PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 4 TAHUN 2003 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN DI PROPINSI JAWA TIMUR

dokumen-dokumen yang mirip
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 104 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 104 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 4 TAHUN 2003 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN DI PROPINSI JAWA TIMUR DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.378, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kawasan Hutan. Fungsi. Perubahan.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2002 TENTANG

PEMERINTAH PROPINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 4 TAHUN 2003 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN DI PROPINSI JAWA TIMUR

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P. 34/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PP 62/1998, PENYERAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN DI BIDANG KEHUTANAN KEPADA DAERAH *35837 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP)

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2010 TENTANG PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya. Pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

- 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

Peraturan Perundangan. Pasal 33 ayat 3 UUD Pasal 4 UU 41/1999 Tentang Kehutanan. Pasal 8 Keppres 32/1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung

Penjelasan PP No. 34 Tahun 2002 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2002 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2010 TENTANG PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2010 TENTANG PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

NOMOR 34 TAHUN 2002 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, PEMANFAATAN HUTAN DAN PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.14/Menhut-II/2006 TENTANG PEDOMAN PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 1998 TENTANG PENYERAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN DI BIDANG KEHUTANAN KEPADA DAERAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 1998 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN KOLAKA UTARA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN. Nomor : P.14/Menhut-II/2006 TENTANG PEDOMAN PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 14 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN,

TAMBANG DI KAWASAN HUTAN LINDUNG

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN LINDUNG UNTUK PENAMBANGAN BAWAH TANAH

AA. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KEHUTANAN SUB SUB BIDANG. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Inventarisasi Hutan SUB BIDANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2010 TENTANG PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2002 TENTANG

BIDANG KEHUTANAN. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAHAN KABUPATEN OKU 1. Inventarisasi Hutan

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

TENTANG HUTAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 2

PEMERINTAH PROPINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 4 TAHUN 2003 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 50/Menhut-II/2009 TENTANG PENEGASAN STATUS DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

this file is downloaded from

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 105 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH

GUBERNUR BALI PERATURAN GUBERNUR BALI NOMOR 71 TAHUN 2011 TENTANG RINCIAN TUGAS POKOK DINAS KEHUTANAN PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BIDANG KEHUTANAN. SUB BIDANG SUB SUB BIDANG RINCIAN URUSAN DAERAH 1. Inventarisasi Hutan

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 84 TAHUN 2016 TENTANG

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999, hutan adalah

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN,

SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAHAN DAERAH

PERUNDANG-UNDANGAN LINGKUNGAN HIDUP

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN LINDUNG UNTUK PENAMBANGAN BAWAH TANAH

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG PERIZINAN KEHUTANAN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR,

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 91 TAHUN 2017 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN JANGKA PANJANG TAMAN HUTAN RAYA R.

KEWENANGAN PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

AA. URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DI BIDANG KEHUTANAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2012 TENTANG

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

5. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara

2014, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik I

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 95 TAHUN 2008

C. BIDANG KEHUTANAN SUB SUB BIDANG SUB BIDANG URAIAN

C. BIDANG KEHUTANAN SUB SUB BIDANG SUB BIDANG URAIAN

Undang Undang No. 41 Tahun 1999 Tentang : Kehutanan

BAB II. GAMBARAN PELAYANAN SKPD

GUBERNUR JAWA TENGAH, PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 44 TAHUN 2013 TENTANG PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN DI WILAYAH PROVINSI JAWA TENGAH

tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang

BUPATI TASIKMALAYA PERATURAN BUPATI TASIKMALAYA NOMOR 35 TAHUN 2008 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. UMUM. Sejalan...

BAB I PENDAHULUAN. b. penyelenggaraan urusan pemerintahan dan pelayanan umum bidang kehutanan;

-1- PENJELASAN ATAS QANUN ACEH NOMOR... TAHUN 2015 TENTANG KEHUTANAN ACEH

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEHUTANAN. AREAL. Terganggu. Reklamasi. Revegetasi. PNBP. Penentuan.

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.47/MENHUT-II/2013

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG

Draft 0 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. /Menhut -II/2014 TENTANG PANITIA TATA BATAS KAWASAN HUTAN

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV

this file is downloaded from

2 Menteri Kehutanan tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.56/Menhut-II/2008 tentang Tata Cara Penentuan Luas Areal Terganggu dan

KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN J A K A R T A : PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN

Transkripsi:

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 4 TAHUN 2003 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN DI PROPINSI JAWA TIMUR I. PENJELASAN UMUM Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugrahkan kepada bangsa Indonesia merupakan kekayaan alam yang tidak ternilai harganya wajib disyukuri. Karunia yang diberikan-nya, dipandang sebagai amanah, karenanya hutan harus diolah dan dimanfaatkan dengan akhlak mulia dalam rangka beribadah, sebagai perwujudan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hutan sebagai modal pembangunan memiliki manfaat nyata bagi kehidupan dan penghidupan baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi, secara seimbang dan duntuk itu hutan harus diurus dan dikelola, dilindungi dan dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia, baik generasi sekarang maupun yang akan datang. Dalam kedudukannya sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan, hutan telah memberikan manfaat yang besar bagi umat manusia, oleh karena itu harus dijaga kelestariannya. Hutan mempunyai peranan sebagai penyerasi dan penyeimbang lingkungan sehingga keterkaitannya antara satu kegiatan dengan dengan kegiatan lainnya sangat jelas dukungannya. Untuk menjaga terpenuhinya keseimbangan manfaat lingkungan, manfaat sosial budaya dan manfaat ekonomi, Pemerintah Propinsi menunjuk dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan dalam daerah aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional. Dalam rangka memperoleh manfaat yang optimal dari hutan dan kawasan hutan bagi kesejahteraan masyarakat, maka pada prinsipnya semua hutan dan kawasan hutan dapat dimanfaatkan dengan tetap memperhatikan sifat, karakteristik dan kerentaannya, serta tidak dibenarkan mengubah fungsi pokoknya. Pemanfaatan hutan dan kawasan hutan harus disesuaikan dengan fungsi pokoknya yaitu fungsi konservasi, lindung dan produksi. Untuk menjaga keberlangsungan fungsi pokok hutan dan kondisi hutan, dilakukan juga upaya rehabilitasi serta reklamasi hutan dan lahan, yang bertujuan selain mengembalikan kualitas hutan juga meningkatkan pemberdayaan serta kesejahteraan masyarakat, sehingga peran serta masyarakat merupakan inti keberhasilannya. Kesesuaian ketiga fungsi tersebut sangat dinamis dan yang paling penting adalah agar dalam pemanfaatannya harus tetap sinergi. Untuk menjaga kualitas lingkungan maka di dalam pemanfaatan hutan sejauh mungkin dihindari terjadinya konversi dari hutan alam yang masih produktif menjadi hutan tanaman.

Pemanfaat hutan dilakukan dengan memberikan izin pemanfaatan kawasan, izin pemanfaatan jasa lingkungan, izin pemanfaatan hasil hutan kayu dan izin pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu. Dalam pengelolaan hutan secara lestari, diperlukan sumberdaya manusia berkualitas bercirikan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang didasari dengan iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, melalui penyelenggaraan penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan serta penyuluhan kehutan yang berkisinambungan. Namun melalui ilmu pengetahuan dan teknologi, wajib memperhatikan kearifan tradisional serta kondisi sosial budaya masyarakat. Agar pelaksanaan pengurusan hutan dapat mencapai tujuan dan sasaran yang ingin dicapai, maka Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan pengawasan kehutanan. Masyarakat dan atau perorangan berperan serta dalam pengawasan pelaksanaan pembangunan kehutanan baik langsung maupun tidak langsung sehingga masyarakat dapat mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan dan informasi kehutanan. II. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL Pasal 1 sampai dengan 3: Pasal 4: Sepanjang hasil inventarisasi hutan belum tersedia, maka penunjukan kawasan hutan dapat dilaksanakan dengan mengacu pada Tata Ruang Wilayah yang ada. Penunjukan kawasan hutan adalah penetapan awal dari suatu wilayah tertentu sebagai kawasan hutan produksi dan hutan lindung dengan keputusan Gubernur. Sedangkan penunjukan kawasan hutan selain hutan paoduksi dan hutan lindung, Gubernur mengusulkan kepada Menteri. Penataan batas kawasan hutan adalah kegiatan yang meliputi proyeksi batas, inventarisasi hak-hak pihak ketiga, pemancangan batas sementara, pemancangan dan pengukuran tanda batas definitif. Pemetaan kawasaan hutan adalah kegiatan pemetaan hasil pelaksanaan penataan batas kawasan hutan berupa peta tata batas yng merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan Berita Acara Tata Batas. Pasal 5 : Pasal 6 ayat (1) : ayat (2): Panitia Tata Batas adalah Panitia yang ditetapkan oleh Gubernur dalam rangka penataan batas hutan dimana unsur-unsurnya terdiri dari Instansi terkait baik tingkat Propinsi maupun Tingkat Kabupaten/Kota. ayat (3): Peta penataan batas kawasan yang terdiri dari peta trayek, pada pemancangan batas sementara dan peta batas kawasan definitif dapat dilaksanakan oleh pihak ketiga sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

ayat (4): Berita Acara Tata Batas Kawasan Hutan adalah Berita Acara tentang hasil penataan kawasan hutan yang disusun oleh Panitia Tata Batas dengan dilampiri Berita Acara Pengakuan Hasil pembuatan Batas, berita Acara-berita acara lainnya sebagai hasil penataan batas, notulen rapat-rapat Panitia Tata Batas (PTB), dan surat-surat bukti lainnya yang berkaitan dengan kawasan hutan. ayat (5): Pembuatan peta tata batas kawasan hutan dapat dilaksanakan secara swakelola dan atau dikerjakan oleh pihak ketiga tergantung kapada besarnya dana pembuatan dengan pelaksanaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 7 ayat (1): ayat (2): Untuk menjamin keberadaan pihak ketiga, maka sebelum dilakukan tata batas secara definitif diumumkan kepada masyarakat mengenai pelaksanaan tata batas kawasan hutan, apabila masyarakat dapat menunjukkan tanda bukti hak atas tanah yang berada di dalam kawasan hutan maka hak atas tanah tersebut diakui menjadi Enclave. Pengumuman atas pelaksanaan tata batas kawasan hutan dapat dilaksanakan selama 2 (dua) bulan. Pasal 8: Pasal 9 ayat (1) sampai dengan (3) : ayat (4): Hutan Konservasi terdiri dari : Kawasan Suaka Alam ; a. Kawasan Pelestarian Alam ; b. Taman Buru ; Kawasan Suaka Alam terdiri dari : a. Cagar Alam ; b. Suaka Margasatwa ; Kawasan Pelestarian terdiri dari : a. Taman Nasional ; b. Taman Hutan Raya ; c. Taman Wisata Alam. ayat (5): Pasal 10: Pasal 11 ayat (1):

Tim Terpadu adalah tim yang dibentuk dengan Keputusan Gubernur yang terdiri dari instansi terkait, organisasi kemasyarakatan dan lembaga yang memiliki otoritas ilmiah. ayat (2): Pasal 12 ayat (1): Wilayah pengelolaan hutan adalah kesatu- an pengelolaan yang ditetapkan untuk wilayah Propinsi, Kabupaten/Kota, unit pengelolaan yang dikelola secara lestari. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan konservasi (bio region) meletakkan manfaat ekologi berupa perlindungan sistem ekologi penyangga kehidupan dan pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan atau satwa sebagai bobot utama yang kemudian baru diikuti oleh pemanfaatan ekologi dan manfaat sosial. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan produksi meletakkan manfaat ekonomi sebagai bobot utama yang kemudian diikuti oleh pemanfaatan ekologi dan manfaat sosial. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan lindung meletakkan manfaat perlindungan sistem ekologi penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan sebagai bobot utama kemudian baru diikuti oleh pemanfaatan ekonomi dan sosial Ayat (2): Pasal 13 dan 14: Pasal 15 ayat (1) dan (2): ayat (3): Rencana jangka panjang adalah rencana kegiatan untuk jangka waktu 10 tahun Rencana jangka menengah adalah rencana kegiatan untuk jangka waktu 5 tahun Rencana jangka pendek adalah rencana kegiatan operasional yang akan dilaksanakan pada tahun berjalan. ayat (4): Pasal 16: Pasal 17 ayat (1):

Yang dimaksud zona inti pada Taman Nasional yaitu bagian kawasan taman nasional yang mutlak dilindungi dan tidak diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh aktivitas manusia. Yang dimaksud dengan zona rimba pada Taman Nasional yaitu bagian kawasan taman nasional yang berfungsi sebagai penyangga zona inti. Yang dimaksud dengan blok perlindungan dan blok koleksi tanaman pada Tahura seperti yang dimaksud pada Perda Nomor: 8 Tahun 2002 Pasal 1. ayat (2) : Pasal 18 ayat (1): ayat (2) huruf a: huruf b: Pengukuran dan atau pengujian hasil hutan adalah suatu kegiatan dalam pemeriksaan hasil hutan dalam rangka melindungi hak-hak negara yang berkaitan dengan hasil hutan menyangkut jenis, volume dan kualitas hasil hutan. Hasil pengukuran dan pengujian tersebut merupakan dasar penetapan kewajiban pembayaran provisi sumber daya hutan, dana reboisasi dan kewajiban lainnya yang harus dipenuhi kepada negara. huruf c: huruf d : Perdagangan Karbon adalah usaha yang memanfaatkan jasa lingkungan yang dilaksanakan di dalam kawasan hutan seperti pemanfaatan oksigen (Protokol Kyoto). huruf e: Pasal 19 ayat (1) sampai dengan (3) : ayat (3) huruf a dan b: huruf c: Pengukuran dan atau pengujian hasil hutan adalah suatu kegiatan dalam pemeriksaan hasil hutan dalam rangka melindungi hak-hak negara yang berkaitan dengan hasil hutan menyangkut jenis, volume dan kualitas hasil hutan. Hasil pengukuran dan pengujian tersebut merupakan dasar penetapan kewajiban pembayaran provisi sumber daya hutan, dana reboisasi dan kewajiban lainnya yang harus dipenuhi kepada negara.

Ayat (4) huruf a dan b: Cukup jelas Yang dimaksud dengan petugas berwenang adalah Petugas Pengawas Penguji Kayu Bulat (P3KB) dan Petugas Pengawas Penguji Kayu Olahan (P3KO). huruf d dan e: ayat (4): Pasal 20 ayat (1): ayat (2) : Yang dimaksud hasil hutan non kayu pada hutan lindung adalah mengambil rotan, mengambil madu dan mengambil buah serta aneka hasil hutan lainnya. Yang dimaksud hasil hutan non kayu pada hutan produksi adalah rotan, sagu, nipah, bambu, getah, kulit kayu, kayu putih dan buah/biji hasil pengayaan lainnya. Pasal 21: Pasal 22 ayat (1): ayat (2): Ijin usaha pemanfaatan hasil hutan dapat diberikan apabila telah mempertimbangkan kelestarian hutan dan kesejahteraan masyarakat antara lain meliputi : l. Kepastian dan keamanan sumber daya hutan ; m. Kepastian potensial ; n. Upaya konservasi ; o. Sosial ekonomi masyarakat. ayat (3) dan (4): Pasal 23 dan 24: Pasal 25 ayat (1) : Industri primer hasil hutan kayu adalah pengolahan kayu bulat dan atau kayu bahan baku serpih menjadi barang setengah jadi atau barang jadi. Industri primer hasil hutan bukan kayu adalah pengolahan hasil hutan bukan kayu menjadi barang setengah jadi atau barang jadi. ayat (2) sampai dengan (4):

Cukup jelas Pasal 26 sampai dengan 28: Cukup jelas Pasal 29: Penggunaan kawasan hutan untuk pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan untuk tujuan strategis dan atau kepentingan umum terbatas ; Tujuan strategis meliputi kegitan pemba-ngunan untuk kepentingan religi, pertahanan dan keamanan, pertambang-an, pembangunan ketenagalistrikan dan instalasi teknologi energi terbarukan, pembangunan jaringan telekomunikasi atau pembangunan jaringan instalasi air. Kepentingan umum terbatas meliputi kegiatan pembangunan untuk jalan umum dan jalan (rel) kereta api, saluran air bersih atau air lembah, pengairan, bak penampungan air, fasilitas umum, repeater, telekomunikasi, atasiun pemancar radio atau stasiun relay televisi. Pasal 30 sampai dengan 41: Pasal 42 ayat (1) : Yang dimaksud dengan tidak sah yaitu pemanfaatan dan pemungutan hasil hutan yang melampaui daya dukung mengakibatkan kerusakan lingkungan. ayat (2): Yang dimaksud dengan dilengkapi bersama-sama adalah bahwa pada setiap pengangkutan, penguasaan, atau pemilikan hasil hutan pada waktu dan tempat yang sama, harus disertai dan dilengkapi surat-surat yang sah sebagai bukti. Apabila antara isi dokumen surat keterangan sahnya hasil hutan tersebut tidak sama dengan keadaan fisik baik jenis, jumlah maupun volumenya, maka hasil hutan tersebut dinyatakan tidak mempunyai surat-surat yang sah sebagai barang bukti. Pasal 43 sampai dengan 45 : Pasal 46 ayat (1) : Yang dimaksud dengan masyarakat terutama masyarakat di sekitar kawasan hutan. ayat (2) sampai dengan (5) : Cukup Jelas. Pasal 47: Pasal 48 ayat (1):

Yang dimaksud dengan dampak besar dan penting di dalam kegiatan AMDAL adalah perubahan lingkungan hidup yang sangat mendasar yang diakibatkan oleh suatu usaha dan atau kegiatan. Kerangka Acuan (KA) adalah ruang lingkup studi analis dampak lingkungan yang merupakan hasil pelingkupan. Analisa Dampak Lingkungan (ANDAL) adalah telaahan secara cermat dan mendalam tentang dampak besar dan penting suatu rencana usaha dan/atau kegiatan. Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) adalah upaya penanganan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup yang ditimbulkan akibat dari rencana dan/ atau kegiatan. Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) adalah upaya pemantauan komponen lingkungan hidup yang terkena dampak besar dan penting akibat dari rencana asaha dan/atau kegiatan. Pemrakarsa adalah orang atau badan hukum yang bertanggung jawab atas suatu rencana usaha dan/atau kegiatan yang akan dilaksanakan. ayat (2): Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) adalah uraian secara rinci mengenai upaya pengelolaan lingkungan yang harus dilaksanakan oleh pemrakarsa. Upaya pemantauan lingkungan (UPL) adalah uraian secara rinci mengenai upaya pemantauan lingkungan yang harus dilaksanakan oleh pemrakarsa. Pasal 49: Pasal 50 sampai dengan 64: