Bab IV Penutup. A. Kebebasan Berekspresi sebagai Isi Media

dokumen-dokumen yang mirip
Hak atas Informasi dalam Bingkai HAM

Memutus Rantai Pelanggaran Kebebasan Beragama Oleh Zainal Abidin

Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori

2017, No Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011

PENGHARMONISASIAN, PEMBULATAN, DAN PEMANTAPAN KONSEPSI ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENYIARAN

KAJIAN HARMONISASI RUU PENYIARAN BADAN LEGISLASI DPR RI 2017

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

Ringkasan Putusan.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 005/PUU-I/2003

BUKU AJAR (BAHAN AJAR) HAK MENYATAKAN PENDAPAT DI MUKA UMUM SECARA BEBAS DAN BERTANGGUNG JAWAB. Oleh : I Gede Pasek Eka Wisanjaya SH, MH

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN HUKUM

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS

HAK ASASI MANUSIA dalam UUD Negara RI tahun Dr.Hj. Hesti

SISTIM HUKUM INDONESIA POKOK BAHASAN

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS

Kajian Teoritik Hukum dan HAM tentang Surat Edaran Kabaharkam Nomor B/194/I/2013/Baharkam, yang Melarang Satpam Berserikat

MEKANISME PENGADUAN DAN PELAPORAN TERHADAP PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA

Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi di Internet

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila dan UUD

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. kehidupan umat manusia. Setiap manusia yang lahir sudah melekat hak asasinya.

BAB I PENDAHULUAN. perang Dunia II dan pada waktu pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun

HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG P E R S DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Hak Beribadah di Indonesia Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima: 4 Agustus 2015; disetujui: 6 Agustus 2015

POLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PARTISIPASI PUBLIK DALAM PROSES PENGAMBILAN KEBIJAKAN PUBLIK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR.. TAHUN. TENTANG PERLINDUNGAN UMAT BERAGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR XVII /MPR/1998

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS

I. PENDAHULUAN. kebebasan, baik yang bersifat fisik maupun pikiran. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2002 TENTANG PENYIARAN

KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

Kompetensi. Hukum Dan Hak Asasi Manusia Hak Turut Serta dalam Pemerintahan (HTSdP) Hak Turut Serta dalam Pemerintahan. hukum dengan HTSdP.

BAB I PENDAHULUAN. Pengawasan keuangan negara secara konstitusional dilakukan oleh suatu badan

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA AKSI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA INDONESIA TAHUN

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 32/PUU-VI/2008 Tentang Iklan Kampanye Dalam Pemilu

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XVI/2018

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Perkara Nomor 3/PUU-V/2007

Ketentuan UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran terkait Haluan Dasar, Karakteristik Penyiaran, dan Prinsip Dasar Penyiaran di Indonesia

HUKUMAN MATI dari SISI HAK ASASI MANUSIA. Roichatul Aswidah, Jakarta, 18 Agustus 2016

MAKALAH. HAM dan Kebebasan Beragama. Oleh: M. syafi ie, S.H., M.H.

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

LEGAL OPINI: PROBLEM HUKUM DALAM SK NO: 188/94/KPTS/013/2011 TENTANG LARANGAN AKTIVITAS JEMAAT AHMADIYAH INDONESIA (JAI) DI JAWA TIMUR

BAB I KETENTUAN UMUM

UNDANG-UNDANG IKATAN KELUARGA MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2015

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS

Penapisan dan pemblokiran konten internet, bolehkah? Oleh: Wahyudi Djafar Peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

II. TINJAUAN PUSTAKA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG RAHASIA NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Muchamad Ali Safa at INSTRUMEN NASIONAL HAK ASASI MANUSIA

BAB V PENUTUP. permasalahan yang di bahas dalam penelitian ini, penulis dapat mengambil

BAB 10 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI DALAM BERBAGAI BENTUK

Gubernur Jawa Barat DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT,

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1998 TENTANG KEMERDEKAAN MENYAMPAIKAN PENDAPAT DIMUKA UMUM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999 TENTANG

CONTOH SOAL DAN JAWABAN UKG PKN SMP Berikut ini contoh soal beserta jawaban Uji Kompetensi Guru PKn SMP

Bahan Diskusi Sessi Kedua Implementasi Konvensi Hak Sipil Politik dalam Hukum Nasional

UNOFFICIAL TRANSLATION

RABU, 20 JANUARI 2016

MODUL VII HAK AZAZI MANUSIA

PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2010 SERI D.1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG

Komitmen Dan Kebersamaan Untuk Memperjuangkan Hak Asasi Manusia diselenggarakan oleh Pusham UII bekerjasama dengan

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia berdasar ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 99/PUU-XIV/2016 Korelasi Perjanjian Kerja Untuk Waktu Tertentu dan Perjanjian Kerja Untuk Waktu Tidak Tertentu

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB 10 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI DALAM BERBAGAI BENTUK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1999 TENTANG

LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 75 TAHUN 2015 TANGGAL 22 JUNI 2015 RENCANA AKSI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA TAHUN BAB I

POLICY BRIEF ANALISIS EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PENGUATAN SISTEM PERTAHANAN NEGARA

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PEMBANGUNAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 1998 TENTANG KEMERDEKAAN MENYAMPAIKAN PENDAPAT DI MUKA UMUM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Perbedaan HAM pada UUD 1945 sebelum dan sesudah diamandemen A. Pendahuluan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan Negara Hukum. Maka guna mempertegas prinsip Negara Hukum,

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 25/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan KPK Karena Ditetapkan Sebagai Tersangka

KEAMANAN NASIONAL KEBEBASAN INFORMASI

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN DAERAH KOTA SEMARANG TAHUN 2010 NOMOR 16

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

AMANDEMEN II UUD 1945 (Perubahan tahap Kedua/pada Tahun 2000)

Ratifikasi Konvensi ILO Nomor 182 dengan UU No. 1 Tahun 2000 sebagai Politik Hukum Nasional untuk Mewujudkan Perlindungan Anak

PENGANTAR KONVENSI HAK ANAK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2011 TENTANG BANTUAN HUKUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN Y ANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGANYAR NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PERATURAN DI DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARANGANYAR,

GUBERNUR SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH

LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN HARMONISASI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II HAK KONSTITUSIONAL WARGA NEGARA. konstitusi negara adalah pengaturan terkait Hak Asasi Manusia (human right). Negara

Program Kekhususan Hukum Internasional dan Hukum Bisnis Internasional Fakultas Hukum Universitas Udayana

Kepada Yth: Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi RI Melalui Ketua Mahkamah Konstitusi RI Di Tempat. Dengan hormat

Transkripsi:

Bab IV Penutup A. Kebebasan Berekspresi sebagai Isi Media Keberadaan Pasal 28 dan Pasal 28F UUD 1945 tidak dapat dilepaskan dari peristiwa diratifikasinya Universal Declaration of Human Rights (UDHR) 108 dan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) 109 oleh negara Indonesia. Konvensikonvensi tersebut berperan menjadi sumber bagi adanya perubahan yang signifikan bagi perkembangan hukum tentang hak asasi manusia. Kebebasan berekspresi khususnya, akhirnya diakui sebagai hak yang konstitusional yang berimbas pada pembentukan norma undang-undang tentang media. Kebebasan bereskpresi menjadi isu strategis dalam kerangka hukum media, dimana pers, penyiaran, dan perfilman menjadi bidang yang menyediakan informasi bagi masyarakat. Kebebasan berekspresi menjadi titik tolak bagi pengejawantahan tentang isi media yang mencakup hal-hal yang berkaitan dengan bidang tertentu yang menjadi jenis saluran media. Pembidangan media 108 Diratifikasi melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. 109 Diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Sipil Dan Politik). 269

sendiri adalah penting adanya, oleh karena negara Indonesia merupakan subyek internasional. Indonesia tidak dapat melepaskan diri dari perkembangan global, berkaitan dengan perkembangan teknologi dan informasi serta nilainilai universal tentang hak. Hak-hak ini yang kemudian melalui kerangka kebebasan berekspresi diwujudkan dengan terbentuknya produk informasi yang disebarluaskan melalui pers, penyiaran, internet dan perfilman. Ratifikasi-ratifikasi terhadap konvenan internasional, menyebabkan negara harus membentuk peraturan perundang-undangan yang sejalan dengan prinsip-prinsip dalam konvensi. Khususnya tentang kebebasan berekspresi, konvenan internasional secara umum mengatur mengenai hal utama: (1) adanya pengakuan terhadap kebebasan berekspresi sebagai hak asasi manusia; (2) implementasi kebebasan berekspresi; dan (3) ruang lingkup pembatasan kebebasan berekspresi. Prinsip dalam konvensi merupakan sumber bagi pembentukan hukum media di Indonesia, yakni dengan menjadi acuan agar peraturan perundang-undangan tetap menjunjung nilai-nilai hak asasi universal, khususnya tentang kebebasan berekspresi. Tentang pengakuan, kebebasan berekspresi telah dijamin sebagai hak konstitusional dengan dimuatnya dalam Pasal 28F UUD 1945. Pasal 270

tersebut menekankan pada tiga hal mendasar pada kebebasan berekspresi, yakni bahwa (a) tiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, (b) berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi, dan (c) menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Konsepsi ini sejalan dengan Article 19 UDHR dan Article 19 ICCPR. Pengakuan di dalam konstitusi bermakna bahwa negara menjadi bagian dari subyek internasional yang memberikan penghormatan kepada hak asasi manusia, termasuk variasi dari wujud hak asasi manusia di dunia. Selain itu, Indonesia juga dapat memenuhi kewajiban umum sebagai negara yang meratifikasi konvensi. Berdasarkan yang termuat di dalam Article 19 UDHR dan Article 19 ICCPR serta Pasal 28F UUD 1945, terdapat dua cara pandang terhadap kebebasan berekspresi yang mempengaruhi materi muatan di dalam peraturan perundang-undangan. Yang pertama adalah kebebasan berekspresi dalam kerangka hak untuk mengakses, menerima dan menyebarkan informasi. Perspektif ini menempatkan kebebasan berekspresi dalam bentuk upaya untuk mengelola hak, pasif dan aktif. Pengelolaan ini juga dapat menggunakan sarana atau media apapun yang tersedia. Kedua, kebebasan berekspresi sebagai hak untuk 271

mengekspresikan diri melalui media apapun. Hal ini berarti bahwa kebebasan berekspresi sebagai hak untuk mengaktualisasikan diri, dalam berbagai wujud, dan menggunakan media apapun. Freedom of expression kemudian tidak hanya dilindungi melalui landasan konstitusi saja. Sejalan dengan perintah dalam Pasal 28 UUD 1945 yang menyatakan kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undangundang, maka dibentuklah peraturan perundangundangan tentang media yang tidak lain mengatur mengenai substansi media sebagai wujud informasi yang disebarkan ke khalayak. Isi media kemudian diatur di dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, Undang-Undang No. 32 Tahun 2003 tentang Penyiaran, Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman. Masing-masing secara umum hendak mengimplementasikan prinsip konvensi menyangkut kebebasan berekspresi yakni: 1. memberikan jaminan kepada seseorang untuk memuat apa saja melalui media apapun, baik pers, penyiaran, internet dan film; 272

2. bahwa undang-undang memberikan pembatasan atas ruang lingkup perwujudan kebebasan berekspresi di Indonesia, yang bertujuan untuk melekatkan tanggung jawab khusus, sebagai margin of appreciation (menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia). Freedom of expression sebagaimana tercantum di UDHR dan ICCPR diwujudkan di dalam beragam bentuk isi media, baik yang tertulis maupun lisan, melalui media cetak maupun media elektronik. 110 Perwujudan kebebasan berekspresi melalui eksistensi sarana media, mengacu pada isi yang diatur masing-masing undang-undang. Secara prinsip pula, freedom of expression harus dilaksanakan secara bertanggungjawab. Dalam menjalankan hak atas kebebasan berekspresi, diharuskan tunduk hanya pada pembatasanpembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang, yang tujuannya semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan yang tepat terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil dalam hal moralitas, ketertiban dan kesejahteraan umum 110 Kebebasan ini diperjelas dengan Pasal 23 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, bahwa ada hak untuk mempunyai, mengeluarkan, dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kasusilaan, ketertiban, kepentingan umum dan keutuhan bangsa. 273

dalam suatu masyarakat yang demokratis. 111 Inilah yang menjadi titik penting bahwa kebebasan berekspresi berkedudukan sebagai hak asasi manusia, dimana pers, penyiaran, internet dan film yang menjadi wadah ekspresi, harus memperhatikan dan menjaga agar isinya tidak menepikan kepentingan pribadi dan kepentingan masyarakat yang lebih luas. Jaminan terhadap kebebasan berekspresi diwujudkan dengan isi media yang diatur di dalam UU Pers, UU Penyiaran, UU ITE dan UU Perfilman adalah sebagai berikut: 1. bahwa pers, penyiaran, internet dan film merupakan sumber kebutuhan masyarakat yang berupa informasi, pendidikan, hiburan dan manfaat untuk pembentukan intelektualitas, watak, moral, kekuatan bangsa, persatuan dan kesatuan bangsa, serta mengamankan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia; 112 2. bahwa undang-undang mengatur prinsip kebebasan berekspresi di dalam konvensi dengan memuat norma dasar (konstitusi), mengacu pada ketentuan Pasal 28 dan Pasal 28F UUD 1945, serta menggunakan substansi dalam konvensi sehingga terbentuk wujud isi media yang 111 Lihat Article 29 Section 2 UDHR. 112 Lihat Pasal 5 UU Pers, Pasal 36 ayat (1) UU Penyiaran, Pasal 5 UU Perfilman. 274

diperkenankan untuk disebarluaskan, sehingga pembentukan hukum (undangundang) diarahkan pada pengejawantahan prinsip dalam konvensi serta membentuk regulasi yang memiliki fungsi kontrol (preventif dan represif) secara tepat serta dijamin dalam hukum nasional dengan membentuk UU Pers, UU Penyiaran, UU ITE dan UU Perfilman; 3. bahwa isi media perlu diawasi dan dikendalikan melalui lembaga-lembaga tertentu yang melibatkan masyarakat, dengan maksud agar isi media tetap tunduk pada ketentuan yuridis tentang tugas dan tanggugjawab lembaga, yakni oleh Dewan Pers, KPI dan LSF; 4. bahwa kebebasan berekspresi perlu dibatasi implementasinya agar tidak menjadi ancaman bagi hak itu sendiri dengan mempertimbangkannya sebagai derogable right pada satu sisi dan inalienable right pada sisi lainnya; 5. bahwa pembatasan kebebasan berekspresi dilakukan yang tunduk pada syarat: (a) dilaksanakan melalui ketentuan undangundang yang dalam hal ini baik UU Pers, UU Penyiaran, UU ITE dan UU Perfilman mengatur secara normatif laranganlarangan terhadap isi media; 275

(b) pembatasan hanya untuk alasan yang benar-benar penting sebagaimana yang tertuang dalam konvensi: di dalam masing-masing undang-undang ditemukan bahwa pembatasan dilakukan dengan alasan bahaya terhadap keamanan nasional, kepentingan umum, kepentingan non-diskriminasi (SARA, golongan, politik), ancaman terhadap kesehatan masyarakat (narkotika, minuman keras) dan kesusilaan; (c) pembatasan berdasarkan ketentuan otentik sebagaimana tercantum di dalam undang-undang, dan pembatasan dilakukan dengan maksud memberikan perlindungan pada eksistensi lain; Dari uraian-uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa freedom of expression merupakan variabel yang memberikan pengaruh. Freedom of expression menggugah kesadaran untuk memberikan penghormatan dan penghargaan kepada manusia untuk diberikan ruang bebas mengelola dan mengaktualisasikan ekspresi. Hal ini menjadi konsep global dan prinsip-prinsip perlindungannya diakui secara universal. Di Indonesia, sebagai negara demokratis, kebebasan berekspresi diwujudkan melalui isi media pers, media penyiaran, media internet dan media film. 276

Meskipun bidang-bidangnya diatur tersendiri di undang-undang yang dibentuk, hak atas kebebasan ditempatkan pada ruang yang luas dan dilindungi. Adapun tujuannya adalah untuk mendorong kesejahteraan di dalam kerangka masyarakat yang demokratis. B. Harmonisasi Hukum tentang Isi Media Harmonisasi menjadi kunci, apakah freedom of expression dapat ditempatkan sebagai isu sentral yang menginspirasi isi atau konten yang disebarluaskan melalui berbagai saluran atau jenis media. Jenis media ini menentukan pembidangan hukum dalam satu sistem hukum media. Pers, penyiaran, internet dan film adalah bidang-bidang yang perlu secara khusus diatur dalam undangundang yang lebih spesifik. Hal ini dikarenakan pers, penyiaran, internet dan film dianggap sebagai saluran yang harus diberikan perlindungan secara berbeda antar satu dengan yang lainnya. Pembedaan tersebut tidak menyurutkan semangat harmonisasi, yakni bahwa pada prinsipnya ada kesamaan mendasar yang berkaitan dengan variasi wujud kebebasan berekspresi. Harmonisasi perlu dilihat dengan tujuan menemukan makna inti dari pengaturan isi media yang menjadi kunci dalam perlindungan hak. 277

Sebagai negara pihak, Indonesia memiliki kewajiban untuk memasukkan prinsip-prinsip di dalam konvensi di dalam sistem hukum yang dibentuk. Kerangka prinsip kebebasan berekpsresi, oleh pemerintah dibentuk semenjak dimuatnya hak atas kebebasan berekspresi di dalam UUD 1945 dan kemudian dengan diterbitkannya peraturan perundang-undangan tentang media, yakni UU Pers, UU Penyiaran, UU ITE dan UU Perfilman. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan bagi terbentuknya peraturan-peraturan lain yang seiiring dengan perkembangan media di Indonesia. Indonesia sebagai subyek internasional yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, dimana negara Indonesia memiliki sifat uniformitas sistem hukum. Oleh Indonesia, sifat uniformitas sistem hukum ditunjukkan dengan mengatur isi media sejalan dengan ketentuan-ketentuan di dalam konvensi. Tujuannya adalah agar dapat mempersatukan kepentingan pers, penyiaran, internet dan perfilman dalam kepentingan kebebasan ekspresi yang sejalan dengan konvensi. Adapun cara yang dilakukan salah satunya menggunakan harmonisasi materi, substansi konvensi dengan konstitusi sampai dengan undang-undang yang dibentuk. Hasil yang nampak pada perumusan materi yang sesuai dengan konvensi yakni isi media yang termuat di UU Pers, UU Penyiaran, UU ITE dan UU Perfilman. 278

Harmonisasi dilakukan terhadap undangundang apakah sesuai dengan prinsip dengan konvensi dan konstitusi, serta dilakukan harmonisasi substansi antar undang-undang. Harmonisasi hukum isi media berpijak pada tiga hal mendasar: (1) Legal substance: dimana UU Pers, UU Penyiaran, UU ITE dan UU Perfilman mengatur substansi riil dari konsep freedom of expression. Masing-masing undangundang mencantumkan konsepsi mendasar mengenai isi media yang mengejawantahkan makna kebebasan berekspresi sebagaimana konvensi dan konstitusi mengatur, diantaranya adalah pengakuan terhadap kemerdekaan pers, keberagaman isi dan tanggung jawab terhadap isi yang disebarluaskan. Mengingat bahwa konvensi dan konstitusi menekankan pada jaminan atas kebebasan berekspresi, maka undangundang secara normatif berusaha menjangkau setiap hal yang berkaitan dengan isi media yang bebas, serta mengaturnya secara tegas. Di sisi lain, ancaman-ancaman yang dapat muncul dengan tersebarluasnya informasi dalam isi media, maka undang-undang mengatur bahwa terdapat dua kepentingan: perlindungan institusi media dan 279

perlindungan masyarakat atau negara. Oleh karena itu, undang-undang mencantumkan pula ancaman sanksi administratif dan pidana bagi lembaga media yang dianggap menyimpang sekaligus pencegahan terhadap intervensi pihak lain kepada lembaga media. (2) Legal structure: bahwa keempat undangundang membentuk lembaga-lembaga (independent states agencies) yang dimaksudkan untuk memberikan kendali atas pelaksanaan kebebasan berekspresi oleh subyek, baik individu maupun entitas media, dengan mengacu pada perlindungan terhadap hak sebagaimana diatur dalam konvensi dan peraturan perundangundangan. Struktur ini penting oleh karena keberadaannya menjadi representasi negara dan masyarakat. Dewan Pers, Komisi Penyiaran Indonesia dan Lembaga Sensor Film merupakan lembaga-lembaga yang berwenang untuk menetapkan suatu isi media layak atau tidak dikonsumsi publik. (3) Legal culture: bahwa undang-undang mendorong terbentuknya kesadaran baru akan hak atas kebebasan berekspresi, dimana kebebasan ini dapat diimplementasikan dalam berbagai bentuk dan wujud melalui sarana yang tersedia: 280

pers, penyiaran, internet dan film. Akan tetapi undang-undang juga melekatkan tanggung jawab yuridis pada setiap subyek untuk tetap bertanggung jawab melaksanakan hak tanpa menciderai keamanan nasional, kepentingan publik, moral dan hak-hak asasi lainnya. Pada era reformasi dan keterbukaan informasi, kesadaran ini merupakan penentu arah masyarakat yang demokratis. Legal substance, legal structure dan legal culture, memberikan analisa yang komprehensif apakah hukum media di Indonesia berada pada tataran yang seimbang dan selaras terkait dengan kebebasan berekspresi. Peraturan perundangundangan tentang media yang dijadikan patokan, yakni memperlihatkan karakter yang sama untuk mengatur isi media. Kesamaan karakter itu ada pada: (1) Pengakuan dan jaminan terhadap eksistensi hak atas kebebasan berekspresi; (2) Asas dan arah media yang dimaksudkan untuk mendorong masyarakat Indonesia memperkuat persatuan dan kesatuan sekaligus menghargai norma, agama, dan budaya bangsa; 281

(3) Isi media dikontrol secara ketat, dengan menetapkan standar dan pedoman terhadap isi serta diawasi oleh lembaga tertentu; (4) Masyarakat dapat memberikan tanggapan terhadap isi media yang tidak tepat dan dianggap menyimpan, sebaliknya lembaga media dapat memberikan tanggapan (hak jawab, hak koreksi); (5) Isi media harus mempertimbangkan keamanan nasional, kepentingan umum, moral, kesusilaan dan pencegahan pelanggaran terhadap lain yang ada dimana isi media dibatasi secara normatif di dalam undang-undang dengan mekanisme pembatasan substansi yang sama, yakni: perlindungan terhadap kepentingan yang lebih luas (public order, public health, public moral), national security dan eksistensi hak lain. Sementara itu, upaya harmonisasi menemukan beberapa permasalahan yang berkaitan dengan isi media, diantaranya adalah: (1) persinggungan antar undang-undang dimana sebuah isu yang kontroversial dapat memicu perdebatan tentang undangundang yang mana yang akan menjadi priotitas; 282

(2) bahwa internet sebagai media yang cenderung berkembang lebih cepat, tidak memiliki lembaga kontrol semaca Dewan Pers, KPI dan LSF, sehingga isi media rentan diancam melalui hukum pidana oleh pihak terpengaruh, tanpa ada jaminan perlindungan dari masyarakat melalui wadah lembaga; (3) isi media yang diatur cenderung interpretative, dimana pers tidak secara detail mengatur di undang-undang, yang berbeda dengan penyiaran, internet dan perfilman. Hal ini menyebabkan pers sangat bergantung pada eksistensi isi media yang lain, oleh karena pers tidak dapat dilepaskan dari lembaga penyiaran, internet dan film dalam rangka penyebarluasan informasi. C. Saran-saran Perkembangan media memang perlu diatur oleh negara agar tidak menjadi ancaman. Perlindungan kebebasan berekspresi oleh berbagai instrumen hukum internasional dan hukum nasional, menyiratkan kepentingan yang lebih besar. Oleh karena itu hukum nasional merupakan tumpuan bagi terselenggaranya media yang bertanggungjawab. Sistem hukum media yang dibentuk harus mampu menjangkau variasi 283

keberagaman isi, untuk memberikan perlindungan sekaligus batasan yang tepat dan tidak menciderai eksistensi hak atas kebebasan berekspresi. Terkait dengan hal-hal yang telah diuraikan pada bagianbagian sebelumnya, maka dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut: Pertama, pembentukan sistem hukum media di Indonesia harus memperhatikan prinsip-prinsip hukum internasional yang dikembangkan dari prinsip dalam konvensi. Hardlaw menjadi sumber utama, namun dirasa belum cukup untuk memberikan penjelasan yang akomodatif. Tersedianya softlaw juga layak dijadikan sumber informasi tentang bagaimana membentuk peraturan perundang-undangan yang tepat sasaran. Kedua, isi media adalah produk utama dari lembaga media yang menjadi indikasi bagi perkembangan media pada umumnya. Isi media harus diatur secara ketat dan tidak boleh menyimpang atau ketidaktepatan aturan hukum menyebabkan isi media dapat menyimpang dari yang seharusnya. Maka Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers harus ditinjau kembali karena undang-undang ini mengandung kelemahan pada sisi substansi tentang isi pers yang tidak memuat secara jelas, sebagaimana konvensi dan konstitusi memberikan arahan. Di samping itu, Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik perlu 284

diperhatikan pula terkait larangan-larangannya terhadap isi, karena dapat mendorong subyeksubyek tertentu yang terpengaruh, menjadi ancaman bagi produsen informasi. UU ITE juga menjadikan ancaman pidana sebagai satu-satunya alat yang paling efektif untuk menyelesaikan permasalahan. Ketiga, pengawasan terhadap isi media sebaiknya menjadi titik tolak peran lembaga negara independen (Dewan Pers, KPI dan LSF), yakni memberikan nilai layak dan tidak layak atas isi tersebut. Akan tetapi kewenangan tersebut harus diberikan secara luas, agar fungsi lembaga tidak berhenti pada rekomendasi, namun juga pada aspek penindakan, agar kontrol terhadap isi media yang menyimpang dapat konkrit teratasi. Pemerintah tidak boleh lagi mengintervensi media secara langsung (melalui pidana), agar secara moral, masyarakat (khususnya masyarakat media) tidak menjadi lawan, namun menjadi mitra yang menguntungkan bagi pemerintah. Hal ini ditujukan demi kesejahteraan masyarakat yang dinamis dan harmonis serta menjaga agar tetap demokratis. Keempat, negara berpeluang untuk menerjemahkan makna Pasal 28 dan 28F UUD 1945 dengan membentuk suatu sistem hukum media yang harmonis, yang melindungi isi media sekaligus pembatasannya, dengan cara: (1) membentuk kesepakatan bersama antar lembaga 285

negara terkait isu-isu sentral perkembangan media; (2) membentuk peraturan pemerintah dan peraturan perundangan lainnya yang tetap memperhatikan pengaturan isi media oleh masingmasing undang-undang, sehingga tercapai maksud tujuan yang tidak bertentangan dengan maksud dan tujuan undang-undang tentang media; dan, (3) mendorong pembentukan norma-norma standar (ketentuan organik) yang sama antara satu undangundang dengan undang-undang lain, sebagai bentuk pemahaman makna kebebasan berekspresi yang setara. 286