BAB I PENDAHULUAN. perencanaan yang bersifat sentralistik dengan cara mendelegasikan sejumlah

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Kota Padang merupakan salah-satu daerah di Sumatera Barat dengan roda ekonomi dan

I. PENDAHULUAN. berjalan ke arah yang lebih baik dengan mengandalkan segala potensi sumber daya yang

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

I. PENDAHULUAN. dan ketertiban umum serta penegakan peraturan daerah. Pedagang Kaki Lima atau yang biasa disebut PKL adalah istilah untuk

IMPLIKASI METODE KERJA SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DALAM PENERTIBAN PEDAGANG KAKI LIMA DI PASAR BAMBU KUNING BANDAR LAMPUNG

BAB I PENDAHULUAN. ini karena aktivitas ekonomi semacam ini menjadi tempat di mana masyarakat

PENEGAKAN PERATURAN DAERAH, PEMBINAAN TRANTIBUM DAN LINMAS TRANTIBUM DAN LINMAS. Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Lamongan

V. KESIMPULAN DAN SARAN. Setelah mencermati dan mengkaji tentang peranan Badan Satuan Polisi Pamong

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG

WALIKOTA TANGERANG SELATAN

PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR

PEMERINTAH KOTA PROBOLINGGO

Pengawasan Terhadap Pedagang Kaki Lima Dalam Menertibkan Objek Wisata Pantai Purus Kota Padang

LEMBARAN DAERAH KOTA SUKABUMI

BAB I PENDAHULUAN. otoriter juga dipicu oleh masalah ekonomi dan adanya perubahan sosial dalam

LEMBARAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA SATUAN POLISI PAMONG PRAJA PROVINSI SUMATERA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. Kriminalitas merupakan salah satu masalah publik yang sulit diatasi. Salah satu

Awal dibentuknya adalah untuk mengembalikan wibawa pemerintah daerah yang carut marut karena kondisi Pemerintahan Republik Indonesia yang masih belia.

PERATURAN DAERAH KOTA PALANGKA RAYA NOMOR 13 TAHUN 2009 TENTANG PENGATURAN, PENERTIBAN DAN PENGAWASAN PEDAGANG KAKI LIMA

RANCANGAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA TAHUN 2011 NOMOR 11 PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG

BUPATI BATANG PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BATANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG PENATAAN DAN PEMBERDAYAAN PEDAGANG KAKI LIMA

-1- BUPATI MANDAILING NATAL PROVINSI SUMATERA UTARA PERATURAN BUPATI MANDAILING NATAL NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. ketentuan tertentu pasti mempunyai tujuan yang sudah dirancang sebelumnya.

LEMBARAN DAERAH KOTA BOGOR PERATURAN DAERAH KOTA BOGOR NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENCEGAHAN PERMAINAN JUDI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI SIDOARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIDOARJO NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. 1945) memberikan hak kepada setiap orang untuk mendapatkan lingkungan. sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

WALIKOTA YOGYAKARTA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH KOTA YOGYAKARTA NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG PENYELENGGARAAN PONDOKAN

BAB III IMPLEMENTASI TENTANG LARANGAN MENGALIHFUNGSIKAN TROTOAR DAN SUNGAI YANG AKTIF UNTUK TEMPAT BERDAGANG PADA PERATURAN DAERAH NOMOR 5 TAHUN 2011

BUPATI POLEWALI MANDAR PROVINSI SULAWESI BARAT

BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI NOMOR 17 TAHUN 2011 TENTANG SATUAN POLISI PAMONG PRAJA KABUPATEN BANYUWANGI

WALIKOTA BUKITTINGGI

I. PENDAHULUAN. Kebijakan pemerintah dalam melaksanakan penertiban Pedagang Kaki Lima

BAB I PENDAHULUAN. perencanaan yang bersifat sentralistik dengan cara mendelegasikan sejumlah

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEDOMAN SATUAN POLISI PAMONG PRAJA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

*40931 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 32 TAHUN 2004 (32/2004) TENTANG PEDOMAN SATUAN POLISI PAMONG PRAJA

PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG SELATAN NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENATAAN DAN PEMBERDAYAAN PEDAGANG KAKI LIMA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUMAS NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG PENATAAN DAN PEMBERDAYAAN PEDAGANG KAKI LIMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI BANTEN NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN KETENTERAMAN, KETERTIBAN UMUM DAN PERLINDUNGAN MASYARAKAT

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 5 TAHUN 2014 SERI E.3 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG

WALIKOTA BENGKULU PERATURAN DAERAH KOTA BENGKULU NOMOR 04 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PEMONDOKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENATAAN DAN PEMBERDAYAAN PEDAGANG KAKI LIMA

LEMBARAN DAERAH KOTA SAWAHLUNTO TAHUN 2008 PERATURAN DAERAH KOTA SAWAHLUNTO NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA

PEMERINTAHAN DAERAH. Harsanto Nursadi

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEDOMAN SATUAN POLISI PAMONG PRAJA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA (PKL) UNTUK MEWUJUDKAN KENYAMANAN, KEINDAHAN, DAN KETERTIBAN DI WILAYAH KELURAHAN LAMPER TENGAH KECAMATAN SEMARANG SELATAN

MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN WALIKOTA TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS, FUNGSI, DAN TATA KERJA KELURAHAN.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 2014 TENTANG HAK GUNA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN TENTANG SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LAMPIRAN DAERAH KABUPATEN KARAWANG

LEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

WALIKOTA PADANG PERATURAN DAERAH KOTA PADANG NOMOR 23 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN RUMAH KOS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PADANG,

BUPATI BENGKULU UTARA PROVINSI BENGKULU

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAWAHLUNTO/SIJUNJUNG NOMOR 19 TAHUN 2006 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN MAKSIAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 2014 TENTANG HAK GUNA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PEMERINTAH KABUPATEN MURUNG RAYA

PEMERINTAH KOTA PROBOLINGGO PERATURAN DAERAH KOTA PROBOLINGGO NOMOR : 16 TAHUN 2002 TENTANG PEDAGANG KAKI LIMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

B A L A N G A N B U P A T I KABUPATEN BALANGAN YANG MAHA ESA BUPATI. budayaa. perlu. mampu. terhadap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara pada hakekatnya adalah suatu organisasi kekuasaan yang

PEMERINTAH KABUPATEN SUKOHARJO

WALIKOTA TANGERANG SELATAN

PROVINSI PAPUA BUPATI MERAUKE PERATURAN DAERAH KABUPATEN MERAUKE NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

PEMERINTAH KOTA MADIUN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 06 TAHUN 2008 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA SATUAN POLISI PAMONG PRAJA

PEDOMAN WAWANCARA PROFESIONALISME APARAT SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DALAM PENERTIBAN PEDAGANG KAKI LIMA

PEMERINTAH KOTA SURABAYA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG

PERATURAN DAERAH KOTA PALOPO Nomor 7 Tahun 2008

PEMERINTAH KABUPATEN SINTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAJALENGKA NOMOR : 8 TAHUN 2008 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAJALENGKA NOMOR 8 TAHUN 2008 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT

PEMERINTAH KABUPATEN JEMBER

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG PENGATURAN DAN PEMBERDAYAAN PEDAGANG KAKI LIMA

BAB I PENDAHULUAN. Penerapan sistem desentralisasi dan dekonsentrasi pada Negara Kesatuan

BUPATI JEMBRANA PROVINSI BALI PERATURAN BUPATI JEMBRANA NOMOR 27 TAHUN 2015 TENTANG

4. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on The Elimination of all Forms of

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR : 7 TAHUN 2006 SERI : C NOMOR : 2 PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 7 TAHUN 2006 T E N T A N G

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT

PEMERINTAH KABUPATEN MERANG

Manajemen Relokasi Pedagang Kaki Lima Taman Menteri Supeno di Kota Semarang

PEMERINTAH KABUPATEN KLATEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KLATEN NOMOR 8 TAHUN 2008 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA PEMERINTAH KABUPATEN KLATEN

PEMERINTAH KOTA PANGKALPINANG PERATURAN DAERAH KOTA PANGKALPINANG NOMOR 06 TAHUN 2006 T E N T A N G PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN MINUMAN BERALKOHOL

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2013 NOMOR 21 SERI E

WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 15 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN RUMAH KOS

PEMERINTAH KOTA TANJUNGPINANG

PERATURAN DAERAH KOTA BAUBAU NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA SATUAN POLISI PAMONG PRAJA KOTA BAUBAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Pranata Pembangunan Pertemuan 14 Penertiban Kaki lima

WALIKOTA BANJAR PERATURAN WALIKOTA BANJAR NOMOR 25 TAHUN 2013 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. dilakukan Satpol PP (Satuan Polisi Pamong Praja) dalam rangka penegakan

Walikota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat

Perspektif Sejarah. (Jakarta : 2001), Hal : 23 2 Peraturan Daerah No 11 tahun 2005

PERATURAN DAERAH KOTA BANJAR NOMOR 19 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN ORGANISASI SATUAN POLISI PAMONG PRAJA KOTA BANJAR

PEMERINTAH KOTA SALATIGA DAFTAR INFORMASI PUBLIK RINGKASAN PROFIL ORGANISASI POLISI PAMONG PRAJA KOTA SALATIGA TAHUN 2017

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN TENTANG SATUAN POLISI PAMONG PRAJA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KOTA GORONTALO

WALIKOTA KEDIRI PERATURAN DAERAH KOTA KEDIRI NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA SATUAN POLISI PAMONG PRAJA KOTA KEDIRI

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Desentralisasi merupakan cara yang ditempuh untuk mengatasi keterbatasan perencanaan yang bersifat sentralistik dengan cara mendelegasikan sejumlah kewenangan, terutama dalam perencanaan pembangunan kepada pejabat di daerah yang bekerja di lapangan yang lebih mengetahui permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat di daerah. Maka dengan desentralisasi perencanaan dapat dilakukan sesuai dengan kepentingan masyarakat di daerah 1, seperti yang disebutkan dalam UU No 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah, bahwa penyelenggaraan pemerintah daerah bertujuan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, dan kekhasan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). 2 Pemerintah daerah memiliki kewenangan yang besar untuk merencanakan, merumuskan, melaksanakan, serta mengevaluasi kebijakan dan program pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat atau daerahnya. Dalam menjalankan tugas dan perannya pemerintah daerah diharapkan dapat mengalokasi sumber-sumber daya dan memahami masalah-masalah publik secara efesien. 3 1 Syaukani, dkk. Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan.Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2002. Hlm 32-33. 2 Undang-Undang No 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah. 3 Leo Agustino. Dasar-dasar Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta. 2006. Hlm 1.

Kebijakan merupakan sebuah usaha pemerintah dalam hal menyusun secara rasional tindakan yang akan dilakukan atau tidak akan dilakukan dalam mengatur masalah tertentu. 4 Setiap individu individu dalam kehidupan sehari-hari selalu berinteraksi dengan satu sama lain, namun terkadang interaksi ini selalu memunculkan masalah, sehingga hal tersebut akan melahirkan suatu kebijakan yang akan mengatur masyarakat. Menurut Harrold Laswell dan Abraham Kaplan, bahwa kebijakan publik hendaknya berisi tujuan, nilai-nilai, dan praktik-praktik sosial yang ada dalam masyarakat. 5 Sehingga bila suatu kebijakan publik tersebut bertentangan dengan nilai-nilai yang dipegang teguh oleh masyarakat, maka kebijakan tersebut akan mengalami kendala-kendala dalam proses pelaksanaannya atau yang disebut dengan implementasi. Implementasi merupakan suatu proses pelaksanaan dari sebuah kebijakan. Implementasi kebijakan merupakan suatu proses yang dinamis, dimana pelaksana kebijakan melakukan suatu aktivitas atau kegiatan, sehingga pada akhirnya akan mendapatkan suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran kebijakan itu sendiri. Keberhasilan suatu implementasi kebijakan dapat diukur atau di lihat dari proses dan pencapaian tujuan hasil akhir. Hal ini tak jauh beda dengan apa yang diutarakan oleh Merilee S. Grindle 6 4 Wayne parsons. Publik Policy: Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2006. Hlm 15. 5 Subarsono. Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2006. Hlm 3. 6 Leo Agustino. Op.Cit. Hlm 138-139.

bahwa keberhasilan implementasi dapat di lihat dari prosesnya, dengan mempertanyakan apakah pelaksanaan program sesuai dengan yang telah ditentukan yaitu melihat pada action program dari individual projects dan yang kedua apakah tujuan program tersebut tercapai. Berdasarkan UU No 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah yang berhak mengatur daerah dan masyarakatnya sendiri. Maka berdasarkan hal tersebut untuk menciptakan ketertiban dan ketentraman di dalam masyarakat, pemerintah Kota Padang mengeluarkan Peraturan Daerah No 11 Tahun 2005 Tentang Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat (selengkapnya bisa di lihat pada lampiran 5). Di dalam peraturan tersebut mencakup berbagai upaya untuk mencegah maraknya perbuatan-perbuatan yang melanggar aturan seperti: 1. Pelanggaran lalu lintas 2. Penyalahgunaan fasilitas umum 3. Penyalahgunaan izin usaha 4. Untuk mengantisipasi adanya perbuatan yang bertentangan dengan hukum, adat dan kebiasaan oleh orang perorangan atau kelompok yang dapat menimbulkan keresahan ditengah-tengah masyarakat. 5. Untuk menjaga tatanan kehidupan sosial ekonomi, norma-norma, agama, adat dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang akan berpengaruh terhadap mental/moral masyarakat. Setelah dikeluarkannya kebijakan atau peraturan tersebut oleh pemerintah Kota Padang, ternyata masih banyak masyarakat yang melanggar dan tidak mematuhi aturan-aturan mengenai ketertiban umum dan ketentraman masyarakat tersebut. Maka berikut ini merupakan beberapa pelanggaran terhadap Peraturan Daerah Kota Padang No 11 Tahun 2005 Tentang Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat pada tahun 2009 sampai dengan tahun 2014.

Tabel 1.1. Pelanggaran Terhadap Perda No 11 Tahun 2005 Pada bulan Januari-Desember tahun 2009-2014 Tahun Kegiatan Pekat Pornografi PKL/Bangli Pelajar Pengamen Gepeng PNS 2009 236-508 90 108 37-2010 155-407 168 67 60-2011 176 107 195 - - 445-2012 1025 51 763 47 11 9 1 2013 521 73 744 107 41 23-2014 628 11 527 641 108 98 2 Jumlah 2741 242 3144 1053 335 672 3 Sumber data Sekunder Satpol PP Kota Padang Berdasarkan tabel/data di atas pelanggaran lebih banyak terjadi pada penyakit masyarakat (pasangan illegal/selingkuh, pacaran tidak sewajarnya di tempat umum, penjual petasan) dan pelanggaran oleh pedagang kaki lima (PKL)/bangunan liar, baik pada pedagang kaki lima yang berjualan di pasar tradisional atau dipinggir jalan yang menggunakan fasilitas umum, serta pedagang yang berjualan di sekitar tempat wisata seperti dipinggir pantai Padang atau di sekitar danau Cimpago (selengkapnya bisa di lihat pada lampiran 8). 7 Pedagang kaki lima yang dimaksud disini adalah orang atau perorangan yang dalam usahanya menggunakan sarana dan prasarana atau perlengkapan yang mudah dibongkar pasang baik yang menetap maupun tidak, yang menggunakan sebahagian atau seluruhnya tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha/berjualan. 8 7 Hasil wawancara dengan Amzarus Ketua Koordinator Penyidik Satpol PP Kota Padang, di kantor Satpol PP Jalan Tan Malaka, tanggal 08 April 2015, pukul 15.00 WIB. 8 Peraturan Daerah Kota Padang No 11 Tahun 2005 Tentang Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat Hlm 4.

Berdasarkan Peraturan Daerah No 11 Tahun 2005 Tentang Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat pada Bab V Pasal 8 mengenai tertib pedagang kaki lima menyatakan bahwa 9 : 1. Pedagang kaki lima dilarang membuka usaha dan berjualan di luar tempat khusus yang diperuntukkan untuk itu. 2. Pedagang kaki lima dilarang meninggalkan gerobak, meja, kursi, dan peralatan berdagang lainnya di tempat berjualan setelah selesai berdagang. 3. Tempat khusus sebagaimana dimaksud ayat (1) Pasal ini ditetapkan dengan Keputusan Walikota. Berdasarkan ketentuan tempat khusus sebagaimana dimaksud pada ayat 3 tersebut, pemerintah Kota Padang mengeluarkan Surat Keputusan Walikota Padang Nomor 161 Tahun 2007 mengenai penetapan lokasi dan pengaturan pedagang kaki lima (PKL) di objek wisata pantai Padang. Pedagang yang diatur dalam SK Walikota No 161 tahun 2007 tersebut adalah pedagang yang menggelar dagangannya mulai dari sebelah barat jalan Muaro sampai Pujasera/Simpang jalan Nipah hingga kawasan danau Cimpago (kawasan pantai Purus). 10 Semua pedagang tersebut harus mematuhi pengaturan fasilitas berdagang, serta mematuhi segala ketentuan dan persyaratan khusus sebelum pedagang mendapat izin berdagang di lokasi objek wisata pantai Purus Padang. Adapun ketentuan dan persyaratan khusus tersebut yaitu 11 : 1. Seluruh pedagang, mendaftarkan usahanya dengan mengajukan permohonan tertulis kepada pemerintah Kota Padang melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. 9 Peraturan Daerah Kota Padang No 11 Tahun 2005 Bab V Pasal 2 Bagian Tertib Pedagang Kaki Lima. 10 Hasil wawancara dengan Irwan Kepala Bagian Penyidik dan Penyuluhan Satpol PP Kota Padang, di kantor Satpol PP Kota Padang Jalan Tan Malaka, tanggal 07 April 2015 pukul 10.30 WIB. 11 Dian Pertiwi. 2014. Pengawasan Terhadap Pedagang Kaki Lima Dalam Menertibkan Objek Wisata Pantai Purus Padang. Artikel dalam jurnal Jom FISIP. Volume 1 No. 2. Oktober 2014. Hal 3.

2. Seluruh pedagang harus mematuhi segala peraturan perundang-undangan yang berlaku. 3. Memenuhi kewajiban yang dibebankan, sesuai ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. 4. Menjaga ketertiban keamanan, keindahan dan kebersihan di lingkungan masingmasing. 5. Bersikap ramah tamah, dan sopan terhadap para pengunjung. 6. Tidak melakukan penjualan dengan tarif diluar batas kewajaran. 7. Mencegah dan tidak memberikan peluang atau fasilitas untuk melakukan perbuatan maksiat dan penyakit masyarakat lainnya kepada pengunjung seperti: berbuat asusila, judi, mabuk-mabukan, dll. Berdasarkan penertiban yang dilakukan oleh pemerintah Kota Padang. Para pedagang kaki lima sekitar danau Cimpago pantai Purus Padang tersebut menggunakan fasilitas umum untuk berjualan serta meninggalkan barang dagangan mereka di tempat berjualan, dan dengan sengaja merendahkan payung-payung pantai mereka. 12 Fenomena dengan direndahkannya payung-payung pantai oleh para pedagang tersebut berawal dari salah satu pedagang kelompok Sembilan belas 13, yang dengan sengaja merendahkan payung-payung pantai mereka untuk menarik minat para pengunjung (remaja) yang datang ke pantai Purus Padang, yang saat ini lebih populer dengan sebutan payung ceper. Payung ceper merupakan istilah yang digunakan oleh masyarakat Kota Padang untuk menyebut payung-payung pantai yang dengan sengaja direndahkan oleh para pedagang di depan danau Cimpago pantai Purus Padang tersebut. Payung 12 Hasil wawancara dengan Amzarus Ketua Koordinator Penyidik Satpol PP Kota Padang, di kantor Satpol PP Kota Padang Jalan Tan Malaka, tanggal 09 April 2015, pukul 14.30 WIB. 13 Pedagang kelompok Sembilan belas merupakan sebuah perkumpulan pedagang yang berjualan di depan danau Cimpago pantai Padang yang terdiri dari Sembilan belas lapak pedagang yang menamakan mereka sebagai kelompok Sembilan belas terdiri dari Sembilan belas lapak pedagang yang sengaja menceperkan/merendahkan payung mereka.

ceper yang tingginya tidak lebih dari 1meter atau 100cm itu sudah menjadi polemik kurang lebih tujuh tahun terakhir ini, Para pedagang kaki lima tersebut mulai mendirikan payung ceper mereka sekitar pukul 15.00-23.00 WIB dan bagian sisi-sisi tenda dan belakangnya sengaja ditutupi dengan terpal-terpal dan kecil kemungkinan untuk bisa di lihat oleh pengendara/pengunjung lain dari luar payung ceper. 14 Ternyata dengan direndahkannya payung-payung pantai tersebut mendatangkan keuntungan bagi para pedagang, yaitu jumlah pengunjung jauh lebih banyak dari sebelum mereka merendahkan payung-payung pantai mereka. Sehingga berdampak kepada meningkatnya pendapatan para pedagang dari sebelum mendirikan payung ceper. Hal itu membuat para pedagang-pedagang yang tergabung dalam kelompok pedagang Sembilan belas lainnya, juga ikut menceperkan atau merendahkan payung-payung pantai mereka. 15 B. Rumusan Masalah Berdasarkan penertiban yang telah dilakukan oleh pemerintah Kota Padang terhadap para pedagang kaki lima di sekitar danau Cimpago pantai Purus Padang. Para pedagang kaki lima tersebut ternyata melakukan beberapa pelanggaran terhadap peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah Kota Padang terhadap para pedagang kaki lima, diantaranya adalah 16 14 Lihat, Harian Haluan. 2012, 07 September. Cerita Kencan Di Payung Ceper. Hlm 11, di akses di http://www.issuu.com/haluan/docs/hln070912, edisi 07 September 2012, tanggal 20 Maret 2015, pukul 21.22 WIB. 15 Hasil wawancara dengan Irwan bagian Penyidik dan Penyuluhan Satpol PP Kota Padang, di kantor Satpol PP Kota Padang Jalan Tan Malaka, tanggal 07 April 2015, pukul 10.30 WIB. 16 Hasil wawancara dengan Mila bagian Penyidik dan Penyuluhan Satpol PP Kota Padang, di kantor Satpol PP Kota Padang Jalan Tan Malaka, tanggal 13 Agustus 2015, pukul 11.30 WIB.

1. Menggunakan fasilitas umum untuk berdagang, yaitu dengan menggunakan trotoar atau batu grip (pemecah ombak) untuk berjualan. 2. Meninggalkan gerobak/lapaknya di lokasi berjualan. 3. Melakukan penjualan dengan tarif di batas kewajaran, yaitu harga dua buah teh botol sekitar Rp.25.000,- yang harga normal satu teh botol hanya Rp.3.000,- dan pedagang tersebut juga memberikan pilihan-pilihan menu dengan harga yang relatif mahal yang jumlahnya bisa mencapai Rp150.000 keatas. 17 4. Dan pelanggaran yang paling banyak disorot atau meresahkan masyarakat adalah dengan sengaja mendirikan payung ceper atau memfasilitasi, serta memberikan peluang kepada para pengunjung untuk melakukan perbuatan yang melanggar norma-norma, berbuat asusila dan sebagainya. Dengan adanya pemberitaan dari media lokal dan laporan dari masyarakat mengenai fenomena payung ceper ini, pemerintah Kota Padang segera menindaklanjuti para pedagang dengan menertibkan payung ceper tersebut. Karena fenomena payung ceper ini tidak hanya meresahkan masyarakat, tetapi juga dapat merusak citra wisata Kota Padang. Sehingga pemerintah Kota Padang berkoordinasi dengan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol-PP) untuk menertibkan atau membongkar payung ceper tersebut. 18 Satpol PP dikerahkan untuk menertibkan serta membongkar payung ceper yang didirikan oleh para pedagang, akan tetapi para pedagang menolak payungpayung pantai mereka untuk dilakukan pembongkaran atau penyitaan oleh para aparat. Alasan para pedagang menolak dan melakukan perlawanan adalah karena para 17 Hasil wawancara dengan Yudha Putra Pratama salah satu pengunjung payung ceper pantai Padang, di asrama TNI Cengkeh, tanggal 3 Januari 2014, pukul 17.15 WIB. 18 Lihat, Harian Haluan.2012, 22 Agustus. Pemerintah Kota Padang Menertibkan Payung Ceper. Hal 11, di akses di http://www.issu.com/haluan/docs/hln220912, edisi 22 Agustus 2012, tanggal 20 Maret 2015, pukul 20.25 WIB.

pedagang merasa petugas (Satpol-PP) tebang pilih dalam menertibkan pedagang kaki lima, karena para pedagang merasa masih banyak pedagang lain yang juga melanggar aturan-aturan berdagang yang ditetapkan oleh pemerintah. 19 Meskipun aparat sudah menyita, membongkar, atau membakar payung-payung pantai mereka. Seakan tak pernah jera, dalam kurun waktu beberapa hari setelah ditertibkan para pedagang tersebut kembali mendirikan payung ceper mereka dan tetap bertahan untuk berjualan. Bahkan jika penertiban yang akan dilakukan oleh Satpol PP diketahui oleh para pedagang, maka pada hari penertiban payung ceperpun tidak ada yang beroperasi. Akan tetapi dalam kurun waktu beberapa hari para pedagang akan kembali berjualan atau membuka payung cepernya seperti semula. 20 Alasan lain para pedagang menolak untuk ditertibkan dan kembali mendirikan payung ceper tersebut adalah karena para pedagang sudah memiliki izin berjualan yang dikeluarkan oleh Pemko Padang melalui dinas kebudayaan dan pariwisata Kota Padang. Serta mereka juga sudah mengeluarkan biaya yang banyak untuk mendirikan payung ceper (meja, kursi plastik, dan payung pantai) 21, mereka menolak ditertibkan karena hasil pendapatan mereka dengan mendirikan payung ceper tersebut lumayan besar dari sebelum mereka mendirikan payung ceper. 22 Pemerintah Kota Padang saat ini bertekad atau berjanji untuk membenahi atau memberantas pantai Purus Padang dari pedagang kaki lima yang mendirikan payung 19 Harian Haluan. Edisi 07 September 2012., Ibid. 20 Harian Haluan. Edisi 22 Agustus 2012., Ibid. 21 Ibid. 22 Lihat, harian singgalang. 2012. 25 Agustus. Pembongkaran Payung Ceper Oleh Pemerintah Kota Padang. Hal 3, di akses di http://www.hariansinggalang.com//berita/edisi 25Agustus2012. Tanggal 20 Maret 2014, pukul 21.00 WIB.

ceper dan menjadikan pantai Padang sebagai tempat wisata keluarga, yang merupakan salah satu program unggulan pemerintah Kota Padang pada saat ini. 23 Berdasarkan pemaparan di atas maka rumusan masalah yang penulis kemukakan adalah Bagaimana Implementasi Perda Kota Padang No 11 Tahun 2005 Tentang Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat (studi kasus: upaya penertiban PKL payung ceper di pantai Purus Padang)? C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian adalah untuk menganalisis implementasi kebijakan Perda No 11 Tahun 2005 dalam upaya penertiban pedagang kaki lima payung ceper di pantai Purus Padang, yaitu upaya apa yang dilakukan oleh pemerintah Kota Padang dalam menertibkan para pedagang kaki lima payung ceper. Analisis implementasi yang dimaksud peneliti yaitu bagaimana proses penerapan kebijakan mengenai penertiban PKL payung ceper tersebut, pembenahan para implementor kebijakan, kendala, serta upaya yang dilakukan untuk menertibkan para pedagang kaki lima payung ceper. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memiliki manfaat : a. Secara akademik, penelitian ini dapat menjadi bahan untuk menambah khasanah keilmuan di bidang politik seperti permasalahan kebijakan publik atau penerapan dari kebijakan publik tersebut. 23 Bappeda Padang. Edisi III Agustus 2014. Hlm 7. Di akses di http://bappeda.padang.go.id/buletin- Bappeda-Padang-Edisi-III-Agustus-2014. Tanggal 30 Agustus 2015. Pukul 15.38 WIB.

b. Secara Praktis, Penelitian ini diharapkan menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah kota Padang dalam penyelesaian masalah pedagang kaki lima yang menyediakan tempat yang bisa menyebabkan terjadinya penyakit masyarakat di Kota Padang.