TINJAUAN PUSTAKA. Hutan kemasyarakatan atau yang juga dikenal dengan community forestry

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN tentang Kehutanan, hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa

II. TINJAUAN PUSTAKA. Hutan lindung menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN Nomor : 677/Kpts-II/1998 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN,

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN NOMOR 677/KPTS-II/1998 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PP 62/1998, PENYERAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN DI BIDANG KEHUTANAN KEPADA DAERAH *35837 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP)

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 37/Menhut-II/2007 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P. 37/Menhut-II/2007 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 26 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN HUTAN HAK MENTERI KEHUTANAN,

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.26/Menhut-II/2005

TENTANG HUTAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN,

I. PENDAHULUAN. Berdasarkan pasal 5 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,

BAB I PENDAHULUAN. itu merupakan suatu anugrah dari Tuhan Yang Maha Esa. Menurut UU RI No.

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan dasar masyarakat seperti pangan, papan, obat-obatan dan pendapatan

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN NOMOR 865/KPTS-II/1999 TENTANG

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Undang-Undang RI No. 41 tahun 1999, hutan rakyat adalah hutan yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Keputusan Menteri Kehutanan No. 31 Tahun 2001 Tentang : Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan

GUBERNUR JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR,

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi

BAB I PENDAHULUAN. dan pertumbuhan ekonomi nasional tekanan terhadap sumber daya hutan semakin

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya. Pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

BAB I PENDAHULUAN. I.I Latar Belakang. Pertambahan penduduk merupakan faktor utama pendorong bagi upaya

TINJAUAN PUSTAKA. hutan memiliki 3 fungsi utama yang saling terkait satu sama lain, yakni fungsi

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli

BAB I. PENDAHULUAN. dalam lingkup daerah, nasional maupun internasional. Hutan Indonesia

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 47 / KPTS-II / 1998 TENTANG

tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang

SERBA SERBI HUTAN DESA (HD)

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 1998 TENTANG PENYERAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN DI BIDANG KEHUTANAN KEPADA DAERAH

PEMERINTAH KABUPATEN BULUKUMBA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 62 TAHUN 1998 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999, hutan adalah

PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN MAROS. NOMOR : 05 Tahun 2009 TENTANG KEHUTANAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MAROS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup

II. TINJAUAN PUSTAKA. fungsi pokok sebagai hutan konservasi yaitu kawasan pelestarian alam untuk

I. PENDAHULUAN. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1999 TENTANG PENGUSAHAAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN PADA HUTAN PRODUKSI

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. 41 tahun 1999). Menurut Indriyanto (2006), hutan merupakan masyarakat

PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN,

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan adalah suatu lapangan pertumbuhan pohon-pohon yang secara. keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam

BAB I PENDAHULUAN. Kawasan suaka alam sesuai Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 adalah sebuah

5. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

BAB VI PROSPEK DAN TANTANGAN KEHUTANAN SULAWESI UTARA ( KEDEPAN)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PENDAHULUAN. peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pembangunan dan

LAPORAN PENELITIAN. KAJIAN HUTAN KEMASYARAKATAN(HKm) ANALISIS KELEMBAGAAN PADA MASYARAKAT DI KAWASAN HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm)

REPETA DEPARTEMEN KEHUTANAN TAHUN 2004

TINJAUAN PUSTAKA. kehidupan mulai dari tanaman keras, non kayu, satwa, buah-buahan, satuan budi

BAB I PENDAHULUAN. Keberadaan hutan sebagai bagian dari sebuah ekosistem yang memiliki

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

PEMERINTAH KABUPATEN POSO

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

KONSEPSI HUTAN, PENGELOLAAN HUTAN DAN PENERAPANNYA DALAM PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. menyediakan kebutuhan dasar masyarakat seperti pangan, obat-obatan, dan

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

AA. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN BIDANG KEHUTANAN SUB SUB BIDANG. PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN/KOTA 1. Inventarisasi Hutan SUB BIDANG

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1)

2 Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hi

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. klimaks pada daerah dengan curah hujan mm per tahun, rata-rata

Penjelasan PP No. 34 Tahun 2002 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2002 TENTANG

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi

I. PENDAHULUAN. melimpah, baik kekayaan mineral maupun kekayaan alam yang berupa flora

BAB I PENDAHULUAN. dalam Suginingsih (2008), hutan adalah asosiasi tumbuhan dimana pohonpohon

PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOSOBO NOMOR 22 TAHUN 2001 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA HUTAN BERBASIS MASYARAKAT KABUPATEN WONOSOBO

MENYOAL PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT POTENSI DI ERA OTONOMI. Oleh : Eddy Suryanto, HP. Fakultas Hukum UNISRI Surakarta

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN DAN PERKEBUNAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 317/KPTS-II/1999 TAHUN 1999 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumberdaya alam, termasuk di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. apa prilaku yang mesti dilakukan oleh sesorang yang menduduki suatu posisi.

SUB BIDANG SUB SUB BIDANG PEMERINTAHAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan merupakan suatu asosiasi dari tumbuh-tumbuhan yang sebagian

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

PENDAHULUAN. dengan yang lainnya tidak terpisahkan (Awang, 2002). kehutanan Indonesia adalah membagi lahan hutan kedalam pengelolaan yang

BAB I PENDAHULUAN. terhadap kehidupan manusia. Menurut Undang-Undang Kehutanan No.41 tahun

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARAWANG NOMOR : 2 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN KARAWANG TAHUN

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya hutan tropis untuk kepentingan pertanian terkait dengan upayaupaya

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat dilakukan secara tradisional untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

I. PENDAHULUAN. masyarakat dengan memperhatikan tiga prinsip yaitu secara ekologi tidak merusak. waktu, aman dan terjangkau bagi setiap rumah tangga.

BAB I PENDAHULUAN. ikan) yang cukup tinggi, namun jika dibandingkan dengan wilayah

BAB I. PENDAHULUAN A.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.88/Menhut-II/2014 TENTANG HUTAN KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DISAMPAIKAN PADA ACARA PELATIHAN BUDIDAYA KANTONG SEMAR DAN ANGGREK ALAM OLEH KEPALA DINAS KEHUTANAN PROVINSI JAMBI

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan

Transkripsi:

TINJAUAN PUSTAKA Pengertian hutan kemasyarakatan Hutan kemasyarakatan atau yang juga dikenal dengan community forestry memiliki beberapa pengertian, yaitu : 1. Hutan kemasyarakatan menurut keputusan menteri kehutanan RI no 31 tahun 2000 adalah hutan negara dengan sistem pengelolaan hutan yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat setempat tanpa mengganggu fungsi pokoknya 2. Hutan kemasyarakatan menurut definisi Gilmour dan Fisher yang disitasi Soemarwoto (2000) adalah pengendalian dan pengelolaan sumberdaya hutan oleh masyarakat lokal untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga dan sebagai bagian terpadu dari sistem pertanian setempat. Dalam pelaksanaannya program hutan kemasyarakatan menurut Wardoyo (1997) terdapat beberapa istilah yang perlu dipahami, diantaranya : 1. Perhutanan sosial diartikan sebagai pelibatan masyarakat dalam bentuk pemberian ijin penguasaan oleh pemerintah kepada masyarakat sebagai wujud partisipasi masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan dalam pembangunan kehutanan untuk merencanakan, mengusahakan, memelihara, mengendalikan dan mengawasi serta memanfaatkan hasil hutan (baik kayu maupun bukan kayu) dengan tujuan peningkatan kesejahteraan masyarakat dan kelestarian sumberdaya 2. Hak Pengusahaan Hutan Kemasyarakatan (HPHKm) adalah hak yang diberikan oleh Menteri kepada masyaraka setempat melalui koperasinya

untuk melakukan program hutan kemasyarakatan dalam jangka waktu tertentu 3. Peserta hutan kemasyarakatan adalah orang yang kehidupannya dari hutan atau kawasan hutan yang secara sukarela berperan aktif dalam kegiatan hutan kemasyarakatan 4. Masyarakat setempat adalah kesatuan sosial yang terdiri dari warga negara indonesia yang tinggal di dalam dan atau sekitar hutan yang membentuk komunitas yang didasarkan pada kesamaan mata pencaharian yang berkaitan dengan hutan, kesejahteraan, keterikatan tempat tinggal, serta peraturan tata tertib kehidupan bersama. Sejarah hutan kemasyarakatan Kerusakan hutan hujan tropis di Indonesia tidak terlepas dari kebijakan kehutanan Indonesia yang menjadikan hutan sebagai objek paling dragmatis memberikan keuntungan dalam jangka waktu yang pendek. Hutan dijadikan komoditi yang paling mudah untuk mendukung pertumbuhan ekonomi nasional. Pertumbuhan ekonomi dijadikan alasan guna melakukan eksploitasi hutan tanpa memperhitungkan daya dukung, keberlanjutan dan kelestarian hutan (Koesmono, 1999). Pengusahaan hutan secara besar-besaran dengan pola HPH (hak pengusahaan hutan) dimulai sejak dikeluarkannya UU No 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan dan PP No 21 tahun 1970 tentang HPH dan HPHH (Hak Pemungutan Hasil Hutan). Hal ini semakin memperburuk keadaan hutan Indonesia (Koesmono, 1999).

Persoalan penting lainnya yang dihadapi oleh kehutanan Indonesia adalah konflik dengan masyarakat setempat pada semua fungsi hutan. Konflik ini terjadi karena adanya penggusuran secara besar-besaran terhadap hak kepemilikan atau karena adanya masyarakat setempat yang tidak memiliki akses terhadap lahan pertanian (Raja, 2003). Seiring dengan berhembusnya reformasi, terjadi perubahan/pergeseran orientasi pengelolaan hutan yang lebih meningkatkan peran serta masyarakat, khususnya masyarakat sekitar hutan. Dalam kaitannya dengan hal ini, Dephut mulai memberikan perhatian yang semakin besar kepada program-program hutan kemasyarakatan (Koesmono, 1999). Ide pembangunan kehutanan dengan pola hutan kemasyarakatan sebenarnya mulai dirintis sejak tahun 1995, dengan ditetapkannya SK Menhut No. 622/Kpts-II/1995 tentang Pedoman Hutan Kemasyarakatan. Namun pelaksanaannya sendiri kurang berjalan dengan baik karena masih kurang tersosialisasinya program tersebut di masyarakat dan belum adanya petunjuk teknis dan pelaksanaannya. Untuk mengatasinya, ditetapkan SK Menhutbun No. 41 Tahun 1999, dan ditetapkan pada surat keputusan yang baru yang sesuai dengan undang-undang tersebut yaitu Sk Menhut No.31 Kpts-II/2001 tentang penyelengaraan hutan kemasyarakatan (Priyo, 1999). Di Sumatera Utara, program hutan kemasyarakatan mulai dilaksanakan pada tahun anggaran 1996/1997 di Desa Siujan-Ujan dan Tolong Buho (Wardoyo, 1997). Berdasarkan hal tersebut, Desa Gudang Garam kemudian mengajukan usul ke BRLKT pada tahun 1998 untuk menjadikan desa ini termasuk ke dalam program hutan kemasyarakatan. Berdasarkan usulan tersebut, kemudian Balai

Reboisasi Lahan Dan Konservasi Tanah (BRLKT) melakukan peninjauan, pemplotan dan pengukuran lahan. Setelah dianggap layak, maka kemudian dilaksanakan program hutan kemasyarakatan Desa Gudang Garam (Dephutbun, 1999). Hal tersebut sesuai dengan pendapat Koesmono (1999) bahwa yang mendorong perlu dan tidaknya membangun hutan kemasyarakatan pada kawasan hutan tertentu adalah adanya hutan yang memenuhi syarat-syarat untuk dibentuk menjadi unit hutan kemasyarakatan dan adanya kelompok masyarakat yang berminat. Maksud dan Tujuan Hutan Kemasyarakatan Maksud dari pelaksanaan hutan kemasyarakatan adalah pemberdayaan masyarakat dan pemberian kepercayaan kepada masyarakat setempat yang tinggal di dalam sekitar kawasan hutan untuk mengusahakan hutan negara sesuai dengan kebutuhan, kemampuan dan pengetahuan sehingga kelestarian sumberdaya hutan dapat dipertahankan (Dephutbun, 1999). Pembangunan hutan kemasyarakatan bertujuan untuk : 1. Meningkatkan kesejahteraan, kualitas hidup, kemampuan dan kapasitas ekonomi dan sosial masyarakat 2. Meningkatkan ikatan komunitas masyarakat pengusaha hutan 3. Mengembangkan keanekaragaman hasil hutan yang menjamin kelestarian fungsi dan manfaat hutan 4. Meningkatkan mutu, produktivitas dan keamanan hutan 5. Menciptakan lapangan kerja, meningkatkan kesempatan berusaha dan meningkatkan pendapatan negara dan masyarakat

6. Mendorong serta mempercepat pembangunan wilayah (Dephutbun, 1999). Pelaksanaan hutan kemasyarakatan Model hutan kemasyarakatan sebenarnya hanya sesuai diterapkan dalam pengelolaan dan sekaligus pelestarian areal-areal hutan yang berukuran kecil, dan kebanyakan berada pada lokasi-lokasi terpencil, baik di dalam maupun di luar kawasan yang ditetapkan pemerintah sebagai hutan negara. Luas kawasan hutan yang cocok untuk model hutan kemasyarakatan adalah antara 40-10.000 Ha (Dephutbun, 1999). Kawasan hutan yang dijadikan areal hutan kemasyarakatan adalah kawasan hutan produksi, hutan lindung, dan kawasan pelestarian alam pada zonasi pemanfaatan taman hutan raya dan wisata (Dephutbun, 1999). Pelaksanaan hutan kemasyarakatan memiliki prinsip-prinsip dasar sebagai berikut : 1. Masyarakat sebagai pelaku utama Sejalan dengan pembangunan kehutanan yang ingin memberdayakan masyarakat, maka dalam kawasan hutan kemasyarakatan, yang menjadi pelaku utama dalam pelaksanaannya adalah masyarakat yang berada di dalam atau di sekitar kawasan hutan yang kawasannya ditetapkan sebagai areal hutan kemasyarakatan (Wardoyo, 1997). Pelaksanaan hutan kemasyarakatan diprioritaskan pada masyarakat setempat yang kehidupannya tergantung pada sumberdaya hutan. Hutan dan masyarakat sekitarnya merupakan satu kesatuan ekosistem yang satu sama lain saling ketergantungan. Hutan bagi masyarakat tradisional dianggap sebagai

sumber penghasil makanan/kebutuhan, seperti buah-buahan, berburu binatang, bahan bakar, dan lain-lain. Sebaliknya masyarakat modern lebih memandang hutan sebagai sumber bahan mentah bagi proses manufaktur untuk mendapatkan nilai tambah yang lebih lanjut. Atas dasar ini, semua diaktualisasikan dalam bentuk pemberian hak pengusahaan kepada masyarakat lokal untuk mengusahakannya (Wardoyo, 1997). 2. Memiliki kepastian hak dan kewajiban semua pihak Hak dan kewajiban semua pihak yang terlibat dalam pelasksanaan hutan kemasyarakatan, baik itu masyarakat dan pemerintah diatur sangat jelas. Masyarakat sebagai peserta hutan kemasyarakatan berhak atas hasil hutan non kayu dan melakukan pemeliharaan hutan kemasyarakatan sesuai dengan lokalisasi yang diterapkan. Di dalam pelaksanaannya setiap peserta kegiatan hutan kemasyarakatan mendapat ijin mengelola areal hutan kemasyarakatan seluas maksimum 4 ha untuk peserta perorangan, untuk peserta kelompok seluas 4 ha jumlah anggota kelompok yang ikut serta sebagai peserta, dan untuk koperasi maksimum seluas 4 ha dikalikan jumlah anggota koperasi yang turut serta sebagai peserta hutan kemasyarakatan (Wardoyo,1997). Selain hak tersebut peserta hutan kemasyarakatan juga memiliki kewajiban yakni terlibat langsung dalam proses penyusunan rencana dan pelaksanaan program hutan kemasyarakatan, serta hal-hal yang terkait di dalamnya. Selain kewajiban tersebut di atas, masyarakat sebagai peserta hutan kemasyarakatan juga memiliki kewajiban untuk tetap menjaga kelestarian fungsi dan manfaat hutan. Sedangkan pemerintah sebagai fasilitator dan pemantau program menjalankan

fungsi kontrolnya mengawasi pelaksanaan hutan kemasyarakatan secara seksama agar diperoleh hasil yang maksimal (Priyo, 1999). 3. Keragaman komoditas (kayu dan non kayu), keadilan dan kelestarian, sederhana dan dinamis Komoditas tanaman yang digunakan dalam hutan kemasyarakatan harus dipilih sesuai dengan karakteristik daerah dan lahan yang akan ditanami. Sebelum melakukan pemilihan komoditas harus dilakukan inventarisasi dan identifikasi tanaman yang ada di daerah tersebut. Pemilihan komoditi termasuk hal yang sangat penting. Secara teknis pemilihan jenis komoditi ini mempertimbangkan faktor fisik teknis/ekologi, faktor sosial ekonomi dan sosial budaya (Wardoyo, 1997). Faktor fisik teknis/ekologi yang harus diperhatikan antara lain adalah tinggi tempat, kemiringan (topografi), kesuburan tanah, iklim (curah hujan, suhu), kondisi vegetasi awal. Faktor-faktor yang harus diperhatikan dari segi sosial ekonomi adalah komoditas harus mempunyai nilai ekonomi yang tinggi, disukai masyarakat setempat dan mempunyai prospek pasar yang baik dan mempunyai fungsi Multiple Purpose Tree Species (MPTS). Selain faktor tersebut juga harus diperhatikan kondisi sosial budaya masyarakat setempat, antara lain adat-istiadat, keberadaan pemimpin masyarakat baik formal maupun tidak formal, serta kelembagaan adat (Wardoyo, 1997). Tahap-tahap pelaksanaan hutan kemasyarakatan : 1. Pencadangan areal hutan kemasyarakatan. Dapat dicadangkan pada kawasan hutan produksi, kawasan lindung, dan pada pelestarian alam pada zona pemanfaatan

2. Penyiapan kondisi masyarakat. Merupakan kegiatan awal yang penting dilaksanakan sebelum pemberian Hak Pengusahaan Hutan Kemasyarakatan 3. Terbentuknya kelembagaan masyarakat berdasarkan aspirasi dan inisiatif masyarakat itu sendiri dalam mengelola hutan secara lestari. Penyiapan kondisi masyarakat dilakukan melalui penyebarluasan informasi tentang kebijakan dan peraturan hutan kemasyarakatan 4. Perencanaan. Rencana pengembangan hutan kemasyarakatan diawali dengan diperolehnya hak pengusahaan hutan kemasyarakatan, koperasi masyarakat lokal wajib menyusun Rencana Induk Pengusahaan Hutan Kemasyarakatan(RPHKm), Rencana Lima Tahunan Hutan Kemasyarakatan (RKLHKm) 5. Pelaksanaan. Hutan kemasyarakatan dikelola oleh koperasi masyarakat lokal sebagai pemegang hak pengusahaan hutan kemasyarakatan 6. Pemantauan dan evaluasi di lapangan. Sebagai pemegang hak pengusahaan hutan kemasyarakatan, koperasi memantau sendiri kegiatan pengelolaan hutan kemasyarakatan (Dephutbun, 1999). Berdasarkan bentuk kegiatan, hutan kemasyarakatan menurut Wardoyo (1997) dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu : 1. Aneka Usaha Kehutanan Merupakan suatu bentuk kegiatan hutan kemasyarakatan, dengan memanfaatkan ruang tumbuh atau bagian dari tumbuh-tumbuhan hutan. Kegiatankegiatan yang termasuk dalam aneka usaha kehutanan antara lain budidaya rotan,

pemungutan getah-getahan, minyak-minyakan, buah-buahan/biji-bijian, budidaya lebah madu, jamur dan obat-obatan Hubungan antara pemanfaatan hutan, ruang tumbuh dan bagian-bagian tanaman dengan alternatif kegiatan yang dapat dikembangkan. Alternatif kegiatan yang dapat dikembangkan sangat tergantung pada kondisi awal tegakan pokok yang telah ada 2. Agroforestry Agroforestry merupakan suatu bentuk hutan kemasyarakatan yang memanfaatkan lahan secara optimal dalam suatu hamparan, yang menggunakan produksi berdaur panjang dan berdaur pendek, baik secara bersamaan maupun berurutan Agroforestry merupakan komoditas tanaman yang kompleks, yang didominasi oleh pepohonan dan menyediakan hampir semua hasil dan fasilitas hutan alam. Agroforestry dapat dilaksanakan dalam beberapa model, antara lain tumpang sari (cara bercocok tanam antara tanaman pokok dengan tanaman semusim), silvopasture (campuran kegiatan kehutanan, penanaman rumput dan peternakan), silvofishery (campuran kegiatan pertanian dengan usaha perikanan di daerah pantai), dan farmforestry (campuran kegiatan pertanian dengan kehutanan) Perkembangan Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan Program hutan kemasyarakatan mulai dilaksanakan pada tahun 1998 di Desa Gudang Garam. Sebelum program hutan kemasyarakatan dilaksanakan di areal tersebut, sudah ada yang mengelola lahan tersebut dengan sistem ladang

berpindah. Masyarakat yang mengelola pada umumnya adalah masyarakat yang berasal dari desa tetangga (Dephutbun, 1999). Pada tahun 2004, penelitian tentang hutan kemasyarakatan pernah dilaksanakan di Desa Gudang Garam yang bertujuan untuk melihat seberapa besar kontribusi yang telah diberikan oleh program hutan kemasyarakatan selama jangka waktu pengelolaannya. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa kontribusi pendapatan yang diberikan oleh hutan kemasyarakatan terhadap pendapatan total masyarakat peserta hutan kemasyarakatan adalah hanya sebesar 15,17%, sedangkan dari luar hutan kemasyarakatan 84,82% (Saurina, 2004).