahli waris sama sekali, maka kegiatam waris mewarisi tidak dapat dilakukan. b. Syarat waris Syarat mendapat warisan ada tiga macam, yaitu: 44 1. Matinya muwarits, mutlak harus dipenuhi. Seseorang baru disebutmuwarist jika dia telah meninggal dunia, itu berarti bahwa, jika 2010, Hal 4-5. 43 Pasal 171 huruf c Kompilasi Hukum Islam. 44 HR.Otje Salman dan Mustafa Haffas, Hukum Waris Islam, Refika Aditama, Bandung,

29 seseorang memberikan harta kepadanya para ahli warisnya ketika dia masih hidup, maka itu bukan waris. 2. Hidupnya waris mutlak harus dipenuhi. Seseorang ahli waris hanya akan mewarisi jika dia masih hidup ketika pewaris meninggal dunia. Masalah yang boleh jadi muncul berkaitan dengan hal ini antara lain ialah mafqud, anak dalam kandungan, dan mati berbarengan. 3. Tidak adanya penghalang untuk memperoleh warisan. 3. Asas-Asas Hukum Kewarisan Islam Hukum kewarisan Islam atau yang lazim disebut faraid dalam literatur hukum Islam adalah salah satu bagian dari keseluruhan hukum Islam yang mengatur peralihan harta dari orang yang telah meninggal kepada orang yang masih hidup. Sebagai hukum agama yang terutama bersumber kepada wahyu Allah yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW, hukum kewarisan Islam mengandung berbagai asas yang dalam beberapa hal berlaku pula pada hukum kewarisan yang bersumber dari akal manusia. Disamping itu, hukum kewarisan Islam dalam hal tertentu mempunyai corak tersendiri, berbeda dengan hukum kewarisan yang lain. Berbagai asas hukum ini memperlihatkan bentuk karesteristik dari hukum kewarisan Islam itu. Hukum kewarisan Islam digali dari keseluruhan ayat hukum dalam Al-Qur an dan penjelasan tambahan yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW dalam sunahnya. Dalam pembahasan ini akan dikemukakan lima asas yang berkaitan dengan

30 sifat peralihan harta kepada ahli waris, cara pemilikan harta oleh yang menerima, kadar jumlah harta yang diterima, dan waktu terjadinya peralihan harta itu. Asas-asas yang dimaksud adalah : a. Asas Ijibari Asas Ijbari yang terdapat dalam hukum kewarisan Islam mengandung arti pengalihan harta dari orang yang telah meninggal dunia kepada orang yang masih hidup berlaku dengan sendirinya tanpa usaha dari yang akan meninggal atau kehendak yang akan menerima. 45 Dijalankannya asas Ijbari dalam hukum kewarisan Islam mengandung arti bahwa peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut kehendak Allah tanpa tergantung kepada kehendak dari pewaris atas permintaan dari ahli warisnya. Unsur paksaan sesuai dengan arti terminologis tersebut terlihat dari segi bahwa ahli waris terpaksa menerima kenyataan pindahnya harta kepada dirinya sesuai dengan yang telah ditentukan. Hal ini berbeda dengan kewarisan menurut hukum perdata (BW) yang peralihan hak kewarisan tergantung kepada kemauan pewaris serta kehendak dan kerelaan ahli waris yang akan menerima tidak berlaku dengan sendirinya. Adanya unsur Ijbari dalam sistem kewarisan Islam tidak akan memberatkan orang yang akan menerima warisan, karena menurut ketentuan 45 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Edisi Pertama, Cetakan Keempat, Kencana, Jakarta, 2012, Hal 19.

31 hukum Islam ahli waris hanya berhak menerima harta yang ditinggalkan dan tidak berkewajiban memikul utang yang ditinggalkan oleh pewaris. Kewajibannya hanya sekedar menolong membayarkan utang pewaris dengan harta yang ditinggalkannya dan tidak berkewajibannya melunasi utang itu dengan hartanya sendiri. Dalam hukum perdata diberikan kemungkinan untuk tidak menerima hak kewarisan, karena menerima akan membawa akibat menanggung risiko untuk melunasi utang pewaris. Ijbari dari segi pewaris mengandung arti bahwa ia sebelum meninggal tidak dapat menolak peralihan harta tersebut. Apa pun kemauan pewaris terhadap hartanya, maka kemauannya itu dibatasi oleh ketentuan yang telah ditetapkan Allah. Oleh karena itu, sebelum meninggal ia tidak perlu memikirkan atau merencanakan sesuatu terhadap hartanya, karena dengan kematiannya itu secara otomatis hartanya beralih kepada ahli warisnya, baik ahli waris itu suka menerima atau tidak. Adanya asas ijbari dalam hukum kewarisan Islam dapat dilihat dari beberapa segi yaitu : 46 1. Segi cara peralihan harta Unsur ijbari dari segi peralihan mengandung arti bahwa harta orang yang mati itu beralih dengan sendirinya, bukan dialihkan siapa-siapa kecuali oleh Allah SWT. Oleh karena itulah, kewarisan dalam Islam diartikan dengan peralihan harta, bukan pengalihan harta, karena pada peralihan, 46 Ibid, Hal 21.

32 berarti beralih dengan sendirinya sedangkan pada pengalihan tampak usaha seseorang. Asas ijbari dalam peralihan ini dapat dilihat dari firman Allah SWT dalam surat an-nisa (4):7. Ayat ini menjelaskan bahwa bagi seseorang laki-laki maupun perempuan ada nasib dari harta peninggalan orang tua dan karib kerabat. Kata nasib berarti bagian, saham, atau jatah dalam bentuk sesuatu yang diterima dari pihak lain. 2. Segi jumlah harta yang beralih Bentuk ijbari dari segi jumlah berarti bahwa bagian atau ahli waris dalam harta warisan sudah jelas ditentukan oleh Allah, sehingga pewaris maupun ahli waris tidak mempunyai hak untuk menambah atau mengurangi apa yang telah ditentukan itu. Setiap pihak terikat kepada apa yang telah ditentukan itu. Adanya unsur ijbari dari segi jumlah itu dapat dilihat dari kata mafrudan yang secara etimologis berarti telah ditentukan atau telah diperhitungkan. Kata-kata tersebut dalam terminologi ilmu fikih berarti sesuatu yang telah diwajibkan Allah kepada hambanya. Dengan menggabungkan kedua kemungkinan pengertian itu, maka maksudnya ialah sudah ditentukan jumlahnya dan harus dilakukan sedemikian rupa secara mengikat dan memaksa. 3. Segi kepada siapa harta itu beralih Bentuk ijbari dari penerima peralihan harta itu berarti bahwa mereka yang berhak atas harta peninggalan itu sudah ditentukan secara pasti,

33 sehingga tidak ada suatu kekuasaan manusia pun dapat mengubahnya dengan cara memasukkan orang lain atau mengeluarkan orang yang berhak. b. Asas Bilateral Membicarakan asas ini berarti berbicara tentang kemana arah peralihan harta itu dikalangan ahli waris. Asas Bilateral dalam kewarisan mengandung arti bahwa harta warisan beralih kepada atau melalui dua arah 47. Hal ini berarti bahwa setiap orang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak garis kerabat, yaitu pihak kerabat garis keturunan laki-laki dan pihak kerabat garis keturunan perempuan. Asas Bilateral ini dapat secara nyata dilihat dalam firma Allah SWT dalam surat an-nisa/4:7, 11, 12, dan 176. Dalam ayat 7 dijelaskan bahwa seseorang laki-laki berhak mendapat warisan dari pihak ayahnya dan dari pihak ibunya. Begitu pula seorang perempuan berhak menerima harta warisan dari pihak ayahnya dan dari pihak ibunya. Ayat ini merupakan dasar bagi kewarisan Bilateral itu. Secara terperinci asas bilateral itu dapat dipahami dalam ayat-ayat selanjutnya. Dalam ayat 11 ditegaskan : 1. Anak perempuan berhak menerima warisan dari kedua orang tuanya sebagaimana yang didapat oleh anak laki-laki dengan bandingan 47 Ibid, Hal 22

34 seseorang laki-laki menerima sebanyak yang di dapat dua orang anak perempuan. 2. Ibu berhak mendapat warisan dari anaknya, baik laki-laki maupun perempuan, begitu pula ayah sebagai ahli waris laki-laki berhak menerima warisan dari anak-anaknya, baik laki-laki maupun perempuan sebesar seperenam bagian, bila pewaris ada meninggalkan anak. Dalam ayat 12 ditegaskan bahwa : 1. Bila pewaris adalah seseorang laki-laki yang tidak memiliki ahli waris langsung (anak/ayah), maka saudara laki-laki dan/atau perempuannya berhak menerima bagian dari harta tersebut. 2. Bila pewaris adalah seseorang perempuan yang tidak memiliki pewaris langsung (anak/ayah), maka saudara laki-laki dan/atau perempuan berhak menerima harta tersebut. Dalam ayat 176 dinyatakan bahwa : 1. Seseorang laki-laki yang tidak memiliki keturunan ( ke atas dan ke bawah) sedangkan ia mempunyai saudara laki-laki dan perempuan, maka saudara-saudaranya itu berhak menerima warisannya. 2. Seseorang perempuan yang tidak mempunyai keturunan (ke atas dan ke bawah) sedangkan dia mempunyai saudara laki-laki

35 maupun perempuan, maka saudara-saudaranya itu berhak mendapatkan warisannya. Dari ketiga ayat diatas terlihat secara jelas bahwa kewarisan itu beralih kebawah (anak-anak), keatas (ayah dan ibu), dan kesamping (saudara-saudara) dari kedua belah pihak garis keluarga, yaitu laki-laki dan perempuan, dan menerima warisandari dua garis keluarga yaitu dari garis laki-laki dan garis perempuan, inilah yang dinamakan kewarisan secara bilateral. c. Asas Individual Hukum Islam mengajarkan asas kewarisan secara individual diartikan bahwa harta warisan dapat dibagi-bagiuntuk dimiliki secara perorangan 48. Masing-masing ahli waris menerima bagiannya secara tersendiri, tanpa terikat dengan ahli waris yang lain. Keseluruhan harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang mungkin dibagi-bagi ; kemudian jumlah tersebut dibagikan kepada setiap ahli waris yang berhak menurut kadar bagian masing-masing. Setiap ahli waris berhak atas bagian yang didapatnya tanpa tergantung dan terikat dengan ahli waris yang lain. Hal ini didasarkan kepada ketentuan kepada ketentuan bahwa setiap insan sebagai pribadi mempunyai kemampuan untuk menerima hak dan menjalankan kewajiban, yang didalam ushul fikih disebut ahliyat-al-wujub. Dalam 48 Ibid 23

36 pengertian ini setiap ahli waris berhak menuntut secara sendiri-sendiri harta warisan itu dan berhak pula untuk tidak berbuat demikian. Sifat individual dalam kewarisan itu dapat dilihat dari aturan-aturan al-qur an yang menyangkut pembagian harta warisan itu sendiri. Ayat 7 surat an-nisa secara garis besar menjelaskan bahwa laki-laki maupun perempuan berhak menerima warisan dari orang tua dan karib kerabatnya, terlepas dari jumlah harta tersebut, dengan bagian yang telah ditentukan. Dari ayat 7 tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa jumlah bagian untuk setiap ahli waris tidak ditentukan oleh banyak atau sedikitnya harta yang ditinggalkan. Sebaliknya, jumlah harta itu tunduk kepada ketentuan yang berlaku. d. Asas Keadilan Berimbang Asas keadilan berimbang dalam hukum kewarisan Islam berarti keseimbangan antara hak yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan dalam melaksanakan kewajiban 49. Perkataan adil banyak disebut dalam Al-Qur an yang kedudukannya sangat penting dalam sistem hukum Islam, termasuk hukum kewarisan dalam sistem ajaran agama Islam, keadilan itu adalah titik tolak, proses, dan tujuan segala tindakan manusia. Asas keadilan keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara hak yang diperoleh seseorang dengan kewajiban yang harus ditunaikannya. Sebagai contoh, laki-laki dan perempuan mendapat hak yang sebanding 49 Ibid, Hal 26.

37 dengan kewajiban yang dipikulnya masing-masing dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. e. Asas Semata Akibat Kematian Asas akibat kematian dalam hukum kewarisan Islam berarti kewarisan ada kalau ada yang meninggal dunia, kewarisan ada sebagai akibat dari meninggalnya seseorang 50. Oleh karena itu, pengalihan harta seseorang kepada orang lain yang disebut kewarisan, terjadi setelah orang yang mempunyai harta itu meninggal dunia. Ini berarti, harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain dan disebut harta warisan, selama orang yang mempunyai harta itu masih hidup. Demikian juga, segala bentuk pengalihan harta seseorang yang masih hidup kepada orang lain, baik secara langsung maupun yang akan dilaksanakan kemudian sesudah meninggalnya, tidak termasuk kedalam kategori kewarisan menurut hukum Islam. 4. Sebab Sebab Mendapatkan Warisan Salah satu hal yang terpenting dalam mempelajari hukum waris Islam adalah menyangkut waris, kalau ditinjau dari segi asal kata, perkataan waris berasal dari kata bahasa arab yaitu waris, secara gramatikal berarti yang tinggal atau yang kekal, maka dengan demikian apabila dihubungkan dengan persoalan hukum waris, perkataan waris tersebut berarti orang-orang yang berhak untuk menerima pusaka dari harta yang ditinggalkan oleh si mati, dan populer dengan diistilahkan ahli waris. 50 Ibid, Hal 30.

38 Apabila dianalisis ketentuan hukum waris Islam, yang menjadi sebab seseorang mendapatkan warisan dari si mayit ( ahli waris ) dapat diklasifikasikan sebagai berikut : 51 a. Karena Hubungan Perkawinan Seseorang dapat memperoleh harta warisan (menjadi ahli waris) disebabkan adanya hubungan perkawinan antara si mayit dengan seseorang tersebut, yang termasuk dalam klasifikasi ini adalah suami atau istri dari si mayit. b. Karena Adanya Hubungan Darah Seseorang dapat memperoleh harta warisan ( menjadi ahli waris ) disebabkan adanya hubungan nasab atau hubungan darah/kekeluargaan dengan si mayit, keturunan ini dapat kita jumpai dalam Al-Qur an surat an-nisa ayat 7 yang artinya : Bagi laki-laki ada bahagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabat-kerabatnya dan bagi perempuan ada pula bahagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabat-kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut pembagian yang telah ditetapkan. Ahli waris yang termasuk dalam klasifikasi ini seperti ibu, bapak, kakek, nenek, anak, cucu, cicit, saudara, anak saudara, dan lain-lain. c. Karena Memerdekakan Si Mayit Seseorang dapat memperoleh harta warisan (menjadi ahli waris) dari si mayit disebabkan seseorang itu memerdekakan si mayit dari perbudakan dalam hal ini bisa seorang laki-laki atau seorang perempuan. 51 Suhrawadi K. Lubis, dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal 55

39 d. Karena Sesama Islam Seseorang muslim yang meninggal dunia, dan ia tidak meninggalkan ahli waris sama sekali ( punah), maka harta warisannya diserahkan kepada Baitul Mal, dan lebih lanjut akan dipergunakan untuk kepentingan kaum muslimin. B. Orang Hiang (Mafqud) Dalam Kewarisan Islam 1. Pengertian Orang Hilang (Mafqud) Sebagai bangsa Indonesia yang di dasarkan atas salah sumber hukum yaitu Hukum Islam meliputi Alquran, As-Sunnah, dan Ra yu 52 yang dihadapkan pada permasalahan yang begitu kompleksnya tentang kewarisan Islam di Indonesia, sering sekali menimbulkan kesulitan dalam memutuskan dan mempertimbangkan sesuatu yang masih belum mempunyai kekuatan hukum tetap, seperti halnya dalam kewarisan yang terjadi apabila seseorang dinggap hilang (Mafqud). Permasalahan kewarisan ini yang membuat para ulama fikih dan hakim Pengadilan Agama harus menggali kebenaran, keadilan serta bukti-bukti yang mendukung adanya peristiwa Mafqud. Oleh karena itu, dibutuhkan kejelasan utama atas status dari seseorang yang hilang sehingga adanya kejelasan dari tanda-tanda masih hidupnya bahtera rumah tangga mereka, karena salah satu hakikat asas hukum Islam adalah untuk selama-lamanya, dimana kedua belah pasangan menunjukan perkawinan dilaksanakan untuk melangsungkan keturunan dan membina cinta serta kasih sayang selama hidup. 52 Prof. H. Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1991, Hal 78.

40 Kata Mafqud dalam bahasa Arab berasal dari kata dasar Faqada yang berarti hilang. Menurut para Faradhiyun, Mafqud itu diartikan dengan orang yang sudah lama pergi meninggalkan tempat tinggalnya, tidak diketahui domisilinya, dan tidak diketahui tentang hidup dan meninggal dunia. 53 Selain itu, ada yang mengartikan mafqud sebagai orang yang tidak ada kabarnya, dan tidak diketahui apakah ia masih hidup atau sudah meninggal dunia.mafqud adalah orang yang pergi meninggalkan kampunghalamannya dalam tenggang waktu yang relatif lama, tidak diketahui lagikeadaannya, baik mengenai tempat tinggalnya maupun mengenai hidup danmeninggal dunia 54 Orang hilang atau dalam fikih disebut mafqud adalah orang yang terputus beritanya sehingga tidak diketahui hidup atau meninggal dunia. 55 Orang ini sebelumnya pernah hidup dan tidak diketahui secara pasti apakah masih hidup atau meninggal dunia. Sedangkan menurut bahasa mafqud merupakan ism maf ul dari lafadz faqadayafqudu-faqdan yang berarti hilang atau menghilangkan sesuatu 56. 2. Syarat-Syarat Dan Keadaan Seseorang Dinyatakan Hilang (Mafqud) Mengkaji hukum waris Islam khususnya berbicara penetapan mafqud tidaklah bisa dilepaskan dari keberadaan empat mahzab yang mengilhami segala sendi kehidupan dan perbuatan hukum umat Islam. Mahzab menjadi kajian utama dalam memaknai ajaran agama Islam. Mahzab ini secara bahasa merupakan jalan atau 53 Facthur Rahman, op,cit, Hal 504. 54 Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqih Mawaris; Hukum Kewarisan Islam, Gaya Media Pratama,Jakarta,2008, Hal143. 55 Amir Syarifuddin, op,cit, Hal 135. 56 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Al- Quran, 1973, Hal 642.

41 tempat berjalan atau landasan serta dasar fiqih Islam. Mahzab berasal dari kata dzahaba artinya jalan atau tempat yang dilalui. Sedangkan menurut istilah ulama fiqih, mahzab adalah mengikuti sesuatu yang dipercayai. Ada empat mahzab besar yang dianut dalam sejarah Islam sebagai landasan Fiqih Islam dengan jumlah dalil-dalil sahih Rasullullah Saw. Yakni Mahzab Hanafi, Maliki, Syafi i, dan Hambali. Keempat Mahzab ini memberikan penegasan tentang penetapan seseorang dinyatakan meninggal dunia setelah menghilang dalam rentang waktu tertentu. a. Mazhab Hanafi berpendapat bahwa orang yang hilang dan tidak dikenal dapat dinyatakan sebagai orang yang sudah mati denganmelihat orang yang sebaya diwilayahnya (tempat dia tinggal). 57 Apabila orang-orang yang sebaya dengannya sudah tidak ada, maka ia dapat diputuskan sebagai orang yang sudah meninggal. Dalam riwayat lain, dari Abu Hanifah, menyatakan bahwa batasnya adalah 90 Tahun. b. Mazhab Maliki berpendapat bahwa batasnya adalah 70 Tahun. Hal ini di dasarkan pada lafazh hadist secara umum yang menyatakan bahwa umur umat Muhammad saw antara 60 Tahun sampai 70 Tahun. Dalam riwayat lain, dari Imam Malik, disebutkan bahwa istri dari orang yang hilang di wilayah Islam hingga tidak dikenal rimbanya dibolehkan mengajukan gugatan kepada hakim guna mencari tahu kemungkinan-kemungkinan dan dengan yang dapat mengenali keberadaannya atau mendapatkankan informasi secara jelas melalui 57 Muhammad Ali ash-shabuni, Op.cit, Hal 177-178.

42 sarana dan prasarana yang ada. Apabila langkah tersebut mengalami jalan buntu, maka sang hakim memberikan batas bagi sitrinya selama 40 tahun untuk menunggu. Bila masa 40 tahun telah usai dan yang hilang belum juga diketemukan maka mulailah ia untuk menghitung iddahnya sebagaimana lazimnya istri yang ditinggal mati oleh suaminya, yaitu 40 hari. c. Mazhab Syafi i dinyatakan bahwa batas waktu orang yang hilang adalah 90 Tahun, yakni dengan melihat umur orang-orang sebaya di wilayahnya. Namun, pendapat yang paling sahih menurut anggapan Imam Syafi i ialah bahwa batas waktu tersebut tidak dapat ditentukan atau dipastikan. Akan tetapi, cukup dengan apa yang dianngap dan dilihat oleh hakim, kemudian divonisnya sebagai orang yang telah mati. Karena menurut Imam Syafi i, seorang hakim berijtihad kemudian memvonis bahwa orang yang hilang sebagai orang yang sudah mati, sesudah berlalunya waktu tertentu. d. Mahzab Hambali berpendapat bahwa bila orang yang hilang itu dalam keadaan yang dimungkinkan kematiannya seperti jika terjadi peperangan, atau menjadi salah satu seorang penumpang kapal yang tenggelam, maka hendaknya dicari kejelasannya selama 4 tahun. Apabila selama 4 tahun belum juga diketemukan atau belum diketahui beritanya, maka hartanya boleh dibagikan kepada ahli warisnya. Demikian juga istrinya, ia dapat menempuh masa iddahnya, dan ia boleh menikah lagi setelah masa iddahnya yang dijalaninya selesai.

43 3. Macam-Macam Orang Hilang (Mafqud ) Macam-macam orang hilang (Mafqud) yaitu : a. Hilang di negeri Islam. Dalam hal ini istri diperbolehkan untuk menuntut cerai dari suaminya. b. Hilang di negeri Musuh (kafir). Mereka berpendapat bahwa hukumnya sama dengan hukum orang tawanan, artinya istrinya tidak boleh dikawin dan harta bendanya tidak boleh dibagi. Kecuali pendapat Asyhab yang mengatakan bahwa hukum suami tersebut sama dengan hukum orang yang hilang di negeri islam. c. Hilang dalam perang Islam, yakni perang antar kaum Muslimin. Malik berpendapat bahwa ia disamakan dengan orang yang mati terbunuh tanpa harus menunggu. Pendapat lain mengatakan harus ditunggu berdasarkan dekat atau jauhnya tempat terjadinya peperangan. Akan tetapi bagi Malik, masa menunggu yang paling lama adalah satu tahun. d. Hilang dalam peperangan dengan kaum kafir. Mengenai hal ini ada empat pendapat. Pertama, hukumnya sama dengan hukum orang yang ditawan. Kedua, hukumnya sama dengan hukum orang yang dibunuh sesudah menunggu masa satu tahun,kecuali jika ia berada disuatu tempat yang sudah jelas, maka disamakan dengan hukum orang yang hilang dalam peperangan dan tindak kekerasan yang terjadi antar kaum Muslimin. Ketiga, hukumnya sama dengan hukum orang yang hilang di negeri kaum Muslimin. Keempat,

44 hukumnya sama dengan hukum orang yang dibunuh berkaitan dengan istrinya, dan sama dengan hukum orang yang hilang di negeri kaum Muslimin berkaitan dengan harta bendanya. Yakni harus ditunggu, baru sesudah itu dibagi. 58 Sementara kalangan Ulama madzhab Hambali membagi mafqud menjadi 2 macam, yaitu: a. Hilang yang menurut lahirnya selamat, seperti pergi berniaga ketempat yang tidak berbahaya, pergi menuntut ilmu dan mengembara. b. Hilang yang menurut lahirnya tidak selamat, seperti orang yang hilang tiba-tiba diantara keluarganya, atau ia keluar untuk shalat tetapi tidak kembali lagi, atau ia pergi karena suatu keperluan yang seharusnya ia kembali, lalu tidak ada kabar beritanya atau ia hilang antara dua pasukan yang bertempur atau bersamaan dengan tenggelamnya sebuah kapal dan sebagainya. 59 4. Akibat Hukum Orang Hilang ( Mafqud ) Dalam Kewarisan Hukum Islam Orang hilang (mafqud) yang terputus beritanya sehingga tidak diketahui hidup atau meninggal dunia, sebelumnya pernah hidup dan tidak diketahui secara pasti apakah masih hidup atau meninggal dunia. Orang hilang (mafqud) menjadi persoalan dalam hukum kewarisan karena kepastian hidup atau meninggal dunia itu merupakan 58 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid,jilid 2, diterjemahkan oleh Imam Ghazali Said dan Ahmad Zaidun, Pustaka Amani, Jakarta, 2007, Hal 514. 59 Mahmoud Syaltout dan M. Ali as sayis, Perbandingan Mahzab, diterjemahkan oleh Ismuha, Bulan Bintang, Jakarta, Hal 248-248.

45 syarat pokok dalam kewarisan. Dalam kewarisan penting disyaratkan kepastian kematian pewaris dan kepastian status hidupnya pewaris saat pewaris meninggal dunia. Menyangkut status hukum orang hilang (mafqud) tentang kewarisan mafqud, perlu diadakan pemisahan dalam kedudukannya : 60 a. Kedudukan mafqud sebagai pewaris Kedudukan mafqud sebagai pewaris, para ulama sepakat bahwa mafqud dianggap masih hidup selama masa hilangnya dan karenanya harta miliknya tidak bisa dibagikan kepada ahli waris 61 sampai ada berita yang jelas bahwa ia benar-benar telah meninggal dunia atau divonis oleh hakim tentang meninggal dunia nya. b. Kedudukan mafqud sebagai ahli waris Kedudukan mafqud sebagai ahli waris, bagian untuk mafqud ditahan dahulu sampai jelas meninggal dunia, alasannyamafqud masih diragukan kematiannya, dapat menimbulkan masalah, bila setelah dibagikan ternyata ia masih hidup, kecuali bila sudah diyakini meninggal dunianya atau sudah ada putusnya pengadilan yang memutus bahwa secara hukum mafqud telah meninggal dunia Selain itu akibat hukum dari orang hilang (mafqud) yang statusnya belum ada kejelasan yaitu : 62 a. Istri orang hilang (mafqud) tidak boleh dikawinkan 60 Mardani, Op,Cit., Hal 96-97. 61 Ibid 62 Suhrawadi K Lubis dan Komis Simanjuntak, Op.Cit., Hal 66.

46 b. Harta orang hilang tidak boleh diwariskan c. Hak-hak orang hilang (mafqud) tidak boleh dibelanjakan atau dialihkan. Ketidakbolehan ketiga hal diatas sampai orang yang hilang diketahui dengan jelas statusnya, yaitu apakah orang hilang masih hidup atau meninggal dunia. Dan apabila masih diragukan maka statusnya harus dianggap sebagai masih hidup sesuai dengan keadaan semula. Menyangkut yang berhak untuk menentukan seseorang yang hilang sudah meninggal dunia hanyalah hakim yaitu dengan adanya permohonan penetapan orang hilang. C. Tanggung Jawab Ahli Waris Terhadap Harta Kekayaan Orang Hilang (Mafqud) 1. Pengertian Tanggung Jawab Tanggung jawab menurut kamus bahasa Indonesia adalah keadaan wajib menaggung segala sesuatunya. Sehingga bertanggung jawab menurut kamus umum bahasa Indonesia adalah berkewajiban menanggung, memikul, menanggung segala sesuatunya, dan menanggung akibatnya. 63 Tanggung jawab secara etimologi adalah kewajiban terhadap segala sesuatunya atau fungsi menerima pembebanan sebagai akibat tindakan sendiri atau pihak lain. Sedangkan pengertian tanggung jawab menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah suatu keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (jika terjadi sesuatu dapat dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya). 64 63 Rissa, https://rissaurus.wordpress.com/2012/04/17/pengertian-tanggung-jawab-danpenerapannya/, diakses pada tanggal 6 Juli 2015. 64 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,

47 Tanggung jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatannya yang di sengaja maupun yang tidak di sengaja. Tanggung jawab juga berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajiban.tanggung jawab itu bersifat kodrati,artinya sudah menjadi bagian hidup manusia,bahwa setiap manusia di bebani dengan tangung jawab. Apabila di kaji tanggung jawab itu adalah kewajiban yang harus di pikul sebagai akibat dari perbuatan pihak yang berbuat. Tanggung jawab adalah ciri manusia yang beradab, manusia merasa bertanggung jawab karena ia menyadari akibat baik atau buruk perbuatannya itu, dan menyadari pula bahwa pihak lain memerlukan pengadilan atau pengorbanan. Menurut kamus Hukum ada 2 (dua) istilah Tanggung jawab yaitu liability (the state of being liable) dan responsibility (the state or fact being responsible). Liability merupakan istilah hukum yang luas, dimana liability menunjuk pada makna yang paling komprehensif, meliputi hampir setiap karakter resiko atau tanggung jawab yang pasti, yang bergantung, atau yang mungkin. Liability didefenisikan untuk menunjuk semua karakter hak dan kewajiban. Liability juga merupakan kondisi tunduk kepada kewajiban secara aktual atau potensial, kondisi bertanggung jawab terhadap hal-hal yang aktual atau mungkin seperti kerugian, ancaman, kejahatan, biaya atau beban, kondisi yang menciptakan tugas untuk melaksanakan Undang- Undang dengan segera atau pada masa yang akan datang. 65 Sedangkan responsibility berarti hal dapat dipertanggungjawabkan atau suatu kewajiban, dan termasuk putusan, 2002, Hal. 1139 65 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, Hal. 335

48 keterampilan, kemampuan, dan kecakapan. Responsibility juga berarti kewajiban bertanggung jawab atas Undang-Undang yang dilaksanakan, dan memperbaiki atau sebaliknya memberi ganti rugi atas kerusakan apapun yang telah ditimbulkannya. 66 2. Teori Tanggung Jawab Hukum Terkait Dengan Tanggung Jawab Terhadap Pengurusan Harta Kekayaan Orang Hilang ( Mafqud ) Sebelum mafqud mendapatkan kejelasan status hukumnya maka para ahli waris tidak dapat langsung begitu saja membagi-bagiharta kekayaan yang ditinggalkan,ahli waris harus bertanggung jawab memelihara dan menyimpan harta yang ditinggalkan oleh seorang mafqud sampai adanya kejelasan status hukumnya. Teori tanggung jawabliability sangat tepat jika dikaitkan dengan tanggung jawab ahli waris terhadap harta kekayaan seorang mafqud, ahli waris harus bertanggung jawab mengurus terhadap harta yang ditinggalkan, harta harta tersebut terlebih dahulu harus dimafqufkan atau dibekukan, tidak dapat dipergunakan atau dibagi-bagi sampai ada penetapan dari hakim. Apabila seorang mafqud memiliki usaha yang harus dijalankan dan dikelola, maka yang harus dilakukan ahli waris yang ditinggalkan adalah : a. Ahli waris harus mengelola atau menjalankan usaha yang dimiliki seorang mafqud. b. Ahli waris bertanggung jawab atas pekerjaan yang dibebankan kepadanya. c. Keuntungan yang didapatkan setelah dikeluarkan untuk keperluan usaha dari seorang mafqudharus disimpan dan tidak dapat dibagi-bagikan kepada ahli waris. 66 Ibid, Hal 335.

49 d. Ahli waris dapat diberi upah atas pekerjaan yang dikerjakan sesuai dengan jabatannya. Setelah adanya kejelasan seorang mafqud dinyatakan telah meninggal dunia maka harta yang ditinggalkan tersebut dapat dipertanggungjawabkan oleh ahli warisnya, yaitu ahli waris harus menunaikan terlebih dahulu sejumlah kewajiban seperti diterangkan oleh Kompilasi Hukum Islam Pasal 175 ayat 1: a. Mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai. b. Menyelesaikan baik hutang-hutang berupa pengobatan, perawatan termasuk kewajiban pewaris maupun menagih piutang. c. Menyelesaikan wasiat pewaris. d. Membagi harta warisan di antara ahli waris yang berhak.dengan demikian, harta yang ditinggalkan pewaris terlebih dahulu dikurangi dengan hutang pewaris serta biaya-biaya lain yang perlu dikeluarkan seperti diatur di atas. Dalam hal ini, mungkin saja terjadi tidak ada lagi harta warisan yang tinggal. Bahkan bisa jadi hanya hutang-hutang pewaris yang ditinggalkan kepada ahli warisnya tersebut. Meski begitu, Pasal 175 ayat 2 Kompilasi Hukum Islam dengan tegas telah menerangkan bahwa Tanggung jawab ahli waris terhadap hutang atau kewajiban pewaris hanya terbatas pada jumlah atau nilai harta peninggalannya. Terkait masalah hutang yang ditinggalkan pewaris, bagi masyarakat Aceh sendiri adalah persoalan yang serius, mengingat di aceh memakai hukum Islam 67. 67 Arskal Salim, Pertanahan, Kewarisan, dan Perwalian di Aceh Pasca Tsunami, http/ml.scribd.com, di akses pada tanggal 2 Oktober 2015.

50 Dalam ajaran Islam hutang piutang adalah muamalah yang dibolehkan, tapi diharuskan untuk hati-hati dalam menerapkannya, karena hutang bisa mengantarkan seseorang ke dalam surga, dan sebaliknya juga menjerumuskan seseorang ke dalam neraka. Di dalam figh Islam,hutang piutang dikenal dengan istilah Al-Qadrh, makna Al-Qadrh secara etimologi ialah Al-Qath u yang berarti memotong, harta yang diserahkan kepada orang yang berhutang disebut Al-Qadrh, karena merupakan potongan dari harta orang yang memberikan hutang 68. Hukum hutang piutang pada asalnya diperbolehkan dalam syariat Islam. Adapun dalil yang menunjukkan di syariatkannya hutang piutang ialah : Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan harta di jalan Allah), maka Allah akan memperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (eezeki) dan kepadanyanya lah kamu dikembalikan ( QS.Al-Baqarah: 245). Adapun hukum berhutang atau meminta pinjaman adalah diperbolehkan, dan bukanlah sesuatu yang dicela atau dibenci, karena Nabi Muhammad Saw pernah berhutang. Meskipun berhutang atau meminta pinjaman itu diperbolehkan dalam syariat Islam, hanya saja Islam menyuruh umatnya agar menghindari hutang semaksimal mungkin jika tidak mampu membeli dengan tunai atau tidak dalam keadaan kesempitan ekonomi. Karena hutang menurut Rasullulah merupakan penyebab kesedihan di malam hari dan kehinaan di siang hari. Hutang juga dapat membahayakan akhlak, sebagaimana sabda Rasullulah Saw : Sesungguhnya 68 Muhammad, Adab Hutang Piutang, http/alquransunnah.com/artikel/katagori/muamalah/htm,di akses pada tanggal 4 Oktober 2015.

51 seseorang apabila berhutang, maka dia sering berkata lantas berdusta, dan berjanji lantas memungkiri (HR.Bukhari). selanjutnya Rasullulah Saw pernah menolak mensholatkan jenazah seseorang yang diketahui masih meninggalkan hutang dan tidak meninggalkan harta untuk membayarnya. Rasulullah bersabda : Akan diampuni orang yang mati syahid semua dosanya, kecuali hutang ( HR.Muslim). Oleh karena itu, pembayaran hutang pewaris biasanya selalu diutamakan karena dapat membuat malu para ahli waris bila tidak dibayarkan.